Anda di halaman 1dari 72

BAB I PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM

Tujuan Instruksional Umum / TIU Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan dan memahaminya. Sub Pokok Bahasan: A. Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Dalam Arti Sempit C. Pengertian Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia E. Sistematika Hukum Perdata Tujuan Instruksional Khusus / TIK Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelasakn dan menyebutkan pengertian: A. Hukum Perdata dan Hukum Publik B. Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Arti Sempit C. Hukum Perdata Materiil dan Formil D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia E. Sistematika Hukum Perdata

endahuluan : Pengantar tentang mata kuliah Perdata menjelaskan pengertianpengertian dan memberikan contoh-contoh. : lihat buku : Mahasiswa disuruh merangkum apa yang sudah dikuliahkan. : Bab I menjelaskan pengertian secara umum mengenai Hukum Perdata dan Bab II menjelasakn apa yang termasuk ruang lingkup Hukum Perdata diantaranya Hukum Perorangan.

enyajian

valuasi

enutup

BAB I PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM

Penyajian :

A. Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik Ada beberapa sarjana yang memberikan pengertian tentang Hukum Perdata, diantaranya : 1. Subekti Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. 2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang ada dengan warga negara perseorangan yang lain. 3. Wirjono Prodjodikoro Hukum Perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan kewajiban. 4. Sudikno Mertokusumo Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak. 5. Asis Safioedin Hukum Perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain (antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain) di dalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan perorangan. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Perdata itu adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan (pribadi).badan hukum. Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan

umum/masyarakat. Oleh karena itu Sudikno Mertokusumo menyebutkan perbedaan antara Hukum Perdata dan Hukum Publik itu (menurut pembagian klasik) adalah sebagai berikut: 1. Dalam Hukum Publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan dalam Hukum Perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam Hukum Perdatapun penguasa dapat menjadi pihak juga.

2.

Sifat Hukum Publik adalah memaksa, sedangkan Hukum Perdata pada umumnya bersifat melengkapi meskipun ada juga yang memaksa.

3.

Tujuan Hukum Publik adalah melindungi kepentingan umum, sedangkan Hukum Perdata melindungi kepentingan individu/perorangan.

4.

Hukum Publik mengatur hubungan hukum antara negara dengan individu, sedangkan Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara individu. Perbedaan-perbedaan tersebut, sekarang tidak bersifat mutlak lagi, karena sudah mengalami perkembangan. Oleh karena itu Abdulwahab Bakri menyebutkan bahwa Hukum Perdata adalah hukum yang mempunyai kedudukan yang sederajat, sedangkan Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua subyek hukum atau lebih yang kedudukannya tidak sederajat. Jadi dalam Hukum Publik ada atasan dan ada bawahan.

B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas Dan Dalam Arti Sempit Hukum Perdata dalam arti luas adalah bahan hukum sebagaimana tertera dalam KItab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WVK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut undang-undang tambahan lainnya. Hukum Perdata dalam arti sempit adalah Hukum Perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW}. Subekti mengatakan Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum Perdata adakalanya dipaki dalam arti sempit sebagai lawan Hukum Dagang. Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata disebut Hukum Perdata dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti luas termasuk didalamnya Hukum Dagang. Antara KUHPerdata dengan KUHDagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1 KUHDagang, yang isinya sebagai berikut: Adagium mengenai hubungan tersebut adalah specialist derogat legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHPerdata.

C. Pengertian Hukum Perdata Materil Dan Hukum Perdata Formal Hukum Perdata dilihat dari fungsinya ada dua macam, yaitu:

1.

Hukum Perdata materil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban perdata, yaitu mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subyek hukum.

2.

Hukum Perdata formal yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum perdata materil. Bagaimana tata cara seseorang menuntut haknya apabila diinginkan oleh orang lain, Hukum Perdata formal biasa juga disebut Hukum Acara Perdata.

D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia Sistem Hukum Perdata di Indonesia bersifat pluralisme (beraneka ragam).

Keanekaragamannya ini sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan karena adanya Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 131 IS. Pada Pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia dibagi 3, yaitu: 1. Golongan Eropah 2. Golongan Timur Asing 3. Golongan Bumi Putera Pasal 131 IS mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan penduduk tersebut. 1. Untuk golongan Eropah berlaku Hukum Perdata Eropah (BW) 2. Untuk golongan Timur Asing Tionghoa berlaku seluruh Hukum Perdata Eropah dengan beberapa pengecualian dan tambahan. Untuk golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku Hukum Perdata Eropah dan hukum adatnya masing-masing. 3. Untuk golongan Bumi Putera berlaku hukum adatnya masing-masing, kecuali yang mengadakan perundukkan secara sukarela berdasarkan S. 1917 No. 12, yaitu: a) tunduk pada seluruh Hukum Perdata Eropah b) tunduk pada sebagian Hukum Perdata Eropah c) tunduk pada perbuatan tertentu d) tunduk secara diam-diam Hukum Perdata/BW mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 dengan berlakunya asas konhordansi/asas persamaan.

E. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA Sistematikan Hukum Perdata itu ada 2, yaitu sebagai berikut: 1. Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan 2. Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata

Sistematika Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan terdiri dari: a) Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (Personen Recht) b) Hukum tentang keluarga/hukum keluarga (Familie Recht) c) Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda (Vermogen Recht) d) Hukum waris/Erfrecht Sistematika Hukum Perdata menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1. Buku I tentang orang/van personen 2. Buku II tentang benda/van zaken 3. Buku III tentang perikatan/van verbintenissen 4. Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa/van bewijs en verjaring Apabila kita gabungkan sistematika menurut ilmu pengetahuan ke dalam sistematika menurut KUHPerdata maka: 1. Hukum perorangan termasuk Buku I 2. Hukum Keluarga termasuk Buku I 3. Hukum harta kekayaan termasuk Buku II sepanjang yang bersifat absolut dan termasuk Buku III sepanjang yang bersifat relatif. 4. Hukum waris termasuk Buku II karena Buku II mengatur tentang benda sedangkan hukum waris juga mengatur benda dari pewaris. Selain itu hukum waris dimasukkan dalam Buku II pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata (terdapat dalam Buku II).

BAB II HUKUM PERORANGAN

Tujuan Instruksional Umum / TIU Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan mengenai Hukum Perorangan. Sub Pokok Bahasan: A. Pengertian Subyek Hukum B. Manusia sebagai Subyek Hukum C. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum D. Nama dan Kewarganegaraan E. Domisili F. Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid) Tujuan Instruksional Khusus / TIK Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat: A. Menjelasakn Pengertian Subyek Hukum B. Menjelaskan Manusia sebagai Subyek Hukum C. Menjelaskan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum D. Menjelaskan Nama dan Kewarganegaraan E. Menjelaskan dan menyebutkan macam-macam Domisili F. Menjelaskan Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid)

endahuluan : Menjelaskan secara garis besar dan mengadakan Tanya jawab dua arah. : lihat buku : Memberikan soal-soal yang dijawab di rumah, terus dikumpulkan. : Bab II ada kaitannya dengan Bab III karena manusia dalam kehidupannya mengalami peristiwa-peristiwa penting di antaranya melakukan perkawinan, juga termasuk hokum perdata.

enyajian

valuasi

enutup

BAB II HUKUM PERORANGAN

Penyajian: A. Pengertian Subyek Hukum Menurut Subekti Subyek Hukum adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum, yaitu orang.

Mertokusumo mengatakan bahwa Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hanya manusia yang dapat jadi Subyek Hukum. Syahran mengatakan Subyek Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Dari pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa Subyek Hukum itu adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Segala sesuatu yang dimaksud di sini menunjuk pada manusia dan badan hukum.

B. Manusia Sebagai Subyek Hukum Kapan mulai dan berakhirnya seseorang sebagai Subyek Hukum? Seseorang mulai sebagai Subyek Hukum atau sebagai pendukung hak dan kewajiban sejak dilahirkan sampai dengan meninggal dunia dengan mengingat Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata menyatakan: 1. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. 2. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah telah ada. Kalau kita lihat Pasal 2 ayat (1) di atas dapat dismpulkan bahwa anak yang masih di dalam kandangan seorang wanita juga sudah dianggap sebagai Subyek Hukum atau pembawa hak dan kewajiban apabila kepentingan si anak menghendakinya. Hal ini erat hubungannya dengan Pasal 836 dan Pasal 899 KUHPerdata Pasal 836 KUHPerdata adalah sebagai berikut: Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada, pada saat warisan jatuh meluang. Pasal-pasal 899 KUHPerdata adalah sebagai berikut: 1. Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia. 2. Ketentuan ini tidak tak berlaku bagi mereka yang menerima hak yang menikmati sesuatu dari lembaga-lembaga.

Terhadap Pasal 2 KUHPerdata ini ada para sarjana yang menyebut rechts fictie, yaitu anggapan hukum. Anak yang berada dalam kandungan seorang wanita sudah dianggap ada pada waktu kepentingannya memerlukan, jadi yang belum ada dianggap ada (fictie). Selain itu ada para sarjana yang mengatakan bahwa Pasal 2 KUHPerdata merupakan suatu norma sehingga disebut fixatie (penetapan hukum). Pembuat undang-undang menetapkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang wanita adalah Subyek hukum apabila kepentingan si anak itu menghendaki/memerlukan. Hal ini demi adanya keadilan disamping kepastian hukum.

C. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum Selain manusia juga badan hukum termasuk sebagai Subyek Hukum. Badan hukum menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut: Suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Sarjana lain mengatakan: Badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendidrikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan). Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan: Baik perhimpunan maupun Yayasan kedua-duanya berstatus sebagai badan hukum, jadi merupakan person pendukung hak dan kewajiban. Kalau kita lihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan sebagai Subyek Hukum sama dengan manusia disebabkan karena: 1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri 2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban 3. Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan 4. Ikut serta dalam lalu lintas hukum. Semuanya itu dilakukan melalui para pengurusnya. Badan hukum (rechts/person) biasa juga disebut pribadi hukum (Soerjono Soekamto), pusara hukum (Oetarid Sadino), awak hukum (malikul Adil).

Ada beberapa teori tentang hakikat badan hukum, yaitu: 1. Teori Fiksi dari Freidrich Carl Von Savigny Hanya manusialah yang menjadi Subyek Hukum, sedangkan badan hukum dikatakan sebagai Subyek Hukum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya Badan hukum itu ciptaan negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata. Untuk menerangkan sesuatu hal. 2. Teori Organ dari Otto Von Gierke Badan hukum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam pergaulan hukum yang dapat menyatakan kehendak melalui alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota) seperti halnya manusia. Badan hukum itu nyata adanya. 3. Teori Harta Kekayaan Bertujuan dari Brinz Badan hukum merupakan kakayaan yang bukan kekayaan perorangan, tapi serikat pada tujuan tertentu. Badan hukum itu mempunyai pengurus yang berhak dan berkehendak. 4. Teori Kekayaan Bersama dari Molengraaft Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya merupakan hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum juga merupakan kekayaan bersama seluruh anggotanya. 5. Teori Kenyataan Yuridis dari Paul Scholter Badan hukum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hukum sama dengan manusia hanya sebatas pada bidang hukum saja. Suatu badan atau perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus badan hukum harus memenuhi syarat-syarat materil maupun syarat formal. Syarat materialnya adalah sebagai berikut: 1. Harus adanya kekayaan yang terpisah 2. Mempunyai tujuan tertentu 3. Mempunyai kepentingan sendiri 4. Adanya organisasi yang teratur

Syarat formalnya harus memenuhi syarat yang ada hubungannya dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum (diatur dalam KUHD). Menurut Pasal 1653 KUHPerdata badan hukum dibedakan menjadi: 1. Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah: propinsi, bank-bank pemerintah 2. Badan hukum yang diakui pemerintah; perseroan, gereja 3. Badan hukum yang didirikan untuk maksud tertentu; PT Badan hukum berdasarkan sifatnya: 1. Badan Hukum Publik: propinsi, kabupaten 2. Badan Hukum Keperdataan: Yayasan, firma D. NAMA DAN KEWARGANEGARAAN

a. Nama Nama bagi seseorang adalah sangat penting. Nama selain untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain, juga untuk mengetahui apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang. Selain itu juga nama merupakan tanda diri atau identifikasi seseorang sebagai subyek hukum. Nama penting juga untuk mengetahui seseorang itu keturunan siapa, penting untuk urusan pembagian harta warisan dan soal-soal yang ada hubungannya dengan kekeluargaan. Mengenai nama ini di Indonesia diatur dalam UU No. 4 tahun 1961.

b. Kewarganegaraan Seperti halnya nama, kewarganegaraan seseorang juga sangat penting. Kewarganegaraan seseorang merupakan satu factor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang. Seperti kita lihat dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan: Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Jadi tersimpul dari pasal tersebut di atas, warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah.

UU Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 62 tahun 1958. Dalam undangundang tersebut jelas dibedakan siapa yang warga negara, siapa yang bukan, cara memperoleh kewarganegaraan, hapusnya kewarganegaraan, dan apa hak dan kewajiban seorang warganegara.

E. Domisili/Tempat Tinggal

1. Pengertian Domisili Domisili adalah terjemahan dari Domicili atau Woonplaats yang artinya tempat tinggal. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalah: Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal dimana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau dimana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindahpindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya. Tempat kediaman hukum adalah: Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain tempat. Menurut Pasal 77, Pasal 1393; 2 KUHPerdata tempat tinggal itu adalah tempat dimana sesuatu perbuatan hukum harus dilakukan. Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada.

2. Macam-macam Domisili

a.

Tempat tinggal sesungguhnya yaitu tempat yang bertalian dengan hak-hak melakukan wewenang perdata seumumnya. Tempat tinggal sesungguhnya dibedakan antara:

Tempat tinggal sukarela/bebas yang tidak terikat/tergantung hubungannya dengan orang lain. Tempat tinggal yang wajib/tidak bebas yaitu yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain. Misalnya: tempat tinggal suami isteri, tempat tinggal anak yang belum dewasa di rumah orang tuanya, orang di bawah pengampuan di tempat curatornya. b. Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat tinggal yang berhubungan dengan hal-hal melakukan perbuatan hukum tertentu saja. Tempat tinggal yang dipilih ini untuk memudahkan pihak lain atau untuk kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut. Tempat tinggal yang dipilih ada dua macam yaitu: Tempat kediaman yang dipilih atas dasar undang-undang misalnya dalam hukum acara dalam menentukan waktu eksekusi dari vonis. Tempat kediman yang dipilih secara bebas misalnya dalam melakukan pembayaran memilih Kantor Notaris (menurut Sri Soedewi M. Sofwan). Menurut Subekti ada juga yang disebut rumah kematian atau domisili penghabisan, yaitu rumah dimana seseorang meninggal dunia. Rumah penghabisan ini mempunyai arti penting untuk:

Menentukan hukum waris yang harus diterapkan Untuk menentukan kewenangan mengadili kalau ada gugatan

Tempat kediaman untuk Badan Hukum disebut tempat kedudukan badan hukum ialah tenpat dimana pengurusnya menetap. Menurut KUHPerdata domisili/tempat tinggal itu ada dua jenis, yaitu: I. Tempat tinggal umum terdiri dari : a. Tempat tinggal sukarela atau bebas Pasal 17 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal dimana ia menempatkan kediaman utamanya. Dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman utama maka tempat tinggal dimana ia benar-benar berdiam adalah tempat tinggalnya.

b. Tempat tinggal yang tergantung pada orang lain, misalnya: Wanita bersuami mengikuti suaminya Anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal orangtuanya/walinya Orang dewasa yang ada di bawah pengampuan mengikuti curatornya Pekerja/buruh mengikuti tempat tinggal majikannya II. Tempat tinggal khusus atau yang dipilih menurut Pasal 24 KUHPerdata ada dua macam, yaitu: a. Tempat tinggal yang terpaksa dipilih ditentukan undang-undang (Pasal 106 : 2 KUHPerdata)

b. Tempat tinggal yang dipilih secara sukarela harus dilakukan secara tertulis artinya harus dengan akta (Pasal 24 : 1 KUHPerdata), bila ia pindah maka untuk tindakan hukum yang dilakukannya ia tetap bertempat tinggal di tempat yang lama.

3. Arti Pentingnya Domisili Untuk Seseorang Domisili itu penting untuk seseorang dalam hal sebagai berikut: a. Untuk menentukan atau menunjukan suatu tempat dimana berbagai perbuatan hukum harus dilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili (menurut Sri Soedewi M. Sofwan). b. Untuk mengetahui dengan siapakan seseorang itu melakukan hubungan hukum serta apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing (Ridwan Syahrani). c. Untuk membatasi kewenangan berhak seseorang.

F. KEADAAN TIDAK HADIR (AFWEZEIGHEID) Kadang-kadang terjadi seseorang meninggalkan tempat tinggalnya selama waktu tertentu(lama dan seterusnya) untuk suatu keperluan/suatu kepentingan atau suatu peristiwa tanpa memberi kuasa terlebih dulu pada seseorang untuk mengurus kepentingannya. Dalam hal demikian maka dikatakan ia sedang tidak ada di tempat atau tidak hadir, sehingga akan menimbulkan kesulitan bagi pihak lain yang ada hubungan dengan orang tersebut. Keadaan tidak hadir seseorang itu tidaklah menghentikan status sebagai subyek hukum. Oleh karena itu demi adanya kepastian hukum harus ada pengaturannya. Dalam Pasal 463 KUHPerdata disebutkan bahwa:

Seorang tidak hadir jika ia meninggalkan tempat tinggalnya tanpa membuat suatu surat kuasa untuk mewakilinya dalam usahanya serta kepentingannya atau dalam mengurus hartanya serta kepentingannya atau jika kuasa yang diberikan tidak berlaku lagi. Dapat simpulkan bahwa jika seorang meninggalkan tempat tinggalnya sedang ia tidak atau tidak sempurna mewakilkan kepentingannya pada seseorang. Dalam KUHPerdata dikenal ada 3 masa (3 tingkatan) keadaan tidak hadir seseorang, yaitu: 1. Pengambilan Tindakan Sementara Masa ini diambil jika ada alasan-alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya. Tindakan sementara ini dimintakan kepada Pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan terhadap harta kekayaannya. Misalnya istrinya, para kreditur, sesame pemegang saham dan lain-lain, juga jaksa dapat memohon tindakan sementara tersebut. Dalam tindakan sementara ini hakim memerintahkan BPH (Balai Harta peninggalan) untuk mengurus seluruh harta kekayaan serta kepentingan dari orang tak hadir. Adapun kewajiban BHP adalah: 1. Membuat pencatatan harta yang diurusnya 2. Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan, kertas berharga dibawa ke kantor BHP 3. Memperhatikan segala ketentuan untuk seseorang wali mengenai pengurusan harta seorang anak (Pasal 464 KUHPerdata) 4. Tiap tahun memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat pengurusan dan efek-efek (Pasal 465 KUHPerdata) BHP berhak atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali (Pasal 411 KUHPerdata).

2. Masa Adanya Kemungkinan Sudah Meninggal Seseorang dapat diputuskan kemungkinan sudah meninggal jika: 1. Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat kuasa (Pasal 467 KUHPerdata), di mulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

2. Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah habis berlakunya (Pasal 470 KUHPerdata), di mulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima. 3. Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal laut atau pesawat udara ( S. 1922 No. 455), di mulai sejak adanya kabar terakhir dan jika tidak ada kabar sejak hari berangkatnya. 4. Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (S. 1922 No. 455), di mulai sejak tanggal terjadinya peristiwa. 5. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975, dikatakan bahwa apabila salah satu pihak meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak yang ditinggalkan boleh mengajukan perceraian. Akibat-akibat dari masa kemungkinan sudah meninggal bagi para ahli waris dan penerima hibah wasiat/legataris adalah: 1. Menuntut pembukaan surat wasiat 2. Mengambil (menerima) harta orang yang tak hadir dengan kewajiban membuat pencatatan harta yang diambil serta memberi jaminan yang harus disetujui oleh hakim (Pasal 472 KUHPerdata) 3. Meminta pertanggung jawab oleh BHP bila BHP dahulu mengurusnya 4. Mengoper segala kewajiban dan gugatan orang tak hadir (asal 488 KUHPerdata). Para ahli waris yang diperkirakan demi hukum menerima harta warisan secara terbatas (Pasal 277 KUHPerdata) 5. Pada umumnya merka bertindak sebagai orang yang mempunyai hak pakai hasul (Pasal 474 KUHPerdata) 6. Berhak mengadakan pemisahan dan pembagian dengan ketentuan harta tetap tidak dapat dijual kecuali dengan ijin hakim (Pasal 478 dan 481 KUHPerdata) Keadaan mungkin suadh meninggal berakhir: 1. JIka orang yang tidak hadir kembali atau ada kabar baru tentang hidupnya 2. Jika si tak hadir meninggal dunia 3. Jika masa pewarisan definitive termaksud dalam Pasal 484 KUHPerdata di mulai .

3. Masa Pewarisan Definitif

Masa ini terjadi apabila setelah lewat 30 tahun sejak tanggal tentang mungkin sudah meninggal atas keputusan hakim, atau setelah lewat 100 tahun setelah lahirnya si tak hadir. Akibat-akibat pemulaan masa pewarisan definitive: 1. Semua jaminan dibebaskan 2. Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana telah dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian definitive. 3. Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat diwajibkan menerima warisan atau menolaknya. Seandainya orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan definitive, ia ada hak untuk meminta kembali hartanya dalam keadaan sebagaimana adanya berikut harga dari harta yang tidak dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan pendapatannya (Pasal 486 KUHPerdata). Akibat-akibat keadaan tidak hadir terhadap isteri adalah: 1. Jika suami atau isteri tak hadir 10 tahun tanpa ada kabar tentang hidupnya, maka isteri/suami yang ditinggal dapat menikah lagi dengan ijin Pengadilan Negeri (Pasal 493 KUHPerdata). Sebelumnya pengadilan harus mengadakan dulu pemanggilan 3x berturut-turut. 2. Waktu 10 tahun dapat diperpendek jadi satu tahun dalam masa mungkin sudah meninggal (S. 1922 No. 455). 3. Dalam PP No. 9/1975 boleh kawin lagi apabila ditinggal 2 tahun berturut-turut. 4. Jika ijin pengadilan sudah diberikan tanpa perkawinan baru belum dilangsungkan sedang orang yang tak hadir kembali atau memberi kabar masih hidup, ijin untuk menikah dari pengadilan gugur demi hukum. 5. setelah suami/isteri yang ditinggal menikah lagi dan kemudian orang yang tak hadir kembali, maka orang yang tak hadir boleh menikah lagi dengan orang lain. Akibat keadaan tak hadir bagi anak: Untuk anak yang masih di bawah umur berlaku Pasal 300 : 2, Pasal 359 : 3, dan Pasal 374 KUHPerdata.

BAB III PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974

Tujuan Instruksional Umum / TIU Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan dan memahami perkawinan menurut UU No. I/1974 dan melaksanakannya sesuai dengan UU yang berlaku.. Sub Pokok Bahasan: A. Arti dan Tujuan Perkawinan B. Sahnya Perkawinan C. Asas Perkawinan D. Syarat-syarat Perkawinan E. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan F. Perjanjian Perkawinan G. Akibat Hukum Perkawinan H. Perkawinan Campuran I. Putusnya Perkawinan

J.

Perkawinan Menurut Hukum Islam

K. Catatan Sipil Tujuan Instruksional Khusus / TIK Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat: A. Menjelaskan Arti dan Tujuan Perkawinan B. Menjelaskan Sahnya Perkawinan C. Menjelaskan Asas Perkawinan D. Menjelaskan Syarat-syarat Perkawinan E. Membedakan antara Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan F. Menjelaskan Perjanjian Perkawinan G. Menjelaskan Akibat Hukum Perkawinan H. Menjelaskan Perkawinan Campuran I. J. Menyebutkan Sebab-sebab Putusnya Perkawinan Menjelaskan Perkawinan Menurut Hukum Islam

K. Membedakan Catatan Sipil yang dulu dengan Catatan Sipil yang sekarang berlaku

endahuluan : Menjelaskan dan memberikan contoh yang terjadi dalam masyarakat : lihat buku : Tanya jawab dan ts tertulis : Bab III ada kaitannya dengan Bab IV karena manusia / orang yang sudah melakukan perkawinan memerlukan harta untuk kelangsungan kehidupannya, oleh karena itu hokum benda perlu juga dipelajari.

enyajian

valuasi

enutup

BAB III PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974

Sebelum berlakunya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan perkawinan di Indonesia banyak macamnya seperti: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran (RGHS S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lainnya. Setelah diberlakukannya UU No. I Tahun 1974, peraturan-peraturan yang ada dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU tersebut. UU No. I Tahun 1974 merupakan undang-undang yang bersifat nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia baik yang di luar negeri maupun dalam negeri. UU No. I Tahun 1974 juga berlaku bagi semua pemeluk agama yang diakui di Indonesia. A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Pasal 1 menyatakan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut K. Wantjik Saleh, ikatan lahir bathin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formal, sedang ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. Ikatan lahir tanpa ikatan bathin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir bathin menjadi asar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal. Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup, kecuali ada hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

Perkawinan itu harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu harus berdasarkan atas agama. Ali Afandi menyatakan bahwa: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu. Subekti mengatakan: Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.

B. Sahnya Perkawinan Menurut Pasal 2 UU No. I/1974 sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1). Ayat 2 mengatakan: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau kita lihat Pasal 1 dan 2 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan di Indonesia itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perkawinan itu dinyatakan sah apabila menurut agama, baru setelah itu dicatata berdasarkan peraturan yang berlaku. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara Islam harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sedang mereka yang melangsungkan perkawinan di luar agama Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu sebaiknya yaitu dilakukan dulu pencatatan di Kantor Catatan Sipil, baru dilakukan secara agama kalau mau. Menurut Pasal 26 KUHPerdata perkawinan itu hanya dipandang dalam hubungan-hubungan perdata; artinya undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan itu sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPerdata sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.

C. Asas Perkawinan UU No. I/1974 menganut aas monogami tidak mutlak.

Hal tersebut dapat kita lihat dari isi Pasal 3 sebagai berikut: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Sedang seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif. Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2, yaitu: a. b. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus memenuhi salah satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh undang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas monogami, tapi monogaminya adalah mutlak. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 27 dan 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat diantara para calon suami isteri, melarang adanya poligami. D. Syarat-Syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. A. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11, yaitu: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalu ada penyimpangan harus ada ijin dari Pengadilan atau Pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. 4. seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4. 5. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya. 6. bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut: 1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami. 2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu. Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan suadara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan. 4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. 5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dai isteri dalam hal seseorang suami beristeri lebih dari seorang.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. B. Syarat perkawinan secara formal menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemberiahuan dari yang akan melangsungkan perkawinan. 2. Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan. 3. Pengumuman. 4. Pemberian akta perkawinan.

E. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

a. Pencegahan Perkawinan Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu: 1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang. 2. Melanggar Pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh kakak adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain. 3. Pelanggaran terhadap Pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami. 4. Pelanggaran terhadap Pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau isteri yang telah kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut agamnya (hukum) mengatur lain. 5. Pelanggaran terhadap Pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Sedangkan yang boleh melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan adalah: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah 2. Saudara 3. Wali nikah 4. Wali 5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undangundang ini. Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap Undang-undang ini (Pasal 21 ayat (1)). Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat hukum dari pencegahan perkawinan ini adalah adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan bahkan menolak untuk selama-lamanya suatu perkainan dilangsungkan.

b. Pembatalan Perkawinan Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22). Syarat-syarat yang tidak dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu: 1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang. 2. Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah. 3. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila suami/isteri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hukum tersebut supaya perkawinan itu dapat diperbaharui sehingga menjadi sah. Berdasarkan Pasal 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh: 1. Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/isteri. 2. Suami atau isteri. 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 4. Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2). 5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut asal perkawinan itu telah putus. Seorang suami/isteri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila: 1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hukum dari adanya pembatalan perkawinan adalah: 1. Perkawinan itu dapat dibatalkan. 2. Perkawinan dapat batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan, misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan dimana antara suami isteri itu mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu susuan. Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau isteri dan pihak ketiga tidak berlaku surut:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah. 2. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. 3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1+2 sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

F. PERJANJIAN PERKAWINAN Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974. Perjanjian Perkawinan adalah: Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/isteri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan. Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan isteri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan. UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu: 1. Harta asal/harta bawaan 2. Harta bersama (Pasal 35) Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/isteri ke dalam perkawinan, dimana pengurusannya diserahkan pada maisng-masing pihak. Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkainan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami isteri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami isteri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 29 disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan.

Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.

G. AKIBAT HUKUM PERKAWINAN Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

a.

Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri

1. Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). 2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)). 3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2). 4. Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. 5. Suami isteri menentukan tempat kediaman mereka. 6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. 7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. 8. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan 1. Timbul harta bawaan dan harta bersama. 2. Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3. Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

c.

Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri

1. Kedudukan anak a. b. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan ibunya saja. 2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45). b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik. c. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46). 3. Kekuasaan orang tua a. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua. b. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. c. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. d. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak. Ia berkelakuan buruk sekali. e. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya. Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Isi kekuasaan orang tua adalah: 1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya. 2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:

a.

Anak itu dewasa.

b. Anak itu kawin. c. Kekuasaan orang tua dicabut.

H. PERKAWINAN CAMPURAN

a.

Pengertian Perkawinan Campuran Perkawinan campuran yang diatur dalam UU No. I/1974 berbeda dengan perkawinan campuran yang terdapat dalam S. 1898/158. Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah: Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita. 2. Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan. 3. Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan. 4. Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia. Contoh : Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki Warga Negara Asing atau sebaliknya. Sedangkan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 Pasal I nya menyebutkan: Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. Contohnya: Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki Warga Negara Asing atau sebaliknya atau seorang wanita beragama Islam kawin dengan seorang laki-laki beragama selain Islam. Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. I/1974 dengan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 adalah sebagai berikut: Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. I/1974 ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan dan hanya berbeda kewarganegaraaan dan salah satu pihaknya harus Warga Negara Indonesia.

Perkawinan campuran menurut S. 1898/158 ruang lingkupnya lebih luas karena selain berbeda kewarganegaraan juga perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat, dan golongan.

b. Syarat-syarat Perkawinan Campuran Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 ayat 1 UU No. I/1974). Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama Islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda agama di Kantor Catatan Sipil.

c.

Akibat Perkawinan Campuran Menurut Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan: Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata. Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hukum keluarga.

I.

PUTUSNYA PERKAWINAN

a. Pasal 38 UU No. I/1974 menyebutkan putusnya perkawinan dapat disebabkan karena: a. Kematian

b. Perceraian c. Atas keputusan pengadilan Mengenai kematian tidak akan dibahas di sini, karena akibatnya timbul pewarisan. Hukum Waris dibahas dalam mata kuliah Waris dan Perorangan. Perceraian biasa disebut cerai talak dan atas keputusan pengadilan disebut cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya yang perkawinannya dilaksankan menurut agama Islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaaan itu selain agama Islam (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9/1975).

b. Alasan-alasan Perceraian Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilaksanakan apabila memenuhi salah satu syarat di bawah ini, yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 PP No. 9/1975).

c.

Akibat Perceraian

Seperti halnya perkawinan, perceraian juga membawa akibat kepada: a. Anak dan Isteri b. Harta kekayaan c. Status para pihak Ad.a. Akibat perceraian pada anak dan isteri 1. Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya. 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu keajiban bagi bekas isteri (Pasal 41 UU No. I.1974). Ad.b. Akibat perceraian terhadap harta kekayaan Apabila terjadi perceraian, harta bawaan masing-masing tetap dikuasai dan menjadi hak masingmasing. Harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UU No. I/1974).

Ad.c. Akibat perceraian terhadap status para pihak 1. Kedua belah pihak tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status duda atau janda. 2. Keduanya boleh melakukan perkawinan dengan pihak lain. Khusus untuk isteri berlaku waktu tunggu (Pasal 39 PP 9/1975). 3. Keduanya boleh melakukan perkawinan lagi sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang atau agama yang mereka anut.

J. PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM

a. Perkawinan

Perkawinan menurut UU No. I/1974 banyak persamaanya dengan perkawinan menurut hukum Islam, oleh karena itu yang akan dibahas dalam diktat ini hanyalah perbedaan-perbedaannya. Pengertian-pengertian yang perlu diketahui antara lain: 1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. 2. Taklil talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. 3. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. 4. Mufah adalah pemberian bekas suami kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut KHI). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmat (Pasal 3 KHI). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat Pegawai Pencatat Nikah, kalau tidak ada dapat mengajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI). Istbat nikah yang diajukan hanya ternatas mengenai: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

b. Hilangnya akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Perkawinan sebelum berlakunya UU No. I/1974. e. Perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. I/1974. Mereka yang boleh mengajukan itsbat nikah: 1. suami/isteri 2. anak-anak 3. wali nikah 4. pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu

Rukun dan syarat perkawinan Untuk melaksanakan perkawina harus ada: a. calon suami b. calon isteri c. wali nikah d. dua orang saksi e. Ijab dan Kabul (semua termasuk rukun) (Pasal 14 KHI). Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Syarat wali harus seorang laki-laki, akil dan baligh, yang terdiri dari : wali nasab dan wali hakim (Pasal 19, 20 KHI). Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat: a. Laki-laki muslim b. Adil c. Akil baligh d. Tidak terganggu ingatannya e. Tidak tuna rungu/tuli Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan (Pasal 24, 25 KHI). Ijab Kabul dilakukan oleh wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu dan harus dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah atau dapat diwakilkan kepada orang lain (Pasal 27, 28 KHI).

b. Larangan Perkawinan Seperti dalam Pasal 8 UU No. I/1974, larangan perkawinan dalam hukum juga sama ditambah: a. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. b. Seorang wanita yang tidak beragam Islam.

c. Seorang pria dilarang kawin dengan bekas isterinya setelah ditalak tiga kecuali diselang dulu kawin dengan orang lain. d. Seorang pria dilarang kawin dengan bekas isterinya yang dilian (Pasal 40, 43 KHI). Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (Pasal 44 KHI). Di dalam Hukum Islam dikenal dua macam perjanjian perkawinan, yaitu: a. Talik talak b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam (Pasal 45 KHI). Suami yang mempunyai isteri lebih dari satu diperbolehkan, syarat utamanya harus dapat berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya dan harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pengadilan Agama (Pasal 55, 56 KHI).

c.

