Anda di halaman 1dari 11

MODEL ADAPTASI KAWASAN BERSEJARAH PERKOTAAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM BERBASIS KEARIFAN LOKAL STUDI KASUS: KAMPUNG MELAYU

SEMARANG Taufan Madiasworo Kepala Seksi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan Wilayah II Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Mobile Phone: 08131 806 806 2, e-mail address: madiasworo@yahoo.com Abstrak Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan menyebabkan suhu bumi menjadi lebih panas sehingga perubahan iklim pun terjadi. Dampak perubahan iklim yang makin terasa dalam beberapa dekade terakhir ini adalah perubahan pola cuaca, banjir, longsor, kenaikan muka air laut dan kekeringan yang efeknya sangat merugikan. Kenyataan menunjukkan bahwa perubahan iklim akan tetap terjadi, kondisi ini membuat kemampuan beradaptasi sangat diperlukan oleh segenap manusia, terkait dengan konteks tulisan ini adalah bagaimana kemampuan adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim berbasis kearifan lokal.Kawasan bersejarah perkotaan merupakan sub sistem dari sebuah kota yang dalam konteks lingkungan hidup merupakan suatu proses interaksi antara manusia (lingkungan sosial) dengan lingkungan fisik alam yang terejawantah dalam lingkungan binaan manusia (bulit environment) sebagai satu kesatuan sistem yang utuh. Dalam kawasan bersejarah tersebut manusia dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya berinteraksi dengan lingkungan fisik sehingga manusia dapat beradaptasi dengan baik didalamnya. Tulisan ini mengambil studi kasus kampung Melayu, sebuah kampung kuno yang berlokasi di bagian utara kota Semarang yang terbentuk pada sekitar akhir abad ke-16. Kampung Melayu memiliki potensi citra budaya yang khas yaitu multi etnik serta beragam artefak arsitektur seperti masjid menara layur, klenteng kampung Melayu, rumah Indis, rumah Melayu, rumah Jawa, rumah Banjar. Masyarakat yang menghuni kampung Melayu disamping terdiri dari masyarakat asli Semarang, juga terdiri dari etnis lain seperti Arab, Tionghoa, Banjar, Melayu, Jawa, Cirebon dan lain-lain. Kampung Melayu Semarang memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang terbentuk dari adaptasi dan hubungan yang harmoni, diversitas dan interdepedensi antara masyarakat kampung Melayu yang multi etnis dengan lingkungannya, yang terbangun secara alamiah berbasis nilai budaya setempat, adat istiadat dan nilai-nilai yang dipegang teguh secara turun temurun sebagai kebudayaan. Nilai-nilai kearifan lokal inilah yang membuat kampung Melayu dan masyarakatnya dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim. Bentuk adaptasi ini tercermin dari struktur dan pola ruang lingkungan kampung Melayu yang adaptif terhadap perubahan iklim, ruang terbuka hijau yang terjaga, keteguhan masyarakat kampung Melayu dalam menjaga adat dan tradisi dalam menjaga dan melestarikan lingkungannya, hingga bentuk artefak rumah tradisional di kampung Melayu yang dalam perancangannya sarat dengan nilai-nilai budaya dan sangat adaptif terhadap faktor iklim setempat. Sebagai ilustrasi, rumah panggung tradisional masyarakat Banjar di kampung Melayu memiliki desain yang sangat adaptif dengan iklim setempat dengan memanfaatkan secara optimal pencahayaan dan penghawaan alami pada bangunan serta penggunaan teknologi hemat energi dan bahan bangunan lokal yang ramah lingkungan. Filosofi dan konsep perencanaan dan perancangan lingkungan dan arsitektur tradisional yang ramah lingkungan serta adaptif terhadap iklim setempat ini dapat menjadi pertimbangan dalam

perencanaan dan perancangan lingkungan dan arsitektur di masa depan yang lebih berkelanjutan baik secara lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Masalah yang diteliti berangkat dari dampak perubahan iklim merugikan bagi keberlanjutan lingkungan termasuk kawasan sejarah perkotaan baik secara lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi. Kondisi ini memerlukan suatu strategi dalam menghadapi dampak perubahan iklim tersebut. Strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap dampak perubahan iklim berbasis kearifan lokal. Adapun tujuan utama penelitian ini adalah; 1) mengungkap nilai-nilai kearifan lokal yang ada di kawasan bersejarah perkotaan 2) menganalisis keterkaitan nilai-nilai kearifan lokal dengan kemampuan adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim. 3) merumuskan suatu model adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim berbasis kearifan lokal. Kata kunci: adaptasi, ruang, kawasan bersejarah perkotaan, budaya, kearifan lokal. LATAR BELAKANG Umat manusia adalah pelaku yang paling bertanggung jawab dalam kelangsungan hidup ekosistem bumi yang ditempatinya. Segala aktifitas yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup telah mempengaruhi lingkungan global. Perubahan cara manusia memanfaatkan lahan mendorong terjadinya perubahan guna lahan, teknologi yang begitu cepat menyebar, industrialisasi, pembangunan perkotaan, kendaraan bermotor sebagai wujud kemajuan dalam dunia transportasi, penggunaan pendingin udara dan sebagainya semakin menambah jumlah gas-gas yang ada di atmosfir menyebabkan suhu bumi menjadi semakin meningkat sehingga perubahan iklim pun terjadi (Bratasida, 2002). Dampak perubahan iklim ini pun makin terasa pada beberapa dekade terakhir ini yang diindikasikan dari perubahan pola cuaca, kenaikan muka air laut, banjir, longsor, kemarau yang berkepanjangan dan sebagainya. Berbagai dampak perubahan iklim ini tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan namun juga merugikan bagi kesehatan manusia, kenyamanan hidup manusia serta infrastruktur fisik. Ancaman terhadap perubahan iklim ini pun menyebar cepat ke seluruh penjuru dunia sehingga perubahan iklim ini menjadi isu global yang penanganannya memerlukan mobilisasi secara global pula (Amanda, 2010). Masyarakat dunia pun mencoba kembali pada pola hidup ramah lingkungan yang mana perubahan pola hidup ini dapat berkontribusi dalam menekan perubahan iklim. Namun demikian perubahan iklim adalah suatu proses yang terjadi akibat akumulasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer yang proses penguraiannya sangat lama, memerlukan waktu berabad-abad. Walaupun kita telah berusaha mengubah pola hidup yang lebih ramah lingkungan, perlahan tapi pasti perubahan iklim akan datang dan fakta ini harus di hadapi. Kenyataan ini membuat kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim sangat diperlukan oleh segenap umat manusia (Soejachman, 2010). Adaptasi memiliki arti penyesuaian diri yang merupakan salah satu strategi dalam menghadapi perubahan iklim. Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau yang sudah terjadi. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan budaya yang kaya dan beragam. Potensi ini dapat terwujud dalam bentuk kesenian, agama, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan termasuk didalamnya kawasan bersejarah perkotaan. Kawasan bersejarah perkotaan memiliki peran yang sangat strategis, sebagai subsistem dari ruang kota dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan perkotaan. Nilai-nilai kearifan lokal, lingkungan, sosial, ekonomi yang terdapat dalam kawasan bersejarah perkotaan

tersebut jika dilestarikan dan dikelola secara optimal dalam rangka pembangunan berkelanjutan akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan dan berkontribusi dalam menekan perubahan iklim. Berangkat dari uraian diatas serta mempertimbangkan keterkaitan antara nilai budaya, kearifan lokal dan keterkaitannya terhadap dampak perubahan iklim, penelitian ini mengambil obyek penelitian di sebuah kampung kuno di bagian utara kota Semarang yaitu kampung Melayu. Masalah yang diteliti berangkat dari dampak perubahan iklim merugikan bagi keberlanjutan lingkungan termasuk kawasan sejarah perkotaan baik secara lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi. Kondisi ini memerlukan suatu strategi dalam menghadapi dampak perubahan iklim tersebut. Strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian diri kawasan bersejarah perkotaan terhadap dampak perubahan iklim berbasis kearifan lokal. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1) mengungkap nilai-nilai kearifan lokal yang ada di kampung Melayu Semarang. 2) menganalisis keterkaitan nilai-nilai kearifan lokal dengan kemampuan adaptasi kampung Melayu terhadap perubahan iklim. 3) merumuskan suatu model adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim berbasis kearifan lokal. ADAPTASI KAWASAN BERSEJARAH PERKOTAAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM BERBASIS KEARIFAN LOKAL Kearifan lokal adalah perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai budaya, religi, adat istiadat, petuah nenek moyang yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh yang disebut sebagai kebudayaan. Secara umum kearifan lokal merupakan suatu proses internalisasi yang panjang dan berlangsung turun temurun sebagai akibat interaksi manusia dengan lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini pada akhirnya akan memunculkan sistem nilai yang terkristalisasi dalam bentuk hukum adat, kepercayaan dan budaya setempat. Ciri yang melekat dalam kearifan lokal adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dapat diterima di masyarakat dan berkembang dari generasi ke generasi. Kearifan lokal ini dapat berbentuk aturan-aturan mengenai kelembagaan, pemanfaatan ruang ataupun perancangan bangunan dan lingkungan yang secara kontekstual mengadaptasi iklim dan kondisi lingkungan setempat. Kawasan bersejarah perkotaan dalam konteks lingkungan hidup merupakan suatu proses interaksi antara manusia (lingkungan sosial) dengan lingkungan fisik alam yang terejawantah dalam lingkungan binaan manusia (bulit environment). Dalam lingkungan binaan tersebut manusia dengan nilai budaya dan kearifan lokalnya berinteraksi dengan lingkungan fisik sehingga manusia dapat beradaptasi dengan baik didalamnya. Konsep lingkungan hidup ini harus dilihat dan dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang utuh dan tidak tersegregasi dimana manusia mengelola lingkungan hidup alam dalam mendukung dan membina keberlanjutan lingkungan binaan baik secara lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya. Konsep lingkungan hidup tersebut sangat terkait dengan yang disampaikan oleh Amos Rapoport (1969), sebagai berikut: house forms is not simply the result of physical forces or any single causal factor, but is the consequence of a whole range of social-cultural factors seen in their broadest terms atau dengan kata lain bahwa pemukiman sebagai lingkungan binaan merupakan hasil pembentukan sebagai cerminan dari faktor primer (social cultural forces) yang terdiri atas: kepercayaan, religi, struktur keluarga, organisasi sosial, mata pencaharian, hubungan individu dan faktor sekunder (modifying factor) yang terdiri atas: kondisi iklim, metode konstruksi, ketersediaan material dan teknologi.

Dalam kawasan bersejarah perkotaan terdapat nilai kearifan lokal baik yang bersifat tangible maupun intangible yang merupakan bentuk interaksi antara tata nilai dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, agama, adat istiadat dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya, dengan sifatnya yang dinamis, sustainable dan berkembang secara turun menurun. Kearifan lokal yang terdapat di kawasan bersejarah perkotaan tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat adat terkait perubahan iklim dan sekaligus berkontribusi menekan perubahan iklim. Berdasar uraian tersebut maka sebenarnya sejak berabad-abad lampau masyarakat tradisional telah melakukan perancangan lingkungan dan bangunan secara kontekstual terhadap kondisi lingkungan dan iklim serta budaya setempat. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan memberikan kontribusi dalam menekan perubahan iklim. STUDI KASUS: KAMPUNG MELAYU SEMARANG SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KAMPUNG MELAYU Berlokasi di bagian utara kota Semarang, kampung Melayu adalah sebuah kampung kuno yang terbentuk pada sekitar akhir abad ke-16. Di awali dengan kepindahan tempat singgah kapal-kapal dan Mangkang ke Boom lama yang dimulai dari kapal-kapal kompeni pada tahun 1743, menyebabkan Boom lama yang merupakan cikal-bakal lahirnya kampung Melayu menjadi ramai oleh aktivitas perdagangan. Di Boom lama inilah tempat pertama kali orang yang mau mengunjungi Semarang mau mendarat. Tidak lama kemudian di dekat boom lama berdiri satu dusun kecil yang disebut dusun darat yang kemudian bergabung dengan dusun ngilir, karena pada dusun tersebut dihuni oleh orang Melayu maka dusun tersebut dinamakan Kampung Melayu. Struktur dan pola ruang kampung Melayu Semarang merupakan hasil dari suatu proses morfologi yang panjang. Hal tesebut dapat dicermati berdasar peta morfologi kampung Melayu, yang dimulai dari boom lama hingga menjadi sebuah dusun kecil (peta tahun 1695), selanjutnya perdagangan yang semakin berkembang berimplikasi pada pembentukan struktur jalan dan pola ruang di kampung Melayu Semarang, dimana koridor Harun Tohir yang sekarang dikenal dengan nama koridor Layur merupakan koridor utama di kampung Melayu Semarang (peta tahun 1741). Selanjutnya berdasar peta tahun 1880 prmukiman semakin berkembang terutama di belakang koridor Layur

Gambar 1 : Peta Kampung Melayu Semarang

Sumber : Taufan Madiasworo

Gambar 2 : Koridor Layur kampung Melayu Semarang, pemandangan dari Masjid Menara Layur Sumber : Taufan Madiasworo

KEARIFAN LOKAL KAMPUNG MELAYU SEMARANG Budaya bermukim masyarakat kampung Melayu dengan latar belakang etnis yang beragam yang berlangsung dalam perubahan era semenjak era pra-kolonial, kolonial dan pasca kolonial telah menghasilkan produk lingkungan binaan sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kampung Melayu dalam pemanfaatan lingkungan alam. Kampung Melayu Semarang memiliki nilai kearifan lokal yang merupakan wujud dari suatu proses budaya yang panjang. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut terwujud dalam bentuk budaya, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, budaya guyub berupa sistem nilai yang saling menghargai, saling menghormati, saling memberi kebebasan, saling berbagi dalam masyarakat yang pluralis. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat kampung Melayu tersebut diwujudkan dalam peran masyarakat dalam menjaga lingkungan dengan pola hidup yang ramah lingkungan, karena kualitas lingkungan kita tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan global seperti perubahan iklim. Nilai-nilai kearifan lokal di kampung Melayu tersebut tercermin dari struktur dan pola ruang kawasan yang terjaga dengan baik. Kondisi ini ditunjukkan dari terjaganya ruang terbuka hijau, lorong-lorong jalan antar kampung sebagai penghubung (connectivity) jaringan pergerakan internal kampung, konfigurasi permukiman yang tertata dengan baik sehingga memungkinkan sirkulasi udara antar massa bangunan berjalan lancar juga kondisi tipologi ekosistem yang terjaga dengan baik seperti keberadaan sungai/kali Semarang yang melalui kampung Melayu dan ruang terbuka non hijau yang berbentuk lapangan sebagai wadah interaksi sosial masyarakat kampung Melayu. Selain itu beberapa rumah tradisional di kampung Melayu memiliki halaman yang cukup luas dimana halaman rumah-rumah tradisional tersebut tetap dipertahankan dan tidak di konversi menjadi area terbangun (building coverage). Masyarakat Kampung Melayu merupakan masyarakat multi etnik, disamping terdiri dan masyarakat asli Semarang juga terdapat etnik lain yang berasal dan luar Semarang seperti etnik Arab Hadramaut, Tionghoa, Melayu, Cirebon, Banjar, Koja dan lain-lain. Keberagaman etnik masyarakat kampung Melayu juga berpengaruh terhadap toponimik nama lorong kampung yang ada di kampung Melayu Semarang, seperti kampung Banjar, kampung Cerbonan, kampung Pencikan, kampung Peranakan dan sebagainya.Terdapat kelompokkelompok kekerabatan pada masyarakat kampung Melayu Semarang, hal ini karena pada dasarnya masyarakat Kampung Melayu adalah multi etnik. Kekerabatan tersebut umumnya dimiliki oleh etnik tertentu. Terdapat kelompok kekerabatan dengan mengambil satu tokoh atau satu keluarga yang masih hidup sebagai pusat cikal bakal, selain itu juga berdasar wilayah yang mereka huni. Masyarakat kampung Melayu juga membentuk organisasi ataupun kelompok/perkumpulan, seperti arisan, pengajian, salawatan, terbangan, hadrahan, dan sebagainya. Walaupun pada awalnya mereka membentuk kelompok-kelompok akan tetapi masyarakat kampung Melayu hidup berdampingan secara damai. Dalam perkembangannya, hidup bersama dalam waktu yang lama menyebabkan masyarakat kampung Melayu mengalami akulturasi dan asimilasi, dimana kelompok-kelompok kebudayaan mereka yang berbeda-beda, bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus sehingga menimbulkan pola perubahan yang asli dari suatu kelompok atau kedua-duanya. Masyarakat kampung Melayu mengalami suatu proses sosial yang ditandai dengan semakin berkurangnya perbedaan individu dan antar kelompok serta semakin eratnya kebersamaan untuk kepentingan dan tujuan yang sama. Keadaan ini tercermin dalam bentuk gotong royong, paguyuban, musyawarah ataupun kegiatan-kegiatan bersama yang melibatkan masyarakat kampung Melayu dalam menjaga lingkungannya. Dimana hal ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat kampung Melayu sekaligus

strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang turut berkontribusi dalam menekan perubahan iklim. Selain kearifan lokal yang sifatnya intangible seperti adat istiadat, sistem religi, norma, kekerabatan dan sebagainya sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kampung Melayu juga memiliki kearifan lokal yang bersifat tangible berupa potensi artefak arsitektur yang beragam seperti rumah panggung masyarakat Banjar, rumah Jawa, rumah Arab, rumah Tionghoa, rumah bergaya lndis, rumah Melayu, serta artefak penting lainnya seperti Klenteng, Studio Foto Seni Gerak Cepat (sebuah bangunan kolonial yang dahulu pernah digunakan sebagai markas pasukan Belanda) dan landmark terpenting Kampung Melayu yaitu Masjid Menara Layur, yang didirikan pada tahun 1802 yang merupakan wujud perpaduan budaya seperti Hindu-Jawa, Indis dan Seni Islam. Artefak arsitektur tersebut dalam perancangannya telah mempertimbangkan dengan bijak faktor budaya dan iklim tropis lembab setempat. Ruang-ruang yang terbentuk tersebut (baik yang bersifat intagible : berupa sistem nilai dan kepercayaan maupun ruang yang bersifat tangible: berupa setting ruang dengan beserta aktifitasnya) merupakan ruang yang sarat makna karena terbentuk dari kekuatan masyarakat kampung Melayu sebagai pelaku ruangnya.

Gambar 3 : Menara Mesjid Menara Layur Sumber : Taufan Madiasworo

Gambar 4 : Mesjid Menara Layur Sumber : Taufan Madiasworo

Gambar 5 : Bangunan kolonial di kampung Melayu Semarang Sumber : Taufan Madiasworo

Akulturasi budaya pada bentuk rumah tradisional masyarakat kampung Melayu tercermin dalam pola perubahan rancangan rumah tradsional etnik-etnik di kampung Melayu Semarang yang memiliki kecenderungan bentuk baru dengan makna lama, dimana pada beberapa bagian bangunan terdapat bentuk baru dalam pengertian unsur lama yang diperbaharui, sehingga terjadi intepretasi baru terhadap bentuk lama yang pada dasarnya tetap berakar dan kebudayaan masing-masing etnik di kampung Melayu Semarang. Terjadi semacam negosiasi antara unsur lama dengan unsur baru ataupun unsur lain. Hal ini dipengaruhi persinggungan budaya lokal dengan budaya pendatang seperti kehadiran orang Belanda di Indonesia yang kemudian menjadi penguasa mempengaruhi gaya hidup serta bentuk bangunan tradisional. Konstruksi atap pada rumah tradisional di kampung Melayu sebagian menggunakan atap dengan konstruksi mansard, dengan bahan penutupnya menggunakan genteng. Bentuk atap mansard ini merupakan pengaruh dari arsitektur kolonial, bentuk ini merebak pada abad ke 17 dan ke 18 ketika bangsa Belanda mulai mengembangkan kekuasaannya dan mendirikan bangunan bangunan bercirikan arsitektur Belanda.

Gambar 6: Atap mansard pada rumah tradisional di kampung Melayu Semarang Sumber: Taufan Madiasworo

Gambar 7 : Rumah Melayu di kampung Melayu Semarang Sumber : Taufan Madiasworo

Salah satu bentuk rumah tradisional di kampung Melayu adalah rumah panggung masyarakat Banjar yang merupakan ekspresi dari kebudayaan Banjar yang mengalami akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat dan kebudayaan lain seperti China dan Indis yang berkembang pada saat pemerintahan Kolonial serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan iklim tropis setempat. Adapun kemampuan adaptasi bentuk rumah panggung masyarakat Banjar di kampung Melayu ini dapat dicermati melalui beberapa aspek antara lain: 1. Konfigurasi permukiman: konfigurasi permukiman/pola tatanan massa bangunan memiliki jarak antar bangunan yang memungkinkan pergerakan udara yang lancar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pendingin bangunan jika memiliki kecepatan angin di atas 0,5m/dtk. 2. Konstruksi panggung: penggunaan konstruksi panggung ini memungkinkan pergerakan udara di bagian bawah bangunan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kondisi termal dalam bangunan. 3. Lantai: menggunakan kepingan papan jati dengan jarak lantai dengan permukaan tanah sekitar 1,5 meter sehingga lantai menjadi tidak lembab. 4. Dinding: rumah panggung masyarakat Banjar ini menggunakan dinding dengan bahan kayu dan sebagian menggunakan dinding bata. Fungsi dinding sebagai kulit bangunan di daerah beriklim tropis lembab harus mampu menangkal radiasi dengan time lag yang kecil atau dapat dikatakan sebagai bahan isolasi panas karena dinding akan mengalami pemanasan kurang lebih 11 jam (dinding yang tidak terlindungi). Penggunaan dinding kayu memungkinkan isolasi terhadap radiasi matahari dan cepat melepas panas sedangkan penggunaan dinding bata walaupun mempunyai daya isolasi terhadap panas namun memiliki time lag yang lebih besar dibanding dinding kayu. 5. Atap: rumah panggung masyarakat Banjar ini menggunakan atap dengan bahan genteng yang memungkinkan pengendalian termal bangunan dan memiliki sifat menurunkan radiasi panas dibanding asbes atau seng. Atap memiliki fungsi sebagai shelter atau pelindung yang paling primitif karena merupakan kebutuhan paling awal yaitu sebagai pelindung terhadap panas dan hujan. 6. Bentuk bangunan: rumah panggung masyarakat Banjar ini merupakan bentuk karya budaya dan bentuk adaptasi masyarakat Banjar dalam merespon iklim dan lingkungan setempat. Bentuk atap bubungan tinggi (pelana) yang walaupun telah berubah bentuk menjadi atap mansard (atap bergaya Indis) namun masih memungkinkan sebagai titik pusat akumulasi aliran udara panas dan dapat menurunkan akumulasi panas di dalam bangunan karena sifatnya sebagai bantalan udara. Bentuk bangunan juga mempengaruhi

Cd (Coeficient of drag) sebagai respon bangunan dalam mengendalikan kecepatan aliran udara yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendinginan bangunan.

Gambar 8 : Rumah Panggung masyarakat Banjar di kampung Melayu Semarang Sumber : Taufan Madiasworo

Gambar 9 : Rumah Panggung masyarakat Banjar di kampung Melayu Semarang Sumber : Taufan Madiasworo

Berdasar uraian di atas dapat diungkap nilai kearifan lokal masyarakat kampung Melayu dalam perancangan bangunan yang tercermin dalam bentuk rumah etnik masyarakat kampung Melayu yang menggunakan teknologi yang hemat energi dan bahan bangunan yang ramah lingkungan serta telah mempertimbangkan secara kontekstual faktor iklim dan kondisi lingkungan setempat sehingga memiliki kemampuan beradaptasi dalam perubahan iklim. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di kampung Melayu Semarang merupakan aset yang harus dilestarikan dan dapat dijadikan basis dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan ke depan yang lebih baik karena nilai-nilai kearifan lokal tersebut terbukti berperan signifikan dalam kemampuan adaptasi kampung Melayu terhadap perubahan iklim. UPAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL KAWASAN BERSEJARAH PERKOTAAN Perubahan iklim telah dan akan terjadi, sehingga diperlukan kemampuan adaptasi lingkungan terhadap perubahan iklim tersebut. Kearifan lokal merupakan salah satu pendekatan yang patut dikedepankan dalam merespon perubahan iklim sehingga nilai kearifan lokal dalam lingkungan binaan seperti kawasan bersejarah perkotaan harus dilestarikan. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal di kawasan bersejarah perkotaan, sebagai berikut : 1. Menetapkan kawasan bersejarah sebagai kawasan strategis kota dari sudut kepentingan sosial budaya yang harus termuat dalam Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) kota. Selanjutnya agar lebih operasional perlu disusun RDTR serta zoning regulation kawasan bersejarah tersebut dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk zona yang diprioritaskan. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota Sosial Budaya (kawasan bersejarah) tersebut harus berwawasan lingkungan dan berbasis kearifan lokal, serta secara seimbang mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial yang saling terintegrasi. 2. Melestarikan, mendorong, memperkuat aktivitas budaya dan ekonomi yang ada di kawasan bersejarah perkotaan sehingga mendorong terjaganya kearifan lokal. 3. Mengembangkan bentuk-bentuk insentif dan disinsentif yang mampu mendorong aktivitas-aktivitas yang mendukung terjaganya kearifan lokal, seperti insentif berbentuk peningkatan atau peningkatan sarana dan prasrana, penyediaan infrastruktur (jalan, drainase, air bersih, dsb), pendampingan (tehnical assistance), bantuan dana dalam

melakukan konservasi artefak arsitektur ataupun bentuk-bentuk disinsentif yang berorientasi pada pengendalian kegiatan yang dapat mengganggu fungsi dan karakter kawasan yang memiliki historic value yang tinggi. 4. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pemahaman dan mengapresiasi warisan budaya serta kearifan lokal, melalui pendidikan, sosialisasi, pelibatan peran serta masyakarat dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan yang berbasis kearifan lokal. 5. Untuk menjaga karakter kawasan bersejarah perkotaan sebagai traditional setting yang memiliki historic value yang tinggi, maka pembangunan baru di kawasan bersejarah tersebut harus selaras, sinergi, adaptif dengan lingkungan dan iklim setempat dengan mempertimbangkan nilai kearifan lokal yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi termal lingkungan bangunan serta adaptif terhadap perubahan iklim. Faktor-faktor tersebut antara lain: orientasi terhadap garis edar matahari, radiasi matahari, kelembaban udara, gerakan angin, curah hujan, topografi dan vegetasi sehingga lingkungan dan bangunan akan memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim. 6. Mengembangkan bentuk kerjasama kemitraan yang strategis dalam suatu sistem kelembagaan yang efektif dan profesional terkait pelestarian kawasan bersejarah perkotaan yang mengakomodasi kearifan lokal dan adaptasi perubahan iklim. MODEL PENERAPAN NILAI KEARIFAN LOKAL SECARA CERDAS DALAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN LINGKUNGAN BINAAN MASA DEPAN YANG ADAPTIF TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Berdasar hasil dan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat diungkap nilai-nilai kearifan lokal yang ada di kawasan bersejarah perkotaan dan kemampuan adaptasi kawasan bersejarah perkotaan tersebut terhadap perubahan iklim dengan berbasis pada kearifan lokal. Selanjutnya nilai kearifan lokal tersebut dapat dijadikan rujukan dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan di masa depan yang adapatif terhadap perubahan iklim. Integrasi kearifan lokal dalam perencanaan lingkungan dan bangunan memiliki peluang yang besar untuk dapat diterapkan. Berikut dijabarkan konsep integrasi penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di kawasan bersejarah dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan masa depan yang adaptif terhadap perubahan iklim:
Aspek/Komponen kearifan lokal Nilai-nilai kearifan lokal kawasan bersejarah perkotaan yang adaptif terhadap perubahan iklim Konfigurasi Permukiman kawasan bersejarah dengan fungsi yang berdekatan. Konfigurasi permukiman yang mempertimbangkan faktor iklim sehingga memungkinkan pergerakan udara antar bangunan dan pemanfaatan optimal cahaya matahari. Melestarikan keberadaan struktur dan pola ruang kawasan bersejarah perkotaan sebagai satu tipologi ekosistem yang berkarakter dan beridentitas. Konsep model penerapan nilai kearifan lokal secara cerdas pada perencanaan dan perancangan lingkungan binaan yang adaptif terhadap perubahan iklim Kompaksi kawasan: pemusatan fungsifungsi perkotaan, penggunaan lahan campuran/ mixed land use sehingga pergerakan kawasan menjadi efisien. Perancangan kawasan yang tata massa bangunannya mempertimbangkan secara optimal pergerakan udara dan cahaya matahari sehingga efisien dalam penggunaan energi. Melestarikan kawasan yang memiliki nilai sejarah (heritage) dan melakukan perancangan kawasan yang tetap mempertahankan genius loci atau spirit of place serta tidak melakukan konversi guna lahan.

Konfigurasi permukiman/Pola ruang dan struktur ruang kawasan

Arsitektur / Bentuk bangunan

Memanfaatkan sungai sebagai kawasan tepi air yang dahulu digunakan sebagai jalur transportasi utama perdagangan Connectivity dalam kawasan bersejarah berupa lorong atau gang. Bangunan rumah tradisional yang menggunakan teknologi hemat energi dan bahan bangunan yang ramah lingkungan. perancangan yang adaptif terhadap iklim dan kondisi lingkungan setempat. Ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau (RTnH) yang terjaga dan terkelola

Memanfaatkan secara optimal kawasan tepi air (waterfront area) dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan. Penyediaan jalur pedestrian yang nyaman sebagai connectivity dalam kawasan/lingkungan binaan. Penerapan intellegent building system (IBS) atau sistem bangunan cerdas yang efisien dalam penggunaan energi (listrik dan pendingin ruangan), ramah lingkungan dan beridentitas. Mendorong penerapan pengolahan sampah daur ulang pada lingkungan dan bangunan dengan prinsip 3R: reuse, reduce, recycle. Penyediaan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau: greening the roof (atap hijau), pelestarian kawasan hijau, penanaman pohon dengan carbon storage yang tinggi. Pengelolaan dan penyediaan RTH dan RTnH dengan menjalin kemitraan dengan swasta seperti Penyediaan taman dan Plaza sebagai ruang komunal dan sebagainya. Integrasi nilai budaya dan kearifan lokal dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan Pertimbangan secara kontekstual kondisi lingkungan dan iklim setempat. Masyarakat, pemerintah dan swasta yang memiliki kesadaran dan pemahaman serta berperan dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan lingkungannya. Kepemimpinan (leadership) mengedepankan keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal. Sistem kelembagaan yang efektif dan profesional dan kerjasama kemitraan yang strategis terkait pelestarian kawasan bersejarah perkotaan yang mengakomodasi kearifan lokal dalam mengadaptasi perubahan iklim.

Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Non Hijau

Perencanaan dan perancangan

Lingkungan kawasan bersejarah terbentuk dari faktor primer (social cultural forces) dan faktor sekunder (modifying factor). Masyarakat adat yang menjaga adat istiadat, nilai budaya dan kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungannya.

Norma, aturan, adat istiadat, religi, tata nilai

Kelembagaan

Kelompok kekerabatan, organisasi sosial, paguyuban

Tabel 1. Konsep model integrasi penerapan nilai-nilai kearifan lokal kawasan bersejarah perkotaan dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Sumber: Hasil analisis (Taufan Madiasworo, 2010)

PENUTUP Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disarikan pokok-pokok pikiran terkait adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim berbasis kearifan lokal, sebagai berikut:

1. Kawasan bersejarah perkotaan menyimpan potensi nilai budaya dan kearifan lokal baik yang bersifat tangible dan intangible baik berupa adat istiadat, norma, tata aturan, artefak arsitektur dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan strategi adaptasi masyarakat adat terhadap iklim dan lingkungan setempat. 2. Artefak-artefak arsitektur berupa bangunan, landmark ataupun rumah tradisional di kawasan bersejarah perkotaan dengan nilai kearifan lokalnya merupakan kekayaan dalam variasi khasanah arsitektur tradisional di Indonesia, yang dapat memberikan kontribusi positif sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama terkait dengan kemampuan adaptasinya terhadap perubahan iklim. 3. Terdapat peluang integrasi nilai kearifan lokal secara cerdas dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan di masa depan yang adaptif terhadap perubahan iklim. 4. Nilai kearifan lokal yang hidup dan berkembang secara turun temurun perlu di inventarisasi dan dilestarikan sebagai aset sosial budaya masyarakat setempat dan untuk menjaga kesinambungan masa lalu, sekarang dan masa depan. 5. Fenomena perubahan iklim yang terjadi seyogyanya disikapi secara bijak melalui proses adaptasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian kembali nilai-nilai kearifan lokal yang relevan. 6. Diperlukan keterlibatan dan peran semua pihak baik masyarakat, pemerintah dan swasta dalam upaya pelestarian nilai kearifan lokal kawasan bersejarah perkotaan. Hal ini dapat dilakukan dengan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat setempat, menerapkan pengawasan pada sistem nilai tradisional, penerapan sanksi sosial untuk pencegahan kerusakan lingkungan dan mendorong keterlibatan pemangku kepentingan dalam menjaga kearifan lokal mulai dari proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 7. Melalui upaya adaptasi kawasan bersejarah perkotaan terhadap perubahan iklim berbasis kearifan lokal ini diharapkan akan terwujud ruang yang lebih berkelanjutan baik secara lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. DAFTAR PUSTAKA 1. Amanda Katili, 2010, Negosiasi, kebijakan, dan komunikasi perubahan iklim, artikel dalam permbangunan berkelanjutan, KPG, Jakarta 2. Kuki Soejachmoen, 2010, Strategi dan Kebijakan Adaptasi: pendekatan sosial ekonomi dalam menghadapi perubahan iklim, KPG, Jakarta 3. Liana Bratasida, 2002, Tinjauan Dampak Pemanasan Global dari Aspek Lingkungan Hidup, Paper, Seminar Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta 4. Sidharta, et.al, 1955, Semarang Beeld van een Stad, Asia maior, Purmerend, Nederland 5. Taufan Madiasworo, 2010, Mewujudkan Kota Hijau yang Berkelanjutan, Artikel, Majalah KIPRAH 6. Taufan Madiasworo, 2008, Rancang Bangun Arsitektur Tropis, Artikel, Majalah KIPRAH 7. Taufan Madiasworo, 2008, Desain Arsitektur dan Kota yang Responsif terhadap Pemanasan Global, Artikel, Majalah KIPRAH 8. Taufan Madiasworo, 2005, Kampung Melayu, Citra Multi Etnik Kampung Kuno Semarang, Artikel, Majalah KIPRAH 9. Taufan Madiasworo, 2001, Pengaruh Kebudayaan Banjar terhadap Bentuk Rumah Panggung di kampung Melayu Semarang, Tesis, Magister Teknik Arsitektur, Undip 10. Thian Joe, Liem, 1933, Riwajat Semarang (Dari Djamannja Sam Poo sampe terhapoesnja Kongkoan), Boekhandel Ho Kim Yoe, Semarang

Anda mungkin juga menyukai