WACANA
SAKIBEN SINAGA SPD
MedanBisnis
SUARA HATI
ketidakjujuran. Celah untuk melakukan ketidakjujuran pun terbuka lebar di dalam dunia pendidikan kita. Di antaranya adalah pelaksanaan UN, sertifikasi guru/ dosen, seleksi calon pendidik maupun penerimaan CPNS. Tidak tahu apakah ini program pemerintah untuk mengembangkan pendidikan negeri ini atau hanya proyek belaka. Sekadar menghabiskan anggaran pendidikan, namun tidak tepat sasaran. Apalagi dalam UN tahun ini menghabiskan dana yang besar, mencapai Rp 5 miliar. Sangat memprihatinkan. Ironisnya lagi pada saat pelaksanaan UN, perilaku kecurangan dipertontonkan oleh sosok guru (pihak sekolah) yang semestinya menjadi teladan bagi muridnya namun harus tertangkap basah saat memberikan kunci jawaban kepada siswanya yang sedang menghadapi ujian. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya, tindakan itu telah memberikan teladan buruk kepada siswanya. Mengajarkan kejujuran namun akhirnya memberikan teladan yang tidak jujur karena kebijakan pendidikan yang memaksakan adanya UN. entingnya Kejujuran Pentingnya Kejujuran Mengingat bahwa siswa merupa-
kan calon agen pembaharu (agent of change) yang akan berperan membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini, hendaknya makna pendidikan jangan menyempit, hanya dinilai dengan angka. Namun pendidikan penting melihat aspek secara keseluruhan. Karena kejujuran dalam bertindak sangatlah diperlukan. Terlebih lagi kejujuran dalam pelaksanaan UN. Karena kejujuran yang didapatkan oleh generasi bangsa ini sangat mempengaruhi kondisi bangsa ke depan. Inilah sebenarnya penerapan pendidikan yang berkarakter itu. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari tujuan pendidikan tersebut, kita hendaknya menyadari betul bahwa kejujuran merupakan salah satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian sangat dibutuhkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka membangun bangsa. Pendidikan seharusnya menyemai benih kejujuran bukan menyemai benih kemunafikan, kecurangan, dengan cara instant yaitu melalui UN. Sebab pendidikan seharusnya membangun fondasi moral bangsa. Melihat pentingnya kejujuran pada kehidupan dan dalam dunia pendidikan, semoga UN tahun 2012 ini tidak lagi diwarnai kecurangan. Ketika pemerintah memberi hak 40% kepada guru (pihak sekolah) untuk menentukan kelulusan siswa, hendaknya jangan dimanfaatkan untuk berbuat tidak jujur seperti menukangi, memanipulasi nilai siswa (mencuci rapot) ataupun melakukan kecurangan pada waktu UN dilaksanakan. Dengan bahasa lain, kesempatan 40% untuk menentukan kelulusan siswa jangan disalahgunakan. Guru-guru hendaknya dapat memberikan bekal yang mantap, memperlengkapi siswa-siswinya sesuai tujuan pendidikan dan pe-
ngajaran itu agar di UN nanti siswa tidak lagi harap-harap cemas dan mencari jalan pintas untuk lulus UN dengan melakukan kecurangan. Pemerintah hendaknya juga merefleksikan diri demi kemajuan pendidikan di negeri kita ini. Terlebih dalam menentukan kebijakan pendidikan. Jika ingin mengevaluasi mutu pendidikan nasional, sebaiknya bukan hanya melalui UN namun melakukan evaluasi pendidikan nasional secara holistik. Tidak hanya memberikan target kelulusan UN bagi siswa, tetapi juga melakukan tindakan yang lebih nyata (kongkret) untuk meningkatkan mutu pendidikan mulai dari proses pendidikan tersebut. Karena pada dasarnya standar nilai atau target yang diberikan pemerintah dapat memotivasi dan mempersiapakan diri siswa secara maksimal untuk belajar dan meraih prestasi. Tetapi kalau dalam mencapai target tersebut pemerintah tidak memperhatikan dan melakukan perbaikan mutu pendidikan lebih serius lagi, maka standar tersebut sama saja dengan membuka peluang untuk berbuat curang. Karena saat ini mutu pendidikan kita (semakin) jauh tertinggal dibanding dengan
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, maupun Cina. Pemerintah hendaknya jangan "tutup mata" akan permasalahan ini. Kejujuran pemerintah juga sangat dibutuhkan dalam pengembangan mutu pendidikan negeri ini. Baik kejujuran dalam melaksanakan program pendidikan sehingga tidak menjadi 'proyek' pendidikan, tetapi benar-benar merevitalisasi pendidikan demi kemajuan bangsa ini. Jangan hendaknya anggaran Rp 5 miliar untuk pelaksaan UN menjadi tidak sasaran karena berakhir dengan kecurangan. Demikian juga kepada siswa, hendaknya lebih mempersiapkan diri dan membekali diri lebih maksimal dalam menggapai prestasi. Tidak hanya untuk mencapai standar nilai yang ditentukan dalam kriteria kelulusan siswa namun untuk prestasi dan kemajuan negara kita. Tiga tahun sekolah targetnya janganlah hanya sebatas lulus ujian nasional. Sehingga menghalkan segala cara yaitu kecurangan. Salam pendidikan! Penulis adalah pemerhati pendidikan
seharusnya menjadi tanggung jawab pendidikan bagi pelajar. Agar setiap pelajar dapat terbebaskan dari kebodohan dan dapat memecahkan permasalahan, serta menciptakan pelajar-pelajar yang memiliki moral dan kesadaran yang kritis. Dalam hal penyadaran, pakar pendidikan dari Brazil Paulo Freire, menyatakan bahwa, setiap manusia memiliki tingkat kesadaran. Namun, tingkat kesadaran manusia sering bersifat statis dan tidak berdialektika ke tingkatan penyadaran yang lebih tinggi. Freire menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan karena tidak adanya sistem pendidikan yang menyadarkan. Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menegaskan bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia. Pertama, kesadaran magis; merupakan kesadaran untuk menangkap fakta-fakta yang akan diberikan kepada penguasa yang mengkontrol kesadarannya (alam gaib/mistis). Kedua, kesadaran kritis; kesadaran ini lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah. Ketiga, kesadata naif; kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural
Lemahnya pendidikan kita dalam hal penyadaran bagi masyarakat menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini, bukanlah sistem pendidikan yang menjadi kebutuhan rakyat.
