Anda di halaman 1dari 11

1

PENGEMBANGAN MODEL AIRLINE ROSTERING SYSTEM MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL EVOLUTION


Andiek Sunarto, Budi Santosa, dan Arief Rahman Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email : andiek76@ie.its.ac.id, budi_s@ie.its.ac.id, dan rahmanarief@gmail.com Abstrak
Airline crew rostering merupakan masalah penugasan anggota kru pesawat kepada sejumlah rotasi/pairing yang telah direncanakan untuk bulan tertentu. Maskapai penerbangan mempunyai tugas untuk menyusun jadwal individual bulanan (roster) bagi setiap anggota kru. Problem ini semakin kompleks dan rumit seiring dengan berkembangnya aspirasi/kriteria untuk menentukan kualitas roster yang baik dan meningkatnya fungsi kendala yang timbul dari aturan perusahaan maupun kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan penumpang dan keamanan penerbangan. Paper ini mengusulkan metode differential evolution (DE) untuk memecahkan problem airline crew rostering. DE terdiri atas empat langkah utama yaitu, penentuan solusi awal, mutasi, crossover, dan seleksi. Ketepatan dalam menentuan parameter probabilitas mutasi dan crossover merupakan kunci sukses dari algoritma DE. Berbeda dengan penerapan DE pada umumnya, paper ini memperkenalkan random swap sebagai operator mutasi. Algoritma DE telah terbukti mampu menemukan solusi mendekati optimal dengan tingkat konvergensi yang cepat untuk problem optimasi. Melalui eksperimen numerik yang dilakukan dengan sejumlah dataset dari PT. Merpati Nusantara Airline, DE menunjukkan hasil yang lebih kompetitif dibandingkan dengan 2 metode lain, column generation dan MOSI. DE sangat baik untuk ukuran dataset kecil/sedang dan masih menunjukkan hasil yang baik untuk ukuran dataset yang besar. Kata kunci : airline rostering, differential evolution, random swap, rotasi/pairing, optimisasi. ABSTRACT Airline crew rostering is the assignment problem of crew members to planned rotations/pairings for certain month. Airline companies have the monthly task of constructing personalized monthly schedules (roster) for crew members. This problem increased more and more complex and difficult while the aspirations/criterias grew to assess the quality of roster and the constraints increased excessively, its came from the companys rules and governments policies to raise the comfortability of customer and the security of flight. This paper proposed the differential evolution (DE) method to solve the airline rostering problem. DE consists of four main steps such as defining initial solution, mutation, crossover, and selection. Determining accurately the probability parameters of mutation and crossover is the key to success of the algorithm. Different from the common DE, this paper presented random swap as mutation operator. The DE algorithm is proven able to find the near optimal solutin with a fast rate of convergence for optimization problem. Through numerical experiment with some datasets from Merpati Nusantara Airlines company, DE showed more competitive results than two other method, column generation and MOSI. DE gave good result for small and medium datasets, but still showed reasonable result for large dataset. Keywords : airline rostering, differential evolution, random swap, rotation/pairing, optimization problem

1. Pendahuluan Dalam banyak industri, staff scheduling dan rostering adalah masalah atau tugas yang esensial, komplek dan merupakan multistage planning. Manusia dalah faktor paling kritis yang harus dikelola dan dimanfaatkan dengan

baik dalam bisnis. Karena itu perencanaan yang benar dan cukup bijaksana dapat menyebabkan peningkatan produktivitas secara signifikan. Dalam industri airline, yang menjadi prioritas dari departemen human resource adalah pengembangan crew rostering plan (rencana jadwal penerbangan kru) yang mampu

menghasilkan utilitas yang tinggi, yang dimaksud crew pesawat disini adalah awak kokpit (pilot dan co-pilot) dan awak kabin (pramugari). Dalam Anbil et al., diestimasikan bahwa optimization software yang sudah dikembangkan untuk airline bisa menghemat lebih dari US $ 20 million pertahun. Penghematan 1% dalam crew utilization bisa menghemat biaya yang cukup besar. Meskipun airline crews scheduling telah mendapatkan banyak perhatian dalam literatur operations research sebagai contoh, Anbil et al., Barnhart et al., Gershkoff, Hoffman dan Padberg, Ribeiro et al., Vance et al., airline crews scheduling tetap menjadi perhatian utama banyak peneliti karena tingginya tingkat kompleksitas dan kesulitan dalam penyelesaiannya. Sehingga metode dan pendekatan yang digunakan semakin berkembang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, baik dari segi optimalitas maupun kecepatan computational time. Di samping itu ada perbedaan yang signifikan antara permasalahan-permasalahan yang dipertimbangkan oleh satu maskapai dengan maskapai yang lain dalam hal regulasi pemerintah maupun aturan-aturan lainnya yang berhubungan dengan roster scheduling. Pada umumnya penyelesaian airline crew scheduling dilakukan dengan pendekatan dekomposisi (Chu, S.C.K, 2007; Lui, P dan Teodorovi, D, 1999) dengan cara membagi permasalahan menjadi dua bagian yaitu crew pairing untuk membentuk initial feasible solution berupa rangkaian penerbangan yang berawal dan berakhir pada home base yang sama, dilanjutkan dengan crew rostering yaitu menugaskan pairing yang tersusun kepada crew yang ada berdasarkan kalender pribadinya. Pendekatan dekomposisi sangat efektif untuk menyelesaikan permasalahan dengan kompleksitas dan tingkat kesulitan yang tinggi, akan tetapi karena crew pairing dan rostering dilakukan secara berurutan menyebabkan metode ini kehilangan global treatment terhadap permasalahan. Beberapa penelitian lain mengembangkan pendekatan terintegrasi untuk menyelesaikan crew scheduling , misalkan pada penelitian dari Nadia Souai dan Jacques Thegem (Souai, N., dan Thegem, J., 2009), dimana crew pairing dan rostering diselesaikan secara simultan dengan harapan diperoleh tingkat optimalitas yang lebih baik. Akan tetapi pendekatan ini menyebabkan problem yang

diselesaikan menjadi sangat besar sehingga membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama. Banyak metode optimasi telah dikembangkan untuk menyelesaikan crew scheduling dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas roster yang tersusun maupun memperbaiki computational time, misalkan simulated annealing (Lui, P., dan Teodori, D., 1999), genetic algorithm (Souai, N. and Thegem, J., 2009), tree search algorithm (Beasley, J.E. and Cao, B., 1996), hybrid genetic algorithm (Levine, D., 1996), dan GASA hybrid algorithm (Yinghui, Z., Yunbao, R., and Mingtian, Z., 2007). Riset ini akan memperkenalkan satu metode optimasi lagi untuk menyelesaikan crew scheduling yaitu differential evolution. Metode ini merupakan evolusi dari genetic algorithm dengan mengganti operator string dan bit dengan floating points dan mengganti operator logika dengan operator matematis. Penggantian operator ini membuat metode differential evolution menjadi jauh lebih sederhana dan lebih mudah dalam pemakaian dibandingkan dengan genetic algorithm, dan diharapkan akan memperbaiki computational time dari genetic algorithm. Riset ini mengsumsikan bahwa pairing telah disediakan oleh maskapai penerbangan dan kru yang akan dijadwalkan rosternya adalah yang ber-home base di Surabaya. Ruang lingkup penleitian ini meliputi : (i) Penyusunan model mempertimbangkan single home base dan tipe armada campuran berdasarkan jenis dan ukuran pesawat. (ii) Roster yang disusun memuat roster crew cockpit (pilot dan co-pilot) dan cabin (pramugari) yang ber-home base di Surabaya. (iii) Pilot dan co-pilot memiliki kualifikasi menerbangkan pesawat tipe tertentu, sehingga tidak dijinkan menerbangkan pesawat dengan tipe lain, akan tetapi pramugari/awak kabin dapat terbang di setiap jenis pesawat. (iv) senioritas dan gaji per jam setiap anggota kru tidak dipertimbangkan dalam pembuatan roster. Dengan asumsi bahwa gaji per jam terbang dan senioritas sama maka biaya roster dapat diwakili dengan jam terbang aktual. Riset ini menekankan pada penyusunan algoritma differential evolution untuk sistem intelligent airline crew rostering system. Pertanyaan utama yang akan dijawab dalam riset ini adalah bagaimana melakukan optimisasi biaya operasi crew pesawat terbang menggunakan metode differential evolution bagi sistem intelligent crew scheduling.

2. Formulasi 2.1 Crew Rostering Crew rostering problem merupakan problem penugasan sejumlah pairing/rotasi yang telah direncanakan kepada sejumlah kru. Dalam model penugasan ini ada beberapa criteria fungsi tujuan yang akan dicapai dengan sejumlah kendala. Crew rostering problem dapat diformulasikan sebagai berikut : 2.1.1 Indeks k adalah index untuk jenis kru pesawat. k = 1,,K i adalah index untuk anggota tiap jenis kru (1, , mk). j adalah index rotasi/pairing yang ditugaskan untuk setiap jenis kru (1, ,nk). l adalah jumlah hari dalam satu bulan penjadwalan (1, ...,31) 2.1.2 Parameter djk adalah panjang rotasi ke-j yang ditugaskan pada kru-k. Panjang rotasi diekspresikan sebagai jam terbang

2.1.3 Variable Keputusan

2.1.4. Fungsi Tujuan Fungsi tujuan dalam airline crew rostering ini adalah meminimumkan tiga kriteria kualitas berikut : 2.1.4.1 Total biaya roster Biaya roster yang dibayarkan oleh maskapai penerbangan PT. MNA kepada seorang kru adalah biaya variabel (gaji/jam), sehingga dengan asumsi bahwa gaji/jam setiap anggota kru sama maka biaya ini dapat diwakili oleh jam terbang aktual yang ditugaskan kepada kru tersebut. Sehingga tujuan penyusunan roster adalah meminimumkan biaya roster bulanan yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

min

d
i =1 j =1

mk

nk

jk

xijk

k = 1,...,K

(1)

2.1.4.2 Deviasi hari terbang antar crew members Ambilah t k adalah hari terbang rata-rata per bulan anggota kru-k, maka :

tk =
dmax,k adalah panjang flight time maksimum kru-k dalam satu bulan vjk adalah jumlah take-off dalam rotasi-j yang ditugaskan pada kru-k vmax,k adalah jumlah take-off maksimum kru-k dalam satu bulan Dmin,jk adalah jumlah anggota kru-k minimum yang diperlukan untuk melengkapi rotasi-j tjk adalah jumlah total hari yang diperlukan kruk untuk menyelesaikan rotasi-j tmax,k adalah hari paling lama anggota kru-k terbang sebelum free day

t
i =1 j =1

mk

nk

jk

xijk
k = 1,...,K (2)

mk

Sehingga fungsi minimasi deviasi total hari terbang per bulan antara anggota kru-k dapat diformulasikan sebagai berikut :

min

t
i =1 j =1

mk

nk

p jk

xijk t k

k = 1,...,K

(3)

Dimana p adalah bilangan bulat positif. Dalam penelitian ini ditentukan bahwa nilai p = 1. 2.1.4.3 Open time Open time adalah hari dimana seorang anggota kru menganggur karena tidak ada tugas terbang. Jika jumlah hari penjadwalan dalam satu bulan penjadwalan adalah 31 hari, maka open time untuk anggota kru-k diformulasikan sebagai berikut :

min

nk 31 t jk xijk k = 1,...,K (4) j =1 i =1 mk

2.1.5 Kendala (Constraint) Penyusunan roster setiap kru pesawat harus memenuhi kendala-kendala sebagai berikut : 2.1.5.1 Batasan flight time (jam terbang) Ketika memecahkan rostering problem, jumlah jam terbang maksimum per bulan harus dimasukkan dalam pertimbangan. Jam terbang maksimum untuk pilot ditentukan oleh aturan horizontal sebesar 110 per bulan, sedangkan untuk awak kabin sebesar 120 jam per bulan. Sehingga dmax,k = 110 untuk k = 1,...,7 dan dmax,k = 120 untuk k = 8. Kendala jam terbang maksimum per bulan untuk anggota kru-k diformulasikan sebagai berikut :

t jk xijk q jkl 7 i = 1,,mk , p = 1,..., 23 ,


j =1 l= p

nk

p+7

k = 1,...,8

(9)

2.1.5.6 Kendala rotasi free day Kendala ini mencerminkan bahwa anggota kru-k tidak mendapatkan hari libur pada hari-hari dimana rotasi-j yang sedang dilakukan belum selesai.

xijk = xijk q jkl


j =1 j =1 l =1

nk

nk

31

l + t jk 1 s =l

isk

i = 1,,mk , k = (10)

1,...,K

d
j =1

nk

jk

xijk d max,k i = 1,,mk ,k = 1,...,K.(5)

2.1.5.2 Batasan Duty Period Hari terbang maksimum yang diperbolehkan bagi seorang anggota kru-k tidak boleh lebih dari 21 hari.

2.1.5.7 Kendala tidak boleh overlap Dua rotasi berturutan yang ditugaskan kepada seorang anggota kru-k tidak boleh overlap, artinya rotasi tertentu harus dilakukan ketika rotasi pendahulunya benar-benar telah diselesaikan. Kendala no-overlap dapat diformulasikan sebagai berikut :

t jk xijk 21 i = 1,,mk , k = 1,...,K. (6)


j =1

nk

xijk jsk xisk ( s j ) = 0


s =1

nk

i = 1,,mk , j = (11)

1,...,nk , k = 1,...,K

2.1.5.3 Jumlah take-off total selama satu bulan Jumlah take off maksimum yang boleh dilakukan oleh seorang pilot tidak boleh melebihi 90 kali. Dengan demikian ditentukan bahwa vmax,k = 90. Sedangkan untuk awak kabin tidak ada batasan take off. Kendala jumlah take off maksimum per bulan untuk setiap anggota kru-k dapat diformulasikan sebagai berikut :

v
j =1

nk

jk

xijk v max,k i = 1,,mk ,k = 1,...,K.(7)

2.1.5.4 Jumlah kebutuhan kru minimum setiap rotasi Setiap rotasi membutuhkan jumlah kru minimum sebagai kelengkapan kru untuk penerbangan.

x
i =1

mk

ijk

Dmin, jk j = 1,,nk , k = 1,,K (8)

2.1.5.5 Kendala free day (hari libur) Setiap anggota kru-k harus harus memiliki free day (hari libur) setelah melakukan penerbangan 7 hari berturut-turut. Kendala free day untuk setiap anggota kru-k dapat diformulasikan sebagai berikut :

2.2 Transformasi Problem Terkendala (constrained problem) menjadi Problem Tanpa Kendala (unconstrained problem) Problem airline rostering merupakan problem dengan banyak kendala yang harus dipuaskan atau constrained problem. Problem tersebut tidak bisa dipecahkan secara langsung dengan metode differential evolution yang diusulkan dalam penelitian ini, sehingga problem terkendala tersebut harus ditransformasikan menjadi problem tanpa kendala. Metode transformasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah external penalty function method (Fox, 1971). Pada prinsipnya metode ini memberikan penalty yang besar pada solusi yang melanggar konstrain dan bergerak ke solusi lain sehingga didapat solusi optimal yang tidak melanggar semua konstrain. Alasan pemilihan metode ini adalah karena problem airline rostering adalah problem dengan banyak konstrain sehingga solusi awal yang dipilih akan memiliki kemungkinan besar jatuh pada daerah infeasible, ini sesuai dengan metode external penalty function yang bergerak dari daerah infeasible menuju daerah feasible jika memang ada solusi. Sehingga problem terkendala dapat dirubah menjadi problem tanpa kendala sebagai berikut :

min

mk nk mk nk d jk xijk + 2 t jk xijk t k 1 i =1 j =1 i =1 j =1 mk nk + 3 31 t jk xijk + i =1 j =1 (r C + r C + r C + r C ) + 1 1 2 2 3 3 4 4 (r C + r C + r C + r C ) 5 5 6 6 7 7 8 8

1, 2, dan 3 adalah koefisien yang menunjukkan bobot kepentingan ketiga fungsi tujuan. Jika kita menganggap bahwa biaya roster lebih penting dari deviasi jam terbang antar anggota kru, dan deviasi jam terbang antar anggota kru lebih penting dari open time maka 1, 2, dan 3 dipilih dengan hati-hati dimana 1 2 3 sehingga menjamin pertidaksamaan berikut :

(12) Dimana :

nk C1 = max 0, d jk xijk d max,k i =1 j =1


mk

1 d jk xijk >> 2 t jk xijk t k


i =1 j =1 i =1 j =1

mk

nk

mk

nk

k =1,

...,K
mk nk C 2 = max 0, v jk xijk v max,k i =1 j =1 2

mk nk >> 3 31 t jk xijk i =1 j =1

(13) k =1, Bentuk persamaan (13) akan menjamin urutan hirarki penyelesaian oleh iterasi populasi differential evolution. r1,,r8 adalah penalty yang diberikan ketika konstrain/kendala dilanggar dimana r1,,r8 akan menjamin bahwa algoritma akan memenuhi kendala dulu sebelum mempertimbangkan fungsi tujuan lainnya. Persamaan (12) akan menjadi fungsi fitness dari metode differential evolution. 2.3 Algoritma Differential Evolution (DE) untuk Crew Rostering System Metode differential evolution pada prinsipnya selalu mempertahankan dua vektor solusi dalam setiap iterasinya. Vektor pertama adalah vektor induk dari setiap iterasi, sedangkan vektor kedua adalah hasil mutasi dan crossover. Pada tahap seleksi kedua vektor ini akan dipilih untuk menjadi vektor induk untuk iterasi berikutnya. 2.3.1 Menentukan Jumlah Populasi Jumlah populasi dilambangkan dengan n_pop menunjukkan berapa populasi yang akan dibangkitkan untuk mendapatkan individu terbaik dalam iterasi akhir algoritma ini. 2.3.2 Inisialisasi Inisialisasi dilakukan untuk mendapatkan solusi awal. Solusi awal xijk ditentukan dengan cara membangkitkan bilangan random biner [0 dan 1] ukuran nk x mk sebanyak n_pop. Solusi awal yang dibangkitkan tidak harus legal (memuaskan semua kendala). Legalitas solusi akan diperbaiki setiap iterasi metode ini melalui seleksi berdasarkan fungsi fitness. Misalkan Xnp,0 adalah solusi awal populasi ke-np, maka :

...,K

mk C3 = max 0, xijk Dmin, jk j =1 i =1


nk

=1,

...,K

nk C 4 = max 0 , t jk x ijk i =1 j =1
mk

q
l= p

p+7

jkl

k =1, ...,K
l +t jk 1 nk 31 nk C5 = max 0, xijk xijk q jkl pisk j =1 i =1 l =1 j =1 s=l mk 2

k =1, ...,K
l +t jk 1 nk 31 nk min 0, xijk xijk q jkl pisk C6 = j=1 i=1 l =1 j =1 s=l mk 2

k =1, ...,K
nk C 7 = max 0, x ijk jsk x isk ( s j ) i =1 s =1 mk 2

k =1, ...,K
nk C8 = min 0, xijk jsk xisk ( s j ) i =1 j =1 s =1 mk nk 2

k =1, ...,K

X np ,0 = rand np [0;1] np = 1, ..., n_pop (14)


Randnp[0;1] adalah random biner 0 atau 1 populasi ke-np. 2.3.3 Mutasi Berbeda dengan mutasi DE pada umumnya pada bagian ini diperkenalkan cara mutasi random swap. r0 adalah bilangan random antara 0 dan 1 yang berdimensi mkxnk untuk setiap populasi np, sedangangkan vnp,ro,g adalah elemen solusi V kolom r0 generasi g, jika Wnp,g-1 adalah populasi terbaik generasi g-1 dan wnp,r0,g-1 adalah elemen kolom r0 dari Wnp,g-1 , maka mutasi pada generasi ke-g adalah :

populasi solusi hasil crossover akan dipertahankan, sebaliknya populasi hasil crossover akan menggantikan populasi induk pada iterasi selanjutnya. Performansi yang digunakan pada proses seleksi adalah fungsi fitness (4.12). Maka solusi generasi berikutnya yaitu Xnp,g+1 diperoleh dengan formulasi berikut :

(17) f(Unp,g) adalah nilai fungsi fitness dari Unp,g , sedangkan f(Xnp,g) adalah nilai fungsi fitness dari Xnp,g. 2.3.6 Stoping Criterion Proses akan dihentikan jika iterasi sudah mencapai iterasi maksimum (gmax) atau generasi populasi maksimum yang dibangkitkan. 3. Metodologi 3.1 Pengembangan model matematis airline rostering system Model matematis yang disusun akan memuat aspirasi/kriteria-kriteria sebagai fungsi tujuan dan beberapa fungsi kendala. Fungsi tujuannya adalah multiobjective function yang terdiri atas jam terbang minimum, deviasi hari terbang, dan open time. Beberapa kendala yang harus dipertimbangkan dalam menyusun roster bulanan adalah tidak boleh overlap, kebutuhan pilot minimum setiap pairing, hari libur sebelum 7 hari penerbangan berturut-turut, jam terbang maksimum, hari terbang maksimum, dan jumlah takeoff maksimum. 3.2 Pengumpulan data dan informasi Dataset dari PT. MNA digunakan untuk memvalidasi model dan beberapa informasi tambahan digunakan untuk meng-update model yang telah dibuat sehingga mencerminkan kondisi riil di PT. MNA. Dataset terdiri atas dataset ukuran kecil dan besar. Model yang dibuat akan dapat dilihat performansinya untuk setiap ukuran data set. Data yang terkumpul kemudian digunakan sebagai bahan untuk membuat parameter-parameter model yang akan digunakan pada ekseku program nantinya. 3.3 Mengubah constrained model menjadi unconstrained model Seperti metode meta-heuristk lainya DE juga bekerja dengan model tanpa kendala, sehingga model matematis terkendala yang telah dibuat

(15) Dimana cm adalah probabilitas antara 0 dan1 menunjukkan kekuatan mutasi yang dilakukan terhadap populasi terbaik pada generasi sebelumnya. Pemilihan cm harus dilakukan secara hati-hati karena cm yang terlalu kecil menyebabkan solusi sulit keluar dari daerah local optima, sedangkan cm yang terlalu besar menyebabkan kegaduhan solusi menjadi besar dan kecepatan konvergensi menuju global optima menjadi berkurang. Pemilihan cm yang tepat merupakan kunci menuju sukses algoritma ini. 2.3.4 Crossover Crossover adalah menyilangkan atau menukarkan solusi induk Xnp,g dengan solusi mutan Vnp,g untuk membentuk solusi baru Unp,g. Caranya adalah dengan menentukan probabilitas threshold (0 < cr < 1) mutan menjadi solusi baru. Kemudian dilakukan randomisasi sebanyak n_pop. Jika bilangan random terjadi antara 0 < randnp(0,1) < cr, maka mutan menjadi solusi baru, yang lain solusi induk akan menjadi solusi baru.

(16) 2.3.5 Selection Proses ini dilakukan dengan cara membandingkan solusi induk dengan solusi baru hasil crossover. Populasi induk yang memberikan performansi lebih baik dari pada

harus diubah menjadi persamaan tanpa kendala. Teknik yang digunakan untuk mentransformasikan constrained problem menjadi unconstrained problem adalah eksternal penalty function. Teknik ini akan memberikan penalty yang sangat besar ketika kendala dilanggar dan berusaha agar fungsi penalty menjadi 0. 3.4 Pengembangan model DE Model DE dibuat sebagai algoritma untuk menyelesaikan problem rostering dalam penelitian ini. Tidak sama dengan aplikasi DE pada umumnya dalam penelitian ini diperkenalkan teknik random swap pada proses mutasi. DE bergerak dari solusi awal random sebanyak populasi tertentu dengan performansi kurang baik yang dirubah melalui proses mutasi dan crossover. Setiap iterasinya akan dipilih solusi terbaik sebagai induk dengan proses seleksi untuk membangkitkan solusi anak pada iterasi berikutnya. 3.5 Pemrograman komputer Software yang digunakan untuk pemrograman komputer adalah matlab versi 6.5. pemrograman komputer perlu dilakukan karena problem restering adalah problem yang besar yang dalam penyelesaiannya membutuhkan ratusan sampai ribuan iterasi dan tidak mungkin dilakukan secara manual. Pemrograman dilakukan secara bertahap dengan memasukkan kendala satupersatu ke dalam program dan me-running setiap kali untuk mengetahui bahwa program telah dibuat dengan benar. Setelah kendala dimasukkan semua baru fungsi tujuannya dimasukkan ke dalam program. 3.6 Eksperimen dan analisa hasil Pada tahap ini akan ditampilkan hasil eksperimen dan dijelaskan kelebihan metode DE untuk airline rostering system dibandingkan dengan dua metode yang lainnya yaitu column generation dan MOSI. 4. Hasil Penelitian Eksperimen dilakukan dengan dataset yang disediakan oleh PT. MNA. Dataset berupa pairing dan anggota kru untuk setiap jenis armada seperti ditunjukkan oleh tabel 1.

Tabel 1. Karekteristik data percobaan

Nilai probabilitas mutasi terbaik, cm = 0.1 dan probabilitas crossover, cr = 0.5. Penalty kendala overlap dan rotasi tanpa free day diambil 1015, penalty kendala kebutuhan pilot 1013, penalty day off sebesar 1011, sedangkan kendala hari terbang, jam terbang, dan jumlah take off mendapat penalty 106. Bobot fungsi obyektif dipilih 104 untuk jam terbang minimum, 100 utuk deviasi hari terbang dan 1 untuk open time. Dataset dibagi dalam dua kelompok berdasarkan ukurannya yaitu dataset kecil dan besar. Dataset kecil terdiri atas penugasan pilot F-100, CN-235, DHC-6, dan Cassa 212. Sedangkan dataset besar terdiri atas penugasan pilot Boeing 737-200 dan penugasan awak kabin pesawat Boeing 737-200. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa metode DE, column generation, dan MOSI memberikan performansi yang sama dalam hal pemenuhan kendala roster, keculai untuk pesawat Cassa 212. Pada penugasan pesawat Cassa 212 metode DE tidak melanggar kendala kebutuhan pilot ideal sedangkan metode column generation dan MOSI melanggar kendala ini, yaitu hanya menugaskan 1 pilot pada pairing 8981 sedangkan kebutuhan pilot sebenarnya adalah 2 orang pilot. Pada kriteria jam terbang minimum DE inferior hanya pada penugasan Cassa 212 sedangkan untuk ketiga pesawat lain sama seperti ditunjukkan tabel 2.
Tabel 2. Total jam terbang ketiga metode

Sumber : tesis Zya Labiba (2006)

Pada kriteria deviasi hari terbang metode DE superior di tiga jenis pesawat dan inferior dibandingkan MOSI pada pesawat Cassa 212 seperti ditunjukkan tabel 3.
Tabel 3. Total deviasi hari terbang tiga metode

*diambil dari tesis Zya Labiba

Pada penugasan pilot Boeing 737-200 dibandingkan 6 metode yaitu differential evolution (DE), column generation, MOSI, dekomposisi eksak dengan batasan 21 hari terbang (DE21), dengan batasan 20 hari terbang (DE20), dan dengan batasan 19 hari terbang (DE19). Semua metode melanggar batasan hari terbang 21 hari, namun demikian metode DE menugaskan hari terbang lebih merata dilihat dari standart deviasi hari terbang dan paling minimum dalam hal jumlah pilot yang melanggar hari terbang yaitu 3 pilot sementara column generation 6 pilot, MOSI 7 pilot, DE21 7 pilot, DE20 dan DE19 masing-masing 8 pilot.Tabel 5 menunjukan perhitungan penyimpangan terhadap hari terbang.
Tabel 5. Komparasi jumlah dan rata-rata hari terbang

Sedangkan pada kriteria open time DE menunjukkan hasil yang superior dibandingkan kedua metode lainnya pada penugasan Cassa 212 seperti ditunjukkan tabel 4.
Table 4. Open time setiap metode rostering

*diambil dari tesis Zya Labiba (2006)

Dataset untuk penugasan pilot dan awak kabin jenis Boeing 737-200 berukuran sangat besar (17 pilot dengan 82 pairing) sehingga akan membutuhkan iterasi, jumlah populasi, dan waktu komputasi yang sangat besar untuk mendapat solusi near optimal jika diselesaikan langsung dengan algoritma DE pada umumnya. Penelitian ini mengusulkan metode berurutan antara partial optimization dan total optimization. Pada partial optimization dataset dipecah menjadi beberapa kelompok dan diselesaikan dengan metode DE. Pada kasus rostering pilot Boeing 737-200 permasalahan dipecah menjadi 3 kelompok . Kemudian solusi dari ketiga kelompok ini digabung menjadi satu sebagai solusi awal untuk total optimization. Dengan solusi awal yang telah mendekati optimal membuat proses pada total optimisasi lebih efisien.

* diambil dari tesis Zia Labiba (2006) ** diambil dari Ahmad Rusdiansyah, Yani Dhina Mirenani, dan Zya Labiba (2007)

Berbeda dengan penugasan pilot, penugasan awak kabin Boeing 737-200 dibandingkan tiga metode yaitu DE, column generation, dan MOSI. melanggar kendala jumlah kebutuhan pilot ideal. Metode DE tidak melanggar kendala hari terbang, sedangkan kedua metode lain melanggar kendala ini, tercatat 6 pilot dan 6 awak kabin ditugaskan melebihi batas hari terbang per bulan maksimum 21 hari. Sedangkan 7 pilot dan 7 awak kabin ditugaskan melebihi batas hari terbang per bulan oleh MOSI. Tabel 6 menunjukkan pelanggaran kendala roster oleh ketiga metode.

Tabel 6. Pelanggaran kendala pada penugasan awak kabin Boeing 737-200

roster dibandingkan metode column generation dan MOSI. 6. Daftar Pustaka AhmadBeygi, S., Cohn, A., and Weir, M. An integer programming approach to generating airline crew pairings. Computer & Operation Research 36, 1284 1298.2008. Beasly, J.E. and Cao, B. A tree search algorithm for the crew scheduling problem.European Journal of Operational Research 94, 517526. 1996. Box, M. J. A new method of constrained optimization and a comparison with other methods. Computer journal, Vol. 8, No. 1, pp. 42-52.1965. Chu, S.C.K. Generating, scheduling, and rostering of shift crew-duties: Applications at the Hongkong International Airport. European Journal of Operational Research 177, 1764-1778. 2007. J. H. Cassis and L. A. Schmit, On implementation of the extended interior penalty function, International Journal for Numerical Methods in Engineering, Vol. 10, pp. 3-23, 1976. Fahle, T., U. Junker, S.E. Karisch, N. Kohl, M. Sellmann, and B. Vaaben. Constraint Programming Based Column Generation for Crew Assignment. Journal of Heuristics 8(1), 5981 Fatih M.T, Pan Q.K, Liang Y.C, and Suganthan P.N. A Discrete Differential Evolution Algorithm for the Total Earliness and Tardiness Penalties with a Common Due Date on a Single-Machine.Proceedings of the 2007 IEEE Symposium on Computational Intelligence in Scheduling (CI-Sched 2007). 2007. Fox, R.L. Optimization Methods for Engineering Design. Addison-Wesley, Reading, Mass. 1971. Freling, R., R. Lentink, and A. Wagelmans. A Decision Support System for Crew Planning in Passenger Transportation Using a Flexible Branch-and-Price Algorithm. In S. Vo and J.R. Daduna (eds.), Computer-Aided Scheduling of Public Transport, pp. 7390. Lecture Notes in Economics and Mathematical Systems, Vol. 505. Berlin: Springer. 2001. Gotlieb, C. The Construction of Class-Teacher Timetables, in Proceedings of IFIP Congress, 73-77.1962.

*diambil dari tesis Zya Labiba (2006)

Pada penugasan pilot Boeing 737-200, metode DE superior pada kriteria minimum jam terbang, tetapi inferior pada kriteria deviasi hari terbang dan open time seperti ditunjukkan tabel 7.
Tabel 7. Kualitas roster penugasan pilot Boeing 737-200

*diambil dari tesis Zya Labiba (2006)

Penugasan awak Boeing 737-200 menghasilkan kualitas roster yang berbeda dengan penugasan pilot. Metode DE superior pada kriteria deviasi hari terbang tetapi inferior pada kriteria jam terbang minimum dan open time minimum. 5. Kesimpulan Permasalahan penjadwalan roster PT. MNA secara umum memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan maskapai penerbangan lain dalam hal kriteria performansi dan kendala roster. Pemilihan probabilitas mutasi dan crossover merupakan kunci sukses penerapan DE, terpilih cm = 0.1 dan cr = 0.5 sebagai kombainasi terbaik. Berbeda dengan penerapan DE secara umum, karena variabel keputusanya biner, pada paper ini diperkenalkan random swap sebagai operator mutasi. Untuk dataset berukuran kecil DE membuktikan lebih kompetitif dibandingkan kedua metode baik dari pemenuhan kendala roster maupun kualitas roster. Sedangakan pada dataset berukuran besar, metode DE memberikan pemenuhan kendala roster lebih baik dan sama baik dalam kualitas

10

Hertz, A.(1991), Tabu search for large scale timetabling problems, European Journal of Operational Research, 54, 39-47. Thompson, J. M. and K. A. Dowsland. General cooling schedules for a simulated annealing based timetabling system. Lecture Notes in Computer Science, 1153, 345-364. 1991. Kohl, N. The Use of Linear and Integer Programming in Airline Crew Scheduling. In Proceedings of the 3rd Scandinavian Workshop on Linear Programming, Lyngby, Denmark, August 2628. 1999. Kennet V.P, Rainer M.S., and Jouni A.L. Differential Evolution : a practical approach to global optimization. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2005. Kohl, N. Application of OR and CP Techniques in a Real World Crew Scheduling System. In Proceedings of CP-AI-OR00: 2nd International Workshop on Integration of AI and OR Techniques in Constraint Programming for Combinatorial Optimization Problems, Paderborn, Germany, March 810. 2000. Kohl, N. and S.E. Karisch. Integrating Operations Research and Constraint Programming Techniques in Crew Scheduling. In Proceedings of the 40th Annual AGIFORS Symposium, Istanbul, Turkey, August 2025. 2000. Knig, H. and C. Strauss. Rostering-Integrated Services and Crew Efficiency. Information Technology and Tourism 3(1), 2739. 2000. Knig, H. and C. Strauss. Supplements in Airline Cabin Service. In D. Buhalis, D.R. Fesenmaier and S. Klein (eds.), Information and Communication Technologies in Tourism 2000, pp. 365374. Berlin: Springer. 2000. Labiba, Z. Aplikasi metode column generation dalam penyelesaian penugasan kru maskapai penerbangan : studi kasus di PT. Merpati Nusantara Airlines. Tesis magister teknik, Jurusan Teknik Industri ITS, Surabaya, tidak dipubliksikan. 2006. Lasry, A., D.McInnis, F. Soumis, J. Desrosiers, and M.M. Solomon. Air Transat Uses ALTITUDE to Manage Its Aircraft Routing, Crew Pairing, and Work Assignment. Interfaces 30(2), 4153. 2000. Lavoie, S., M. Minoux, and E. Odier. A New Approach for Crew Pairing Problems by Column Generation with an Application to

Air Transportation. European Journal of Operations Research 35, 4558. 1998. Levine, D. Application of a hybrid genetic algorithm to airline crew scheduling. Computer Operations Research, volume 23, no. 6, pp. 547-558. 1996. Lui, P. and Teodorovi, D. Simulated annealing for the multi-objective aircrew rostering problem. Transportation Research Part A 33, 19 45. 1999. Martins, E. and J. Santos. A New Shortest Paths Ranking Algorithm. Investigacao Operacional 20(1), 4762. 2000. Medard, C. P. and Sawhney, N. Airline crew scheduling from planning to operation. European Journal of Operational Research 183, 1013 1027. 2005. Mulvey, J. M. A Classroom/Time Assignment Model. European Journal of Operational Research, 9(2), 151-162. 1982. Parthiban, P., K. Ganesh, S. Narayanan, and R. Dhanalakshmi. Preferences Based Decisionmaking Model (PDM) for Faculty Course Assignment Problem. IEEE International Engineering Management Conference, 13381341. 2004. Rusdiansyah, A., Mirenani, Y.D., and Labiba, Z. Pemodelan dan penyelesaian permasalahan penjadwalan pilot dengan metode eksak dekomposisi. Jurnal Teknik Industri vol. 9, No. 2, Desember 2007: 112-124. 2007. Thompson, J. M. and K. A. Dowsland. General cooling schedules for a simulated annealing based timetabling system, Lecture Notes in Computer Science, 1153, 345-364. 1996. Sellmann, M., K. Zervoudakis, P. Stamatopoulos, and T. Fahle. Crew Assignment via Constraint Programming: Integrating Column Generation and Heuristic Tree Search. Annals of Operations Research 115, 207225.2002. Souai, N. and Thegem, J. Genetic algorithm based approach for the integrated airline crew-pairing and rostering problem. European Journal of Operational Research 199, 674-683. 2009. Wang Y.T., Cheng Y.H., Chang, T. C. and S.M. Jen. On the Application of Data Mining Technique and Cross enthropy to an Automatic Course Scheduling System. IEEE. 2008. Wood, D. C. A Technique for Colouring a Graph Application to Large Scale Timetabling

11

Problem. The Computer Journal, 12, 317319. 1969. Yinghui, Z., Yunbao, R., and Mingtian, Z. GASA hybrid algorithm applied in airline crew rostering system. Tsinghua Science and Thechnology ISSN 1007-0214 46/49 pp. 225-259, volume 12, number S1. 2007. Yu, E. and Sung, K.-S. A Generic Algorithm for a University Weekly Courses Timetabling Problem. International Transactions in Operational Research, 9, 703-717. 2002.

Anda mungkin juga menyukai