Anda di halaman 1dari 44

Laporan Tutorial

Skenario 2 Blok Psikiatri: Doctors Shopping

FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI KONDISI MEDIS UMUM

Oleh: Imam Rizaldi (G0008109) Iput S. Musthofa (G0008110) Izzatul Muna (G0008113) Kurniawan Adi P (G0008118) Niawati Rokhaniah (G0008138) Nugroho Jati Dwi N. L. (G0008143) NurulFitri Syarifah (G0008149) Sofina Kusnadi (G0008171)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penanganan gangguan medis yang optimal adalah penanganan yang menerapkan konsep biopsikososial.Konsep biopsikososial adalah suatu konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses penyakit yang memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan. Pendekatan tersebut membawa pengertian bahwa kondisi sakit bukan saja dari segi medis fisik tetapi juga dari kondisi psikologis yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.Salah satu contoh penerapan konsep tersebut adalah ilmu kedokteran jiwa. Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji dengan pendekatan

biopsikososial.Keluhan tersebut dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang merawat.Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap pasien, serta memberikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya hal itu seringkali tidak dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk mencari jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal dengan sebutan pasien sulit yang sering menimbulkan rasa frustasi pada pasien dan juga dokter. Kasus skenario pada laporan ini adalah seorang pasien laki-laki usia 31 tahun yang mengeluh sering sakit kepala dan sering khawatir bahwa dia menderita sakit keras. Dia memeriksakan dirinya, kemudian didapatkan hasil pemeriksaan yang normal.Setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata pasien tersebut memiliki masalah dalam pekerjaannya. Laporan tutorial ini membahas tentang bagaimana sakit kepala yang diderita pasien, diagnosis, penatalaksanaan, dan juga keluhan-keluhan lainnya yang telah dibahas dalam tutorial mandiri kelompok.Laporan ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas laporan dari semester pendek Blok Psikiatri.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tinjauan psikopatologis dari sering sakit kepala pada pasien? 2. Bagaimana hubungan antara riwayat panyakit sekarang dengan riwayat penyakit dulu? 3. Bagaimanahubungan penyakit dengan usia, gender, dan pekerjaan/epidemiologi? 4. Bagaimana pemeriksaan dan penegakan diagnosis? 5. Apakah diagnosis dan diagnosis differensialnya? 6. Apakah faktor risiko dan bagaimana komplikasinya? 7. Bagaimana penatalaksanaannya? 8. Mengapa pasien tetap merasa penyakitnya membahayakan walau sudah dinasehati?

C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui psikopatologis dari sakit kepala pasien 2. Mengetahui hubungan antara riwayat penyakit sekarang dengan riwayat penyakit dulu. 3. Mengetahui hubunganpenyakit dengan usia, gender, dan pekerjaan/epidemiologi. 4. Mengetahui pemeriksaan dan penegakan diagnosis. 5. Mengetahui diagnosis dan diagnosis bandingnya. 6. Mengetahui faktor risiko dan komplikasinya. 7. Mengetahui penatalaksanaannya. 8. Mengetahui alasan pasien tetap merasa penyakitnya membahayakan walau sudah dinasehati

D. Manfaat Penulisan 1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan untuk menegakkan suatu diagnosis gangguan yang dialami oleh pasien. 2. Mengetahui patopsikologi terjadinya gangguan jiwa. 3. Mengetahui penatalaksanaan kasus pada skenario.

E. Skenario Doctors Shopping Taufik, 21 tahun, dokter muda (coas) yang sedang bertugas di puskesmas merasa bingung dengan kasus yang sedang dihadapinya. Salah satu pasiennya, seorang laki-laki usia 31 tahun mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuih selama 2 tahun terakhir. Pasien sering merasa khawatir menderita penyakit yang mematikan seperti stroke atau tumor otak.Pasien sudah sering berobat ke beberapa dokter umum dan spesialis, tetapi belum juga sembuh. Dari hasil pemeriksaaan laboratorium dan CT Scankepala tidak didapatkan kelainan. Walaupun hasilnya normal, kekhawatiran pasien terhadap penyebab sakitnya adalah penyakit yang mematikan belum hilang.Pasien beberapa kali opname di rumah sakit karena sakit kepala yang berat secara tiba-tiba dan tekanan darahnya pernah mencapai 150/90 mmHg. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran pasien akan mengalami stroke seperti tetangganya yang kemudian meninggal. Pasien menolak sedang menghadapi permasalahan yang berat, tetapi dari alloanamnesis terhadap keluarga diketahui bahwa usaha perdagangannya sedang lesu karena ada pesaing baru.walaupun sudah dijelaskan kepada pasien bahwa tidak terdapat kelainan fisik yang membahayakan dirinya, tetapi kekhawatiran belum juga berkurang.Apa yang harus dilakukan Taufik?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psikoneuroimunologi Sistem saraf dan sistem imun yang memberikan respons terhadap berbagai rangsangan berperan dalam regulasi homeostasis. Mekanisme kerja antara kedua sistem tersebut dapat secara endokrin atau parakrin. Neurotransmiter, neuropeptida, dan sitokin yang diproduksi sistem saraf pusat dapat meningkatkan atau menghambat respon imun. Sebaliknya, mediator dan sitokin yang diptoduksi sistem imun juga dapat mempengaruhi sistem saraf (Baratawidjaja, 2006). Sedangkan aspek psikis sendiri sangat erat kaitannya dengan sistem saraf pusat, terutama sistem limbik. Sistem limbik merupakan struktur kompleks hubungan elemen-elemen dasar otak atau keseluruhan lintasan neuronal yang mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional (Guyton, 2007). 1. Anatomi fisiologi otak Otak manusia, adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian, secara garis besar, otak terbagi dalam 4 bagian besar, yaitu cerebrum atau otak besar, cerebellum atau otak kecil, sistem limbik, dan batang otak yang berkerja secara simbiosis. Otak besar memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ juga ditentukan oleh kualitas dari otak besar.Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.Sistem limbik berfungsi dalam mengatur emosi dan memori emosional. Sedangkan batang otak mengatur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik. Semua bagian mampu bekerja bersama saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara terpisah (Liza, 2008). Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka berkomunikasi

dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain Asetil kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin. Fungsi masing masing neurotransmiter dapat dilihat dibawah ini: Neurotransmiter Lokasi/Fungsi Implikasinya pada penyakit Jiwa Kolinergik Asetil kolin Sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis, terminal saraf presinapsis parasimpatik, Meningkatkan depresi Menurunkan penyakit korea derajat alzeimer, hutington, derajat

terminal postsinapsis Sistem saraf pusat : korteks serebral hipokampus, struktur limbik, basal ganglia Fungsi : tidur, bangun persepsi nyeri, pergerakan memori

penyakit parkinson.

Monoamin Norepinefrin Sistem syaraf otonom terminal saraf post sinapsis simpatis Sistem saraf pusat: talamus, sistem Fungsi limbik, hipokampus, Menurunkan depresi Meningkatkan derajat derajat

mania, keadaan cemas, skizofrenia

serebelum, korteks serebri pernafasan, pikiran,

persepsi, daya penggerak, fungsi kardio bangun vaskuler, tidur dan

Dopamin

Frontal korteks, sistem limbik, basal ganglia, talamus, hipofisis posterior, medula spinalis Fungsi: koordinasi, pergerakan dan

Menurunkan

derajat

penyakit parkinson dan depresi Meningkatkan derajat

emosional,

mania dan skizofrenia Menurunkan depresi Meningkatkan kecemasan derajat

penilaian, pelepasan prolaktin Serotonin Hipotalamus, talamus, sistem limbik, korteks serebral, derajat

serebelum, medula spinalis Fungsi : tidur, bangun, libido, nafsu makan, perasaan, agresi persepsi nyeri, koordinasi dan penilaian Histamin Hipotalamus

Menurunkan depresi Asam amino

derajat

GABA (gamma Amino butyric acid

Hipotalamus, korteks, Fungsi tubuh

hipocampus, basal

Menurunkan korea gangguan skizofrenia, Derajat toksik/keracunan glycine encephalopaty

derajat

serebelum,

huntington, ansietas, dan

ganglia, medula spinalis, retina kemunduran aktivitas

berbagai jenis epilepsi

Glisin

Medula spinalis, batang otak Fungsi: menghambat motor

neuron berulang

Glutamat dan aspartat

Sel-sel

piramid/kerucut

dari

Menurunkan derajat berhubungan

tingkat yang dengan

korteks, serebelum dan sistem sensori aferen primer,

hipocampus, Fungsi: sensori,

talamus,

gerakan motor spastik

hipotalamus, medula spinalis menilai mengatur informasi berbagai

motor dan reflek spinal Neuropeptida Endorfin dan enkefalin Hipotalamus , talamus, struktur limbik dan batang otak, Modulasi dopamin peptida menumpukkan berbagai terhadap skizofrenia Menurunkan korea hutington ikatan gejala aktivitas oleh opiod dapat

enkedalin juga ditemukan pada traktus gastrointestinal Fungsi modulasi (mengatur)

nyeri dan mengurangi peristaltik (enkefalin) Hipotalamus otak tengah, basal

Substansi P

struktur batang

limbik otak, dan

derajat

talamus,

ganglia,

medula spinalis, juga ditemukan pada traktus gastrointestinal dan kelenjar saliva Fungsi: pengaturan nyeri Somatostatin Korteks serebral, hipokampus, talamus, basal ganglia, batang otak, medula spinalis Fungsi: menghambat pelepasan norepinefrin, merangsang Menurunkan Meningkatkan korea derajat

penyakit Alzeimer derajat

pelepasan serotonin, dopamin dan asetil kolin (Liza, 2008) Sistem respons fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight or flight dimana berperan hormon epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Sistem

norepinefrn dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor. Akan tetapi bila terlalu banyak akan menyebabkan serangan mania (Guyton, 2007). Bagian limbik yang menjadi pusat emosi berada di amygdala dan hippocampus yang berfungsi mengatur emosi manusia dan memori emosi. Istilah Limbik berarti perbatasan dan biasanya digunakan untuk menjelaskan struktur tepi sekeliling regio basal serebrum. Pada perkembangan selanjutnya diperluas artinya menjadi keseluruh lintasan neuronal yang mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional seseorang. Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus yang mengatur perilaku emosional dan kondisi internal tubuh seperti suhu tubuh, osmolalitas cairan tubuh, dan dorongan untuk makan dan minum serta mengatur berat badan. Fungsi Perilaku dari Hipotalamus dalam Sistem Limbik (Guyton, 2007) a. Perangsangan pada hipotalamus lateral mengakibatkan timbulnya rasa haus dan nafsu makan, serta aktivitas emosi seperti timbulnya rasa marah yang hebat dan keinginan berkelahi. b. Perangsangan nukleus ventromedial dan area sekelilingnya menimbulkan rasa kenyang dan menurunkan nafsu makan, sehingga menimbulkan ketenangan. c. Perangsangan pada zone tipis dari nuklei paraventrikuler biasanya berhubungan dengan rasa takut dan reaksi terhukum. d. Dorongan seksual dapat timbul bila ada rangsangan pada beberapa area hipotalamus. Khususnya pada sebagian besar bagian anterior dan posterior hipotalamus. 2. Psikoneuroimunologi Suatu gangguan jiwa dapat ditinjau dari segi biologi. Kaitannya nanti dengan mengetahui proses perubahan biologi, fisiologi, maupun biokimianya sehingga dapat dilakukan terapi secara klinis. Maka munculah istilah psikiatri biologi yang dewasa ini berkembang menjadi psikoneuroimunologi (Setiawan, 2011). Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ

tubuh melalui saraf otonom. Organ yang dialiri stres antara lain adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti. Stres dan sistem imun menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor. Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Selain kenaikan kadar ACTH, beta endorfin, enkefalin dan katekolamin di peredaran darah juga terjadi penekanan aktifitas sel NK saat stres. Pengaruh stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Kecocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang. Beberapa penelitian imunologis menunjukkan stres menyebabkan penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A), aktifitas sel natural killer (NK) turun dan produksi interferon gama (IFN- ) turun. Glaser et al melaporkan

adanya penurunan aktifitas Natural Killer Cell (sel NK) dan produksi Interferon Gamma (IFN-) pada mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani ujian (Gunawan dan Sumadiono, 2007). Salah satu faktor yang tampaknya penting adalah kemampuan individu untuk dapat mengendalikan stres atau disebut sebagai coping. Persepsi pengendalian memperantarai pengaruh stres pada sistem imun manusia. Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada stres lagi, bahkan kemungkinan stres itu bertambah besar. Stres dapat memicu mekanisme yang meningkatkan risiko terkena penyakit atau melemahkan sistem imun (Hastuti dan Taganing, 2007).

B. Gangguan Somatoform Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti tubuh. Gangguan somatoform merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh, mencakup interaksi tubuhpikiran (body-mind) (Hadisukanto, 2010). Gangguan somatoform memiliki gejala fisik (nyeri, mual, pusing) yang tidak ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional uang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan (Kaplan, 2010). Gangguan ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping). Beberapa pasien bahkan ada yang sampai dilakukan operasi namun hasilnya negatif. Keluhan yang sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal dan keluhan pada kulit, selain itu juga mengeluh di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri, kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada, atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan ganguan haid (Kaplan, 2010).

Pada gangguan ini seringkali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya adalah memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik lebih lanjut (Depkes, 1993). Ada liga jenis gangguan somatoform spesifik : 1. Gangguan Somatisasi Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal sebagai Briquets Syndrome. Prevalensi sepanjang hidup 0,2 2% pada wanita dan 0,2 % pada pria. Wanita lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 banding 1. Awitan gangguan ini sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja (Hadisukanto, 2010). Etiologi dari gangguan somatisasi meliputi dua faktor, faktor psikososial dan faktor biologis. Secara psikososial, gejala-gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan. Aspek pembelajaran menekankan bahwa pengajaran dari orang tua, contoh orang tua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur, dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi. Secara biologis, data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi, terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10% (Hadisukanto, 2010). Kriteria diagnostik untuk gangguan somatisasi meliputi : a. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun.

b. Setiap kriteria yang harus ditemukan : 1) Empat gejala nyeri, nyeri pada sekurang-kurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, menstruasi, hubungan seksual, atau selama miksi) 2) Dua gejala gastrointestinal, sekurang-kurangnya mimiliki dua gejala gastrointestinal selain nyeri, seperti mual, muntah, kembung, diare, intoleransi terhadap beberapa jenis makanan. 3) Satu gejala seksual, sekurang-kurangnya memiliki satu gejala seksual selain nyeri seperti indiferensiasi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan. 4) Satu gejala pseudoneurologis, minimal satu gejala atau defisit neurologis, seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, afonia, retensi urin, halusinasi, dan lain-lain) c. Salah satu (1) atau (2) 1) Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria b tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat (efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) 2) Jika terjadi kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. d. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (Kaplan, 2010) Berdasakan PPDGJ III, diagnosis pasti gangguan somatisasi memerlukan semua hal berikut : a. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atau atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya dua tahun. b. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelaianan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.

c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya (Maslim, 2001). 2. Gangguan Konversi Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi (Hadisukanto, 2010). Gangguan konversi adalah suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala neurologis (sebagai contoh, paralisis, kebutaan, dan parestesia) yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal atau eksaserbasi gejala. Insidensi tahunan gangguan konversi adalah 22 per 100.000 orang (Kaplan, 2010). Penyebab dari gangguan konversi ada dua faktor, faktor psikoanalitik dan faktor biologis. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan ke dalam suatu gejala fisik (Kaplan, 2010). Konflik terjadi antara dorongan insting (agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal tersebut, pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagian dorongan atau hasrat terlarang lewat gejala-gejala yang muncul namun tersamar, sehingga secara sadar pasien dapat menghindari konfrontasi terhadap impuls terlarangnya (Hadisukanto, 2010). Sedangkan faktor biologis, penelitian pencitraan otak awal menunjukkan hipometabolisme di hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer nondominan dan telah melibatkan gangguan komunikasi hemisferik di dalam penyebab gangguan konversi (Kaplan, 2010). Hadisukanto (2010) menambahkan teori pembelajaran dalam etiologi gangguan konversi, yaitu menurut conditioned learnig theory, gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku yang dipelajari secara classic conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak masa kanak, akan digunkan sebagai coping dalam situasi yang tidak disukainya (Hadisukanto, 2010). Kriteria diagnostik untuk gangguan konversi meliputi : a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.

b. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau eksaserbagsi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain. c. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat d. Gejala atau defisit tidak didapat setelah penelitian, dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum atau oleh efek langsung suatu zat atau sebagai perilaku ata pengalaman yang diterima secara kultural. e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain (Kaplan, 2010). 3. Hipokondriasis Hipokondriasis disebabkan dari interpretasi pasien yang tidak realistik dan tidak akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, yang menyebabkan preokupasi dan ketakutan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, walaupun tidak ditemukan penyebab medis yang diketahui. Preokupasi pasien menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi di dalam peranan personal, sosial, dan pekerjaan. Prevalensi enam bulan sebesar 4 sampai 6 persen pada populasi klinik medis umum (Kaplan, 2010). Ada beberapa etiologi yang mendasari munculnya hipokondriasis : a. Orang hipokondriakal meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya, memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap gangguan fisik. b. Model belajar sosial yang menyatakan gejala hipokondriasis sebagai keinginan untuk mendapatkan peranan sakit oleh seseorang yang menghadapi masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan. c. Gangguan hipokondriasis adalah bentuk dari gangguan mental lain, berhubungan dengan gangguan depresif dan gangguan kecemasan.

d. Psikodinamika yang menyatakan bahwa harapan agresif dan permusuhan terhadap orang lain dipindahkan (melalui represi dan pengalihan) kepada keluhan fisik (Kaplan, 2010). Menurut PPDGJ III terdapat dua diagonis pasti dari gangguan hipokondrik, yaitu : a. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulangulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham); b. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya (Depkes, 1993). Sedangkan menurut DSM-IV, kriteria diagnostik untuk hipokondriasis : a. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa dia menderita suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. b. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penenteraman. c. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran yang terbatas tentang penampilan. d. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. e. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan. f. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresi berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain (Kaplan, 2010). 4. Gangguan Dismorfik Tubuh Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu preokupasi dengan suatu cacat tubuh yang dikhayalkan (sebagai contoh tidak memiliki hidung) atau suatu penonjolan distorsi dari cacat yang minimal atau kecil. Disebut sebagai gangguan mental jika

gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien atau disertai dengan gangguan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan pekerjaan pasien. Penyebab gangguan dismorfik tubuh tidak diketahui. Komorbiditas yang tinggi dengan dengan gangguan depresif, riwayat keluarga adanya gangguan mood dan gangguan obsesif-kompulsif yang lebih tinggi daripada yang diharapkan, dan responsivitas gangguan yang dilaporkan terhadap obat spesifik serotonin menyatakan bahwa patofisiologi gangguan mungkin berhubungan dengan serotonin dan mungkin berhubungan dengan gangguan mental lain (Kaplan, 2010). Kriteria diagnostik untuk gangguan dismorfik tubuh meliputi : a. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut berlebihan yang nyata. b. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. c. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa. (Kaplan, 2010). 5. Gangguan Nyeri Gejala utama gangguan nyeri adalah adanya nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi medis atau neurologis nonpsikiatrik. Gejala nyeri disertai oleh penderitaan emosional dan gangguan fungsional, dan gangguan memiliki hubungan yang masuk akal dengan faktor psikologis (Kaplan, 2010). Ada beberapa etiologi yang menyebabkan munculya gangguan nyeri : a. Faktor psikodinamika Gangguan nyeri merupakan ekspresi simbolik dari konflik intrapsikis melalui tubuh. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, suatu hukuman karena kesalahan dan cara untuk menebus kesalahan dan bertobat akan keburukan. b. Faktor perilaku Perilaku sakit didorong jika disenangi dan dihambat jika dihambat atau diabaikan.

c. Faktor interpersonal Nyeri yang sukar disembuhkan dipandang sebagai cara untuk memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal. d. Faktor biologis Karena gangguan pada struktural sensorik dan limbik atau kelainan kimiawi yang mempredisposisikan mengapa mengalami nyeri (Kaplan, 2010). Kriteria diagnostik untuk gangguan nyeri meliputi : a. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis. b. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi lain. c. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. d. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat. e. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia (Kaplan, 2010). 6. Gangguan Somatoform Lainnya Pedoman diagnostik untuk gangguan somatorm lainnya meliputi : a. Keluhan tidak melalui sistem saraf otonom dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. b. Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan (PPDGJ III, 2001). Menurut DSM-IV ada beberapa kriteria diagnostik untuk gangguan somatoform yang tidak digolongkan : a. Satu atau lebih keluhan fisik (kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal, atau saluran kemih). b. Salah satu (1) atau (2) (1) Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat.

(2) Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. c. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. d. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan e. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain f. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (Kaplan, 2010). 7. Gangguan Somatoform yang Tidak Ditentukan Kategori ini termasuk gangguan dengan gejala somatoform yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan somatoform spesifik, contohnya : a. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut, penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin, dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan. b. Suatu gangguan yang melibatkan gejala hipokondriakal nonpsikiatrik dengan lama kurang dari enam bulan. c. Suatu gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (kelelahan, atau kelemahan tubuh) dengan lama kurang dari enam bulan yang tidak karena gangguan mental lain (Kaplan, 2010). 8. Faktor Psikologik yang Mempengaruhi Kondisi Medis(Gangguan

psikosomatik) Gangguan yang digambarkan sebagai satu atau lebih faktor psikologis atau masalah perilaku yang secara jelas memperburuk perjalanan atau hasil kondisi medis umum atau meningkatkan resiko seseorang mengalami hasil yang lebih buruk (Noorhana, 2010). a. Etiologi Hampir semua setuju bahwa stress berat dan kronis mempunyai peran penyebab timbulnya penyakit somatis, namun beberapa peneliti meragukan validitas konsep psyco-somatic medicine. Masih merupakan psiko-kontroversial, beberapa faktor

seperti, karakter stress, faktor fisiologis, kepekaan genetik dan organ seseorang serta faktor konflik emosiolan menyebabkan terjadinya suatu penyakit. b. Gangguan Spesifik Gangguan spesifik yang terjadi pada gangguan psikosomatik antara lain : 1) Sistem Gastrointestinal :Gastroeusophageal reflux disease, Ulkus Peptikum, Kolitis Ulserativa, Crohns disease 2) Sistem Kardiovaskuler: Penyakit Jantung Koroner, Valvular heart disease and, anxiety disorders, Coronary artery bypass graft surgery, Hipertensi, Vasovagal syncope, Cardiovascular presentations of psychiatric disorders 3) Sistem Pernafasan: Asma Bronkhial, Sindroma Hiperventilasi 4) Sistem Endokrin: Hipertiroidisme, Hipotiroidisme, Diabetes mellitus, Gangguan Adrenal, Hiperkortisolisme, Hiperprolaktinemia 5) Gangguan Kulit: Dermatitis Atopik, Psoriasis, Ekskoriasi Psikogenik, Localized pruritus, Hiperhidrosis 6) Sistem Muskuloskeletal: Arthritis Reumatoid, Systemic Lupus Erytematosus, Low back pain, Fibromialgia 7) Nyeri Kepala: Migren, Tension headaches 8) Psiko-onkologi c. Diagnosis dan Kriteria Diagnostik Diagnosis ditegakkan bila : 1) Didapatkan kondisi medis umum, yang dicantumkan pada aksis III, diagnosis Multi Aksial 2) Terdapat faktor psikologis yang secara bermakna dan tidak menyenangkan, mempengaruhi kondisi medis umum dalam hal : Mempengaruhi perjalanan penyakit Menghambat atau mengganggu pengobatan Menimbulkan tambahan risiko kesehatan

Respon fisiologis akibat stress mencetuskan atau mengeksaserbasi simtom dari kondisi medis umumnya (Noorhana, 2010).

C. Teori Kepibadian dan Gangguan Kepribadian Kepribadian menurut Kusumanto Setyonegoro adalah expresi keluar dari pengetahuan dan perasaan yang dialami secara subyektif oleh seseorang. Definisi lain mengemukakan kepribadian adalah pola perilaku yang khas bagi seseorang yang menyebabkan orang itu dapat dikenal dari pola perilakunya itu. Atau kepribadian menunjuk pada keseluruhan pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang sering digunakan oleh seseorang dalam usaha adaptasi yang terus-menerus dalam hidupnya. Teori-teori kepribadian: a. Teori psikoanalisis Sigmud Freud, suatu kepribadian dibagi menjadi 3: Id ialah tempat dorongan naluri (instinct), bersifat biologis, dan berada di bawah pengawasan primer. Id bekerja sesuai dengan prinsip kesenangan tanpa mempedulikan kenyataan. Ego adalah dorongan-dorongan yang harus segera dipuaskan. Ego bekerja sesuai dengan prinsip kenyataan dan memiliki mekanisme pembelaan. Superego adalah suatu usaha untuk menghalangi atau menolak ego dan berkaitan dengan aspek normal. b. Teori kultural dan psikoanalisis antarpribadi Psikologi individual Alfred Adler Dua konsep Alfred Adler (1875 - 1961) mendasari ajarannya, yaitu: hubungan antara individu dan lingkungan sosialnya serta sangkut-paut antara badan dan jiwa Karen Horney Individu dipandangnya secara holistik, sebagai satu kesatuan bagian-jiwa di dalam kerangka sosial. Kesatuan ini dan lingkungan sosialnya terusmenerus dan saling mempengaruhi Erich Fromm Semua teori Fromm mencerminkan orientasi ilmu sosial dan peranan masyarakat dalam gangguan jiwa c. Teori psikologi Abraham H. Maslow Teorinya mengenai motivasi manusia menganggap bahwa motivasi dipengaruhi oleh kebutuhan yang bekerja menurut suatu hirarki prioritas atau potensi.

Hirarki kebutuhan ini terletak dalam suatu kontinum, yaitu a. Kebutuhan fisiologik (minuman, makanan, tidur, dan sebagainya); b. Kebutuhan akan keamanan; c. Kebutuhan kemasyarakatan (disayangi, menyayangi, diterima); d. Kebutuhan akan harga diri (dihormati, dijunjung tinggi); dan e. Kebutuhan akan aktualisasi diri (puas dalam usahanya, menemukan pribadinya dalam pekerjaannya, menikmati keindahan)

1. Tipe-Tipe Gangguan Kepribadian: a. Perspektif psikodinamik Bagi Kohut, kegagalan untuk merubah narsisisme masa kanak-kanak dengan penilaian yang lebih realistis tentang self dan orang lain mendasari perkembangan kepribadian narsisistik Bagi Kernberg, kegagalan di awal masa kanak-kanak untuk membangun sense of self yang kohesif mengacu pada perkembangan kepribadian ambang. Bagi Mahler, kegagalan menguasai tantangan perkembangan dari pemisahan-individuasi di awal kehidupan mendasari perkembangan kepribadian ambang. b. Perspektif belajar Ciri perilaku gangguan kepribadian berhubungan dengan pengalaman belajar di masa kanak-kanak, termasuk belajar observasional dari perilaku menyimpang atau agresif. Kurangnya kesempatan pada masa kanak-kanak untuk mempelajari perilaku eksploratif atau mandiri menuntun pada trait kepribadian dependen. Disiplin dan kontrol orang tua yang berlebihan menuntun pada trait kepribadian obsesif-kompulsif. Perhatian dan reinforcement yang tidak konsisten untuk perilaku mendapatkan perhatian dapat menghasilkan trait kepribadian histrionik.

Kurangnya reinforcer yang dapat diramalkan dan konsisten untuk perilaku yang diterima secara sosial mengacu pada trait kepribadian antisosial.

c. Perspektif keluarga Untuk gangguan kepribadian antisosial, penolakan atau pengabaian orang tua mengacu pada kegagalan Dalam menginternalisasi nilai-nilai orang tua dan kegagalan untuk mengembangkan empati. Overproteksi dan otoritarianisme orang tua menuntun pada trait kepribadian dependen d. Perspektif sosio-kultural Ketidakberuntungan sosial atau ekonomi dan pemaparan terhadap model yang menyimpang menuntun pada kegagalan untuk mengembangkan perilaku yang beradab. Penganiayaan fisik atau seksual dapat mendasari perkembangan trait kepribadian ambang e. Perspektif biologis Kemungkinan adanya pengaruh genetis terhadap trait kepribadian yang mendasari gangguan kepribadian. Kemungkinan adanya komponen keturunan pada gangguan kepribadian antisosial. Untuk gangguan kepribadian antisosial, mungkin terdapat kurangnya respon emosional dalam situasi yang mengancam. Untuk gangguan kepribadian antisosial, mungkin perlu tingkat stimulasi yang lebih tinggi untuk menjaga tingkat keterangsangan yang optimum. Untuk gangguan kepribadian antisosial. Mengurangi aktivitas dalam pusat otak mengendalikan tingkah laku impulsif.

2. Tipe gangguan kepribadian berdasar tanda-tanda perilaku: a. Gangguan Kepribadian yang ditandai oleh perilaku aneh atau eksentrik Gangguan kepribadian paranoid: Kecurigaan yang menetapakan motif orang lain namun tanpa kehadiran delusi paranoid

Gangguan kepribadian schizoid: Menjaga jarak sosial dan emosi yang dangkal atau tumpul. Gangguan kepribadian skizotipal: Kesulitan yang terus-menerus dalam membentuk hubungan sosial yang erat dan keyakinan serta perilaku yang ganjil atau aneh tanpa ciri psikotik yang jelas

b. Gangguan Kepribadian yang ditandai oleh perilaku dramatis, emosional atau eratik Gangguan kepribadian antisosial Perilaku antisosial yang kronis, perlakuan kejam pada orang lain, tingkah laku tidak bertanggungjawab, dan kurang penyesalan atas kesalahan yang dibuat. Kepribadian ambang Mood yang kacau dan hubungan yang berantakan dengan orang lain, self-image yang tidak stabil, dan kurangnya kontrol impuls Kepribadian histrionic Perilaku dramatis dan emosional yang berlebihan; tuntutan untuk menjadi pusat perhatian; kebutuhan yang berlebihan untuk terus-menerus mendapatkan dukungan, pujian, dan persetujuan Gangguan kepribadian narsistik Sense of self yang berlebihan (grandiosa), kebutuhan ekstrem untuk pemujaan c. Gangguan kepribadian yang ditandai oleh perilaku cemas dan ketakutan Gangguan kepribadian menghindar Pola menghindari hubungan sosial yang kronis karena takut akan penolakan Gangguan kepribadian dependen Ketergantungan yang berlebihan pada orang lain dan kesulitan membuat keputusan mandiri Gangguan kepribadian obsesif kompulsif

Kebutuhan yang berlebihan akan keteraturan dan kesempurnaan, perhatian yang berlebihan, cara yang kaku dalam berhubungan dengan orang lain (Videbeck, 2008)

D. CLP (Consultation Liaison Psychiatry) 1. Definisi Definisi CLP berkembang sejalan dengan berkembangnya CLP itu sendiri. Wibisono, berdasarkan modifikasi pendapat Pasnau dan Lipowski kemudian mendefinisikan CLP sebagai Subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mendalami aspek psikiatrik dari kondisi medik lain, baik dalam evaluasi, diagnosis, terapi, prevensi, riset maupun pendidikan. Prinsipnya adalah kerjasama/kolaborasi dengan bidang medik terkait, menuju kepentingan bersama. Tujuan utamanya adalah manfaat optimal bagi pasien. CLP merupakan perkembangan lanjut psikiatri dalam hubungan dengan bidang kedokteran umum / bidang terkait lain, menjembatani ilmu kedokteran medik dengan aspek psikososial / behavioral, dan mengacu pada tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup yang baik (bukan sekedar sembuh dari gejala/penyakit) (Wibisono, 2001). 2. Konsep Manajemen Kerja CLP Konsep dasar manajemen kerja CLP tidak berbeda dengan manajemen umum, sebaliknya lebih meningkatkan kualitas dan spesifisitasnya upaya pelayanan kesehatan dengan tujuan pokok meningkatkan kualitas hidup pasien sehubungan dengan kondisi sebelumnya dengan cara holistic yang sebenarnya. Langkah tersebut dapat diuraikan dengan kegiatan sebagai berikut : a. Pencegahan primer, sekunder, dan tersier Dengan menggunakan model Caplan dari pencegahan yaitu dengan mengantisipasi dan mencegah berkembangnya gejala psikiatri atau psikologi (pencegahan primer), dengan mengobati gejala saat ditemukan (pencegahan sekunder), dan dengan mencegah kekambuhan gejala (pencegahan tersier), CLP meningkatkan kualitas perawatan psikiatri dan kedokteran saat prinsip liaison diterapkan (Kornfeld, 1964). Pencegahan primer berusaha untuk mencegah gejala psikiatri sebelum terjadi melalui tindakan dini. Sebagai contoh dari pencegahan

primer adalah mengatur wawancara psikiatri pada semua pasien sebelum pembedahan jantung. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya delirium. Pada pencegahan sekunder, dokter menggunakan strategi untuk berusaha mengurangi faktor biologis, psikologis, dan sosial yang mencetuskan penyakit; berusaha untuk menekan penyakit; dan menangani gejala akut seperti kecemasan, depresi, dan sifat karakter yang berlebihan yang dapat memperburuk stress dan menghalangi pemulihan. Seperti pernyataan Hackett dan Cassem (1979), psikiatri konsultasi yang utama adalah usaha pencegahan sekunder. Pada pencegahan tersier, psikiatri liaison berusaha keras untuk menghalangi kekambuhan psikologis yang dapat mengikuti suatu episode akut (sebagai contoh, konflik psikologis yang menghasilkan gangguan mood, kecemasan, dan penghambatan dan fobia tentang kembali bekerja atau melakukan aktivitas seksual meskipun secara psikologis mampu

melakukannya). Tindakan tersier psikiatri membantu pasien beradaptasi dengan keterbatasan psikologis mereka, sehingga mengurangi kemungkinan kekambuhan penyakit. Mencegah kekambuhan penyakit sering

membutuhkan keahlian follow-up pasien rawat jalan setelah pulang dari RS untuk efektivitas yang maksimal b. Deteksi dan Diagnosis. Deteksi kasus dalam pelayanan kesehatan adalah keahlian yang dimiliki oleh psikiater liaison yang akan sering menjadi keahlian dari psikiater konsultan, yang akan dihubungi oleh rekan sejawat. Psikiater konsultan secara khusus mempunyai kesulitan dalam mendeteksi gangguan psikososial dan dapat menjadi resisten terhadap tindakan psikiatri. Pada kenyataannya, karena psikiatri konsultasi harus tergantung pada rujukan dari rekan yang motivasinya rendah dan informasinya kurang, akhirnya menjadi tindakan pencegahan sekunder. Psikiater liaison mendidik rekan di masa mendatang untuk mendapatkan dan menganalisa data, yang meningkatkan kewaspadaan, deteksi, diagnosis, dan/atau rujukan morbiditas psikiatri, kontras dengan

psikiater konsultan, yang menunggu rekan untuk mencarinya. Gangguan mental yang diakibatkan oleh penyakit medis dan gangguan mental yang disebabkan penggunaan zat adalah contoh model dari gangguan

psikofisiologis yang sering muncul, tetapi sering tidak terditeksi, pada pelayanan medis atau bedah. Jika rekan berpotensi yang berkonsultasi tidak peduli terhadap gangguan fungsi dari pasiennya, mengapa mereka meminta konsultasi? Strategi dan rencana untuk deteksi kasus dan merujuk penting dalam pelayanan medis-bedah dan menjadi dasar dari liaison psikiatri : tindakan penyaringan diagnosis untuk gangguan fungsi kognitif, depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan obat untuk saat ini telah tersedia jika struktur diubah dari model konsultasi ke pada sesuatu yang menggabungkan metodologi rujukan (Archinard, 2005) c. Penilaian dari Penyedia Layanan Kesehatan Model kerjasama dari liaision psikiatri menggabungkan preposisi bahwa tanggung jawab untuk perawatan psikiatri dari penyakit medis tidak dapat dilimpahkan secara tunggal kepada psikiater. Tanggung jawab menjadi milik bersama dari gabungan para dokter, perawat, dan pekerja sosial, anggota keluarga yang penting, dan lainnya yang memberikan pengaruh psikoligis di bangsal. Fungsi penting dari CLP adalah untuk menilai tingkat stress yang disebabkan pasien terhadap penyedia layanan medis dan anggota keluarga, dan kemampuan dari staff RS dan anggota keluarga untuk beradaptasi terhadapa pasien dan penyakitnya (dan melakukan tindakan terhadap perawatan psikologis), dan di atas semuanya itu, kemampuan dari staff dan keluarga untuk melakukan perawatan psikiatris atau psikologis (Lipsitt, 2001). d. Memberikan Kewenangan pada Staf Nonpsikiatri Boutin (2003) menjelaskan beberapa kewenangan dari pengetahuan dan keahlian kesehatan yang digunakan sebagai skema untuk mengajar dan mengambil keputusan. Ini mengijinkan pendidik dan penilai untuk menetapkan tujuan bagi program pelatihan mereka atau untuk disiplin

khusus: psikiatri, perawatan primer, psikologi, pekerja sosial, perawat klinik, konseling pastoral, rencana pemulangan, masalah hukum pasien, dan bahkan perawat kesehatan desa pada negara berkembang. e. Perubahan Struktural Dalam Pelayanan Kesehatan CLP berusaha untuk memberikan perubahan struktural pada departemen psikiatri dan departemen lainnya melalui RS (sebagai contoh, unit pengobatan psikiatri, klinik nyeri, dan unit penilaian postpartum) yang akan bertahan melalui tantangan yang diberikan. Kejelasan psikiatri sekarang menjadi standard untuk semua pasien over dosis sebelum mereka dipulangkan dari unit perawatan intensif. Langkah logis selanjutnya untuk membuat kejelasan psikiatri diharuskan untuk semua pasien dengan risiko tinggi dan penyulit, seperti pasien dengan rencana pembedahan jantung terbuka, yang menunjukkan masalah diagnosis, yang masih ragu-ragu menjalani pembedahan, dan pasien yang berulangkali mendapat perawatan medis yang tampak mengalami pengabaian atau penyiksaan. Penilaian psikiatri dari pasien ini dan kelompok lain yang telah diidentifikasi harus dihargai sebagai bagian dari penilaian dan penanganan CLP dalam rumah sakit pendidikan modern (Aladjem, 2005). 3. Pendekatan dalam Konsultasi a. Model Pemeriksaan. Banyak perdebatan tentang cara terbaik untuk melakukan pemeriksaan psikiatri pada pasien medis atau bedah. Sudah jelas bahwa teknik psikoanalitik, seperti asosiasi bebas yang panjang dan sunyi, jarang yang sesuai dengan pasien CLP. Sebagian besar pasien tidak berpengalaman dengan psikiatri atau psikoterapi, banyak masalah psikologis dalam konteks pengalaman pasien dan biasanya tidak membutuhkan konsulan psikiatri, dan beberapa mempunyai gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi pendekatan ini. Di sisi lain, menjaga secara mutlak kerahasian dokter-pasien tidak mungkin untuk konsultasi psikiatri karena dokter utama pasien mengaharapkan jawaban terhadap konsultasinya. Proses ini harus dijelaskan kepada pasien (contoh, saya akan memberikan kesimpulan dari penemuan

saya dan merekomendasikannya kepada dokter anda). Jika pasien ingin mengatakan kepada konsultan suatu rahasia, konsultan harus menjelaskan akan membagikan rahasia itu dengan dokter yang merawat pasien sehingga dapat meningkatkan pemahaman dokter tersebut terhadap sudut pandang pasien dan memberikan hasil yang aktual terhadap perbaikan perawatan pasien (Kunkel dan Thompson, 1996). Variasi pertanyaan dengan pertanyaan terbuka dan tertutup berguna untuk mendapatkan data khusus yang dibutuhkan untuk riwayat dan pemeriksaan status mental; data ini kemudian memberikan dasar untuk pengembangan diagnosis dan rencana terapi. Formulasi psikodinamik dibuat dari data yang didapatkan dalam hal ini sering sangat berguna dalam mengerti masalah pasien. Formulasi ini harus diubah kedalam diskripsi yang bebas dari istilah dalam penulisan konsultasi dan diskusi dengan dokter dan tenaga medis yang berkonsultasi. Ini sering membantu untuk meningkatkan pemahaman tim terhadap pasien (Kunkel dan Thompson, 1996). b. Alat Bantu Keterampilan. Konsultan psikiatri menggunakan informasi dari yang didapatkan dari pengetahuannya, catatan rumah sakit dan riwayat dahulu, tenaga medis dan bedah, pemeriksaan pasien dan keluarganya, sumber referensi yang beragam. Catatan awal konsultasi menyimpulkan hasil pemeriksaan dari pasien dan peninjauan dari rekam medis. Mahasiswa kedokteran dan residen sering mendapatkan bahwa belajar CLP lebih mudah jika diawali dengan penggunaan format penilaian standard. Pemeriksaan bed-side dapat meliputi menggambar jam atau bentuk lain, Mini-Mental State Exam, Taylor Equivalent Drawing, peralatan neuropsikologis. Biologis, psikoterapi, psikososial, dan intervensi sistem, semuanya digunakan dalam praktek CLP (Kunkel dan Thompson, 1996). c. Proses Konsultasi. Proses dari kegiatan CLP sering paralel denga proses yang dilakukan selama perjalanan psikoterapi. Informasi dan pola dari reaksi langsung selama kunjungan follow-up dan pandangan baru yang berkembang yang

sering tidak ditemukan pada kunjungan awal. Ini merupakan salah satu alasan bahwa kunjungan follow-up diperintahkan pada semua konsultasi psikiatri yang baik (Kunkel dan Thompson, 1996). CLP dapat membutuhkan banyak waktu sebelum konsultan diterima dan dapat beradaptasi dengan praktisi dari tim medis (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998). Institusi harus mengikuti Recommended Guidelines for ConsultationLiaison Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs untuk pelayanan dan tenaga CLP. Dalam semua pelayanan medis, harus tersedia staff yang ahli untuk memberikan konsultasi psikiatri 24 jam/hari, sepanjang tahun. Dalam pelayanan di mana residen psikiatri memberikan konsultasi, staff fakultas harus dapat memberikan bimbingan 24 jam/hari (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998). Konsultasi psikiatri harus dilakukan oleh psikiater dengan keahlian dalam pelayanan medis dan terpercaya dan legal di dalam institusi di mana konsultasi dilakukan. Terapi dapat didelegasikan kepada profesi kesehatan mental lainnya dibawah pengawasan langsung dari psikiater konsulan. Konsultasi psikiatri meliputi awal konsultasi dan pemeriksaan follow-up (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998). Jika pasien dalam pengobatan psikiatri membutuhkan pengobatan dari bagian lain, untuk menjamin kelangsungan perawatan medis bila memungkinkan diberikan dalam suatu fasilitas yang sama. Dalam pelayanan yang ideal, lokasi antara perawatan medis dan psikiatri manjadi satu (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998). Pada pasien yang dirawat bersama, permintaan pemeriksaan atau test laboratorium dan pengobatan oleh dokter ahli yang merawat harus memastikan tidak terjadi kontra indikasi. Tidak diperkenankan adanya konflik. Sebagian besar psikiater CLP yakin bahwa hal ini menjadi suatu

masalah (Kunkel dan Thompson, 1996). Konsultan psikiatri harus mengikuti perjalanan pasien secara menyeluruh sampai meninggalkan rumah sakit. Pertama, penting untuk sign-of pada pasien dalam kaitannya dengan masalah transferen atau kontratransferen dan reaksi positif atau negatif untuk penyembuhan permanen dari gejala yang ada. Kedua, pasien yang mempunyai tanda dan gejala psikiatri mempunyai risiko untuk kekambuhan. Akhirnya, follow-up berkelanjutan membantu untuk mempertahankan kepercayaan tim medis atau bedah dan memperkuat bahwa CLP selalu tersedia dan siap membantu dalam situasi klinis apapun (Kunkel dan Thompson, 1996). E. Terapi Gangguan Jiwa Saat seseorang mengalami gangguan ataupun penyakit, bukan hanya jiwanya atau badannya yang terganggu tetapi seluruh bagian orang tersebutlah yang menderita dan membutuhkan pengobatan dan pertolongan. Dalam ilmu kedokteran, secara umum pengobatan dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu (Maramis, 2009) : 1. Somatoterapi 2. Psikoterapi 3. Manipulasi lingkungan dan sosioterapi Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-PsikoSosial-spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan

penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif. Pengobatan dalam dunia kedokteran bertujuan untuk

menghilangkan/mengurangi penderitaan pasien/masyarakat dan bila mungkin mengembalikannya ke kondisi normal/sehat. Maka dari itu, setiap pengobatan yang dilakukan oleh dokter hendaknya tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan yang dibuktikan dari meningkatnya kualitas hidup pasien.

Berdasarkan 7 area kompetensi dokter, seorang dokter dituntut dapat melakukan manajemen atau mengelola permasalahan pada pasien (KKI, 2006). Tentunya dalam pengelolaan pasien diperlukan strategi dalam melakukan terapi / pengobatan. Berikut ini merupakan salah satu tahapan strategi terapi kedokteran (Haley,1973 ): 1. Identifikasi masalah yang bisa diselesaikan 2. Membuat tujuan ( goal ) 3. Mendesain intervensi/metode pendekatan dalam pencapaian tujuan ( goal ) 4. Pemantauan respon pasien dan koreksi metode pendekatan 5. Evaluasi keefektifan terapi terhadap tujuan ( goal )

1. Somatoterapi Somatoterapi adalah terapi yang sasaran utamanya adalah tubuh manusia. Somatoterapi secara umum dibagi menjadi farmakoterapi, pembedahan, dan fisioterapi. Dalam ilmu kedokteran jiwa, somatoterapi terdiri dari medikasi psikotropik, terapi elektrokonvulsi, terapi konvulsi

kardiazol, terapi koma insulin, dan lekotomi frontal. a. Medikasi psikotropik Dalam proses pemberian medikasi psikotropik ada beberapa hal yang wajib kita perhatikan, yaitu sesuai dengan situasi dan kondisi (tailored), penyesuaian secara bertahap (stepwise), pemantauan terus menerus (monitoring), dan terencana dan terprogram (rational management). Berikut ini penjelasan singkat mengenai berbagai macam jenis obat-obatan yang digunakan pada medikasi psikotropik (Rusdi, 2001). 1) Antipsikotik Antipsikostik merupakan obat yang memiliki efek

antipsikotik atau antiskizofrenia, Chlorpromazine merupakan

obat acuan dalam golongan ini.Contoh obat-obatan yang lainnya sepertihaloperidol, pimozide, sulpiride, clozapine, dan risperidon. 2) Antidepresan Merupakan jenis-jenis Obat-obatan yang memiliki efek meredakan depresi.Amitriptyline merupakan obat acuan dalam golongan ini.Contoh obat-obatan yang lainnya seperti

Maprotiline, Moclobemide, Sertraline, dan Trazodone. 3) Mood stabilizer Merupakan jenis obat-obatan yang memiliki efek

mengobati gangguan bipolar. Pada gangguan ini didapatkan mood yang berayun antara dua kutub, mania dan depresi, sehingga dibutuhkan obat yang mampu meredam ayunan mood tersebut agar fluktuasinya berada dalam batas normal. Obat acuan dalam golongan ini adalah Lithium Carbonate. Contoh obat golongan ini adalah Valproat, Carbamazepine, dan Haloperidol. 4) Antianxietas Merupakan obat-obatan yang memiliki efek meredam kecemasan / anxietas. Diazepam / Chlordiazepoxide

merupakan obat acuan dalam golongan ini. Adapun contoh yang lainnya adalah Oxazolam, Clobazam, dan buspirone. b. Terapi elektrokonvulsi (TEK) Bagaimana sebenarnya TEK dapat menyembuhkan

penderita gangguan jiwa belum diketahui secara pasti. Berbagai teori dikemukakan, ada yang berorientasi organik dan ada juga yang berorientasi psikologis. TEK aalah alat yang mengeluarkan

aliran listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus.TEK mula-mula digunakan untuk skizofrenia, sampai sekarang hasil yang paling baik didapatkan untuk depresi terutama fase depresi psikosis manik-depresif. c. Terapi konvulsi kardiazol Terapi ini menggunakan larutan kardiazol 10% disuntikkan intravena dengan cepat sehingga timbul konvulsi. Fase tonik terjadi sangat keras. Jadi apabila tidak terjadi konvulsi, maka pasien masih ingat perasaannya yang sangat tidak menyenangkan. Sekarang terapi konvulsi kardiazol sudah tidak dipakai lagi, digantikan dengan TEK. d. Terapi koma insulin Pasien diinjeksikan insulin disuntik intramuskuler hingga koma hipoglikemik, lalu dibangunkan dengan suntikan glukosa intravena. Indikasi utama penggunaan ini adalah skizofrenia. Karena biaya yang mahal dan banyak kontraindikasinya, maka sekarang sudah tidak digunakan lagi. e. Leukotomi frontal Serat-serat subkortikal dari thalamus ke lobus frontalis dipotong dengan sebuah pisau leukotom melalui lubang trepanasi pada tengkorak biasanya kiri dan kanan. Leukotomi merupakan bedah jiwa atau psychosurgery dan dibutuhkan indikasi yang kuat seperti skizofrenia, neurosis obsesif-kompulsif berat dan dapat juga menolong para penderita dengan nyeri degil (intractable pain)

2. Psikoterapi Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif. Adapaun jenis psikoterapi dapat digolongkan menjadi (Maramis, 2009) : 1. Psikoterapi supportif 2. Psikoterapi re-edukatif 3. Psikoterapi rekonstruktif 4. Terapi keluarga / terapi kelompok 5. Terapi perilaku 3. Sosioterapi Prinsip utama dalam sosioterapi adalah berdasarkan pada ilmu kedokteran jiwa masyarakat agar menciptakan therapeutic community. Setiap individu yang mengalami gangguan jiwa pernah mengalami krisis. Berikut ini merupakan faktor-fator yang mempengaruhi individu untuk menyelesaikan krisisnya, yaitu (Maramis, 2009) : 1. Faktor individual Faktor individual adalah hubungan secara simbolis antara keadaan sekarang dengan keadaan krisis di masa lalu dan bagaimana individu menerima keadaan sekarang sebagai stres dan krisis. 2. Faktor sosiobudaya Pengaruh-pengaruh ini bekerja melalui introyeksi norma dan tradisi,serta orang lain maupun organisasi lingkungan masyarakat

3. Faktor keluarga Keluarga atau anggota lain dari kelompoknya akan menolong individu dalam krisis untuk mendapatkan jalan keluar sesuai adatistiadat, kebudayaan dan pengalaman keluarga itu. 4. Pengaruh Orang Lain Orang lain yang bisa mempengaruhi seseorang dalam

menyelesaikan krisisnya adalah tipe-tipe orang yang terkemuka, dekat ataupun memiliki tokoh otoritas terhadap seseorang.

BAB III PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus pada skenario 2, Taufik, dokter muda berusia 21 tahun, bertemu dengan seorang pasien yang mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh selama dua tahun terakhir. Pasien sering merasa khawatir menderita penyakit yang mematikan seperti stroke atau tumor otak. Pasien sudah sering berobat ke beberapa dokter umum dan spesialis, tetapi belum juga sembuh. Dari hasil pemeriksaan laboratorim dan CT-Scan kepala tidak didapatkan kelainan. Walaupun hasilnya normal, kekhawatiran pasien terhadap penyebab sakitnya adalah penyakit yang mematikan belum juga hilang. Pasien beberapa kali opname di rumah sakit karena sakit kepala yang berat secara tiba-tiba dan tekanan darahnya pernah mencapai 150/90 Hg. Dari hasil alloanamnesis terhadap keluarga pasien didapatkan informasi bahwa perdagangan pasien sedang lesu karena ada pesaing baru. Pasien mengeluh sakit kepala yang tidak kunjung sembuh selama dua tahun terakhir sementara hasil pemeriksaan baik fisik, laboratorium dan CT-Scan kepala tidak terdapat kelainan, hal ini menunjukkan pasien mengalami gangguan somatoform. Pada gangguan somatoform pasien mengeluh adanya gangguan fisik namun tidak ditemukan bukti yang adekuat untuk menjelaskan gangguan tersebut. Menurut Kaplan ( 1. ) gangguan somatoform dibagi menjadi lima, antara lain:

Gangguan somatisasi yang ditandai dengan banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.

2. 3.

Gangguan konversi, ditandai dengan satu atau dua keluhan neurologis. Hipokondriasis, ditandai dengan lebih sedikit fokus gejala daripada keyakinan pasien bahwa mereka memiliki suatu penyakit spesifik.

4.

Gangguan dismorfik tubuh, ditandai dengan keyakinan yang salah atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuhnya cacat.

5.

Gangguan nyeri, ditandai dengan gejala nyeri yang hanya disebabkan atau secara signifikan diperberat faktor psikologis. Pada kasus ini keluhan pasien mengarah ke gangguan hipokondriasis, dimana pasien mengalami ketakutan menderita dan meyakini memiliki penyakit serius yang

mematikan sperti stroke atau tumor otak, meskipun hasil pemeriksaan tidak menunjukkan adanya bukti mengenai keluhan tersebut. Penegakan diagnosis mengenai hipokondriasis berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, yaitu: a. Terdapat preokupasi akan rasa takut memiliki, atau ide memiliki penyakit serius berdasarkan misinterpretasi pasien mengenai gejala tubuhnya. b. Preokupasi tersebut bertahan tanpa menghiraukan hasil evaluasi medis yang menyatakan tidak terdapat gangguan pada hasil pemeriksaan, meskipun telah dilakukan pengyakinan oleh klinisi. c. Keyakinan akan penyakit tertentu pasien tidak melibatkan waham (seperti gangguan waham, tipe somatik) dan tidak tidak disertai gangguan dismorfik tubuh. d. Keluhan pasien telah terjadi selama dua tahun (lebih dari 6 bulan). e. Preokupasi tersebut tidak lebih baik dijelaskan sebagai akibat gangguan kecemasan generalisata, gangguan panik, episodedepresi berat, atau gangguan somatoform lainnya. Pasien dengan hipokondriasis akan meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya. Mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah terhadap gangguan fisik pada umumnya, dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut karena skema kognitif yang keliru. Pasien hipokondriasis umumnya akan melakukan doctor shopping, yaitu berpindah dari satu dokter ke dokter lain, baik dari dokter umum ke dokter spesialis, untuk menemukan dokter yang mengerti tentang kondisinya. Pada kasus ini pasien juga memiliki tekanan darah tinggi yang terjadi secara mendadak yaitu 150/90 mmHg. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV) kondisi pasien tersebut dapat dimasukkan dalam faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kecemasan dan stress dari kondisi psikis dapat mempengaruhi kondisi fisik pasien. Kecemasan dapat ditandai dengan perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran yang kemudian akan mengaktifkan sistem saraf pusat. Menurut Jersield (1965) terdapat dua tingakatan cemas, yang pertama kecemasan normal, dimana individu masih menyadari konflik-konflik dalam dirinya yang

menyebabkan dia cemas. Kedua, kecemasan neurotik, yaitu ketika individu tidak menyadari adanya konflik dan tidak mengetahui penyebab cemas sehingga kecemasan kemudian menjadi bentuk pertahanan diri. Pada kasus ini pasien memiliki masalah adanya pesaing baru yang menyebabkan usaha dagangnya lesu, namun pasien menyangkal adanya konflik psikis. Hal ini diperparah dengan kecemasan pasien yang berlebihan terhadap sakit kepalanya yang dianggap serius. Ini akan semakin memburuk jika tidak terdapat orang maupun dokter yang dapat mengerti kondisinya. Menurut Stren dalam Robertson (1997) rasa cemas yang mempengaruhi somatis (tubuh) dapat dimanifestasikan berupa keluhan muntah-muntah, diare, denyut jantung meningkat, sesak nafas dan dapat disertai tremor pada otot. Stres akan mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus yang menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Respons endokrin terhadap stres mengaktivasi hipotalamus untuk mengeluarkan CRF ke dalam sistem hypophysial-pituitary-portal yang kemudian merangsang pelepasan ACTH yang berpengaruh dalam pelepasan hormon kortisol di korteks adrenal. Kortisol menekan dan menurunkan sistem imun hormonal yang biasanya meningkat pada respon terhadap stres (Noorhana, 2010). Kortisol, epinefrin dan norepinefrin akan mengaktifkan sistem saraf simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Saraf simpatis juga dapat menyebabkan spasme otot yang kemudian menekan pembuluh darah. Hal ini yang kemudian dapat menyebabkan tekanan darah pasien meningkat. Penatalaksanaan pada kasus gangguan somatoform memiliki cara yang berbedabeda berdasarkan fase perkembangan gangguan pada individual tersebut. Terapi atau pengobatan merupakan seni yang setiap dokter memiliki sudut pandang, pertimbangan dan cara-cara yang berbeda-beda walaupun tujuan dari pengobatannya adalah sama. Dalam ilmu kedokteran, secara umum pengobatan kejiwaan dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu somatoterapi, psikoterapi dan manipulasi lingkungan dan sosioterapi (Maramis, 2009). Berdasarkan area kompetensi yang ditentukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan strategi terapi, dokter harus melakukan anamnesis secara mendalam terkait

gangguan psikiatri yang pernah dialami oleh pasien dan membuat diagnosis banding. Pada kasus ini masalah mendasar yang dialami pasien adalah rasa cemas dan stress yang menyebabkan gejala fisik. Pasien tidak mengalami waham atau gejala-gejala yang mengacu pada psikosis. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapeutik untuk pasien tersebut adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya. Somatoterapi pada pasien dapat diberikan berupa medikasi antianxietas untuk mengurangi kekhawatirannya. Antianxietas diberikan dalam jangka pendek untuk menghindari ketergantungan. Pasien juga diberikan obat simtomatis, keluhan pada kasus ini adalah nyeri kepala dan hipertensi. Obat yang diberikan dapat berupa analgesia (obat pereda nyeri) dan antihipertensi. Terapi selanjutnya adalah psikoterapi suportif. Pertama, tenangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium (reasurance). Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan sehari-hari namun dapat diobati setelah beberapa waktu (sugesti). Terapi cognitive-behavior terbukti efektif pada pasien dengan hipokondriasis. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri kepala, mengubah cara berfikir mengenai ide-ide penyebab nyeri dengan pola berfikir yang lebih realistis, memberikan teknik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Priharjo, 1993; Carpenito, 1998). Langkah terapi selanjutnya adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Libatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community.

Lakukan proses ratifikasi atau persetujuan dengan pasien. Buat kesepakatan manfaat apa saja yang akan didapatkan setelah melalui proses terapi. Pengelolaan pasien seyogyanya dilakukan dengan metode CLP. Lakukan evaluasi terhadap terapi yang dilakukan. Apabila kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan,

pertimbangkan untuk melakukan konsultasi atau rujukan ke dokter spesialis kejiwaan, menimbang keluhan pasien telah berlangsung selama dua tahun.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan 1. Pasien dokter taufik diduga mengalami gangguan somatoform tipe hipokondriasis. 2. Penatalaksanaan lanjut pasien tersebut terdiri dari penatalaksanaan psikoterapi dan terapi biologis 3. Terapi biologis yang diberikan kepada pasien tersebut adalah obat-obatan anti anxietas, antidepresan dan analgesia dengan memperhatikan interaksi antar obat tersebut.

B. Saran . 1. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakan diagnosis yang lebih pasti mengingat dari gejala-gejala yang dimiliki pasien juga masih dapat mengarahkan ke differential diagnosis yang lain. 2. Selain obat-obatan dan psikoterapi, dukungan keluarga juga sangat berpengaruh mempercepat kesembuhan pasien. Sehingga pasien harus selalu dipantau dan di support agar penyakit pasien tidak kambuh kebali. 3. Perlu dilakukan rujukan ke psikiater untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Aladjem AD, 2005, Consultation-Liaison Psychiatry in Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Archinard Marc, Dumont Patricia, De Tonnac Nicolas, : Guidelines and Evaluation : Improve the Quality of Consultation-Liaison Psychiatry. Psychosomatic 46:425430, 2005. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Psiko-Neuro-Endokrin. dalam Imunologi Dasar Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 247-65 Boutin-Foster C, Ferrando S.J, Charlson ME, 2003. The Cornell Psychiatric Screen : A Brief Psychiatric Scale Hospitalized Medical Patients, Psychosomatics; 44 : 382387. Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire : The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting. Psychosomatic 39: S8-S30, 1998. Carpenito.L.J. 1998. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis (ed. Indonesia). Ed. 6. Jakarta:EGCS Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan. Elisabeth J. Shakin Kunkel, dan Troy L. Thompson II, : The Process of Consultation and Organitization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service. Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996. Gunawan B, Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi. Cermin Dunia Kedokteran No 154 2007. Diunduh 27 Januari 2012http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=neuropsikiatri+CDK+154&source =web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.kalbe.co.id%2Ffiles %2Fcdk%2Ffiles%2F154_08_Stresimunitastubuh.pdf%2F154_08_Stresimunitastu buh.pdf&ei=1mUjTyiPJDIrQekkKS1CA&usg=AFQjCNF0f04htmKdu1lBLPUIcvrmit4h6w Guyton A.C, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Hackett T, Cassem N : The Massachusets General Hospital Handbook of Psychiatry. St Lois,MO, Mosby, 1979. Hadisukanto G. 2010. Buku Ajar Psikiatri : Gangguan Somatoform. Jakarta : FKUI.

Haley, J., 1973.strategic therapy Uncommon Therapy : psychiatric technique of Milton H. Erickson. George J. McLeod Limited, Toronto Hastuti LD, Taganing NM. 2007. Coping Stress on Maternal and Child Autism. Universitas Gunadarma. http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology /article/view/256/232 Jersild, A. T. 1965. The Psychology of Adolescences. New York: The Macmillan Company Kaplan S., Sadock B J., Grebb J A. 2010. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid Dua. Tangerang : Binarupa Aksara. Kornfeld Donald S, : Consultation-Liaison Psychiatry : Contributions to Medical Practice. American Journal of Psychiatry 159:1964-1972, 2002. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Pedoman Kompetensi Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia Lipsitt Don R, : Consultation Liaison Psychiatry and Psychosomatic Medicine : The Company They Keep. Psychosomatic Medicine 63:896-909, 2001. Liza. 2008. Otak Manusia, Neurotransmitter, dan Stress.http://adiwarsito.files.wordpress.com/2010/03/6224830-otak-manusianeurotransmiter-dan-stress-by-dr-liza-pasca-sarjana-stain-cirebon.pdf (27 Januari 2012) Maramis, W.F, 2009. Catatan ilmu kedokteran Jiwa ed.2, Surabaya : Airlangga University Press Maslim R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Noorhana S. W. 2010. Buku Ajar Psikiatri : Faktor Psikologik yang Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Jakarta : FKUI. Priharjo, R. 1993. Perawatan Nyeri, Pemenuhan Aktivitas Istirahat. Jakarta. Robertson MM.1997. Depression in neurological disorders in depression and physical illness. Ed Robertson MM, KatrinaCLE,jhon willeyand son Ltd: p.311-316. Rusdi, Maslim . 2001. Penggunaan klinis obat psikotropik edisi ke tiga. jakarta Setiawan, Debree. 2011. Biologi.http://aviramadhani.blogspot.com/2011/12/psikiatri-biologi.html Januari 2012) Videbeck, Sheila L. 2008 Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC Wibisono Sasanto, Prof, dr, DR, SpKJ, K. : Kuliah Consultation Liaison Psychiatry. FK UI, 2001.. Psikiatri (27

Anda mungkin juga menyukai