Batalnya Perkawinan Perkawinan batal apabila (Pasal 70 KHI) a. Suami melakukan perkawinan, padahal dia sudah mempunyai empat isteri. b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah di liannya. c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi talak tiga. d. Perkawinan yang telah melanggar Pasal 8 UU No. I/1974 darah, semenda dan sesusuan. e. Isteri adalah saudara kandung atau bibi atau kemanakan dari isteri atau isteri-isterinya. Perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1. seorang suami berpoligami tanpa ijin Pengadilan Agama. 2. perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. 3. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. 4. melanggar Pasal 7 UU No. I/1974. 5. perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali/wali yang tidak berhak. 6. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan (Pasal 71 KHI). hubungan

d. Putusnya Perkawinan Menurut Pasal 116 KHI putusnya perceraian dapat disebabkan karena: 1. Alasan-alasan berdasarkan Pasal 19 PP No. 9/1975. 2. suami melanggar taklik-talak. 3. karena murtad/berpindah agama. Talak karena putusnya perkawinan dalam hukum Islam ada beberapa macam, yaitu: 1. Talak Raji yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. 2. Talak Bain Shughraa yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah , terjadi apabila: a. Talak yang terjadi qabla al dukhul.

b. Talak dengan tebusan/khuluk. c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. 3. Talak Bain Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali diselang dulu dengan perkawinan dengan bukan bekas suaminya. 4. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. 5. Talak Bidi adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haidl atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 118 122 KHI). Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian dinyatakan di depan siding Pengadilan (Pasal 123 KHI) 6. Lian putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya (Pasal 125 KHI).

Akibat putusnya perkawinan karena talak: a. Bekas suami wajib memberikan mutah yang layak pada bekas isterinya. b. Bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama iddah. c. Wajib melunasi mahar yang masih terutang. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 149 KHI).

K. CATATAN SIPIL Catatan Sipil (BS/Burgerlijk Stand) adalah: Suatu lembaga yang mencatat kejadian-kejadian penting seseorang seperti: kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian dan kematian. Sedangkan tugas Catatan Sipil adalah memberikan informasi kepada pihak ke III tentang kejadian-kejadian penting seseorang tersebut. Berdasarkan Pasal 80 KUHPerdata menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan: Dihadapan Pegawai Catatan Sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi, kedua calon suami dan isteri harus menerangkan, yang satu, menerima yang satu sebagai isterinya dan yang lain menerima yang satu sebagai suaminya, pula bahwa mereka dengan ketulusan hati akan menunaikan segala kewajiban demi undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami isteri. Pasal 81 KUHPerdata menyatakan: Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak pejabatn agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung. Kalau kita baca kedua pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan dihadapan Pegawai Catatan Sipil dan dicatat di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan secara agama tidak boleh dilakukan sebelum perkawinan itu dilakukan dan dicatat di Catatan Sipil. Dulu dikenal adanya kawin BS. Perkawinan secara agama tidak menentukan sahnya suatu perkawinan. Hal ini tidak berlaku lagi setelah berlakunya UU Perkawinan No. I Tahun 1974. Perkawinan sah menurut UU No. I/1974, apabila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya itu baru didaftarkan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Pegawai Catatan Sipil dulu boleh/dapat mengawinkan. Setelah berlakunya Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil, Catatan Sipil tidak boleh mengawinkan lagi. Fungsi Catatan Sipil berdasarkan Keppres tersebut adalah: a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Kelahiran. b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Perkawinan. c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Percerain. d. Pencatatan dan Penerbitan kutipan akta Pengakuan dan Pengesahan Anak. e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Kematian. f. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan dan pengesahan anak, harta kematian. g. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang

kependudukan/kewarganegaraan. Organisasi Catatan Sipil ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yang mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang bertanggung jawab di bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur Negara. Gubernur Kepala Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Catatan Sipil. Penyelenggaraan Catatan Sipil dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang menunjuk Camat selaku Pegawai Pencatatan Sipil di wilayah Kecamatan.

BAB IV HUKUM BENDA

Tujuan Instruksional Umum / TIU

Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan Hukum Benda diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan dan memahami tentang kebendaan yang diatur dalam Undang-undang. Sub Pokok Bahasan: A. Sistematikan Hukum Perdata B. Kedudukan Buku II sekarang (setelah keluarnya UUPA No. 5/1960) C. Sistem Buku II D. Pengertian Benda E. Pembedaan Macam-macam Benda F. Pengertian Hak Kebendaan G. Ciri-ciri Hak Kebendaan H. Pembedaan Hak Kebendaan I. J. Asas-asas Umum Hak Kebendaan Kedudukan Berkuasa/Bezit

K. Hak Eigendom/Hak Milik L. Hak Milik Menurut Hukum Islam Tujuan Instruksional Khusus / TIK Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat: A. Menyebutkan Sistematikan Hukum Perdata B. Menjelaskan Kedudukan Buku II sekarang (setelah keluarnya UUPA No. 5/1960) C. Menjelaskan Sistem Buku II D. Menyebut dan menjelaskan Pengertian Benda E. Menyebut dan menjelaskan Pembedaan Macam-macam Benda F. Menjelaskan arti Hak Kebendaan G. Menyebutkan Ciri-ciri Hak Kebendaan H. Menyebutkan Pembedaan Hak Kebendaan I. J. Menjelaskan dan memberikan contoh Asas-asas Umum Hak Kebendaan Menjelaskan pengertian Kedudukan Berkuasa/Bezit

K. Menjelaskan pengertian Hak Eigendom/Hak Milik Menurut Pasal 570 KUHPerdata. L. Menjelaskan Hak Milik Menurut Hukum Islam : Mengulang kembali pokok bahasan sebelumnya, melakukan tanya menjelaskan sub bahasan yang baru jawab, kemudian

endahuluan

enyajian

: lihat buku : Tes tertulis secara keseluruhan, untuk menentukan nilai akhir dari mata kuliah perdata.

valuasi

BAB IV HUKUM BENDA

A. Sistematika Hukum Perdata Kita mengenal dua macam sistematika Hukum Perdata yaitu: 1. Sistematika menurut Ilmu Hukum 2. Sistematika menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) Ad. 1. Sistematika menurut Ilmu Hukum Ilmu Hukum membagi Hukum Perdata menjadi empat bagian yaitu: 1. Hukum tentang diri seseorang yang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

2. Hukum Kekeluargaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, seperti hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, curatele, perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri. 3. Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Apabila kita berbicara tentang kekayaan seseorang bearti membicarakan jumlah segala hak dan kewajiban orang tersebut yang dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang demikian itu biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan tersebut ada dua macam, yaitu: a. Hak kekayaan yang bersifat absolut/mutlak yaitu hak yang memberikan kekuasaan secara langsung dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Hak ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu: a.1 Hak mutlak yang berupa kebendaan, yang biasa disebut dengan hak kebendaan saja, misalnya hak milik, hak opstal, hak erfpacht, hak gadai, hak hipotik. a.2 Hak mutlak yang tidak merupakan hak kebendaan, misalnya hak octroi, hak merk, hak cipta. Semua hak tersebut diatur diluar Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b. Hak kekayaan yang bersifat relative/hak perseorangan yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja, misalnya: Si A mempunyai utang kepada B, maka disini hanya si B yang berhak menagih utang tersebut kepada si A dan bukan orang lain. 4. Hukum Warisan, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jika seseorang tersebut meninggal dunia. Dapat jiga dikatakan bahwa Hukum Warisan itu mengatur akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Ad.2. Sistematika Hukum Perdata menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata/B.W. Menurut sistematika ini Hukum Perdata dibagi ke dalam 4 (empat) buku, yaitu: Buku I Buku II Buku III Buku IV : Perihal Orang / Van Personen : Perihal Benda / Van Zaken : Perihal Perikatan / Van Verbintennisen : Perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluwarsa) / Van Bewijs en Verjaring

Apabila sistematika yang pertama kita masukan kedalam sistematika yang kedua maka akan didapat seperti berikut: Hukum tentang diri seseorang termasuk ke dalam Buku I Hukum tentang kekeluargaan termasuk Buku I Hukum Kekayaan termasuk dalam Buku II dan Buku III, seperti telah dijelaskan harta kekayaan itu ada yang bersifat absolut (diatur dalam Buku II) dan ada juga yang bersifat relative (diatur dalam Buku III) Mengenai warisan dimasukan ke dalam Buku II, dengan pertimbangan bahwa hukum waris itu adalah hukum yang mengatur tentang harta benda dari orang yang sudah meninggal (merupakan hak kebendaan dari orang yang sudah meninggal dunia). Selain dari pada itu pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik yang diatur dalam Pasal 584 B.W. dalam Buku II. Sedangkan sistematika yang sekarang lazim dipergunakan adalah sistematika yang kedua yaitu sistematika berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

B. Kedudukan Buku II sekarang (setelah keluarnya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960) Dengan berlakunya/diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960, Buku II tentang benda mengalami perubahan besar. Perubahan tersebut dapat kita lihat dalam dictum Undang-undang Pokok Agraria, yang menyatakan sebagai berikut: Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Apabila kita telaah isi dictum tersebut maka dapat dikatakan bahwa Buku II sepanjang mengenai bumi, air, seta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dicabut dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960, kecuali mengenai ketentuan-ketentuan hipotik. Jadi ketentuan-ketentuan mengenai hipotik masih berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku II B.W. karena UUPA belum mengaturnya.

Perubahan ini disebabkan karena dulu di negara Indonesia berlaku dualisme hukum dalam tanah, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat. Sekarang diganti dengan Undang-undang Pokok Agraria. Dengan demikian UUPA tersebut menciptakan unifikasi Hukum Tanah Indonesia. Selanjutnya dengan adanya UUPA tersebut maka ketentuan-ketentuan/Pasal-pasal dalam Buku II KUHPerdata dapat diperinci sebagai berikut: a. Ada Pasal-pasal yang masih berlaku penuh, karena tidak mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. b. Ada pasal-pasal yang tak berlaku lagi, sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria. c. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tapi tidak secara penuh yang berarti untuk bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak berlaku lagi, tapi untuk bendabenda yang lainnya masih tetap berlaku. Ad.a. Pasal-pasal yang masih berlaku penuh adalah: 1. Tentang benda bergerak pasal 505, 509 - 518 KUHPerdata 2. Tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, 613 KUHPerdata 3. Tentang bewoning khusus mengenai rumah pasal 826, 827 KUHPerdata 4. Tentang Hukum Waris pasal 830 1130 KUHperdata, walaupun ada beberapa pasal mengenai tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris 5. Tentang piutang yang diistimewakan (Prenilegie) pasal 1131 1149 KUHPerdata 6. Tentang gadai, karena gadai merupakan jaminan terhadap benda bergerak saja, pasal 1150 1160 KUHPerdata 7. Tentang hipotik karena hipotik belum diatur dalam UUPA. Walaupun begitu ketentuanketentuan mengenai segi formil/acara yaitu mengenai pembebanan/pemberian hipotik dan pendaftaran hipotik harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, PP 10 tahun 1961, PMA 15 tahun 1961, beserta peraturan-peraturan pelaksana lainnya. Ad.b. pasal-pasal yang tidak berlaku lagi adalah:

1. Tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah 2. Tentang cara memperoleh hak milik mengenai tanah 3. Tentang penyerahan benda-benda tak bergerak 4. tentang kerja Rodi pasal 673 KUHPerdata 5. Tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga pasal 625 672 KUHPerdata 6. Tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid) pasal 674 710 KUHPerdata 7. Tentang hak opstal pasal 711 719 KUHPerdata 8. Tentang hak erfpacht pasal 720 736 KUHPerdata 9. Tentang bunga tanah dan hasil persepuluh pasal 737 755 Ad.c. pasal-pasal yang masih berlaku tapi tidak sepenuhnya, adalah: 1. Tentang benda pada umumnya 2. Tentang cara membedakan benda pasal 503 - 505 KUIHPerdata 3. Tentang benda sepanjang mengenai tanah 4. Tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah 5. Tentang hak memungut hasil sepanjang tidak mengenai tanah, pasal 756 KUHPerdata 6. Tentang hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah pasal 818 KUHPerdata. Selain itu ada beberapa pasal yang walaupun tidak secara tegas dinyatakan dicabut yang terdapat di luar Buku II, dianggap tidak berlaku lagi. Pasal-pasal tersebut misalnya pasal 1955. pasal 1963 yaitu yang mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat memperoleh hak eigendom melalui lembaga Verjaring.

C. Sistem dari pada Buku II / Hukum Perdata Sistem yang dianut dalam Buku II/Hukum Benda adalah system tertutup. System tertutup artinya orang tidak dapat mengadakan/membuat hak-hak kebendaan yang baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak-hak kebendaan yang diakui itu hanya hak-hak kebendaan yang sudah diatur oleh undang-undang. Kita tidak boleh misalnya mengadakan hak milik baru yang tidak sama dengan hak milik yang sudah diatur oleh undang-undang.

Berbeda dengan system yang dianut oleh hukum perikatan dalam buku III, yaitu system terbuka. System terbuka artinya setiap orang dapat bebas membuat perjanjian apa saja selain apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sistem terbuka ini merupakan cerminan dari isi pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi Buku III/Hukum Perikatan menganut asas kebebasan berkontrak.

D. Pengertian Benda Pengertian benda secara hukum dapat kita lihat dalam pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak-hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Di dalam KUHPerdata kita temukan dua istilah yaitu benda (zaak) dan barang (goed). Pada umumnya yang artinya dengan benda baik itu berupa benda yang berwujud, bagian kekayaan, ataupun yang berupa hak ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum. Kata dapat dalam definisi tersebut mengandung arti/mempunyai arti yang penting karena membuka berbagai kemungkinan yaitu pada saat-saat yang tertentu sesuatu itu belum berstatus sebagai obyek hukum namun pada saat-saat yang lain merupakan obyek hukum seperti aliran listrik. Jadi untuk dapat menjadi obyek hukum ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadikan sebagai obyek hukum. Terlihat disini adanya proses yang terikat pada waktu. Misalnya: jika seorang membuka hutan dan mengolahnya, maka lahir penguasaaannya terhadap tanah tersebut. Penguasaan itu menjadi pasti setelah pohon-pohon yang ditanami pembuka hutan itu tumbuh berbuah sehingga hutan yang dibuka tadi bukan lagi res nullius akan tetapi sudah ada pemiliknya.

Selain daripada itu di dalam KUHPerdata terdapat istilah Zaak yang tidak berarti benda tetapi dipakai untuk arti yang lain, yaitu misalnya: 1. Pasal 1792 KUHPerdata : Lastgeving ialah suatu perjanjian yang di situ seseorang memberikan kuasa kepada seorang lain dan orang ini menerimanya untuk melakukan suatu zaak buat lastgever itu. Zaak disini berarti perbuatan hukum. 2. Pasal 1354 KUHPerdata : Apabila seseorang dengan sukarela tanpa mendapat pesanan untuk itu untuk menyelengarakan zaak seorang lain dengan atau tanpa diketahui orang lain dan sebagainya. Zaak disini berarti kepentingan. 3. Pasal 1263 KUHPerdata : Perutangan dengan syarat menunda ialah perutangan yang tergantung daripada suatu kejadian yang akan dating dan tidak pasti atau daripada suatu zaak yang sudah terjadi tetapi belum diketahui oleh para pihak. Zaak disini mempunyai arti kenyataan hukum.

E. Pembedaan macam-macam benda Menurut KUHPerdata benda itu dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Benda berwujud dan tidak berwujud lihamelijk, onlichamelijk. 2. Benda bergerak dan tidak bergerak. 3. Benda yang dapat dipakai habis dan benda yang tidak habis. 4. Benda yang dapat dipakai habis/vebruikbaar dan benda yang tidak dapat dipakai habis/onverbruikbaar. 5. Benda yang sudah ada/tegenwoordige zaken dan benda yang masih akan

ada/toekkomstige zaken. a. yang absolut ialah barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya: hasil panen yang akan dating.

b.

yang relative ialah barang-barang yang pada saat itu sudah ada tapi bagi orang-orang tertentu belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli tapi belum diserahkan. 6. Benda dalam perdagangan/zaken in de handel dan benda di luar perdagangan/zaken buiten de handel. 7. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi. Dalam hukum Adat tidak membedakan benda seperti apa yang terdapat dalam KUHPerdata tapi hanya mengenal pembedaan benda atas tanah dan bukan tanah. Juga dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak mengenal pembedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak. Sedangkan di Nederland cenderung untuk mengakui pembedaan antara benda atas nama dan tidak atas nama atau benda yang terdaftar/registergoederen dan benda yang tidak terdaftar/en andere goederen untuk benda yang bergerak dan benda tidak bergerak. Benda yang terdaftar adalah benda-benda dimana pemindahan dan pembebanannya diisyaratkan harus didaftarkan dalam register yang bersangkutan. Pembedaan yang terpenting dan biasa/sering digunakan adalah pembedaan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.

Benda bergerak karena sifatnya/pasal 509 KUHPerdata: a.1. yang dapat dipindahkan a.2. yang dapat pindah sendiri

b. Benda bergerak karena undang-undang. Benda tidak bergerak dibagi tiga, yaitu: a. Benda tidak bergerak karena sifatnya: tanah beserta segal apa yang terdapat di dalam dan di atas dan segala apa yang dibangun di atas tanah itu secara tetap apa yang ditanam serta buah-buahan di pohon yang belum diambil. Di sini dianut asas vertical lawannya adalah asas horizontal. b. Benda tidak bergerak karena tujuannya: ke dalam benda semacam ini termasuk benda bergerak yang dipakai dalam benda pokok harus sedemikian rupa kontruksinya sehingga keduanya sesuai dan terikat untuk dipakai tetap. Benda pokoknya harus merupakan benda tidak bergerak. c. Benda tidak bergerak karena undang-undang.

Ada empat hal yang penting untuk membedakan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak, yaitu: 1. Mengenai bezitnya Terhadap benda bergerak berlaku asas yang tercantum dalam pasal 1977 ayat 1 KUHPerdata yaitu bezitter dari benda bergerak adalah sebagai eigenaar dari barang tersebaut (Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna/Bezit geldt als volkomen titel). Sedang benda tidak bergerak tidak demikian. 2. Mengenai leveringnya/penyerahannya Penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan secara nyata sedangkan penyerahan benda tidak bergerak harus dengan balik nama. Dulu penyerahan benda tidak bergerak berdasarkan Over schrijvings Ordonnantie S. 1834 No. 27. Sekarang menurut UUPA penyerahan benda tidak bergerak harus dilakukan dan ditandatangani sihadapan PPAT/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam sertifikat. 3. Mengenai verjaring/kadaluwarsa/lewat waktu Terhadap benda bergerak tidak mengenal kadaluwarsa sebab berlaku asas yang tercantum dalam pasal 1977 ayat 1 seperti telah dijelaskan dalam no. 1 di atas. Benda tidak bergerak mengenal adanya kadaluwarsa yaitu 20 tahun dengan alas an hak yang sah dan 30 tahun tanpa alas an hak yang sah. 4. Mengenai bezwaring/pembebanannya Pembebanan terhadap benda bergerak harus dengan pand/gadai sedang pembebanan terhadap benda tidak bergerak dengan hipotik.

F. Pengertian Hak Kebendaan Sebelum memberikan defines tentang hak kebendaan kita lihat dulu pembagian daripada hak Perdata. Hak Perdata itu dibagi dua, yaitu: 1. Hak Mutlak/hak absolut terdiri atas: a. Hak kepribadian misalnya: hak atas namanya, kehormatannya, hidup, kemerdekaan.

b. Hak yang terletak dalam hukum keluarga yaitu hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami isteri, hubungan antara orang tua dan anak. c. Hak mutlak atas sesuatu benda yang biasa disebut dengan hak kebendaan. 2. Hak relative/hak nisbi/hak persoonlijk yaitu suatu hak yang memberikan suatu tuntutan/penagihan terhadap seseorang dan hak itu hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja. Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Jadi dengan demikain apa perbedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan itu? Perbedaannya adalah : 1. Hak mutlak dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang melanggarnya. Hak perorangan hanya dipertahankan terhadap orang tertentu saja. 2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan mutlak atas seuatu benda. Hak perorangan memberikan suatu tuntutan/penagihan terhadap seseorang. 3. Hak kebendaaan mempunyai zaaksgevolg/droit de suit, yaitu hak kebendaan tersebut selalui mengikuti terus dimanapun benda itu berada atau di tangan siapapun benda itu berada. Hak perorangan tidak mempunyai droit de suit karena hak tersebut hanya dapat dilakukan terhadap seorang tertentu saja. Dengan adanya pemindahan barang tersebut maka hak perorangan lenyap karena hak penagihan lenyap. Tapi dalam praktek pembedaan tersebut sangat sumier tidak mutlak lagi karena ada hak perorangan yang mempunyai sifat yang mutlak/absolut mempunyai droit de suit dan mempunyai sifat prioritas yaitu :

Hak penyewa dilindungi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, ia dapat mempertahankan barang yang disewakan terhadap setiap gangguan dari pihak ketiga (adanya sifat absolut).

Hak sewa senantiasa mengikuti bendanya walaupun barang yang disewanya berpindah tangan/dijual oleh pemiliknya/adanya sifat droit de suit.

Pembeli/penyewa yang lebih dahulu mempunyai sifat prioritas/lebih didahulukan daripada pembeli/penyewa yang kemudian.

Tapi walaupun demikian sebagai pedoman dapat disimpulkan bahwa hak kebendaan tersebut mempunyai ciri-ciri/sifat-sifat secara umum apabila kita ingin membedakan dengan hak perorangan.

G. Ciri-ciri/Sifat-sifat Hak Kebendaan 1. Hak kebendaan merupakan hak yang bersifat mutlak yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2. Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolg/droit de suit yaitu hak it uterus mengikuti bendanya dimanapun berada atau di tangan siapapun berada. 3. Hak kebendaan yang lebih dulu terjadi mempunyai tingkatan yang lebih tinggi daripada hak terjadi kemudian. 4. Hak kebendaan mempunyai sifat droit de preference yaitu hak yang lebih didahulukan. 5. Gugatan hak kebendaan disebut gugat kebendaan. Apabila haknya ada yang menggangu maka ia dapat melakukan bermacam-macam gugat/actie misalnya: penuntutan kembali. Penggantian kerugian, pemulihan keadaan semula. Dalam hak perorangan gugatan hanya dapat dilakukan terhadap pihak lawannya

saja/wederpartij.

H. Pembedaan Hak-hak Kebendaan Seperti telah dijelaskan bahwa hak perdata itu dibagi menjadi dua yaitu: hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak dibagi lagi menjadi tiga: 1. hak kepribadian 2. hak yang terletak dalam hukum keluarga 3. hak kebendaan Hak kebendaan dapat dibedakan: 1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan baik atas bendanya sendiri maupun benda milik orang lain/zakelij genotsrecht, misalnya: hak eigendom/hak milik, bezit.

2. Hak kebendaan yang bersifat jaminan/zakelijk zakerheidsrecht, misalnya: hipotik, pand.

I.

Azas-azas Umum Hak Kebendaan Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H. dalam bukunya Mencari Sistem Hukum Benda Nasional menjelaskan ada 10 azas umum yang sifatnya relative konkrit yang ada dalam bidang hukum tertentu, yaitu:

1. Azas system tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitative, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang. Di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hakhak yang baru. 2. Azas hak mengikuti benda/zaaksgevolg, droit de suite, yaitu hak kebendaan selalu mengikuti bendanya di mana dan dalam tangan siapapun benda itu berada. Azas ini berasal dari hukum Romawi yang membedakan hukum harta kekayaan (vermogensrecht) (persoonlijkrecht). 3. Azasa Publisitas, yaitu dengan adanya publisitas (Openbaarheid) adalah pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan. Pengumuman hak atas benda tetap/tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah/register yang disediakan untuk itu sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu. 4. Azas Spesialitas Dalam lembaga hak kemilikan hak atas tanah secara individual harus ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Asas ini terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap. 5. Azas Totalitas Hak pemilikan hanya dapat diletakan terhadap obyeknya secara totalitas dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakan hanya untuk bagian-bagian benda. Misalnya: pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kosen, jendela, pintu dan jendela bangunan tersebut. Tidak mungkin bagian-bagian tersebut kepunyaan orang lain. 6. Azas Accessie/asas pelekatan Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan jendela. dalam hak kebendaan (Zaakkelijkrecht) dan hak perseorangan

Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (principal). Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok. Benda pelengkap itu terdiri dari bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak). 7. Azas pemisahan horizontal KUHPerdata menganut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizaontal yang diambil alih dari Hukum Adat. Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli. Pemerintah menganut asas vertical untuk tanah yang sudah memiliki sertifikat untuk tanah yang belum bersertifikat menganut asas horizaontal (Surat Menteri Pertanahan/Agraria tanggal 8 Februari 1964 Undang-undang No. 91/14 jo S.Dep. Agraria tanggal 10 Desember 1966 No. DPH/364/43/66. 8. Asas dapat diserahkan Hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Untuk membahas tentang penyerahan sesuatu benda kita harus mengetahui dulu tentang macammacam benda karena ada bermacam-macam benda yang kita kenal seperti tidak dijelaskan pada Bab sebelumnya. Cara-cara penyerahan secara mendalam akan dibahas dalam Bab selanjutnya. 9. Azas Perlindungan Asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 1977 KUHPerdata. 10. Azas absolut (hukum pemaksa) Menurut asas ini hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang berbeda dengan hak relative.

Kedudukan Berkuasa (Bezit) Apa yang dinamakan bezit itu? Menurut Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perdata adalah: suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaan sendiri yang oleh hukum diperlindungi dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Dalam pasal 529 KUHPerdata yang dimaksud dengan bezit adalah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu. Apabila kita lihat definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa benda yang dikuasi dan dinikmati oleh seseorang itu belum tentu benda miliknya sendiri hanya seolah-olah kepunyaanya sendiri. Sedangkan orang yang menguasai benda tersebut disebut bezit er. Unsur bezit: 1. Corpus yaitu adanya hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya. Hal ini dapat terjadi apabila orang tersebut menguasai benda itu. 2. Animus yaitu adanya kemauan atau keinginan dari orang tersebut untuk menguasai benda itu serta menikmatinya seolah-olah kepunyaan sendiri. Kita harus membedakan antara bezit dengan detentis dimana dalam detentis ini seorang menguasai suatu benda tapi tidak ada kemauan untuk memiliki benda tersebut. Misalnya seorang penyewa. Kemauan yang dimaksud di atas adalah kemauan yang sempurna yaitu bukan kemauan dari anak kecil atau orang gila. Macam-macam bezit: 1. Bezit yang beritikad baik/te goeder trouw 2. Bezit yang beritikad buruk/te kwader trouw

(Menurut pasal 530 KUHPerdata) 3. Bezitter eigenaar Ad.1. Bezit yang beritikad baik adalah manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik dalam mana tak tahulah dia akan sela-cela yang terkandung di dalamnya (pasal 531 KUHPerdata. Dengan kata lain si pemegang tersebut tidak mengetahui apakah benda yang dipegangnya itu diperoleh dengan jalan tidak sesuai dengan cara-cara memperoleh hak milik ataupun sesuai. Ad.2. Bezit yang beritikad buruk adalah mereka yang memegang benda tersebut itu tahu bahwa bendanya diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan menurut cara-cara memperoleh hak milik (pasal 532 KUHPerdata). Kapan seseorang itu dapat dinyatakan sebagai bezitter yang beritikad buruk? Seseorang dapat dikatakan beritikad buruk pada saat perkaranya dimajukan ke Pengadilan dimana dalam perkaranya itu ia dikalahkan (pasal 532 ayat 2 KUHPerdata). Baik bezit yang beritikad baik maupun yang buruk mendapat perlindungan hukum yang sama sebelum adanya putusan Hakim karena dalam hukum terdapat asas yang mengatakan: kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang seangkan ketidakjujuran harus dibuktikan (pasal 533 KUHPerdata). Benda-benda apakah yang tidak boleh dibezit? Menurut pasal 537 KUHPerdata benda-benda yang tidak boleh dibezit adalah benda-benda yang tidak ada dalam peredaran perdata dan hak-hak pengabdian tanah. Bagaimana cara-cara memperoleh bezit? Pada asasnya bezit dapat diperoleh dengan cara: 1. Occupatio/originair/asli yaitu memperoleh bezit tanpa bantuan orang lain yang lebih dulu membezitnya. Baik benda bergerak maupun tidak bergerak dapat diperoleh dengan cara ini. Occupation terhadap benda bergerak hanya berlaku untuk benda bergerak yang tidak ada pemiliknya. Misalnya ikan di sungai/laut, burung di hutan dan lain-lain. Benda bergerak yang tidak ada pemiliknya disebut resnullius occupation terjadap benda tak bergerak akan menimbulkan persoalan sejak kapan seseorang itu dapat dianggap sebagai bezitter dari benda tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa pendapat yaitu: 1. Menurut ajaran Annaal bezit yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan bezitter terhadap benda tak bergerak setelah mendudukinya selama satu tahun terus menerus tanpa gangguan dari orang lain. Ajaran ini sebenarnya bertentangan dengan cara memperoleh hak milik karena verjaring. 2. Pendapat lain mengatakan bezitter benda tak bergerak secara langsung dikatakan bezitter pada waktu mulai membezitnya. 3. Pendapat tengah-tengah antara no. 1 dan no. 2 Membezit benda tak bergerak secara langsung menjadi bezitter tapi dalam jangka waktu satu tahun sejak dimulainya banda itu dibezit masih dapat diminta/digugat oleh pemiliknya. 2. Dengan cara tradition/derivative yaitu dengan cara bantuan dari orang lain. Misalnya membeli buku. Membezit benda bergerak ada dua teori: 1. Eigendomstheorie Menurut teori ini bezit benda bergerak berlaku sebagai alas hak yang sempurna, hak yang sempurna itu adalah hak milik. Jadi membezit benda bergerak sama dengan hak milik, bezitter adalah eigenaar. Teori ini mengabaikan syarat titel yang sah dan orang yang wenang untuk menguasai benda tersebut. Pengikutnya adalah Meijers. 2. Legitimaietheorie Bezit bukan/tidak sama dengan hak milik hanya saja barang siapa yang secara jujur membezit benda bergerak dia adalah sama. Menurut teori ini tetap harus ada titel yang sah dan tidak perlu berasal dari orang yang wenang untuk menguasai bendanya. Pengikutnya Scholten. Cara-cara lain untuk memperoleh bezit: 1. Traditio brevu manu/levering met de korte hand yaitu jika orang yang akan mengambil alih bezit itu sudah memegang benda tersebut sebagai houder. Misalnya: Si A meminjam buku pada B karena B membutuhkan uang uku tersebut dijual pada A.

2.

Constitum possessorium, jika orang yang mengopernya bezit itu berdasarkan suatu perjanjian dibolehkan tetap memegang benda itu sebagai houder.

Misalnya: Si A meminjam buku pada B karena B membutuhkan uang buku tersebut dijual kepada A tapi si B ternyata masih memerlukan buku itu tersebut maka buku itu dipinjamnya. 3. Berdasarkan pasal 538 KUHPerdata bezit dapat diperoleh dengan jalan melakukan perbuatan menarik kebendaan tersebut ke dalam kekuasaanya. Unsure harus melakukan perbuatan menarik ke dalam kekuasaannya merupakan unsure yang tidak mutlak, karena ada benda yang dapat di bezit tanpa perbuatan menarik ke dalam kekuasaan. Misalnya mendapat barang dari warisan. Warisan secara otomatis/secara hukum jatuh ke tangan ahli waris apabila si pewaris meninggal dunia. Jadi waris tersebut tidak melakukan perbuatan apa-apa. Siapa saja yang boleh memperoleh benda dengan bezit? Dalam pasal 539 KUHPerdata menyebutkan bahwa hanya orang gilalah yang tidak diperbolehkan memperoleh benda dengan bezit, jadi anak-anak yang belum dewasa dan wanita bersuami boleh membezit sesuatu benda. Kalau kita membicarakan bezit terhadap benda bergerak, perlu diingat asas yang berbunyi: Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna/bezit geldt als volkomen titel. Asas tersebut tersimpul dari isi pasal 1977 ayat 1 KUHPerdata. Misalnya : A meminjamkan buku kepada B, oleh B tersebut dijual kepada C. Siapakah yang dilindungi disini? Menurut pasal 1977 ayat 1 di atas yang dilindungi adalah si C yang beritikad baik. Tapi kalau barang si A hilang atau dicuri orang, maka berlaku pasal 1977 ayat 2nya. Intervensi/pertukaran daripada bezit Orang yang membezit suatu benda dapat bertukar menjadi houder atau sebaliknya tapi harus memenuhi syarat berikut: 1. Adanya perubahan kehendak dari orang yang ketempatan barang 2. Adanya bantuan/ikut sertanya pihak lain Seperti apa yang tercantum dalam pasal 536 KUHPerdata: Orang tidak bias merubah dasar bezit bagi dirinya sendiri, baik atas kehendaknya sendiri maupun dengan lampaunya waktu.

Pasal ini berarti bahwa hanya dengan perubahan kehendak saja atau dengan lampaunya waktu saja orang tidak dapat merubah bezitnya menjadi detentie atau sebaliknya dari detentie menjadi bezit jadi harus dengan ikut sertanya pihak lain. Bezitsactie/gugat daripada bezit Dalam hal ada gugatan terhadap bezit maka si bezitter dapat/berhak melakukan actie, asal dia itu betul-betul bezitter dan harus ada gangguan (pasal 550 KUHPerdata). Adapun bentuk gugatannya dapat berwujud: 1. minta pernyataan declaratoir dari hakim bahwa ia adalah bezitter dari benda tadi 2. menuntut agar jangan menggangu lebih lanjut 3. meminta pemulihan dalam keadaan semula 4. meminta penggantian kerugian detentor tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan gugat bezit. Cara-cara hilangnya bezit: 1. Binasanya benda 2. Hilangnya benda 3. Orang membuang benda itu 4. Orang lain memperoleh bezit itu dengan jalan traditio atau occupation (pasal 543 KUHPerdata). K. Hak igendom / Hak Milik Dulu hak eigendom ini merupakan hak mutlak sekali (droit inviolable et sacre), tapi dengan berkembangnya zaman maka kemutlakan dari hak eigendom ini semakin lama semakin pudar. Banyak terjadi pembatasan-pembatasan atau penggerogotan terhadak hak eigendom ini yang biasa disebut dengan uithollings proses. Seperti kita lihat batasan hak milik dalam pasal 570 KUHPerdata yang berbunyi: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan seseuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak menggangu hak-hak orang lain kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencanutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Jadi kalau kita simpulkan pembatasan-pembatasan terhadap hak milik menurut pasal 570 KUHPerdata adalah:

1. Undang-undang atau perauran umum lainnya 2. Tidak menggangu orang lain/tidak menimbulkan gangguan atau hinder 3. Pencabutan/onteigenning Ad.1. Pembatasan undang-undang atau peraturan umum lainnya Yang dimaksud dengan undang-undang disini adalah UU dalam arti formil sedangkan peraturan umum lainnya adalah peraturan yang berada di bawah UU. Ad.2. Tidak menggangu orang lain/Hinder Arrest yang terkenal mengenai gangguan ini adalah: a. Krul Arrest 30 Januari 1914 J.H.A. Krul pengusaha roti lawan H. Joosten Krul digugat di muka pengadilan karena pabriknya dengan suara-suara yang keras dan getarangetaran yang hebat dianggap menimbulkan gangguan H. Joosten. Gugatannya dikabulkan karena menimbulkan kerusakan benda disebut zaakbeschadiging misalnya tembok rumah retak. b. Arrest H.R. 31 Desember 1937 William Jan Nobel lawan sebuah perkumpulan mahasiswa Perhimpunan tersebut digugat karena mahasiswa itu di dalam gedung pertemuannya selalu menimbulkan/membikin gaduh dengan jalan berpesta-pesta sehingga menimbulkan gangguan para tetangganya. Ini juga termasuk hinder dimana gangguan yang ditimbulkan berupa

immaterial/onrechtmatigedaad. Gangguan ini dapat digugat melalui pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum. Tidak semua gangguan dapat digugat berdasarkan pasal 1365 tersebut tapi tergantung situasi dan kebiasaan masyarakat. Untuk sekedar pegangan gangguan yang bagaimanakah yang dapat digugat lewat pasal 1365 itu? Unsur-unsur Hinder: 1. Ada perbuatan yang melawan hukum 2. Perbuatan itu bersifat mengurangi/menghilangkan kenikmatan antara lain penggunaan hak milik seseorang.

Gangguan dikabulkan lewat pasal 1365, apabila: 3. Gangguan itu harus terhadap penggunaan hak milik secara normal/obyektif 4. Gangguan itu harus mengenai pemakaian hak milik sendiri bukan hak milik orang lain 5. Gangguan itu harus mengenai pemakaian yang sesungguhnya dari hak milik seseorang A.d.3. Pencabutan/Onteigenning Pencabutan sebenarnya termasuk kepada pembatasan terhadap hak milik oleh Undang-undang. Arrest yang terkenal mengenai pencabutan adalah: Arrest Lentera (H.R. 19 Maret 1904) sebuah Kotapraja Loosduinen membuat peraturan yang mewajibkan para pemilik tanah yang letaknya di tepi jalan umum untuk menyetujui pemasangan tiang-tiang lentera di dalam pekarangannya. Akibatnya ialah bahwa di pemilik tanah itu kehilangan semua kenikmatan atas sejengkal tanah dimana tiang-tiang lentera itu didirikan. Selain pembatasan tersebut di atas masih ada pembatasan lain di luar pasal 570 B.W. terhadap berlakunya hak milik yaitu: 1. Hukum Tetangga; pasal 626, 628 KUHPerdata

Adanya kewajiban untuk menerima aliran air dari tanah yang lebih tinggi ke tanah yang lebih rendah, jadi tidak boleh membendungnya/pasal KUHPerdata.

Adanya kewajiban untuk membiarkan pemilik pekarangan yang letaknya di tengahtengah untuk mengadakan jalan keluar menuju jalan besar dan lain-lain.

2.

Penyelahgunaan Hak/Abus du droit / Misbruik van Recht yaitu dimana seseorang didalam menggunakan haknya itu merugikan orang lain. a. Arrest Colmar di Perancis yaitu arrest tentang berobong asap Kasusnya: seseorang mendirikan cerobong asap palsu di rumahnya dengan maksud untuk menggangu pemandangan rumah tetangganya. b. Arrest H.R. 1936 di Mokerheide di Belanda Kasusnya: seorang Ir bertentangga dengan seorang Mr., karena mereka berselisih si Ir. mendirikan tiang di pekarangannya yang disampiri dengan kain-kain kumal yang akibatnya menutupi pemandangan indah dari rumah si Mr.

Si Mr. mengugat ke pengadilan dan dikabulkan. Si Ir. tidak puas, ia mendirikan menara dengan tempat air/water molen tapi tidak dipasang pipa air di tempat yang sama. Tujuannya hanya untuk menggangu pemandangan rumah tetangganya itu. Si Mr. menggugat lagi dan dikabulkan. Si Ir. Mengugat lagi dan dikabulkan. Si Ir. masih belum puas, kemudian ia memasang pompa airnya dan digunakan. Si Mr. mengugat lagi tapi kali ini tidak dikabulkan karena bukan penyalahgunaan hak. Jadi kalau begitu criteria apa yang dipakai/yang harus dipenuhi supaya suatu perbuatan itu dikatakan abus du droit? Mengenai hal ini ada dua pendapat, yaitu: 1. Jurisprudensi Abus du droit harus memenuhi dua unsure: a. perbuatan itu harus tidak masuk akal

b. perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk merugikan orang lain 2. Menurut Pitlo Sekalipun perbuatan itu masuk akal dan perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk merugikan orang lain tapi jika manfaat yang diperoleh oleh orang yang berbuat tidak seimbang dengan kerugian yang diderita oleh orang lain menurutnya sudah abus du droit. Asas yang dianut oleh KUHPerdata adalah asas accessie yang dapat kita lihat secara jelas antara lain dalam pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya kemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan didalam tanah (ayat 1). Gugat/Actie terhadap hak milik Hak milik dilindungi beberapa gugat diantaranya yang diatur oleh UU adalah gugat revindicatie, pasal 574 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan bahwa tiap-tiap pemilik suatu kebendaan berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya, akan pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya. Gugat ini dapat diajukan oleh pemilik kepada Hakim supaya bendanya disita/dibeslag. Oleh karena itu beslagnya disebut beslag revindicator. Gugat ini dapat terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak hanya saja terhadap benda bergerak terdesak oleh pasal 1977 ayat 1 KUHPerdata.

Bagaimana caranya penggugat untuk meminta kembali hak miliknya itu? Menurut Jurisprudensi pemilik cukup mengemukakan bahwa benda yang diminta kembali itu adalah hak miliknya dia tidak usah mengemukakan bagaimana caranya memperoleh hak milik itu. Cara-cara memperoleh hak eigendom menurut pasal 584 B.W. 1. Pengakuan/pemilikan/pengambilan/accupatio/toe eigening 2. Perlekatan/ikutan/accession/natrekking 3. Daluwarsa/verjaring 4. Pewarisan/erfopvoging 5. Penyerahan/levering/op-dracht/overdracht/trans/cessie/inbreng

Ad. 1. Pengakuan/pemilikan/pengambilan/accupatio/toe eigening Pengakuan adalah suatu cara untuk memperoleh hak eigendom atas benda bergerak yang belum ada pemiliknya (res nullius), misalnya: mengail ikan di sungai, mengambil sarang burung tawon di hutan, mengail ikan di laut dan lain-lain. Occupation terdapat benda tak bergerak berlaku pasal 520 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainnya yang tak terpelihara dan tiada pemiliknya, sepertipun kebendaan mereka yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisannya telah ditinggalkan adalah milik negara. Ad. 2. Perlekatan/ikutan/accession/natrekking Perlekatan adalah cara memperoleh hak eigendom atas benda karena benda itu mengikuti benda yang lain, misalnya kalau kita membeli tanah otomatis sudah termasuk apa yang ada di atas dan dibawahnya. Dengan lain perkataan benda pelengkap selalu mengikuti benda pokok. Hal ini terdapat dalam BW, karena BW menganut asas vertical yang berbeda dengan Hukum Adat yang menganut asas pemisahan secara horizontal. Ad. 3. Daluwarsa/verjaring Daluwarsa adalah suatu cara untuk setelah lewatnya suatu waktu tertentu memperoleh hak atau dibebaskan dari suatu ikatan atau hak, misalnya: bebas dari pembayaran sesuatu hutang. Jadi memperoleh hak milik berdasarkan verjaring itu menimbulkan du dua akibat yaitu: a. b. Memperoleh hak/acquistieve verjaring Sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu penagihan/tuntutan hukum disebut extinctieve verjaring.

Benda-benda yang boleh diperbolehkan secara verjaring menurut pasal 1963 B.W. adalah: 1. Benda tak bergerak 2. Bunga-bunga dan piutang atas nama atau op naam Tujuan daluwarsa adalah untuk menghilangkan keragu-raguan apakah orang itu sebagai eigenaar atau bezitter. Cara memperoleh hak milik dengan verjaring 6. Jika ada pemilikan yang terus menerus dan tidak terganggu 7. Pemilikan itu harus diketahui umum 8. Pemilikan itu harus bezitter yang beritikad baik dengan tidak merugikan orang lain. 9. pemilikan itu harus selama 20 tahun kalau ada alas hak (titel) dan 30 tahun kalau tidak ada alas hak. A.d. 4 Pewarisan/erfopvoging Pewarisan adalah cara memperoleh hak eigendom dengan cara warisan baik menurut UU ataupun menurut wasiat yang selanjutnya akan dibahas dalam Hukum Waris. A.d. 5 Penyerahan/levering/op-dracht/overdracht/trans/cessie/inbreng Oenyerahan adalah cara memperoleh hak eigendom dengan cara penyerahan suatu benda oleh eigenaar atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak eigendom atas benda itu. Menurut B.W. setiap perbuatan hukum tanpa adanya penyerahan (belum adanya penyerahan) belum dikatakan terjadi beru menimbulkan perjanjian obligatoir saja belum ada perjanjian zakelijk. Seperti kita ketahui bahwa benda itu ada bermacam-macam ada yang berwujud dan tidak berwujud ada juga benda bergerak dan tidak bergerak. Oleh karena itu leveringnya juga berbeda-benda tergantung dari macam bendanya. Untuk benda bergerak yang berwujud leveringnya dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Penyerahan dari tangan ke tangan atau penyerahan secara nyata 2. Penyerahan secara simbolis 3. Penyerahan secara traditio brevu manu 4. Penyerahan secara constitutum posessorium Penyerahan benda bergerak yang tidak berwujud dengan cara:

1. Piutang atas nama (op naam) dilakukan dengan cessie yaitu dengan membuat akte authentic atau akta di bawah tangan dalam mana dinyatakan bahwa piutang itu telah dipindahkan kepada seseorang. Kreditur lama disebut cessus Kreditur Baru disebut cedent Perpindahan atau perbuatannya disebut cessie 2. Piutang atas bawa atau atas tunjuk (aan toonder), penyerahnnya dilakukan dengan penyerahan nyata. 3. Piutang atas perintah (aan order) penyerahannya dilakukan dengan penyerahan dari surat disertai dengan endossemen (ditulis dibelakang surat itu bahwa piutang itu telah dialihkan pada seseorang). Penyerahan benda tidak bergerak. Dilakukan dengan balik nama dengan pendaftaran dilaksanakan di temapt RVJ dan dihadapan Hakim RVJ. Harus ada ijin dari Menteri Kehakiman dan harus dikutip dalam register eigendom dan didelegasikan kepada Jaksa Pengadilan Negeri (dulu). Penyerahan benda tak bergerak diatur dalam S. 1834 No. 27 yaitu dalam Overschrijving Ordonantie. Pada tahun 1947 pendaftarannya harus dilakukan dihadapan Kepala Seksi Pendaftaran Tanah (Kadaster) diatur dalam UU No. 53/1947. Pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 24, L. 1954 No. 78 yang mengatur tentang penyerahan benda tak bergerak yaitu harus mendapat ijin dari Menteri Kehakiman yang dikuasakan kepada Jaksa Pengadilan Negeri. Sekarang setelah berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 perpindahan hak milik atas sebidang tanah harus dilakukan dan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan didaftarkan ke Seksi Pendaftaran Tanah, diatur dalam PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Syarat-syarat Penyerahan 1. Harus ada perjanjian zakelijk yaitu perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan. 2. Harus ada titel atau alas hak atau alas perdata. Tentang titel ini ada dua teori, yaitu: a. Teori Causal

Meneurut teori ini sahnya penyerahan tergantung pada alas hak jika alas haknya sah maka penyerahannya sah dan sebaliknya. Jadi harus ada titel yang nyata Pengikutnya antara lain Diephuis, Scholten b. Teori Abstrak Menurut teori ini penyerahan dan alas hak itu merupakan hal yang terpisah satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak yang nyata. Jadi bias terjadi bahwa penyerahan itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah tanpa titel sekalipun. Menurut pasal 584 KUHPerdata penyerahan itu harus memenuhi adanya titel tapi bias nyata atau titel anggapan. Oleh karena itu baik ajaran causaal maupun ajaran abstrak untuk sahnya suatu penyerahan memerlukan adanya titel hanya bedanya menurut ajaran causal titelnya harus nyata/riil sedang dalam ajaran abstrak titelnya cukup dengan titel anggaran saja. 3. Harus dilakukan oleh orang yang wenang menguasai benda tadi. Syarat ini merupakan pelaksanaan dari asas hukum yaitu asas Nemoplus yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak dapat memperalihkan hak melebihi apa yang menjadi haknya. Dan lazimnya yang wenang untuk menguasai benda itu adalah pemiliknya atau kuasanya. 4. Harus ada penyerahan atau formalitas tertentu yaitu adanya penyerahan nyata dan penyerahan yuridis, feitelijke dan juridische levering. Dalam bahasa Perancis ada dua macam istilah yaitu: 1. traditio (juridische levering) 2. deliverance (penyarahn nyata0 Untuk benda bergerak penyerahan nyata dan penyerahan juridis bersamaan terjadinya. Untuk benda tak bergerak antara penyerahan nyata dengan penyerahan juridis tidak bersamaan. Misalnya jual beli sebidang tanah penyerahan juridisnya terjadi pada waktu dibuatnya akte perpindahan hak dihadapan PPAT sedang penyerahan nyatanya pada waktu akte tersebut diserahkan kepada yang berhak. Cara-cara memperoleh hak eigendom dalam pasal 584 KUHPerdata itu bersifat limitative atau terbatas terbukti dari kata-kata: hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain melainkan .

Hal ini tidak benar karena diluar pasal tersebut masih ada cara lain untuk memperoleh hak milik jadi tidak hanya lima cara saja seperti yang disebutkannya. Cara-cara memperoleh hak eigendom di luar pasal 584 KUHPerdata 1. Perjadian benda/pembentukan benda (zaakvorming, 606) 2. Penarikan hasil (vruchttrekking, 575) 3. Persatuan benda (vereniging, 607-609) 4. Pencabutan hak (onteigening) 5. Perampasan (verbeurverklaring, 10 jo. 39) 6. Percampuran harta (boedelmenging, 119) 7. Pembubaran sebuah badan hukum (ontbinding van Rechtspersoon, 1665) 8. Abandonnement, 663 WVK Ad. 1. Perjadian benda/pembentukan benda (zaakvorming, 606) Benda yang sudah ada dijadikan benda baru, misanya: 1. kayu ukir menjadi patung 2. pasir dan batu, semen dilepe menjadi rumah gedung. orang yang dengan bendanya sendiri menjadikan benda baru juga menjadi pemilik dari benda baru itu. A.d. 2. Penarikan hasil (vruchttrekking, 575)

Bezitter yang beritikad baik dapat menjadi pemilik dari buah-buahan/hasil dari benda yang dibezitnya. Misalnya: - Seseorang mempunyai seekor sapi betina kemudian sapi itu melahirkan seekor anak sapi maka anak sapi tersebut adalah milik dari pemilik tadi. - Seseorang mempunyai pohon kelapa dan berbuah maka buahnya itu adalah milik yang punya pohon kelapa tadi. A.d. 3 Persatuan benda (vereniging, 607-609) Memperoleh hak milik karena bercampurnya beberapa macam benda kepunyaan beberapa orang. Jika bercampurnya benda itu karena kebetulan jadi bukan keinginan orang-orang tersebut maka benda itu menjadi milik bersama seimbang dengan harga benda mereka semula. Tapi apabila bercampurnya benda tersebut atas keinginan orang-orang tersebut (pemiliknya) maka dialah menjadi pemiliknya dengan kewajiban membayar harga barang-barang yang bercampur itu ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunganya.

A.d. 4 Pencabutan hak (onteigening) Penguasa dapat memperoleh hak milik dengan jalan pencabutan hak tapi harus memenuhi sayarat-syarat berikut: a. harus berdasarkan undang-undang jadi harus ada undang-undang pencabutan hak terlebih dahulu

b. harus ada kepentingan umum c. harus dengan penggantian kerugian yang layak A.d. 5 Perampasan (verbeurverklaring, 10 jo. 39) Sebagai hukuman tambahan yang dijatuhkan penguasa terhadap terdakwa maka penguasa dapat memperoleh hak milik dengan jalan perampasan. A.d. 6 Percampuran harta (boedelmenging, 119) Suami atau isteri dapat memperoleh hak milik karena adanya percampuran harta kekayaan apabila mereka mengadakan suatu perkawinan. Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan maka secara otomatis kekayaan menjadi bersatu/bercampur antara harta si suami dan harta di isteri kecuali kalau ada perjanjian perkawinan. A.d. 7 Pembubaran sebuah badan hukum (ontbinding van Rechtspersoon, 1665) Jika ada pembubaran sebuah badan hukum maka anggota badan hukum yang masih ada dapat memperoleh harta kekayaan dari badan hukum tersebut. Misalnya sebuah PT dimana kekayaannya terpisah antara kekayaan pribadi dengan kekayaan PT tersebut. Apabila terjadi pembubaran maka kekayaan PT tersebut menjadi hak milik dari para anggota yang masih ada. A.d. 8 Abandonnement, 663 WVK Diatur dalam pasal 663 WVK. Mengenai kapal-kapal dan barang-barang yang dipertanggungkan dapat diabandonir atau diserahkan saja kepada si penanggung dalam hal pecahnya kapal atau karamnya kapal. Hak milik bersama atau medeeigendom Hak milik selain dipunyai oleh perseorangan dapat juga dimiliki oleh lebih dari seorang yang disebut dengan medeeigendom yang diatur dalam pasal 573 KUHPerdata. Hak milik bersama ini ada dua macam yaitu: 1. Hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) 2. hak milik bersama yang terikat (gebon medeeigendom)

a.d. 1. Hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) a. Di dalam medeeigendom ini tidak ada hubungan lain selain hal bersama menjadi pemilik antara mereka. b. Memang adanya kehendak dari mereka bersama untuk memiliki benda tersebut secara bersamasama. c. Tidak adanya kesatuan yang berbentuk suatu badan usaha dari benda bersama tersebut. Semua ini pendapat dari pitlo. d. Jika para pemilik dari benda tersebut dapat meminta pemisahan bagian terhadap benda bersama itu. e. Karena mereka masing-masing mempunyai bagian yang merupakan obyek harta kekayaan yang berdiri sendiri mereka mempunyai wewenang untuk menguasai bagiannya itu dan berbuat apa saja terhadap bendanya tanpa diperlukan ijin dari yang lainnya. f. Tiap-tiap medeeigenaar mempunyai bagian dalam hak milik itu misalnya: separoh atas milik bersama.

A.d. 2. Hak milik bersama yang terikat (gebon medeeigendom) a. Dalam medeeigendom terikat timbul karena adanya beberapa orang secara bersama-sama menjadi pemilik atas sesuatu benda itu akibat dari adanya hubungan yang sudah ada lebih dulu antara para pemilik itu. Misalnya adanya harta bersama suami isteri karena perkawinan terlebih dahulu harta peninggalan karena adanya yang meninggal dunia. b. Medeeigendom terikat pemiliknya tidak dikehendaki atau setengah dikehendaki misalnya warisan, para pesero menjadi milik bersama karena keharusan. c. d. Nampak adanya kesatuan mengenai benda bersama dan biasanya berbentuk suatu badan usaha. Dalam medeeigendom terikat tidak mungkin terhadap milik bersama itu diadakan pemisahan dan pembagian. e. Wewenang untuk berbuat sesuatu terhadap benda bersama harus ada ijin dari medeegenaar yang lainnya. f. Para pemilik dalam harta bersama yang terikat itu berhak atas seluruh bendanya. Cara-cara hilangnya hak milik 1. Karena orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara untuk memperoleh hak milik di atas.

2. karena binasanya benda 3. karena eigenaar melepaskan benda tersebut melepasakan dalam hal ini adalah dengan maksud untuk melepaskan hak milik. Jadi bukan karena kehilangan atau terpaksa melemparkan benda tersebut ke laut karena keadaan darurat dan lain-lain. Dalam hal yang demikian hak pemiliknya tetap ada pada pemilik semula.

L. HAK MILIK MENURUT ISLAM

Hukum Milik Milik/al-milk adalah penguasaan terhadap sesuatu, sesuatu yang dimiliki (harta). Sebab Pemilikan menurut ulama fikih ada empat cara yang disyariatkan Islam,yaitu : 1. Ihraz al-mubahat, yakni melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum lain, yang dalam hukum Islam disebut sebagai harta yang mubah. Contoh: ikan di laut lepas 2. Melalui suatu akad ( transaksi ) yang di lakukannya dengan orang atau suatu badan. Contoh: jual beli hibah dan wakaf 3. Melalui khalafiyah (penggantian) baik penggantian dari seseorang kepada orang lain (waris) maupun penggantian sesuatu dari suatu benda yang disebut tadmin (ganti rugi). 4. Melalui tawallud min mamluk, yaitu hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang baik secara alamiah atau melalui suatu usaha pemiliknya. Sifat Kepemilikan Islam sangat menghormati kemerdekaan seseorang untuk memiliki sesuatu selama sejalan dengan cara yang digariskan syarah. Pemilik harta secara hakiki adalah Allah SWT. Seseorang dikatakan memiliki harta hanya secara majasi dan harta itu merupakan amanah di tangan-Nya yang harus dipergunakan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain (QS. 5 : 120 dan Qs. 57 : 7). Ulama fikih membagi harta yang dapat dimilki seseorang ada tiga bentuk, yaitu: 1. harta yang dapat dimiliki dan dijadikan dalam penguasaan seseorang secara khusus. 2. harta yang sama sekali tidak dapat dijadikan milik pribadi. Contoh: jalan umum

3. harta yang hanya dapat dimiliki apabila ada dasar hukum yeng membolehkannya. Contoh: wakaf Macam-macam pemilikan menurut sifatnya 1. Milik materi dan manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga seluruh hak itu berada di bawah penguasaannya milik mutlak. Contoh: memiliki sebuah rumah 2. Milik tidak sempurna (al-milk an-naqis0 apabila seseorang hanya menguasai materi harta tapi manfaatnya dikuasai orang lain. Milik ini terjadi karena:

Al iarah (pinjam meminjam) Ijarah (sewa menyewa) Wakaf (untuk kepentingan orang diberi wakaf) Wasiat (pemberian secara sukarela) Ibarah (penyerahan manfaat milik seseorang kepada orang lain) untuk kepentingan umum

Macam pemilikan dilihat dari obyeknya ada tiga bentuk, yaitu: 1. milk al-ain yakni pemilikan berupa benda baik benda bergerak atau tidak bergerak. 2. milk al-manfaah yaitu pemilikan terhadap manfaat suatu benda. 3. milk ad-dain yakni pemilikan terhadap utang yang ada pada orang lain. Berakhirnya Pemilikan apabila: a. Wafatnya pemilik sehingga seluruh miliknya berpindah kepada ahli warisnya.

b. Harta yang dimiliki itu rusak/hilang. c. Habis masa berlakunya pemanfaatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulwahab Bakri, Hukum Benda, Hukum Perikatan.

Ali Afandi, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, 1984. K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976. Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985. R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 1984. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Badan Pribadi, Hukum Perdata, Hukum Benda Yogyakarta, PB. Gajah Mada, 1964. Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Sumur Bandung, 1976. Perundang-undangan Undang-undang Pokok Perkawinan No. I/1974. Peraturan Pemerintah No. 9/1975. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Keputusan Presiden No. 12/1983. Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung RI, 1991. Ensiklopedi Hukum Islam : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai