Anda di halaman 1dari 11

Absorpsi Obat dapat masuk ke dalam aliran darah dengan dua macam cara, yaitu cara langsung (intravaskuler

= iv), misalnya disuntikkan intravena dan cara tidak langsung (ekstravaskuler = ev), misalnya melalui mulut (peroral) atau disuntikkan intramuskular. Pada cara tidak langsung obat mengalami peristiwa absorspi terlebih dahulu, yaitu perpindahan obat dari tempat pemberian (aplikasi) ke dalam aliran darah (sirkulasi sistemik). Di dalam darah, kebanyakan obat mengalami pengikatan secara reveribel dengan komponen-komponen darah terutama albumin. Dengan demikian di dalam darah obat terdapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk bebas dan bentuk terikat. Bentuk terikat karena molekulnya besar, tidak bisa menembus membran, tetap tinggal dalam ruang vaskuler; sedangkan bentuk bebas akan menembus dinding vaskuler dan masuk ke dalam jaringanjaringan dan cairan tubuh lainnya. Cara/bentuk sediaan parenteral 1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002). 2. Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002). 3. Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,

suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002). 4. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995). 5. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).

Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989). Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).

Distribusi Peristiwa penyebaran ini disebut distribusi, yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limfa dan cairan ekstravaskuler), jaringan serta organ-organ. Dalam jaringan, obat terikat secara reversibel dengan komponen-komponen jaringan, misalnya protein dan lemak jaringan. Jika dalam distribusi ini, obat dapat mencapai tempat kerjanya, maka obat itu akan bekerja dan kemudian menimbulkan efek yang sering disebut efek farmakologik atau respon biologik. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat interaksi antara obat dan reseptornya. Obat + reseptor - kompleks - EFEK Yang dimaksud dengan kerja obat ialah perubahan kondisi yang dapat menimbulkan efek, sedangkan efek ialah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Efek

obat pada hakekatnya merupakan perubahan fungsi secara kuantitatif (bukan kualitatif) yang dapat berupa kontraksi otor, sekresi oleh kelenjar, pelepasan hormon, perubahan dalam aktivitas saraf, perubahan dalam kecepatan pembelahan sel, atau kematian sel. Di dalam organ tertentu (misalnya hati), obat dapat mengalami perubahan kimiawi menjadi senyawa lain. Peristiwa ini disebut biotransformasi dan senyawa hasil biotransformasi disebut metabolit. Jika dibandingkan dengan senyawa induk atau asalnya (parent substance) aktivitas farmakologik metabolit dapat berbeda secara kuantitatif atau kualitatif. Biotransformasi di dalam hati ini dapat terjadi setelah obat diabsorpsi dari saluran cerna sebelum mengalami distribusi ke seluruh tubuh. Peristiwa ini disebut efek lintas pertama (first-pass effect).

Bioavaibilitas dan Bioekivalensi Baioavaibiltas: suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu. Bioavaibilitas terbagi menjadi 2, yaitu:

Bioavaibilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena. Bioavaibilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena.

Faktor yang mempengaruhi bioavaibiltas:


Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan. Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisis dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama). Rute pemberian Antaraksi obat/makanan, misalnya grisovulvin sukar larut dalam air. Apabila diberikan bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam tubuh, digunakan surfaktan alami sehingga baik diabsorpsi. Pemberian vitamin B12 dengan coca cola menghasilkan absorpsi yang lebih baik.

Tujuan bioavaibilitas:

Pengembangan ilmu Pengembangan produk/formulasi Pengembangan senyawa baru Jaminan mutu produk (quality control)

Kesetaraan obat: 1. Farmakokinetik: 2 obat memiliki molekul kimia yang berbeda, tetapi mempunyai aktivitas yang sama dan melekat pada substrat molekul aktif yang sama. Misalnya bentuk ester dan garam dari sutu zat aktif. 2. Farmasetik: 2 produk obat dinyatakan memiliki fase farmasetik yang sama apabila mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama serta bentuk sediaan yang sama dan memenuhi standar kompendial yang sama (misalnya waktu hancur, keseragaman kandungan, dan kecepatan disolusi) wlaupun bentuk, mekanisme pelepasan, eksipien, kemasan, dll berbeda. 3. Biologik: 2 produk obat disebut ekivalen apabila mempunya ekivalensi farmasetik yang sama dan pada pemberian molar yang sama akan menghasilkan bioavaibilitas yang sebanding sehingga kemanjuran dan keamanannya akan sama baiknya. 4. Klinik/terapetik: 2 obat yang diberikan pada subjek yang sama dengan posologi yang sama akan menghasilkan efek terapetik/toksisitas yang sama. Perbedaan dapat terjadi pada bioavaibilitas dan respon klinik apabila:

Obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara pembuatan yang berbeda.

Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada bioavaibilitas dari produk obat yang diuji dengan produk obat pembanding, maka kedua produk itu dapat dikatakan inekivalen secara terapetik. Dalam hal ini harus dilakukan reformulasi dan uji bioavaibilitas harus dilakukan lagi. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam uji BA/BE: 1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi). 2. Pemilihan metode analisis yang tepat: hal ini diperlukan untuk mengetahui efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-efek tersebut. 3. Stabilitas obat dalam sampel 4. Penyusunan percobaan protokol yang tepat: sebelum dilakukan uji, sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah. Sebelum melakukan uji bioavaibilitas, dilakukan uji disolusi terbanding, yaitu dengan memakai beberapa titik waktu pengambilan sampel. Pada uji ini, yang dibandingkan adalah profil disolusi dari sediaan uji dengan sediaan pembanding (produk inovator)

pada 3 pH, yaitu 1,2; 4,5; 6,8 pada waktu pengambilan sampel, yaitu 10,20,30,40,50, dan 60 menit. Dari hasil uji kemudian dihitung faktor similaritasnya (f2). f2=50 log [100/1+( (Rt - Tt)2)/n] Apabila nilai f2 50 atau lebih besar (50-100), hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan atau ekivalensi ke-2 kurva yang berarti mempunyai kemiripan profil disolusi kedua produk. Jika produk copy atau produk pembanding memiliki uji disolusi yang cepat (85%) larut dalam waktu 15 menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang dianjurkan, maka uji disolusi terbanding tidak perlu dilakukan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan BA/BE: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sediaan pembanding Subjek percobaan dan kriteria Jumlah subjek Desain percobaan Interval waktu pemberian Modalitas pengambilan sampel: tunggal, berulang, jumlah dosis, dll. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel. Jenis sampel yang akan dikumpulkan: darah/urin.

Kriteria obat pembanding: 1. 2. 3. 4. Produk obat inovator Primary market di negara lain atau Market leader di Indonesia Produk pembanding yang digunakan harus mendapatkan persetujuan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)

Metode uji bioekivalensi:


Uji bioavaibilitas komparatif Uji farmakodinamik komparatif Uji disolusi in vitro komparatif

Rancangan dan Pelaksanaan Uji Bioekivalensi: 1. Harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinis yang Baik (CUKB).

2. Protokol harus lolos kajian ilmiah dan kajian etik sebelum penelitian dimulai. 3. Protokol harus mendapat persetujuan dari BPOM sebelum penelitian dimulai. Rancangan penelitian: 1. 2. 3. 4. Desain penelitian menyilang 2 arah. Pemberian produk diberikan secara acak. Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode wash out. Untuk obat yang memiliki waktu paruh panjang dapat dipertimbangkan desain 2 kelompok paralel. 5. Pemberian dosis tunggal. Rancangan percobaan:

Uji paralel: dengan 2 kelompok berbeda dilakukan bila waktu paruh eliminasi panjang (> 24 jam). Uji pada keadaan tunak diperlukan bila: farmakokinetik non linier; kinetik obat bergantung waktu pemberian obat, misalnya kortikosteroid; bentuk sediaan lepas lambat; obat kombinasi tetap rasio kadar obat dalam plasma penting, misalnya kortimoksazol.

Obat yang harus diuji BE: Obat oral dengan pelepasan segera, yaitu:

Non-linier farmakokinetik Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera Obat oral dengan indeks terapi sempit Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan (BCS III&IV)

BCS (Biopharmaceutic Classification System) dinedakan menjadi 4 kelas (berdasarkan kelarutan/permeabilitas): 1. BCS 1: kelarutan baik&permeabilitas baik sehingga tidak perlu uji BE, disolusi terbanding saja. 2. BCS 2: kelarutan jelek, permeabilitas baik. Tidak perlu uji BE, disolusi terbanding saja. 3. BCS 3: kelarutan baik, permeabilitas jelek. Perlu uji BE dan disolusi terbanding. 4. BCS 4: kelarutan jelek&permeabilitas jelek. Perlu uji BE dan disolusi terbanding. Subjek dan jumlah subjek:

Sukarelawan sehat Jumlah subjek dihitung berdasarkan koefisien variasi intrasubjek dari parameter bioavaibilitas yang utama, yaitu AUC. Koefisien variasi diperkirakan dari percobaan pendahuluan atau dari data publikasi.

Pada umumnya dibutuhkan 18-24 subjek, minimal 12 orang. Jika ternyata koefisien variasi yang diperoleh lebih besar, maka jumlah dapat ditambah.

Kriteria subjek: Inklusi


Sukarelawan sehat: pemeriksaan fisik dan laboratorium Umur antara 18-55th. Berat badan dalam kisaran normal ( 15% BB) Sebaiknya tidak merokok. Bila merokok sebaiknya disebutkan (perokok sedang) dan dievaluasi.

Eksklusi

Perokok berat, peminum alkohol, dan pengguna narkotika. Penderita HIV/AIDS Kriteria lain tergantung obat yang diuji misalnya riwayat alergi, wanita hamil dan menyusui, wanita haid, dll.

Kondisi penelitian Harus dibakukan agar tidak terjadi variabilitas. Yang harus dibakukan adalah:

Lamanya berpuasa Makanan dan minuman yang diberikan Kondisi kesehatan pasien (tidak sedang mengonsumsi obat, jamu, dan supplement). Posisi tubuh dan aktivitas fisik.

Produk uji

Harus sesuai dengan CPOB. Sudah dilakukan uji disolusi terbanding secara in vitro. Produk dengan tujuan registrasi harus identik dengan produk yang akan dipasarkan. Harus diambil dari batch skala industri atau skala pilot yang besarnya 1/10 skala industri atau batch kecil minmal 100.000 unit. Sampel harus disimpan selama 2 tahun atau 1 tahun lebih lama dari waktu kadarluarsa atau sampai izin edar keluar.

Farmakokinetik: Metabolisme

Metabolisme/biotransformasi adalah upaya tubuh dalam mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain yang berguna untuk tujuan tertentu. Utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin. Enzim yang berperan dalam metabolisme adalah 1. Enzim yang terikat pada struktur: bersifat spesifik terhadap substrat. Misalnya glukoronil transferase dan monooksigenase. 2. Enzim yang tidak terikat pada struktur: bersifat tidak spesifik pada substrat. Contoh enzimnya adalah: esterase, aminase, dan sulfotransferase.

Reaksi dalam biotransformasi: 1. Reaksi fase 1: oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi ini mengubah obat menjadi bentuk lain. 2. Reaksi fase 2: konjugasi. Reaksi ini penggabungan molekul obat dan hasil metabolisme fase 1 dengan senyawa penkonjugasi endogen tubuh. Reaksi Oksidasi:

Merupakan yang utama dari fase 1. Melibatkan enzim oksidase, monooksigenase (sitokrom 450), dan dioksigenase. Melakukan biotransformasi hampir sebagian obat.

Reaksi Reduksi: berperan sebagian kecil. Reaksi Biohidrolisis. Reaksi-reaksi yang penting adalah:

Perubahan ester dan amida menjadi asam dan alkohol oleh esterase (amidase). Perubahan epoksida menjadi diol. Hidrolisis asetal (glikosida) menjadi glikosidase.

Reaksi Konjugasi penting: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Konjugasi asam sulfat: melibatkan fenol sulfotransferase. Konjugasi merkapturat melibatkan glutation. Konjugasi glukoronat reaksi dengan asam glukoronat. Konjugasi glisin/asam amino dengan asam karboksilat Metilasi Asetilasi melibatkan asetiltransferase.

Contoh reaksi konjugasi adalah: aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat (bentuk lipofilnya 13%). Apabila dikonjugasikan dengan asam karboksilat (bentuk lipofilnya menjadi 12%), tetapi bila dikonjugasikan denagn glisin (bentuk lipofilnya menjadi 50%). Biotransformasi tidak memperdulikan apakah yang dihasilkan adalah bioaktivasi atau bioinaktivasi. Oleh karena itu, apabila yang terjadi adalah bioaktivasi maka terjadi peningkatan kerja dan apabila yang terjadi bioinaktivasi/biotoksisitas, maka yang terjadi adalah penurunan kerja. Prodrug: senyawa yang secara biologis tidak aktif, tetapi di dalam tubuh organisme dapat diaktifkan menjadi bentuk aktif dengan tujuan2 tertentu. Faktor yang mempengaruhi biotransformasi: 1. Usia. Pada pediatri, sistem enzim belum sempurna sedangkan pada geriatri, sistem enzim mengalami penurunan. 2. Nutrisi. Protein rendah, enzim menurun. 3. Kondisi patologik. Terutama penderita insufisiensi hati, sulit mengalami biotransformasi. 4. Ras/genetik. Ada beberapa ras tertentu yang mempengaruhi proses biotransformasi. Keberadaan obat lain: inhibitor atau induktor enzim. Farmakokinetik: Eliminasi/Ekskresi Obat merupakan senyawa asing yang secara normal tidak dibutuhkan oleh tubuh pada akhirnya obat akan dikeluarkan. Perisitiwa ini dikenal sebagai ekskresi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam cairan atau organ ekskretori (misalnya urin, paru atau ginjal). Organ yang mempunyai paparan penting dalam ekskresi ialah ginjal karena hampir semua obat diekskresi melalui organ ini. Bentuk obat yang dikeluarkan dari tubuh bisa berupa obat yang belum atau tidak berubah (senyawa induknya) dan atau metabolitnya. Ekskresi/Eliminasi adalah proses pengeluaran zat/metabolit dengan tujuan menurunkan kadar zat/metabolit dalam tubuh agar tidak menyebabkan akumulasi. Organ ekskresi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ginjal urin Empedu&usus feses Paru-paru gas/udara ekspirasi Keringat Air mata ASI

Eliminasi lewat ginjal:

1. Filtrasi glomerulus tergantung dari ukuran partikel. 2. Reabsorpsi tubulus tidak semua partikel berukuran kecil tidak berguna. 3. Sekresi tubulus tidak semua zat berukuran besar berguna. Filtrasi glomerulus Faktor yang mempengaruhi: 1. Laju filtrasi 2. Ukuran partikel ikatan protein plasma 3. Kelarutan umumnya zat lipofil atau hidrofil tidak mempengaruhi karena kelarutan di dalam filtrasi glomerulus sama. Reabsorpsi tubulus Melibatkan difusi pasif. Faktor yang mempengaruhi:

pH urin Pka Kelarutan obat

Obat basa lemah lebih mudah dieksresikan pada pH urin yang lebih asam. Obat asam lemah lebih mudah dieksresikan pada pH urin yang basa, jika ingin lebih dieksresikan, pH urin harus lebih besar daripada pKa. Sekresi tubulus

Melibatkan transpor aktif Eksresi tergantung dari mekanisme transpor masing-masing bahan dapat terjadi kompetisi bahan obat dengan mekanisme yang sama. Contoh: penisilin vs befenezid (obat asam urat)

Eliminasi lewat empedu&usus


Umumnya zat yang mempunyai BM > 500 Bersifat lipofil karena tidak bisa melewati ginjal. Di dalam empedu harus diemulsifikasikan terlebih dahulu agar dapat dieksresikan lewat usus menjadi feses. Dapat siklus enterohepatik absorpsi menjadi sulit, karena harus melewati GI tract absorpsi darah hati GI tract sehingga absorpsi sulit. Contoh obat: digitalis, obat jantung.

Eliminasi lewat paru-paru

untuk bahan yang bersifat gas.

Tergantung pada volume pernapasan. Contoh: alkohol dan rokok.

Faktor yang mempengaruhi eliminasi: 1. 2. 3. 4. 5. Sifat fisikokimia: BM, pKa, kelarutan, tekanan uap. pH urin Kondisi patologi Aliran darah Usia

Anda mungkin juga menyukai