Anda di halaman 1dari 5

Topik Penelitian Kualitatif

1. Bidang Klinis

Fenomena : Balita-balita Perokok Rumusan masalah : Beberapa waktu yang lalu, media sosial sempat mengusung berita mengejutkan tentang

balita-balita yang merokok di Indonesia. Menurut situs website Tribune News dikabarkan bahwa jumlah balita yang merokok ditemukan paling banyak di daerah industri di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera. Komnas HAM mendata sekiranya ada 1,4 juta perokok dengan rentang usia 10 sampai 14 tahun. Sementara perokok di bawah 10 tahun ada 460.000 anak, dan 20 kasus diantaranya merupakan balita (anak dibawah umur 5 tahun) yang menjadi perokok aktif. Harian Kompas (Selasa, 25 Maret 2011) menyebutkan bahwa dampak yang dapat dialami oleh anak-anak akibat merokok sama dengan orang dewasa, bahkan ketika kebiasaan merokok dimulai lebih dini, akibatnya dampat menjadi lebih buruk. Kebiasaan merokok pada kesehatan balita dapat mengganggu pertumbuhannya. Hal ini terlihat pada salah satu balita perokok yang berasal dari Sukabumi. IH (8 tahun) asal Sukabumi, Jawa Barat, fisiknya sudah tidak seperti anak balita pada umumnya. Terlihat dari wajah dan kulitnya," ujar dr Adrialti Syamsul, Kepala Dinas Kesehatan Sukabumi di kantor Komnas Perlindungan Anak (KPAI). Dampak lainnya antara lain adalah berat badan, kanker paru-paru, gangguan jantung, terhambatnya perkembangan anak, dan sebagainya. Selain adanya dampak pada fisik anak, rokok juga memberikan dampak secara psikologis pada anak. Biasanya anak-anak balita yang kecanduan merokok menjadi agresi apabila kebutuhan rokoknya tidak dipenuhi, misalnya memukul, berkata kasar, kehilangan kendali akan diri. Mereka juga tidak mau bersekolah bila tidak diiming-imingi rokok dan nekat menjadi tukang parkir untuk mendapatkan uang. Sejauh ini, intervensi yang dilakukan pemerintah adalah rehabilitasi kepada beberapa balita pecandu nikotin tersebut. Kelompok merasa cara ini belum cukup, diperlukan cara lain seperti pendampingan secara intensif. Selain itu, belum ada hasil signifikan dari proses rehabilitasi tersebut, sehingga kelompok merasa ada baiknya untuk menyelidiki lebih lanjut perkembangan kasus ini termasuk efektivitas intervensi yang telah ada.

Topik : Pola asuh, lingkungan sosial, modelling. Manfaat : Kelompok memutuskan bahwa fenomena ini patut diteliti lebih lanjut agar dapat menghentikan kebiasaan merokok pada balita serta mencegah kelanjutan kasus ini dengan memberikan wawasan kepada pasangan yang sudah atau baru saja memiliki anak pertama.

2. Bidang Pendidikan

Fenomena: Refusal school pada middle childhood Rumusan masalah : KabarIndonesia - Ma.Rico nggak masuk sekolah ya.Rico pusing, kata Rico pada

Mamanya saat beberapa menit hendak berangkat sekolah. Keluhan ini muncul sudah beberapa kali dan selalu mendekati waktu akan berangkat sekolah. Rico adalah siswa kelas 6 Sekolah Dasar di sebuah sekolah favorit di Yogyakarta. Sudah hampir dua bulan Rico berperilaku seperti itu, menolak untuk berangkat ataupun masuk sekolah. Kalaupun sudah sampai sekolah, Rico ingin pulang ke rumah. Penolakan untuk ke sekolah adalah sebuah wacana pendidikan yang memang ada dan harus menjadi perhatian bersama. Anak-anak yang menolak untuk masuk sekolah kadangkala oleh orang dewasa diasumsikan bahwa dia anak malas dan hanya ingin membolos. Tetapi penolakan anak merupakan salah satu sinyal penting bagi kita. Menolak sekolah atau disebut juga school refusal adalah permasalahan yang memberikan tekanan yang besar terhadap anak, orang tua, dan staf sekolah. Kegagalan hadir untuk sekolah memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan sosial, emosional, dan perkembangan pendidikan pada anak. Misalnya, prestasi anak menjadi merosot dan mengalami kegagalan pada berbagai mata pelajaran sehingga dapat mengancam keberlangsungan anak untuk bersekolah. Meskipun munculnya kesulitan secara emosional untuk hadir ke sekolah menjadi label yang biasa muncul bagi school refusal, digambarkan anak juga menunjukkan gangguan emosional yang signifikan mempengaruhi kehadirannya, misalnya dengan ketakutan yang besar, tantrum atau rewel, atau mengeluh mengenai perasaan yang tidak enak. Selama jam sekolah anak memilih berada di rumah dengan diketahui oleh orang tua atas ketidakhadiran mereka. Kebanyakan anak-

anak yang mengalami school refusal tingkat kecerdasannya berada di atas rata-rata, yang menunjukkan bahwa tidak mengalami masalah akademik jika tidak muncul masalah tersebut. Ketakutan berada di sekolah mungkin berkaitan dengan pengalaman anak ketika pertama kali meninggalkan rumah, terlibat dengan dengan anak lain yang tidak dikenal, mengalami ancaman terhadap kegagalan. Beberapa anak merasa takut ke sekolah karena mereka takut menjadi bahan tertawaan, ejekan, atau bullying dari anak yang lainnya, atau mendapat kritikan atau pendisiplinan dari guru. Disfungsi dalam keluarga juga dapat menjadi penyebab munculnya masalah ini. Misalnya adalah adanya ketergantungan yang tinggal pada anak, adanya kedekatan yang sedikit dalam keluarga, atau keluarga yang terisolasi dari kehidupan orang lain atau tingginya konflik dalam keluarga. Sehingga, dampak dari semua peristiwa yang tidak mengenakan bagi anak pada akhirnya memunculkan perilaku menolak sekolah yang memberikan dampak baik jangka pendek maupun panjang dalam dunia akademik si anak.

Topik :

Motivasi belajar, pola asuh orang tua, lingkungan sosial, sistem pendidikan

(termasuk metode guru, cara pengajaran, dll), minat anak, self-esteem.

Manfaat : Membangun motivasi anak untuk sekolah dan mengarahkan aktivitas anak ke arah yg positif (mencegah anak turun menjadi anak jalanan), membantu anak untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan akan kegagalan dalam pelajaran sehingga anak merasa nyaman berada di sekolah, memberikan pemahaman, pengertian, dan pandangan kepada guru dan orang tua sehingga dapat membantu anak dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah, memunculkan minat pada anak untuk belajar.

ANAK JALANAN

Fenomena : Pendidikan pada Anak Jalanan Rumusan Masalah : Jakarta sebagai ibu kota belakangan ini dirasa semakin tidak ramah pada masyarakatnya. Bahkan pada kalangan menengah ke atas sekalipun ketidaknyamanan ini beragam bentuknya, apalagi terhadap mereka yang merupakan kaum menengah ke bawah. Ironisnya, angka kemiskinan di Jakarta meningkat secara drastis dari tahun ke tahun. Angka kemiskinan di Jakarta tercemin salah satunya dari semakin banyaknya anak jalanan. Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan pada tahun 2009 sebanyak 3.724 orang, tahun 2010 meningkat menjadi 5.650 orang, dan pada tahun 2011 ini juga meningkat menjadi 7.315 orang. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan parkir liar. Anak jalanan diistilahkan sebagai anak-anak bermasalah pada era Orde Baru. Istilah ini muncul dari cara dan niat pemerintah yang cenderung melihat keberadaan anak-anak di luar kerangka atau norma yang diberlakukan. Suyono Yahya dalam presentasinya tentang anak jalanan di Philipina (1989) menyebutkan anak jalanan sebagai anak yang mengalami penyimpangan sosial atau childs social dysfunction. Istilah penyimpangan menunjuk pada cara pandang atau sikap pemerintah yang diskriminatif, dimana anak jalanan dibedakan dengan anak-anak lain berdasarkan norma atau aturan yang ditentukan sendiri oleh rezim Orde Baru (Karyanto dalam Suranto, 1999). Di dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 tertulis jelas bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. Oleh karena itu, pemerintah memang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menangani nasib anak-anak jalanan ini. Soedijar (dalam Irwanto, 1995) mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia 715 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Menurut Suwardi (2007), seseorang dapat dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu. Maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 7 15 tahun yang bekerja dan menggunakan jalanan ataupun tempat umum lainnya sebagai tempat mencari nafkah serta berada di jalanan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

Secara teori, anak jalanan sebagai seorang anak memiliki tugas, hak, dan wewenang untuk belajar dan tumbuh kembang seusai tahapan perkembangan mereka. Tentunya ada beberapa aspek yang terlewatkan bila sang anak menjadi anak jalanan, bisa dikatakan perkembangannya menjadi tidak optimal. Salah satunya karena sulitnya akses pendidikan maupun motivasi sang anak sendiri untuk mengenyam bangku pendidikan. Berdasarkan data Kementrian Sosial yang terbaru pada 25 Agustus 2011 ada 230.000 anak jalanan baik yang putus sekolah maupun belum mengenyam pendidikan. Mereka menghabiskan waktunya untuk mengamen dan meminta-minta di jalanan. Banyak asumsi yang menyimpulkan bahwa anak jalanan tidak betah bersekolah karena sekolah tidak menghasilkan uang meskipun sekolah sudah membebas biayakan, juga karena beratnya tuntutan hidup kaum marjinal itu sendiri. Meskipun begitu tidak jarang anak-anak ini sesekali menghadiri kelas di sekolahnya masing-masing. Oleh sebab itu, kelompok ingin mengetahui gambaran manajemen waktu antara bekerja, belajar, dan bermain yang diusahakan oleh anak jalanan yang bersekolah . Selanjutnya kelompok juga tertarik untuk mengetahui gambaran motivasi belajar anak jalan tersebut serta persepsi anak jalanan akan pentingnya pendidikan itu sendiri sebagai data pelengkap. Topik : Gambaran manajemen waktu, motivasi belajar, persepsi anak jalanan akan pentingnya pendidikan, self-efficacy, achievement Manfaat : 1. sebagai sarana untuk mengetahui motivasi belajar pada anak jalanan, 2. membantu orang tua untuk memberikan support kepada anaknya yang turun ke jalan agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik, 3. memberikan gambaran dan menyadarkan pemerintah, orang tua, dan lsm, serta anak itu sendiri tentang pentingnya pendidikan 4. membantu anak menemukan cara yang tepat untuk mengetahui pembagian waktu yang lebih baik 5. sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan

Anda mungkin juga menyukai