Anda di halaman 1dari 4

Oleh Oleh dari Sragen

(Sebuah kisah nyata yang tidak akan pernah Anda temui di manapun juga) Author : Harry Ong

Sragen, sebuah nama kota yang tidak asing lagi saat terdengar di telinga kita. Kemarin merupakan malam perayaan tahun baru Imlek (tahun baru China). Sebagai keturunan keluarga Chinese, keluarga saya melakukan tradisi untuk pergi ke makam dan memberikan/menaburkan bunga (nyekar) demi menghormati keluarga kami yang telah terlebih dahulu pergi meninggalkan bumi ini. Berangkat menggunakan mobil, 1-2 jam, kami menikmati perjalanan menuju kota tersebut. Hingga pada akhirnya, kami sampai ke sebuah kota yang juga menjadi saksi bisu lahirnya seorang penulis cerita ini. Ya, Ibu saya kebetulan berasal dari kota Sragen. Begitupula (alm.) Kakek dan Nenek (dari Ibu) saya. Sesampainya di sana, kegiatan kami yaitu mencari makan dan bersantai sejenak, bertemu dengan Nenek dan juga Bibi saya. Tidak ada yang spesial dihari pertama saya datang ke kota yang terkenal dengan city of bicycle ini. Karena tradisi yang akan kami lakukan akan dilangsungkan keesokan harinya sewaktu pagi.

Semalaman, kami menginap di rumah Nenek dan juga Oom saya. Ibu dan adik saya, menginap di rumah Nenek, sedangkan saya dengan Ayah & sopir kami menginap di rumah Oom. Setelah sampai di rumah Oom saya, kami dijamu dengan tikar. Kami bertiga tidur di luar rumah, tepatnya di teras. Ya, benar, di teras, dan tempat itu sangat terbuka. Bahkan tanpa ada pagar ataupun bangunan yang menghalangi teras dengan kondisi jalan kampung. Sehingga bahaya dapat terjadi kapan saja pada saat itu. Sudah bertahun-tahun, saat kami sekeluarga ke sana, hal inilah yang selalu terjadi. Yaitu tidur di luar rumah. Alasannya sederhana, yaitu supaya tidak kepanasan dan udaranya lebih sejuk ketika berada di luar. Keinginan menunggu Big Match antara Manchester United melawan Arsenal, telah membuat saya mencoba bertahan dari rasa kantuk. Hingga pada akhirnya setelah kick off dimulai, saya mulai mengalah kepada rasa kantuk saya, dan akhirnya saya memutuskan untuk tidur. Tentu saja saya juga tidur di teras rumah bersama Ayah saya. Sopir kami memilih untuk tidur di dalam mobil dengan alasan kedinginan.

Keesokan paginya, saya bangun lebih pagi dari biasanya. Hal ini yang sering saya alami. Saya lebih sering bangun lebih pagi pada saat libur dibandingkan pada saat hari sekolah biasa. Menghirup udara pagi di kota Sragen yang segar, membuat saya bersemangat pagi itu. Udara segar masih dapat ditemui di kota ini, karena banyak penduduknya masih menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi. Biasanya digunakan untuk berjualan sayur, maupun bersepeda santai. Pagi itu, rencana awal kami adalah bersiap-siap untuk berangkat ke makam. Pukul 9, kami memulai perjalanan ke makam yang bernama pemakaman Gunung Banyak. Di situlah jasad almarhum Kakek saya dibaringkan dengan orangtua dan juga saudara beliau. Sekitar 30 menit, kami menempuh perjalanan dari Sragen kota hingga ke daerah makam tersebut. Jalan yang kurang mendukung karena sedang ada perbaikan, membuat kami harus lebih bersabar untuk menempuh dengan perlahan karena kondisi jalan yang rusak. Tetapi, saya menikmati perjalanan itu. Hampir sampai di tempat, saya banyak melihat pohon rindang yang begitu anggun dan menyejukkan juga ada persawahan yang begitu subur. Sangat kontras dengan keadaan kota yang begitu riuh oleh teriakan kendaraan yang tak kunjung sirna.

Saat sampai, apa yang saya saksikan dan nikmati dalam perjalanan tadi menjadi berubah total. Daerah makam seketika berubah menjadi lautan manusia saat mobil saya masuk ke dalam wilayah makam tersebut. Bayangkan saja, saat kami turun dari mobil, kami sudah dikerumuni oleh ratusan orang yang ada di wilayah makam tersebut. Begitupula saat kami berjalan menuju ke makam (alm.) Kakek saya, mereka semua mengikuti kami dengan serentak layaknya sebuah barisan militer yang berjajar dengan beriringan. Bedanya, mereka tidak menggunakan seragam. Bak paparazzi, mereka semua mengikuti langkah kami menuju makam. Dan sesampainya di batu nisan makam (alm.) Kakek saya, benar saja, mereka tetap berada tepat di belakang kami sedang duduk-duduk bersama.

Bisa Anda bayangkan perasaan kami pada saat itu? Dengan keadaan kami yang hanya ber-lima dan dikerumuni ratusan orang mulai dari Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, hingga anak kecil yang berumur 3-5 tahun, bahkan masih bayi? Perasaan tidak nyaman menyelimuti saya pagi itu.

Genggaman celurit yang ada di tangan salah seorang Bapak-Bapak di belakang kami, ditambah panasnya udara pagi itu, membuat saya semakin tidak nyaman dengan keadaan tersebut.

Setelah kami selesai, tidak ada hal yang mencolok dari perbuatan mereka selain kegiatan mereka bercengkrama antara satu orang dengan lainnya. Sesekali terdengar canda-tawa mereka. Saat menuju ke mobil, kami kembali diikuti orang-orang yang ada di belakang kami tersebut. Sebelum masuk ke mobil, beberapa lembar uang kertas diberikan kepada 4 orang Bapak-Bapak yang telah berjasa membantu membersihkan 6 makam yang kami kunjungi.

Setelah masuk ke dalam mobil, rasa panas yang saya rasakan tadi sekejap berubah menjadi sejuk. Kontras sekali dengan keadaan di luar. Dalam perjalanan pulang, saya mulai mengerti alasan mereka di makam tadi. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meminta angpao dari kami. Ya, mereka rela mengikuti setiap langkah kami demi mendapatkan sebuah kertas yang bernama uang. Miris. Ratusan orang rela bersama-sama mengikuti orang yang hadir di tempat itu hanya demi uang. Tapi sayang, saya (dan keluarga) belum sanggup jika harus memberi angpao untuk ratusan orang. Mustahil, dengan keadaan ekonomi kami yang berkecukupan Saya sekarang mengerti, ternyata masih banyak saudara kita di luar sana yang membutuhkan bantuan kita. Banyak orang masih mengalami kesusahan ekonomi dan mungkin untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun, mereka tak sanggup. Inilah fenomena yang memang benar-benar terjadi di Negara kita yang konon katanya merupakan Negara yang kaya. Sayangnya kekayaan itu mereka korupsi dan hasilnya hanya dinikmati pihak memperdulikan orang lain. tertentu tanpa

Maka, beruntunglah kita semua yang sampai detik ini juga telah menyelesaikan membaca kisah ini dan mulai menyadari akan hal tersebut. Apa yang kita dapatkan dalam hidup kita sampai saat ini, jauh lebih baik dan cukup dibanding mereka yang ada di sana. Kita adalah calon penerus bangsa, calon perubah bangsa, dan bahkan dunia. Mari kita mulai dari diri kita sendiri

untuk lebih peka terhadap hal yang ada di sekitar kita. Hargai dan manfaatkan hidup Anda dengan sebaik-baiknya. Hindari keluhan, dan juga kata-kata yang negatif yang terus Anda ucapkan ketika Anda mengalami suatu kesusahan. Kesusahan yang Anda rasa, tidak se-sulit kesusahan yang mereka jalani. Sudah sepantasnya kita semua bersyukur pada Tuhan, pun juga tidak lupa untuk berbagi terhadap sesama. Dengan sebab sederhana, tulisan ini saya buat untuk refleksi kita bersama. Mari saling koreksi diri, apakah hidup kita selama ini sudah kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya? Dan apakah kita sudah mulai peka terhadap hal yang terjadi di sekitar kita? Hanya kita yang mampu menjawabnya. Apapun jawaban anda, mulai dari sekarang berusahalah melakukan yang terbaik dalam setiap gerak tubuh & setiap tarikan nafas Anda, manfaatkan segala yang telah Tuhan beri kepada kita untuk saling menolong sesama dan berbuat kebaikan. Semoga tulisan saya ini dapat menjadi refleksi untuk kita semua dalam menyongsong hidup baru di tahun 2012 ini. Terimakasih banyak.

Bagi sahabat-sahabat pembaca, jika berkenan, silahkan mengunjungi blog saya : http://golden-magic.blogspot.com Kursus Privat Sulap di Solo, Wonogiri, dan sekitarnya. Menjual alat-alat sulap yang murah dan berkualitas. Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai