Anda di halaman 1dari 3

Produk Perselingkuhan Antara Penguasa dan Pengusaha

Oleh : Jhon Rivel Purba. Cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Hal ini dapat kita lihat dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia". Berarti pijakan penyelenggaraan welfare state adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian di dalam batang tubuh UUD 1945, jelas diatur program dasar mewujudkan kesejahteraan rakyat. Antara lain: jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; kebebasan berpendapat; tempat tinggal murah dan terjangkau; lingkungan hidup yang baik; sistem pendidikan wajib; aset negara untuk rakyat; memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar; jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah; serta jaminan dana kesehatan. Ada pun pilar kenegaraan untuk mewujudkan itu adalah demokrasi (melibatkan rakyat), penegakan hukum yang adil, perlindungan HAM, keadilan sosial, dan anti diskriminasi. Namun apakah welfare state yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini sudah terwujud dalam kehidupan berbangsa? Setidaknya ciri negara yang rakyatnya sejahtera adalah pemerintahannya bersih dari korupsi dan serikat buruhnya kuat. Dengan demikian pertanyaan bisa terjawab, yakni rakyat di negara ini tidak sejahtera. Buktinya, korupsi merajalela dari pusat hingga ke daerah-daerah. Bahkan Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia. Bagaimana tidak, hampir semua lembaga terjangkit virus korupsi, termasuk lembaga penegak hukum. Selain itu, serikat buruhnya sangat lemah karena dikondisikan oleh pihak-pihak penikmat status quo. Bercermin dari Singapura dan Jepang Salah satu negara yang pemerintahannya cukup bersih adalah Singapura. Negara yang luas wilayahnya jauh lebih kecil dari Sumatera Utara ini menjadikan hukum sebagai panglima. Pemerintahannya bersih dari korupsi, birokrasinya memudahkan segala urusan warga negara, dan hukum benar-benar ditegakkan. Hal ini jauh berbeda dengan negeri kita, negeri yang mengaku beragama. Sehingga wajar rakyat Singapura hidup sejahtera. Sementara negara yang memiliki serikat buruh yang kuat adalah Jepang. Negara matahari terbit ini membangun sistem hubungan industrial yang berkesejahteraan. Itu bisa terwujud ketika pihak buruh terorganisir secara kuat. Mereka bisa duduk bersama dengan pemerintah dan pengusaha untuk membangun hubungan industrial yang berkeadilan dan sekaligus membangun ekonomi bangsanya. Lihatlah, ekonomi Jepang sangat kuat. Pengusahanya beruntung, buruhnya juga sejahtera. Bahkan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang di sana pada umumnya sejahtera. Sebab gajinya puluhan kali lipat dari gaji buruh di Tanah Air. Mereka juga diperlakukan manusiawi. Sehingga jarang kita dengar TKI yang bekerja di Jepang diperlakukan kasar. Derita Buruh

Berbeda dengan Singapura dan Jepang, sejarah perburuhan di Indonesia adalah sejarah penindasan. Sejak zaman penjajahan kolonialisme hingga hari ini, nasib buruh tetap sama. Menderita. Mereka selalu menjadi objek pemerasan demi kepentingan ekonomi segelintir orang. Mereka dikondisikan supaya "diam" dengan ketidakadilan hubungan industrial. Ketidakadilan tampak dengan adanya "perselingkuhan" antara penguasa dan pengusaha (pemodal). Akhirnya yang menjadi korban adalah buruh. Meskipun demikian, suara-suara perjuangan buruh di Tanah Air masih tetap terdengar. Hanya saja selama ini belum maksimal mampu menciptakan perubahan yang diinginkan buruh. Secara umum hal-hal yang diperjuangkan buruh adalah upah yang layak, kebebasan bersuara dan berserikat, menolak outsourcing, menolak buruh kontrak, menolak peraturan perusahaan yang merugikan buruh, dan menolak PHK. Rata-rata upah minimum sekarang adalah berkisar satu juta rupiah. Apakah upah sebanyak itu dapat dikatakan layak dan bisa menciptakan kesejahteraan bagi buruh? Tentu saja tidak. Uang sebanyak itu hanya bisa untuk keperluan makan dan minum. Itu pun dengan menu yang terbatas. Faktanya, masih banyak juga buruh yang menerima upah di bawah Rp 1 juta. Lantas, bagaimana biaya pendidikan anak buruh? Ketika anak buruh tak bisa mendapatkan akses pendidikan, maka mereka akan tetap (terpaksa) mengikuti jejak orangtuanya, yakni menjadi buruh. Inilah yang terjadi dari generasi ke generasi. Makanya perlu diperjelas makna dari hidup layak dan sejahtera tersebut. Buruh dikatakan hidup layak apabila dari upahnya bisa menghidupi diri dan keluarganya secara layak; menikmati makan dan minum yang bergizi (empat sehat lima sempurna), memiliki rumah, mampu menyekolahkan anaknya minimal hingga SMA, dan ada jaminan hari tua. Sudahkah buruh di Indonesia seperti itu? Sangat memprihatinkan ketika banyak buruh yang berlatar belakang pendidikan tinggi (sarjana) pun sekarang ini hanya mendapatkan upah di bawah Rp 2 juta. Bagaimana pula dengan buruh berpendidikan sekolah dasar? Pantasan mereka terpaksa mengadu nasib menjadi TKI pembantu rumah tangga di negeri asing. Serikat buruh yang diharapkan mampu memperjuangkan nasib buruh, ternyata menghadapi berbagai badai. Baik dari pemerintah, pengusaha, aparat, bahkan dari buruh itu sendiri. Kebebasan buruh untuk berserikat belum mendapatkan angin yang segar karena dihalang-halangi oleh pihak yang berkepentingan dari sistem yang telah ada. Alhasil, posisi tawar buruh semakin lemah. Sistem outsourcing dan buruh kontrak juga semakin membawa buruh ke alam ketidakpastian. Sistem outsourcing menjadikan buruh sebagai budak yang diperjualbelikan. Perusahaan penyedia buruh dan perusahaan tempat buruh bekerja mendapatkan untung yang besar dari keringat buruh. Artinya buruh mengabdi pada dua majikan. Sistem buruh kontrak juga membuka ruang PHK tanpa ada jaminan sosial. Buruh kontrak dipaksa patuh pada aturan perusahaan yang menindas. Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha, semakin menambah derita buruh. Mengadu

kepada anggota legislatif juga tidak membuahkan hasil karena wakil rakyat tersebut tidak benarbenar mewakili rakyat (buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan kaum miskin). Justru sebaliknya, kebanyakan anggota legislatif adalah bagian dari pengusaha. Tidak ada yang mewakili buruh. Mengadu ke lembaga keagamaan juga sama. Buruh hanya akan mendapatkan nasihat-nasihat atau khotbah-khotbah yang menyejukkan telinga. Tapi persoalan dasar tidak selesai. Padahal yang diinginkan buruh saat ini bukanlah janji-janji tentang surga. Melainkan bisa hidup layak sebagai manusia. Derita buruh di Indonesia akan tetap berlanjut jika kondisi ini dibiarkan. Derita buruh hanya akan berakhir jika pemerintah dan pejabat di negeri ini serius mengamalkan Pancasila melalui kebijakan-kebijakan pro-rakyat demi terwujudnya welfare state. Pemerintahan yang bersih dari korupsi, penegakan hukum yang adil, dan lahirnya gerakan buruh yang kuat dan terorganisir, merupakan kunci membuka pintu kesejahteraan buruh secara khusus dan rakyat secara umum. *** Penulis adalah mantan ketua KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) Medan, dan kini sedang studi pascasarjana di FIB UGM Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai