Anda di halaman 1dari 29

Skrining kanker serviks: Pemeriksaan yang jarang, pemeriksaan yang lebih pintar

Xian Wen Jin,MD,PhD,FACP, Andrea Sikon,MD, Belinda Yen-Lieberman,PhD

Abstrak: dalam

rekomendasinya untuk skrining kanker serviks,

American

College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG) menyebutkan untuk pemeriksaan yang lebih jarang namun lebih pintar dan mengintegrasikan pemeriksaan HPV dengan pemeriksaan Papanicolaou (Pap). Dalam jutnal ini akan dibahas rekomendasi dari ACOG dan organisasi-organisasi lain dan bagaimana mereka berkembang dan mengapa.

Poin-poin kunci Guidelines ACOG 2009 merekomendasikan untuk memulai skrining dan pemeriksaan PAP pada usia yang lebih tua (21 tahun) dibandingkan guidelines yang lama, dan mereka merekomendasikan interval skrining yang lebih lama untuk wanita usia 20 tahun, setiap 2 tahun dibandingkan sebelumnya setiap 1 tahun. Wanita umur 30 tahun dan yang lebih tua harus melakukan kedua pemerikasaan yaitu pemeriksaan Pap dan HPV. Apabila kedua hasilnya negatif, skrining sebenarnya dilakukan lagi tidak kurang dari 3 tahun. Alternatif lain, wanita usia 30 tahun atau lebih dari 30 tahun yang telah mendapatkan hasil negatif dari pemeriksaan Pap dapat diskrining dengan pemeriksaan Pap setiap 3 tahun. Meskipun vaksinasi dapat mencegah kebanyakan infeksi HPV risiko tinggi, hal ini tidak menyingkirkan kebutuhan untuk melanjutkan skrining kanker serviks, karena vaksinasi tidak melindungi dari semua subtipe HPV risiko tinggi.

Skrining dapat dihentikan pada usia 65 sampai 70 tahun pada wanita yang mendapatkan hasil negatif 3kali pemeriksaan Pap berturut-turut dalam 10 tahun terakhir.

Skrining kanker serviks dan pencegahan telah berkembang pesat dalam decade terakhir. Khususnya 5 tahun ini sejak pengenalan vaksin pencegahan kanker serviks , vaksin HPV (Human Papilloma Virus) rekombinan. Penyedia pelayanan kesehatan harus mengerti alasan untuk rekomendasirekomendasi yang ada, sehingga mereka dapat menjelaskan kepada pasien. Khususnya, pasien mungkin bertanya-tanya mengapa skrining yang sekarang dimulai pada usia yang lebih tua, dan mengapa tidak perlu lebih sering untuk skrining. Kedua perubahan ini dihasilkan dari peningkatan pemahaman dari peran HPV dalam pembentukan kanker serviks. Dalam artikel ini kita akan secara jelas dibahas: Pemahaman sekarang dari sejarah alami kanker serviks Keuntungan dan kerugian dari sitologi, contohnya pemeriksaan Pap Peran pemerikasaan HPV dalam skrining kanker serviks Guidelines skrining kanker serviks terbaru (standar pelayanan baru) Kemungkinan strategi skrining di masa depan, pengaruh vaksinasi HPV pada skrining 500.000 Kasus Baru Setiap Tahun. Insidensi kanker serviks dan angka kematiannya telah menurun lebih dari 50% di Amerika serikat selama 3 dekade terakhir, yang secara besar-besaran hasil dari skrining dari pemeriksaan Pap. Pada 2010, diperkirakan 12.200 kasus baru

kanker serviks invasif dan 4.210 kematian dari angka tersebut, yang mana lebih rendah dari angka-angka sebelumnya. Namun, karena kebanyakan Negara-negara berkembang kekurangan program skrining yang efektif, kanker serviks masih menjadi penyebab kematian terbanyak

kedua pada wanita di dunia. Bedasarkan dari perkiraan terakhir, terdapat kurang lebih 500.000 kasus baru dan 240.000 kematian dari penyakit ini di seluruh dunia setiap tahun. Apabila program skrining yang efektif dapat dijalankan, maka akan terdapat penurunan angka yang signifikan dari insidensi dan kematian dari kanker serviks. HPV memang dibutuhkan , namun tidak cukup dalam pembentukan kanker serviks Untuk kanker serviks dapat berkembang, langkah penting pertama adalah infeksi dari epitel serviks dengan satu dari HPV tipe onkogenik risiko tinggi. Walboomers et al memeriksa sampel jaringan serviks yang diambil dari 932 wanita dengan kanker serviks dan mendeteksi DNA HPV pada 930 (99,8%) dari keseluruhan. Untungnya, kebanyakan wanita yang terinfeksi HPV tidak berkembang menjadi kanker serviks, dan kebanyakan wanita muda bebas infeksi pada rata-rata umur 824 bulan. Namun, apabila infeksi menetap, dan infeksi tersebut berasal dari salah satu tipe HPV risiko tinggi, lesi prekursor dapat berkembang menjadi kanker serviks. Bukti-bukti menyimpulkan terdapat hubungan antara infeksi HPV onkogenik dengan perkembangan semua kasus kanker serviks. Diketahi faktor risiko untuk persisten HPV dan perkembangan lesi high grade adalah merokok tembakau dan sistem daya tahan tubuh yang menurun. Terminologi: Hasil dari Pap smear

Normal Atypical squamous cell of unddeterminated significance (ASC-US) Low-grade squamous intraepithelial lesions (LSIL) High-grade squamous intraepithelial lesions (HSIL) Cancer

Terminology: Hasil dari biopsi serviks Normal Cervical intraepithelial neoplasia grade I (CIN1) CIN2 (sebelumnya dikatakan dysplasia sedang) CIN3 (sebelumnya dikatakan dysplasia berat) Carcinoma in situ Kanker serviks invasive

Lesi CIN2 atau lebih tinggi dianggap lesi high-grade 18 tipe HPV risiko tinggi Lebih dari 40 tipe dari HPV yang menginfeksi traktus genitalis, 18 diantaranya (tipe 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66, 68, 73 dan 82) diklasifikasikan sebagai risiko tinggi karena hubungan kausatif dengan kanker serviks (potensial onkogeniknya) Bagaimana HPV menyebabkan kanker serviks Penelitian ilmu dasar telah menyediakan pandangan bagaimana tipe HPV risiko tinggi menyebabkan kanker serviks. (Gambar 1) Dalam kultur laboratorium, sel normal manusia mati setelah beberapa generasi. Namun apabila sel manusia terinfeksi oleh satu dari tipe HPV risiko tinggi, sel dapat terus membelah dengan tak terbatas. Dua protein HPV, E6 dan E7 menginduksi pengabadian sel ini. E6 dari tipe HPV risiko tinggi berikatan dengan protein tumor supresor p53 dan secara cepat mendegradasi protein p53 melalui proses proteolitik. Protein p53 normalnya menekan proliferasi sel dengan menahan pertumbuhan dalam fase G1 dari siklus sel. Dengan demikian, dengan p53 yang sedikit, sel tidak dapat menekan pertumbuhan sel yang tidak berkembang.

Dengan cara yang sama, E7 dari HPV risiko tinggi membentuk komplek dengan protein tumor-supresor yang lain , protein retinoblastoma (pRB), dan mengacaukan perlekatannya dengan faktor transkripsional, E2F-1. E2F-1 yang bebas kemudian menstimulasi sintesis DNA dan pertumbuhan sel yang tak terkontrol. Lebih jauh lagi, protein E6 dan E7 HPV-16 dapat secara bersama menyebabkan genetik sel yang tidak stabil. Mekanisme karsinogenik dari HPV risiko tinggi cukup rumit. Sistem imun host dan tumor supresor alami memainkan peranan penting. Namun, sejarah alami dari CIN belum begitu dimengerti dengan baik. Sebagai contoh, masih belum jelas bila lesi low-grade seperti CIN1 diperlukan sebagai prekursor ke arah lesi high-grade dan kanker invasif. Human Papiloma Virus Pada Kanker Serviks Infeksi persisten dengan Human Papillomavirus (HPV) tipe resiko tinggi bertanggung jawab hamper pada semua kasus karsinoma serviks sel squamosa. Pemeriksaan HPV lebih sensitive dibandingkan sitologi servik untuk mendeteksi lesi prekanker servikal. Lesi Prekanker serviks diurutkan dari dysplasia grade rendah (neoplasia intraepithelial serviks grade 1 (CIN 1) ke dysplasia sedang (CIN 2) menjadi dysplasia parah (CIN 3) dapat memicu perkembangan kanker serviks invasive.

Pemeriksaan Pap : spesifik tapi tidak begitu sensitif dan rentan terjadi kesalahan. Keuntungan utama dari pemeriksaan sitologis serviks (contohnya pemeriksaan Pap) dalam mendeteksi dysplasia serviks adalah spesifik secara keseluruhan. Banyak penelitian menemukan bahwa spesifisitas dari pemeriksaan Pap konvensional dapat mencapai kira-kira 98%. Namun, pemeriksaan Pap konvensional memiliki kekurangan, kontaminan seperti darah, discharge, dan lubrikan dapat menyebabkan sulitnya interperetasi, dan artifak dapat terbentuk saat pengeringan dengan udara saat ditransfer ke slide (air-drying artifact). Penelitian sitologis berbasis-cairan telah menggantikan metode yang lebih lama.

Untuk mengatasi kekurangan ini, metode berbasis cairan dari penelitian sitologis servikal, ThinPrep (Hologic, Bedford, MA), telah dikenalkan pada pertengahan tahun 1990. Pada metode ini, sampel sel pertama-tama dipindahkan ke larutann cair untuk pemisahan dari kontaminan secara mekanis, dan sel representative kemudian diletakkan pada slide untuk dinilai. Metode berbasis cairan menyaring kebanyakan kontaminan seperti darah, sel radang, dan debris, serta menghilangkan air-drying artifact pada teknik pengambilan sampel Pap konvensional dan meningkatkan keadekuatan specimen. Ahli sitoteknologi menemukan specimen berbasis cairan lebih mudah dibaca karena sel lebih terdistribusi mendatar pada latar yang lebih bersih. Keuntungan lainnya adalah kita dapat melakukan pemeriksaan rutin untuk HPV pada specimen residu yang tersedia apabila interpretasi sitologis abnormal. Kerugian utama dari metode berbasis cairan adalah spesifitasnya kurang dari Pap smear konvensional (sekitar 78%) dan harganya lebih mahal. Meskipun demikian teknik berbasis cairan telah menjadi metode utama dari sitologi serviks, digunakan oleh hampir 90% ahli ginekologis di Amerika Serikat sejak 2003. Sitologi masih rentan terhadap hasil negatif Walaupun kesuksesan kedua pemeriksaan Pap konvensional dan Pap berbasis cairan, sitologi serviks masih rentan terhadap variasi kualitas sampel. Kesalahan interpretaswi subjek, dan hasil negatif palsu. Hasil negatif palsu dapat akibat dari kegagalan saat pemindahan sel dysplasia ke dalam slide atau kegagalan dari ahli sitologi untuk mengenali sel abnormal. Pada 30% kasus baru dari kanker serviks, pasien sebelumnya mendapatkan hasil tes Pap yang negatif. Kesalahan dalam interpretasi diperburuk oleh inkonsistensi di antara para ahli citopatologis. Dalam suatu penelitian, saat sebuah kelompok patologis qualitycontrol mereview sekita 5000 spesimen sitologis, mereka memiliki kesimpulan yang sama bahwa pembaca yang sebelumnya melakukan lebih dari 50% waktu hanya untuk membaca hasil negatif dan LSIL.Dari specimen yang sebelumnya dilaporkan sebagai ASC-US, hampir 40% diklasifikasikan ulang sebagai hasil

yang negatif pada pembacaan yang lebih mendalam. Dan yang sebelumnya dibaca sebagai HSIL, lebih dari 50% telah diklasifikasi ulang sebagai LSIL, ASC-US, atau sebagai negatif. Lebih jauh lagi, banyak penelitian menemukan bahwa sensitifitas dari pemeriksaan Pap konvensional hanya sekitar 50%. Pemeriksaan Pap berbasis cairan yang baru menggunakan pencitraan computer, yang mana meningkatkan angka deteksi dari dysplasia serviks namun masih dapat kelewatan 15% sampai 35% dari kasus HSIL (dysplasia berat) atau kanker. Kegagalan mendeteksi dysplasia serviks atau kanker pada Pap smear telah menyebabkan beberapa

tuntutan ke meja pengadilan. Dengan jelas, dengan sensitifitasnya yang relatif rendah, sitologi serviks tidak lagi cukup baik untuk digunakan sebagai skrining tunggal pada semuat situasi. Namun, spesifitasnya yang tinggi adalah keuntungan yang tinggi jika dikombinasikan dengan pemeriksaan HPV. Pemeriksaan HPV dan pemeriksaan Pap melengkapi satu sama lain 17% hingga 36% dari wanita yang terinfeksi HPV berkembang menjadi sebuah sitologi yang abnormal dalam 5 tahun, dibandingkan dengan 4% hingga 15% dari wanita yang tidak terinfeksi HPV. Kegunaan dari pemeriksaan HPV pada wanita yang telah mendapatkan hasil pemeriksaan Pap yang abnormal telah didemonstrasikan penelitian. Penunjuk dari Atypical Squamous Cells of Undeterminated Significance/ LowGrade Squamous Intraepithelial Lesions Triage Study (ALTS) menemukan bahwa 82,9% dari wanita dengan LSIL adalah positif HPV. Peneliti menyimpukan bahwa pemeriksaan HPV memiliki kegunaan yang rendah pada wanita dengan LSIL, karena pemeriksaan sekiranya akan positif dan hal ini tidak akan mengubah keputusan untuk melakukan kolposkopi. dalam berbagai

Namun, pada wanita dengan ASC-US, sensitifitas pemeriksaan HPV memprediksi CIN 3 atau kanker adalah 96,3% dan perkiraan nilai negatif adalah 99,5%. Dibandingkan dengan sensitifitas dari Pemeriksaan Pap yang hanya 44,1%. Penelitian ini menyimpulkan pentingnya pemeriksaan HPV pada wanita dengan ASC-US. Yang lebih baru, sebuah penelitian meta analisis dari 20 penelitian tentang pemeriksaan HPV pada wanita dengan ASC-US menemukan bahwa pemeriksaan HPV memiliki sensitifitas 92,5% dan spesifitas 62,5% untuk mendeteksi CIN2 atau lesi yang lebih jelek, dan sensitifitas 95,6% dan spesifitas 59,2% untuk mendeteksi CIN3 atau lesi yang lebih jelek. Lebih jauh lagi, pemeriksaan HPV pada skrining primer kanker serviks didukung secara kuat oleh penelitian cross sectional yang besar. Penelitian-penelitian ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan HPV secara signifikan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan Pap untuk mendeteksi CIN, dan kemudian menyimpulkan bahwa kombinasi pemeriksaan HPV dengan Pap, dapat mencapai sensitifitas klinis hingga 100% dan spesifitas mendekati 93% pada wanita usia 30 tahun atau lebih. Wanita yang memiliki hasil negatif dari kedua pemeriksaan, dapat dikatakan memiliki risiko yang sangat rendah untuk menderita CIN2, CIN3, atau kanker serviks yang tidak terdeteksi, semenjak pemeriksaan HPV memiliki nilai prediksi negatif mendekati 100%. Dalam penelitian besar-besaran Eropa Multinasional melibatkan lebih dari 24.000 wanita, risiko CIN3 atau kanker setelah 6 tahun follow-up hanya 0,28% pada wanita dengan hasil negatif dari pemeriksaan Pap dan HPV. Hasil ini sama dengan wanita yang diperiksa dengan pemeriksaan HPV saja (0,27%). Namun, hal ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan wanita dengan hasil pemeriksaan Pap negatif (0,97%). Kombinasi dari pemeriksaan HPV dan Pap pada interval 6 tahun menawarkan perlindungan yang lebih baik daripada hanya pemeriksaan Pap saja selama interval 3 tahun.

Standar baru Perawatan : Petunjuk Skrening Terbaru

Hingga pertengahan tahun 1990, strategi untuk skrening kanker serviks tidak banyak berubah selama beberapa tahun. Sejak itu, beberapa perkembangan telah mengubah standar perawatan. 1996- US Food and Drug Administration membuktikan cairan berbasis usapan preparat tipis untuk skrening kanker serviks, dimana lebih mengingkatkan kecukupan specimen dan mengurangi ambiguitas interpretasi dibandingkan dengan slide asli berdasarkan metode pengumpulan. 2001 terminology Bethesda melaporkan hasil sitologi servikal yang terbaru. Pertama ditunjukkan di tahun 1988 untuk menggantikan system Papanicolaou asli dan direvisi tahun 1991, ini terminology terstandarisasi yang dapat lebih baik dalam membuat keputusan klinis. 2001 FDA membuktikan tes HPV pada wanita dengan ASC-US. Ini menunjukkan suatu strategi triase yang lebih baik untuk menentukan apakah wanita memerlukan colposcopy untuk menyingkirkan lesi intraepithelial sebenarnya. Menurut FDA, keefektifan klinis dari tes HPV pada wanita dengan ASC-US telah divalidasi dengan randomized clinical trial yang lebih besar- ALTS

2003 FDA menunjukkan tes HPV pada konjungsi dengan tes pap pada wanita 30 tahun keatas pada skening primer rutin.

Petunjuk yang Tersedia

Berdasarkan pada perkembangan terbaru dalam teknologi dan pelaporan terminology, dan tes HPV, beberapa organisasi mengeluarkan petunjuk. The American Society for Colposcopy and Cervical Pathology

mempublikasikan sebuah consensus petunjuk manajemen sitologi serviks abnormal pada tahun 2001 dan direvisi pada 2006. The American Cancer Society melaporkan petunjuknya untuk skrening kanker serviks pada tahun 2002.

The US Preventive Services Task Force mempublikasikan petunjuk skreningnya pada tahun 2003. The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) juga

membuat rekomendasi baru pada tahun 2003 dan diperbaharui pada desember 2009. Menurut diiskusi terbaru petujuk consensus dan rekomendasi dari organisasi-organisasi lain. perbedaan dalam

Skreening dimulai saat Usia 21 Tahun

Skrening kanker serviks sebaiknya dimulai saat usia 21 tahun karena adalah usia onset terjadinya perubahan pada vagina, menurut petunjuk ACOG tahun 2009. Ini mewakili perubahan dari rekomendasi ACOG sebelumnya, American Cancer Society, dan US Preventive Services Task Force, dimana memulai skrening sejak 3 tahun onset dari perubahan vagina.

Tabel 1 Petunjuk Skreening Kanker Serviks Protokol Skreening American Cancer society, 2002 US Preventive American Services Task Force, 2003 College Of Obstetricians and American College of Obstetricians and

Gynecologists, Gynecologists, 2003 Umur Untuk 3 Dimulai Skreening pertama setelah intercourse vagina tahun 3 pertama seletah intercourse tahun 3 pertama seletah intercourse 2009 tahun Umur tahun, 21 tanpa

melihat kapan onset

atau vagina

atau vagina

atau intercourse vagina

umur 21 tahun umur tahun

21 umur 21 tahun

Waktu Interval Skreening pada usia

Setiap dengan

tahun Setiap 3 tahun Tiap tahun

Tiap 2 tahun

Papanicolaou

Wanita konvensional kurang (pap) atau tiap 2 tahun

dari 30 tahun

menggunakan tes cairan Waktu Interval Skreening pada Setiap 2-3 Setiap 3 tahun Setiap 2-3 Setiap 3 tahun tes

tahun dengan tes Pap dan jika

tahun dengan dengan

tes Pap dan Pap dan HPV, HPV, keduanya negative, kemudian setiap 2 tahun jika jika keduanya negative, kemudian setiap 3 tahun

Wanita HPV,

usia 30 tahun keduanya ke atas negative, kemudian setiap 3 tahun

Umur Berhenti

untuk Usia 70 tahun Umur setelah 3 tes Tahun Papaniculaou negative selama tahun 10

65 Tidak batas usia

ada Usia

65-70

tahun setelah 3 tes

Skreening

Papaniculaou negative selama tahun 10

Skreening setelah histerektomi untuk jinak alasan

Dihentikan

Dihentikan

Dihentikan

Dihentikan

Dasar Pemikiran. Rekomendasi terbaru berdasarkan tingginya angka infeksi HPV dan regresi dysplasia spontan dan rendahnya insiden kanker servik pada wanita muda. Infeksi HPV umumnya pada wanita muda yang mengalami perubahan vagina. Bagaimanapun, paling banyak infeksi HPV dijelaskan oleh system imun selama 1-2 tahun tanpa menyebabkan dysplasia servikal. Kanker serviks invasive pada wanita yang lebih muda dari 21 tahun sangat jarang. Insidensi tahunan cuma 1 hingga 2 kasus per 1 juta wanita berusia 15 hingga 19 tahun. Alasan lain untuk tidak melakukan screening sebelum usia 21 tahun adalah hasil tes positif dapat memicu kecemasan yang tidak perlu dan secara potensial membahayakan prosedur dan evaluasi.

Perluasan Waktu Interval Skreening Tahun 2009 Petunjuk ACOG memanjangkan interval screening kanker serviks untuk setiap 2 tahun pada wanita di bawah 30 tahun. (Petunjuk ACOG Tahun 2003 mengatakan screening setiap tahun). Untuk wanita 30 tahun ke atas, petunjuk ACOG tahun 2009 merekomendasikan perpanjangan interval setiap 3 tahun ketika dikombinasi tes Pap dan HPV yang negative (berubah dari setiap 2 hingga 3 tahun). Dasar Pemikiran. Penelitian menunjukkan keuntungan sedikit pada screening setiap tahun pada wanita di bawah 30 tahun, dengan tidak ada resiko lebih tinggi kanker serviks pada wanita yang diskreening pada jarak interval 2 hingga 3 tahun. Resiko absolute kanker serviks pada populasi yang diskreen baik sangat rendah. Lebih jauh, jumlah absolute kasus kanker serviks pada wanita berusia 30 hingga 64 tahun yang di screening dengan jarak interval 3 tahun adalah cuma 4 per 100.000 wanita.

Tes HPV-dan- Tes Pap untuk Wanita lebih dari 30 tahun Berdasarkan bukti yang meyakinkan dari sensitivitas tinggi dan nilai prediktif negatif yang tinggi pengujian HPV, sejak tahun 2003 ACOG telah

merekomendasikan pengujian HPV-plus-smear pada wanita di atas usia 30 tahun. Pedoman tahun 2009 yang diperbaharui merekomendasikan

untuk tingkat A, yaitu grade tertinggi, berdasarkan kejadian ilmiah yang baik dan konsisten (Sebelumnya rekomendasi itu tingkat B.)

The American Cancer Society juga merekomendasikan dikombinasikannya tes HPV dan tes Pap sebagai skrining yang optimal dalam pendekatan wanita usia 30 atau lebih, dengan interval skrining berikutnya 3 tahun jika kedua tes ini negatif. Hal ini juga mendukung pengujian Pap sendiri setiap 2 sampai 3 tahun sebagai strategi skrining alternatif dalam kelompok usia ini.

US Preventive Services Task Force merekomendasikan pengujian Pap setiap 3 tahun pada wanita usia 30 tahun atau lebih, dan tidak merekomendasikan untuk atau terhadap tes HPV. Namun, baik AS Preventive Services Task Force atau American Cancer Society telah memperbarui panduan dalam 8 tahun. Dasar Pemikiran. Wanita yang menjalani pengujian -HPV dan Pap dan hasil tes keduanya negatif beresiko sangat rendah untuk berkembang menjadi CIN2 atau CIN3 selama 4 sampai 6 tahun ke depan. Risiko jauh lebih rendah dari itu untuk wanita yang memiliki sebuah tes Pap satunya hasilnya negatif Karena nilai ini sangat tinggi prediktif negatif, wanita usia 30 dan lebih tua yang memiliki hasil negatif pada kedua tes smear dan HPV sebaiknya tidak lebih sering di screening setiap 3 tahun. Kami percaya bahwa Strategi tes HPV-plus-smear yang direkomendasikan oleh pedoman ACOG 2009 untuk wanita usia 30 dan lebih tua adalah paling efektif pendekatan skrining. strategi ini mengambil keuntungan dari sensitivitas tinggi dan nilai prediksi negatif tes HPV tinggi, serta spesifitas tinggi dari tes Pap. Itu hampir mencapai 100% sensitivitas klinis pada mendeteksi dysplasia serviks.

Kapan harus berhenti skrining Pedoman 2009 ACOG untuk pertama kalinya menyerukan untuk menghentikan skrining kanker serviks pada wanita 65 sampai 70 tahun yang memiliki tiga negatif tes Pap berturut-turut dan tidak ada yang tes abnormal dalam 10 tahun

sebelumnya. Amerika Cancer Society merekomendasikan menghentikan skrining pada usia 70, sedangkan US Preventive Service Task Force merekomendasikan berhenti di usia 65 tahun. Dasar Pemikiran. Kanker serviks berkembang secara perlahan, dan faktor risiko cenderung menurun dengan usia, Juga, atrofi mukosa postmenopause mungkin predisposisi hasil positif palsu smear, yang dapat menyebabkan prosedur tambahan dan tidak perlu mencemaskan pasien. Namun, mungkin masuk akal untuk terus skrining pada wanita usia 70 dan lebih tua yang aktif secara seksual dengan banyak pasangan dan yang memiliki riwayat hasil tes Pap abnormal.

Perempuan yang telah menjalani histerektomi Menurut American Cancer Society terbaru, ACOG, dan pedoman US Preventive Service Task Force, skrining kanker serviks harus dihentikan setelah histerektomi total untuk indikasi jinak pada wanita yang tidak memiliki riwayat neoplasia serviks intraepitel grade tinggi, yakni CIN2 atau lebih buruk. Dasar Pemikiran. Jika pasien tidak memiliki leher rahim, skrining sitologi vagina tidak diindikasikan, sejak insidensi kejadian kanker vagina primer adalah satu sampai dua kasus per 100.000 perempuan per tahun, jauh lebih rendah dari kanker serviks. Namun, sebelum menghentikan skrining, dokter harus memastikan bahwa setiap tes Pap pasien sebelum histerektomi dibaca normal, bahwa spesimen histerektomi normal, dan leher rahim benar-benar diangkat saat histerektomi.

Bersiaplah untuk menjelaskan rekomendasi

Hal ini sangat penting bagi penyedia layanan untuk memahami bukti yang mendukung pedoman terbaru, banyak pasien mungkin tidak menyadari signifikan perbaikan teknologi dan peningkatan pemahaman tentang peran HPV pada pembentukan kanker serviks yang telah menghasilkan timbulnya tangguhan onset skreening dan semakin lama interval antara skreening. Kesenjangan pengetahuan

ini bagi pasien dapat mengakibatkan kecemasan ketika mengatakan mereka tidak perlu lagi tes Pap tahunan atau dapat mulai kemudian, jika masalah tersebut tidak benar dan dijelaskan sepenuhnya oleh penyedia yang percaya diri.

STRATEGI

MASA

DEPAN:

HPV

SEBAGAI

SATU-SATUNYA

TES SKRINING PRIMER?

Sejak tes HPV jauh lebih sensitif dari tes Pap untuk mendeteksi lesi serviks dari CIN2 kelas atau lebih tinggi, mengapa tidak menggunakan HPV pengujian sebagai tes utama dan kemudian melakukan tes Pap (yang lebih spesifik) hanya jika tes HPV positif? Beberapa uji klinis acak utama dievaluasi apakah tes HPV dapat digunakan sebagai tes utama. Tabel 2 merangkum kunci kesimpulan dari beberapa uji coba ini. Tabel 2. Kesimpulan Dari Sebagian Besar Uji Klinis Acak Pada Tes HPV Tahun 2003 Penulis Cuzik et al Populasi 10,358 wanita, Usia 3060, Kunci Kesimpulan pengujian Human

papillomavirus (HPV) dapat untuk skrining

United Kingdom digunakan

utama pada wanita yang lebih tua dari 30 tahun, dengan sitologi digunakan untuk triase HPV-positif Pendekatan pada ini wanita berpotensi

meningkatkan tingkat deteksi untuk neoplasia serviks

intraepitel kelas 2 (CIN2) atau lebih buruk, dengan angka rujukan tinggi kolposkopi lebih

2005

KotaniemiTalonen et al

14,149 wanita, Usia 3060, Finlandia

Dasar skrining dengan hasil tes HPV dalam sensitivitas pada

meningkat

tingkat semua lesi positif pada biaya dalam Dengan spesifisitas triase kerugian substansial spesifisitas sitologi, yang

mencapai

sitologi konvensional 2006 Ronco et al 33,364 wanita, pengujian HPV saja sudah sensitif dibandingkan

usia 3560, Italy lebih

sitologi konvensional untuk mendeteksi CIN2 atau lebih buruk dalam kelompok usia 2007 Bulkmans et al 17,155 wanita, usia 2956, Netherlands 2007 Naucler et al 12,527 wanita, usia 3238, Sweden Tes HPV menyebabkan

deteksi dini CIN3 atau lesi lebih buruk Menambahkan tes HPV

dengan tes Papanicolaou untuk menskreening perempuan di pertengahan-30-an mengurangi insiden CIN2 atau CIN3, atau kanker dideteksi oleh

skrining berikutnya

2007

Mayrand et al

10,154 wanita, Usia Kanada

Tes HPV hampir 40% lebih dan hanya 2,7%

3069, sensitif

kurang spesifik dibandingkan tes Pap dalam mendeteksi

kanker serviks 2008 Dillner et al 24,295 wanita, Eropa konsisten rendah 6-tahun

kejadian kumulatif CIN2 atau lesi lebih buruk di kalangan perempuan untuk HPV negatif menunjukkan bahwa tes HPV dapat dengan aman

mengizinkan interval skrining lebih lama pada populasi

berisiko rendah 2009 Kitchener et al 24,510 wanita, Usia 2064, Sitologi berbasis cairan tes

dikombinasikan

dengan

United Kingdom HPV

menghasilkan

angka

deteksi lebih rendah secara signifikan dari CIN3 atau lebih buruk di babak kedua skrining (3 tahun terpisah)

dibandingkan dengan berbasis cairan skrining sitologi saja 2009 Sankaranarayanan 131.746 et al perempuan, usia Dalam pengaturan sumber

daya rendah, putaran tunggal

30-59, tes HPV dikaitkan dengan penurunan yang signifikan

pedesaan India

dalam kematian akibat kanker serviks

Mayrand et al melakukan uji acak besar pertama di mana tes HPV dibandingkan secara langsung sebagai tes yang berdiri sendiri dengan tes Pap pada populasi Amerika Utara dengan akses untuk perawatan yang berkualitas. Hasilnya diterbitkan pada tahun 2007. Di Kanada, total 10.154 wanita usia 30 sampai 69

tahun di Montreal dan St. Johm secara acak untuk menjalani tes Pap baik konvensional atau tes HPV. Sensitivitas pengujian HPV untuk CIN2 atau CIN3 adalah 94,6%, sedangkan sensitivitas dari tes Pap hanya 55,4%. Spesifisitas adalah 94,1% untuk pengujian HPV dan 96,8% untuk pengujian Pap. Selain itu, skrining HPV diikuti oleh triase smear menghasilkan arahan yang lebih sedikit untuk kolposkopi daripada tes sendiri (1,1% vs 2,9% dengan tes Pap saja atau 6,1% dengan pengujian HPV saja). Dengan kata lain, pengujian HPV hampir 40% lebih sensitif dan hanya 2,7% lebih spesifik daripada tes Pap dalam mendeteksi prekursor kanker serviks. Namun, uji lebih terkontrol diperlukan untuk memvalidasi strategi tersebut. Selain itu, masih belum jelas apakah perubahan dari tes Pap ke strategi skrining tes HPV utama selanjutnya akan mengurangi angka kematian kanker serviks, karena beban kanker serviks di seluruh dunia terletak pada kurang-disaring populasi di sumber daya rendah. Dillner et al, dalam studi Eropa 2008, lebih lanjut menunjukkan bahwa pengujian HPV menawarkan nilai prediktif jangka panjang lebih baik (6-tahun) untuk CIN3 atau lebih buruk dibandingkan sitologi. Temuan ini menunjukkan bahwa tes HPV, dengan sensitivitas yang lebih tinggi dan nilai prediktif negatif dan fokus molekul pada karsinogenesis serviks, dapat mengizinkan dengan aman interval skrining yang lebih lama pada populasi berisiko rendah.

Sankaranarayanan et al melakukan secara acak percobaan di pedesaan India di mana 131.746 wanita usia 30 sampai 59 tahun secara acak untuk empat kelompok: skrining dengan tes HPV, skrining dengan Pap, skrining pengujian oleh inspeksi visual dengan asam asetat, dan konseling saja (kelompok kontrol). Pada 8 tahun tindak lanjut, jumlah kasus serviks kanker dan kematian akibat kanker serviks adalah sebagai berikut: Dengan tes HPV: 127 kasus, 34 kematian Dengan tes Pap: 152 kasus, 54 kematian Dengan inspeksi visual: 157 kasus, 56 kematian Dengan konseling saja: 118 kasus, 64 kematian.

Para penulis menyimpulkan bahwa dalam suatu pengaturan sumber daya rendah, putaran tunggal tes HPV dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam jumlah kematian akibat kanker serviks. Tidak hanya kelompok pengujian HPV memiliki kejadian lebih rendah kematian akibat kanker, tidak ada kematian akibat kanker ada di antara para wanita dalam kelompok yang diuji negatif untuk HPV. Ini adalah uji coba secara acak pertama yang menunjukkan bahwa menggunakan tes HPV sebagai serviks utama tunggal tes skrining kanker mungkin memiliki manfaat dalam hal angka kematian. Saat ini, dari pengetahuan kita yang terbaik, tidak ada data US memvalidasi peran tes HPV sebagai tes skrining yang berdiri sendiri untuk kanker serviks.

Vaksinasi HPV Tidak Berarti Akhir Skreening Pengembangan vaksin HPV yang efektif dan persetujuan FDA vaksin rekombinan quadrivalent pertama (aktif terhadap HPV 6, 11, 16, dan 18)

(Gardasil) pada tahun 2006 telah membuka era baru pencegahan kanker serviks. Saat ini, Komite Penasehat Praktek Imunisasi merekomendasikan vaksinasi untuk 9 sampai 26 tahun wanita. Namun, vaksinasi HPV tidak akan membuat skrining menjadi tidak berguna, karena tidak semua wanita akan divaksinasi, dan mereka yang sudah terinfeksi salah satu jenis risiko tinggi HPV tidak akan menguntungkan. Selain itu, arus Vaksin HPV tidak melindungi terhadap infeksi dengan lain jenis HPV onkogenik. Itu para ahli memperkirakan bahwa dampak awal vaksin HPV pada kanker serviks tidak akan mungkin menjadi jelas sampai setidaknya 20 sampai 30 tahun setelah program vaksinasi nasional diimplementasikan. Oleh karena itu, vaksin HPV tentu tidak meramalkan akhir penyaringan. Vaksinasi dikombinasikan dengan terus melakukan skrining akan memberikan manfaat tambahan bagi pencegahan kanker serviks. Dekade terakhir telah menjadi periode menarik di bidang skrining kanker serviks dan pencegahan kanker serviks, dengan kemajuan teknologi, baru diperoleh pengetahuan, dan pengembangan dari vaksin HPV. Akibatnya, kita

praktek klinis telah menjadi barang dalam proses, terus berkembang karena kami

terus menemukan informasi lebih lanjut. Kemungkinan pemberantasan kanker serviks belum pernah lebih besar. Pelaksanaan yang paling sensitif dan strategi skrining yang efektif dan dari seluruh dunia program vaksinasi HPV akan membantu kita untuk akhirnya membasmi kanker serviks dan

membuatnya menjadi penyakit dari masa lalu.

Daftar Pustaka 1. ACOG Committee on Practice BulletinsGynecology. ACOG Practice Bulletin no. 109: Cervical cytology screening. Obstet Gynecol 2009; 114:1409 1420. 2. Horner MJ, Ries LAG, Krapcho M, et al, editors. SEER Cancer Statistics Review, 1975-2006, National Cancer Institute. Bethesda, MD, http:// seer.cancer.gov/csr/1975_2006/, based on November 2008 SEER data submission, posted to the SEER web site, 2009. 3. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2010. Atlanta, GA: American Cancer Society; 2010. 4. Parkin DM, Bray F. Chapter 2: The burden of HPV-related cancers. Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/11S3/25. 5. Herrero R. Epidemiology of cervical cancer. J Natl Cancer Inst Monogr 1996; 21:16. 6. Schiffman M. Integration of human papillomavirus vaccination, cytology, and human papillomavirus testing. Cancer 2007; 111:145153. 7. Moscicki AB, Schiffman M, Kjaer S, Villa LL. Chapter 5: updating the natural history of HPV and anogenital cancer. Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/42S3/51. 8. Bosch FX, Lorincz A, Muoz N, Meijer CJ, Shah KV. The causal relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol 2002; 55:244 265. 9. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM, et al. Human papillomavirus is a necessary cause of invasive cervical cancer worldwide. J Pathol 1999; 189:1219. 10. Kiviat N. Natural history of cervical neoplasia: overview and update. Am J Obstet Gynecol 1996; 175:10991104. 11. Ho GY, Bierman R, Beardsley L, Chang CJ, Burk RD. Natural history of cervicovaginal papillomavirus infection in young women. N Engl J Med 1998; 338:423428. 12. Insinga RP, Dasbach EJ, Elbasha EH, Liaw KL, Barr E. Incidence and duration of cervical human papillomavirus 6, 11, 16, and 18 infections in young women: an evaluation from multiple analytic perspectives. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2007; 16:709715.

13. Kjaer SK, van den Brule AJ, Paull G, et al. Type specific persistence of high risk human papillomavirus (HPV) as indicator of high grade cervical squamous intraepithelial lesions in young women: population based prospective follow up study. BMJ 2002; 325:572. 14. Sycuro LK, Xi LF, Hughes JP, et al. Persistence of genital human papillomavirus infection in a long-term follow-up study of female university students. J Infect Dis 2008; 198:971978. 15. Rodrguez AC, Schiffman M, Herrero R, et al. Longitudinal study of human papillomavirus persistence and cervical intraepithelial neoplasia grade 2/3: critical role of duration of infection. J Natl Cancer Inst 2010; 102:315324. 16. Schiffman M, Castle PE, Jeronimo J, Rodriguez AC, Wacholder S. Human papillomavirus and cervical cancer. Lancet 2007; 370:890907. 17. Koutsky LA, Holmes KK, Critchlow CW, et al. A cohort study of the risk of cervical intraepithelial neoplasia grade 2 or 3 in relation to papillomavirus infection. N Engl J Med 1992; 327:12721278. 18. Stppler H, Stppler MC, Schlegel R. Transforming proteins of the papillomaviruses. Intervirology 1994; 37:168179. 19. zur Hausen H, de Villiers EM. Human papillomaviruses. Annu Rev Microbiol 1994; 48:427447. 20. Scheffner M, Romanczuk H, Mnger K, Huibregtse JM, Mietz JA, Howley PM. Functions of human papillomavirus proteins. Curr Top Microbiol Immunol 1994; 186:8399. 21. Arbeit JM, Mnger K, Howley PM, Hanahan D. Progressive squamous epithelial neoplasia in K14-human papillomavirus type 16 transgenic mice. J Virol 1994; 68:43584368. 22. Werness BA, Levine AJ, Howley PM. Association of human papillomavirus types 16 and 18 E6 proteins with p53. Science 1990; 248:7679. 23. Scheffner M, Huibregtse JM, Vierstra RD, Howley PM. The HPV-16 E6 and E6-AP complex functions as a ubiquitin-protein ligase in the ubiquitination of p53. Cell 1993; 75:495505. 24. Havre PA, Yuan J, Hedrick L, Cho KR, Glazer PM. p53 inactivation by HPV16 E6 results in increased mutagenesis in human cells. Cancer Res 1995; 55:44204424.

25. Mnger K, Werness BA, Dyson N, Phelps WC, Harlow E, Howley PM. Complex formation of human papillomavirus E7 proteins with the retinoblastoma tumor suppressor gene product. EMBO J 1989; 8:40994105. 26. Duensing S, Lee LY, Duensing A, et al. The human papillomavirus type 16 E6 and E7 oncoproteins cooperate to induce mitotic defects and genomic instability by uncoupling centrosome duplication from the cell division cycle. Proc Natl Acad Sci U S A 2000; 97:1000210007. 27. Agency for Healthcare Research and Quality. Evaluation of Cervical Cytology. Summary: Evidence Report/Technology Assessment: Number 5. http://archive.ahrq.gov/clinic/epcsums/cervsumm.htm. Accessed August 18, 2011. 28. Belinson J, Qiao YL, Pretorius R, et al. Shanxi Province Cervical Cancer Screening Study: a cross-sectional comparative trial of multiple techniques to detect cervical neoplasia. Gynecol Oncol 2001; 83:439444. 29. Shingleton HM, Patrick RL, Johnston WW, Smith RA. The current status of the Papanicolaou smear. CA Cancer J Clin 1995; 45:305320. 30. Stoler MH, Schiffman M; Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance-Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion Triage Study (ALTS) Group. Interobserver reproducibility of cervical cytologic and histologic interpretations: realistic estimates from the ASCUS-LSIL Triage Study. JAMA 2001; 285:15001505. 31. Kulasingam SL, Hughes JP, Kiviat NB, et al. Evaluation of human papillomavirus testing in primary screening for cervical abnormalities: comparison of sensitivity, specificity, and frequency of referral. JAMA 2002; 288:17491757. 32. Allen KA, Zaleski S, Cohen MB. Review of negative Papanicolaou tests. Is the retrospective 5-year review necessary? Am J Clin Pathol 1994; 101:1921. 33. Schlecht NF, Kulaga S, Robitaille J, et al. Persistent human papillomavirus infection as a predictor of cervical intraepithelial neoplasia. JAMA 2001; 286:31063114. 34. Castle PE, Wacholder S, Sherman ME, et al. Absolute risk of a subsequent abnormal Pap among oncogenic human papillomavirus DNApositive, cytologically negative women. Cancer 2002; 95:21452151. 35. Manos MM, Kinney WK, Hurley LB, et al. Identifying women with cervical neoplasia: using human papillomavirus DNA testing for equivocal Papanicolaou results. JAMA 1999; 281:16051610.

36. Wright TC Jr, Lorincz A, Ferris DG, et al. Reflex human papillomavirus deoxyribonucleic acid testing in women with abnormal Papanicolaou smears. Am J Obstet Gynecol 1998; 178:962966. 37. Shlay JC, Dunn T, Byers T, Barn AE, Douglas JM Jr. Prediction of cervical intraepithelial neoplasia grade 2-3 using risk assessment and human papillomavirus testing in women with atypia on Papanicolaou smears. Obstet Gynecol 2000; 96:410416. 38. Bergeron C, Jeannel D, Poveda J, Cassonnet P, Orth G. Human papillomavirus testing in women with mild cytologic atypia. Obstet Gynecol 2000; 95:821827. 39. ASCUS-LSIL Triage Study (ALTS) Group. Results of a randomized trial on the management of cytology interpretations of atypical squamous cells of undetermined significance. Am J Obstet Gynecol 2003; 188:13831392. 40. Arbyn M, Sasieni P, Meijer CJ, Clavel C, Koliopoulos G, Dillner J. Chapter 9: clinical applications of HPV testing: a summary of metaanalyses. Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/78S3/89. 41. Petry KU, Menton S, Menton M, et al. Inclusion of HPV testing in routine cervical cancer screening for women above 29 years in Germany: results for 8466 patients. Br J Cancer 2003; 88:15701577. 42. Cuzick J, Szarewski A, Cubie H, et al. Management of women who test positive for high-risk types of human papillomavirus: the HART study. Lancet 2003; 362:18711876. 43. Salmern J, Lazcano-Ponce E, Lorincz A, et al. Comparison of HPVbased assays with Papanicolaou smears for cervical cancer screening in Morelos State, Mexico. Cancer Causes Control 2003; 14:505512. 44. Herrero R, Hildesheim A, Bratti C, et al. Population-based study of human papillomavirus infection and cervical neoplasia in rural Costa Rica. J Natl Cancer Inst 2000; 92:464474. 45. Cuzick J, Clavel C, Petry KU, et al. Overview of the European and North American studies on HPV testing in primary cervical cancer screening. Int J Cancer 2006; 119:10951101. 46. Mayrand MH, Duarte-Franco E, Rodrigues I, et al; Canadian Cervical Cancer Screening Trial Study Group. Human papillomavirus DNA versus Papanicolaou screening tests for cervical cancer. N Engl J Med 2007; 357:1579 1588.

47. Ronco G, Giorgi-Rossi P, Carozzi F, et al; New Technologies for Cervical Cancer Screening Working Group New Technologies for Cervical Cancer Screening Working Group. Results at recruitment from a randomized controlled trial comparing human papillomavirus testing alone with conventional cytology as the primary cervical cancer screening test. J Natl Cancer Inst 2008; 100:492501. 48. Dillner J, Rebolj M, Birembaut P, et al; Joint European Cohort Study. Long term predictive values of cytology and human papillomavirus testing in cervical cancer screening: joint European cohort study. BMJ 2008; 337:a1754. 49. Noller KL, Bettes B, Zinberg S, Schulkin J. Cervical cytology screening practices among obstetrician-gynecologists. Obstet Gynecol 2003 102:259265. 50. Solomon D, Davey D, Kurman R, et al; Forum Group Members; Bethesda 2001 Workshop. The 2001 Bethesda System: terminology for reporting results of cervical cytology. JAMA 2002; 287:21142119. 51. The Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance/Low- Grade Squamous Intraepithelial Lesions Triage Study (ALTS) Group. Human papillomavirus testing for triage of women with cytologic evidence of low-grade squamous intraepithelial lesions: baseline data from a randomized trial. J Natl Cancer Inst 2000; 92:397402. 52. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice Bulletin No. 99: management of abnormal cervical cytology and histology. Obstet Gynecol 2008; 112:14191444. 53. Wright TC Jr, Massad LS, Dunton CJ, Spitzer M, Wilkinson EJ, Solomon D; 2006 American Society for Colposcopy and Cervical Pathologysponsored Consensus Conference. 2006 consensus guidelines for the management of women with cervical intraepithelial neoplasia or adenocarcinoma in situ. Am J Obstet Gynecol 2007; 197:340345. 54. Smith RA, Cokkinides V, Brooks D, Saslow D, Brawley OW. Cancer screening in the United States, 2010: a review of current American Cancer Society guidelines and issues in cancer screening. CA Cancer J Clin 2010; 60:99119. 55. US Preventive Services Task Force. Screening for cervical cancer. Systematic Evidence Review No. 25. http://www.ahrq.gov/downloads/ pub/prevent/pdfser/cervcanser.pdf. Accessed October 9, 2011. 56. Smith RA, Cokkinides V, Brooks D, Saslow D, Brawley OW. Cancer screening in the United States, 2010: a review of current American Cancer Society guidelines and issues in cancer screening. CA Cancer J Clin 2010; 60:99119.

57. Moscicki AB, Shiboski S, Broering J, et al. The natural history of human papillomavirus infection as measured by repeated DNA testing in adolescent and young women. J Pediatr 1998; 132:277284. 58. Watson M, Saraiya M, Benard V, et al. Burden of cervical cancer in the United States, 1998-2003. Cancer 2008; 113(suppl 10):28552864. 59. IARC Working Group on evaluation of cervical cancer screening programmes. Screening for squamous cervical cancer: duration of low risk after negative results of cervical cytology and its implication for screening policies. Br Med J (Clin Res Ed) 1986; 293:659664. 60. Sawaya GF, Kerlikowske K, Lee NC, Gildengorin G, Washington AE. Frequency of cervical smear abnormalities within 3 years of normal cytology. Obstet Gynecol 2000; 96:219223. 61. Eddy DM. The frequency of cervical cancer screening. Comparison of a mathematical model with empirical data. Cancer 1987; 60:11171122. 62. Sasieni P, Adams J, Cuzick J. Benefit of cervical screening at different ages: evidence from the UK audit of screening histories. Br J Cancer 2003; 89:8893. 63. Miller MG, Sung HY, Sawaya GF, Kearney KA, Kinney W, Hiatt RA. Screening interval and risk of invasive squamous cell cervical cancer. Obstet Gynecol 2003; 101:2937. 64. Sawaya GF, McConnell KJ, Kulasingam SL, et al. Risk of cervical cancer associated with extending the interval between cervical-cancer screenings. N Engl J Med 2003; 349:15011509. 65. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, et al; American Cancer Society. American Cancer Society guideline for the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002; 52:342362. 66. Sawaya GF, Grady D, Kerlikowske K, et al. The positive predictive value of cervical smears in previously screened postmenopausal women: the Heart and Estrogen/progestin Replacement Study (HERS). Ann Intern Med 2000; 133:942 950. 67. Kotaniemi-Talonen L, Nieminen P, Anttila A, Hakama M. Routine cervical screening with primary HPV testing and cytology triage protocol in a randomised setting. Br J Cancer 2005; 93:862867. 68. Ronco G, Segnan N, Giorgi-Rossi P, et al; New Technologies for Cervical Cancer Working Group. Human papillomavirus testing and liquidbased

cytology: results at recruitment from the new technologies for cervical cancer randomized controlled trial. J Natl Cancer Inst 2006; 98:765774. 69. Bulkmans NW, Berkhof J, Rozendaal L, et al. Human papillomavirus DNA testing for the detection of cervical intraepithelial neoplasia grade 3 and cancer: 5year follow-up of a randomised controlled implementation trial. Lancet 2007; 370:17641772. 70. Naucler P, Ryd W, Trnberg S, et al. Human papillomavirus and Papanicolaou tests to screen for cervical cancer. N Engl J Med 2007; 357:1589 1597. 71. Kitchener HC, Almonte M, Thomson C, et al. HPV testing in combination with liquid-based cytology in primary cervical screening (ARTISTIC): a randomised controlled trial. Lancet Oncol 2009; 10:672682. 72. Sankaranarayanan R, Nene BM, Shastri SS, et al. HPV screening for cervical cancer in rural India. N Engl J Med 2009; 360:13851394. 73. Harper DM, Franco EL, Wheeler CM, et al; HPV Vaccine Study group. Sustained efficacy up to 4.5 years of a bivalent L1 virus-like particle vaccine against human papillomavirus types 16 and 18: follow-up from a randomised control trial. Lancet 2006; 367:12471255. 74. Villa LL, Costa RL, Petta CA, et al. Prophylactic quadrivalent human papillomavirus (types 6, 11, 16, and 18) L1 virus-like particle vaccine in young women: a randomised double-blind placebo-controlled multicentre phase II efficacy trial. Lancet Oncol 2005; 6:271278. 75. Centers for Disease Control and Prevention. Quadrivalent human papillomavirus vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR 2007; 56(RR02):124. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5602a1.htm?s_ cid=rr5602a1_e. Accessed 8/30/2011. 76. Koutsky LA, Harper DM. Chapter 13: Current findings from prophylactic HPV vaccine trials. Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/114S3/121. 77. FUTURE II Study Group. Quadrivalent vaccine against human papillomavirus to prevent high-grade cervical lesions. N Engl J Med 2007; 356:19151927. 78. Garnett GP, Kim JJ, French K, Goldie SJ. Chapter 21: Modelling the impact of HPV vaccines on cervical cancer and screening programmes. Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/178S3/186.

79. Plummer M, Franceschi S. Strategies for HPV prevention. Virus Res 2002; 89:285293. 80. Franco EL, Cuzick J, Hildesheim A, de Sanjos S. Chapter 20: Issues in planning cervical cancer screening in the era of HPV vaccination.Vaccine 2006; 24(suppl 3):S3/171S3/177. 81. Cuzick J, Mayrand MH, Ronco G, Snijders P, Wardle J. Chapter 10: New dimensions in cervical cancer screening. Vaccine 2006; 24(suppl 3:S3/90S3/97.

Anda mungkin juga menyukai