menghindari "blaming the victims" dan lebih menganalisis. Dari ketiga tingkatan kesadaran ini, tingkatan yang paling tinggi adalah tingkatan kesadaran kritis, naif menjadi yang kedua dan magis menjadi tingkatan kesadaran yang paling rendah. Pada umumnya manusia hanya menggunakan tingkat kesadaran magis dan naif, sementara kesadaran kritis terabaikan, sehinggah sering manusia masih betingkah laku seperti manusia primitip. Maka untuk itu sudah saatnya lembaga pendidikan di Indonesia untuk memberikan pendidikan dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi kepada calon-calon penerus bangsa (generasi muda). Jangan menganggap pendidikan itu hanya sekedar formalitas individu, melainkan indentitas dari suatu bangsa. Untuk mencapai kesadaran kritis tersebut, pemerintah harus merubah sistem pendidikan yang hanya bermakna candu. Lebih mengarah kan ke pendidikan yang bersifat penyadaran, dengan mengkaitkan langsung dengan kondisi sosial masyarakat. Seperti di Cina, Re-Education yang dilakukan pemerintah Cina untuk mningkatkan kesadaran rakyatnya yang masih memiliki kesadaran magis dan naif. Jangan menganggap bahwa pendidikan itu hanya proses transfer ilmu kepada orang lain, seperti sistem bank yang dinyatakan Paulo Freire. Karena hal ini tidak akan menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat. Namun pemahaman terhadap kondisi sosialnya akan
membangkitkan kesadaran kritisnya. Kesadaran Primitip Adu otot atau sering kita sebut dengan tauran ala pemuda adalah contoh dari kesadaran manusia yang masih primitip. Berkembangnya kasus tauran antar pelajar dan keributan yang ditimbulkan oleh pelajar dan merugikan orang lain, menunjukkan bahwa sistem pendidikan tidak lagi mendidik moral dan kesadaran yang kritis. Moralitas bukanlah internalisasi nilai-nilai kultural yang telah mapan maupun bentangan dorongan dan emosi spontan, moralitas adalah keadilan, hubungan timbal balik antara seorang individu lainnya di lingkungan sosialnya. Maka ketikan moralitas itu tidak terbangun dalam pendidikan, secara otomatis akan tetap tingkat kesadaran manusia tidak akan mencapai kritis. Jadi sudah dapat kita simpulkan, bahwa ternyata kesadaran para pelajar Indonesia (yang adu otot) masihlah ditingkatan kesadaran naif. Dimana hal mendasar kehidupan bukan menjadi akar permasalahan, malah menyimpulkan orang lain yang menjadi penyebab masalah. Sehingga, wajar apabila sangat sering kita lihat terjadinya konflik horizontal, baik antar pelajar maupun masyarakat. Lemahnya pendidikan kita dalam hal pe-
nyadaran bagi masyarakat menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini, bukanlah sistem pendidikan yang menjadi kebutuhan rakyat. Apabila kita melihat gejolak masyarakat, maka msyarakat pasti membutuhkan kesadaran kritis. Karena kesadaran kritis dapat digunakan masyarakat untuk memecahakan permasalahan dalam kehidupan sosialnya. Menjadi tanggung jawab moral tentunya bagi pemerintah untuk memberikan pendidikan yang memang menyadarkan bagi generasi muda bangsa. Bukan sekedar kepentingan individu para pemuda (pelajar), namun sebagai jaminan nasib bangsa ini kedepannya. Apabila pendidikan belum dapat mengubah kesadaran manusia yang masih primitip ke tingkatan kesadaran kritis, ini membuktikan bahwa sitem pendidikan saat ini belumlah membebaskan (menyadarkan). Melainkan, pendidikan hanya sebagai simbolik yang hanya digunakan untuk mengkomersialisasikan ilmu pengetahuan. Dan pasti akan tetap menciptakan manusia yang memiliki kesadaran prmitip (magis dan naif ).** Penulis aktif dalam gerakan sosial di Kelompok Studi BARSDem