Anda di halaman 1dari 35

ALIRAN JABARIYAH

Diposkan oleh Bara di 20:15 |




ALIRAN JABARIYAH

A. PENGERTIAN JABARIYAH
Sebelum kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran
Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri, baik secara
etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. (Abdul Razak, 2009 :
63).
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu
paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata
Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa nisbah) mengandung
pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai
referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata
lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa
Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Allah. (Harun Nasution,
1986 : 31)
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami
bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas
kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha dan qadar Tuhan. Jabariah adalah
pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh
tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari
tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda
mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang
diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa
angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk
memilih apa yang diinginkannya sendiri.

B. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN JABARIYAH
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor.
Antara lain :
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan
keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin
Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari
jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin
memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan
memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah
semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan
Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran
ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia
terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah
semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut
sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama
mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang
pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah.
Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata
kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya
masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut
dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah
paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar,
Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah
dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap
adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya
intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang
meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai
kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah
Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda
pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau
kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.

2. Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan
bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan
sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk
mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa
lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung
kepada sikap Fatalisme.

C. TOKOH-TOKOH SERTA DOKTRIN AJARAN
1. Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh
Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya :
a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat
An-Nisa ayat 164.
b. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari
surat An-Nisa.
2. Jahm bin Shafwan
Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan
Bani Ummayah. Pendapat-pendapatnya:
a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum
pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-
soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan
akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
c. Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak
meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara
manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka
sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
d. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia,
sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai
satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab
manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan
Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu
untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
D. CIRI-CIRI AJARAN JABARIYAH
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik
yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga
mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa
berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti
akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka
dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia
seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah
kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka
merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan
manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya
serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah
ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena
yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu
seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan
usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu
menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan
terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf
dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan
terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan
yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan
dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan
pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada
takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan
dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan
dalil-dalil baik syariat maupun akal.


DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Razak, M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009
Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta : 1986
3 komentar | Minggu, 15 November 2009
Berand




Etimologi

Kata "Jabariyah" berasal dari kata bahasa arab "Jabara" yang artinya memaksa. Dan yang dimaksud
adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia
bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan
yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh
Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia.

Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh
tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya
bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini
manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-
Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini
dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya
digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti.

Sejarah Jabariyah

Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M). Yakni di masa keadaan
keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu
Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk
memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran
rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah
berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.

Awal Kemunculan Jabariyah

Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan
Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini
juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung,
tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada
campur tangan manusia.

Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai
kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham
jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan
bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga
mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah
dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah
menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum
tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam
As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah
sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.

Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya
takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi
Allah.

Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-
sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah
dengan mata kepala di hari kiamat.

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah
Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda
pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum
Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.

Pemimpin Penganut Jabariyah

1. Ja'd Bin Dirham

Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh
Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.

Pendapat-pendapatnya :
a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh
Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.
b. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125
dari surat An-Nisa.

2. Jahm bin Shafwan

Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan
Bani Ummayad.

Pendapat-pendapatnya:
a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum
pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin
mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti.
Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum
terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
b. Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu
tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada
perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah
semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
c. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada
manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak
diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau
mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi
boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan,
Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat
dimiliki oleh manusia.

Penolakan Terhadap Paham Jabariyah

Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga
mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa
berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan
manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti
bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir.
Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak
bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.

Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta
terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan
oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa
segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk
melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.

Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha
yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut
keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga
doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak
memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.
Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan
oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.

Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan
pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir
tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam
perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik
syariat maupun akal.

Dalil-Dalil Al Qur'an

1. Allah SWT berfirman, "tulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki,
niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An Naba : 29)
2. Firman Allah SWT : "Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana saja kamu kehendaki. (QS. Al
Baqarah : 223)

Fokus pengambilan dalil dari kedua ayat di atas, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menempuh jalan yang dapat mengantarkannya menuju keridhaanNya. Allah juga
memberikan mereka kebebasan untuk mendatangi istri-istri mereka pada tempat yang ditetapkan
sekehendak mereka.

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di surga
atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab
kita dan meninggalkan usaha?" Beliau menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan
untuk menuju apa yang telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalil-Dalil Dari Akal

Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan keduanya
sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan apa yang diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu
yang terjadi karena keinginannya sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu
yang tanpa disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya. Seperti orang yang
mimpi basah di siang bulan ramadhan, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi karena bukan
pilihan orang itu. Tetapi jika orang itu dengan sengaja melakukan onani sehingga keluar air mani,
maka batallah puasanya karena hal itu terjadi akibat kehendak dan pilihannya.

"(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-
Takwir : 28-29)

Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk dalam kehendak Allah
SWT.

Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang berkata bahwa Allah memaksa manusia atas semua
perbuatan mereka. Beliau menjawab, "Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya."
Beliau berkata, "Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan petunjuk kepada siapa
yang berkehendak.." Lalu datanglah kepadanya seorang lelaki seraya berkata, "Seorang laki-laki
berkata, "Allah memaksa manusia untuk taat." Beliau menjawab, "Alangkah buruknya apa yang
dikatakannya."

Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah

Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :

1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik
yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah

Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya
ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa
perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang
sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot
yang disetir oleh remote kontrol.

Perbuatan, Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah

Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh
manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala
perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan
Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah.

Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak
mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar
Allah, Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia
harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: " Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam
surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar". (QS: 4: An-Nisa': 13)

Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa artinya tidak mau
ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau
menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Arinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4: An-Nisaa':14)

Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa pula Allah memberi
petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat
mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah:

Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56)

Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah.
Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat
kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan
yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi
dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai
Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah
agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang
seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau
disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan
perintah dan larangan.

Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang
berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika
perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat
kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya.
Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup
angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu
sama lainnya saling bertolak belakang.

Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan yang meniadakan sifat
dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat
mereka adalah hadis (sesuatu yang baru).

Wassalamu'alaykum Wr.Wb
<><><><><><>><><><><><>

Oleh: Jenny HP

Disarikan Dari:

1. A. Said Aqil Humam Abdurrahman, Penjelasan menyeluruh tentang Qadha dan Qadar, Al-
Azhar Press, Bogor:2004
2. Abu Lubaba, Husein, Pemikiran Hadist Mu'tazilah, Pustaka Firdaus, Jakarta
3. DR. Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, CV. Yasaguna,
Jakarta: 1990
4. Dr. Said bin Musfin Al-Qahthani, Buku Putih Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, Penerbit Buku
Islam Kaffah, Jakarta: 2003
5. Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc., Mengenal Aliran-aliran Islam dan ciri-ciri
ajarannya, Pustaka Al-Riyadl, Jakarta: 2003
6. Sutrisna Sumadi, Sag. dan Rafi'udin, Sag., Kebebasan Manusia atas Takdir Allah berdasar
Konsep Penciptaan Nabi Adam a.s, Pustaka Quantum, Jakarta: 2003

Milis Eramuslim
Dikirim oleh: Jdp
Senin, 13 Maret 2006


Kaum Jabariyah dan Kadariyah
by Man Jadda Wa Jada on 03:07 PM, 06-Aug-11
Category: File Islam


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemikiran

Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul
di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak
mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman,
mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah
setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan
budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan
budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama
lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imn mulai dipertanyakan dan
dianalisa.
Al-Syahrastn menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran
teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ilmu al-kalm yakni
berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada
dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa,
mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.

Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan
manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat
mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai
ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan
perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur
hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang
absolut?.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak
belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah
Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan
perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan
perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman
Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat
menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung
jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima
siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan
bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki
kebebasan.
Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas
berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar
dirinya.

II. Jabariyah dan Qadariyah

A. Pengertian Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia
berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata
qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan
aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib.

Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.

Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata
keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada yang sangat
ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum
terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah
baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih
apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas
kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau dan
mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak, maka dia bagaikan sebuah alat
atau seperti halnya dengan benda-benda mati lainnya. Sehingga asas taklif atau pemberian
tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka
berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena
mereka harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan
taat.

Sedangkan nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi filih, yaitu
berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan
kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa
melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali.
Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.

Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam
semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk
berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari
Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas
kehendak Allah.

Namun demikian, Jabariyah terbagi atas dua kelompok utama, yaitu:

1. Jabariyah murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwn paham fatalisme ini
beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada
kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia
sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat.
Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya.
Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh
karena itu manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majz
atau kiasan. Seperti halnya perbuatan yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan:
pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan
menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain
itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua perbuatan.
Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan
suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu
bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas
kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.

2. Jabariyah moderat, yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjr. Dia mengatakan
bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta
dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi
manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah
yang disebut dengan kasb. Paham ini juga dibawakan oleh Dhirr bin Amru. Ketika dia
mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan
manusia juga pada hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan
demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia
telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak
lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja
sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.

B. Latar Belakang Paham Jabariyah dan Qadariyah
Munculnya kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya
yakni Khawrij dan Murjiah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang
bernama Washil bin Atha yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi
baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama
Mutazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-
keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai
akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan
paham Jabariyah atau fatalisme.

Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan
ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Mabad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa
yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk
Islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Mabad al-Juhany dan temannya
Ghailn al-Dimasyqi. Mabad termasuk tabiin atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia
memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahmn Ibn al-Asyas, gubernur Sajistan,
dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Mabad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam
pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H.
Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama
dengan Mutazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya
sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Mabad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah
yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga
merupakan guru Wshil bin Atha pendiri aliran Mutazilah.

Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (irdah). Dia yang melekukan, dia pula yang
bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi
dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan
pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif, akan
mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat
penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh
pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mutazilah.
Sepeninggal Mabad al-Juhany, Ghailn al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham
Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul
Azz (717-720 M). Setelah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya
ia mati dihukum oleh Hisyam bin Abdul malik (724-743 M/105-125 H). Ghailn
mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai antitesa dari paham
Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah
oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh
al-Uyn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Sym, lalu
mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya
kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-
mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut
sebelumnya.

Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Jad bin
Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwn dari Khursn
mempelajari paham ini dari al-Jad bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang
terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah
dalam kalangan Murjiah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah
karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwn. Sebagai sekretaris Syurayh
ibn al-Hrits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan
tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.

Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik
sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murjiah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu
pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti
dinyatakan oleh Yzid bin Muwiyah waktu dia menerima kepala Sayidin Husain bin Abi
Thlib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali Imrn(3) ayat
26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh
Husain bin Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yzid bin Muwiyah dari dinasti
Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yzid dan serdadunya. Agar umat
yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu takdir Tuhan semata-mata.
Inilah ajaran Murjiah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal
ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan
penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum
Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu
kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

C. Argumen-argumen Paham Jabariyah dan Qadariyah

Baik Qadariyah maupun Jabariyah memiliki argumen-argumen yang dengan argumen tersebut,
mereka mempertahankan paham dan aliran mereka masing-masing. Argumen-argumen tersebut
ada yang berdasarkan nash-nash atau dalil-dalil naqli dan berbagai argumen yang bersifat
rasional atau dalil-dalil aqli.
Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Qadariyah, misalnya:

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.

(Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya,
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon
ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.

Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.
Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Jabariyah, misalnya:

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.
((ot-!' Bt uuk|e ot-!' Bt ~ #-!v (o-e|))
Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya.

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Selain berbagai argumen teks, mereka juga menggunakan argumen-argumen rasio. Di antara
dalil-dalil aqli yang digunakan oleh paham Qadariyah, adalah:
Golongan Qadariyah yang menampakkan dirinya pada Mutazilah ini menerima kebebasan
manusia dalam melakukan perbuatannya. Karena mereka bebas, maka tanggung jawab mereka
pikul sendiri.
Pemikiran kebebasan manusia berpokok pada ajaran keadilan Tuhan yang dianut Mutazilah.
Mutazilah dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Mereka melihat dua bentuk perbuatan
manusia, yakni kebaikan dan keburukan. Tuhan sendiri menjanjikan pahala bagi kebaikan dan
siksaan bagi kejahatan. Kalau kedua bentuk itu berasal dari kebebasan manusia memilih, maka
janji pahala dan siksa itu layak dan merupakan keadilan Tuhan.

Mereka beranggapan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah yang menetapkan
dan yang menciptakan perbuatan manusia akan membawa pada prinsip fatalisme atau
keterpaksaan dan bukan free will atau bebas dan dapat memilih. Ini menjadikan pengutusan
Rasul-rasul menjadi suatu yang sia-sia tiada guna, sehingga tidak diperkenankan adanya taklif,
tidak adanya dasar pemberian pahala dan siksa, janji dan ancaman, serta pujian dan celaan.
Mereka juga mengatakan bahwa tidak boleh Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, atau yang menginginkan setiap yang diperbuat manusia, karena kadang-kadang
manusia berbuat zlim. Dan perbuatan zlim tidak diperkenankan berasal dari Allah SWT, dan
Allah juga tidak mungkin menginginkan perbuatan zalim, karena Tuhan itu adil. Dan orang yang
adil tidak mengerjakan kezaliman tidak pula menginginkan kezaliman. Di sini Qadariyah
menganalogikan keadilan Tuhan dengan keadilan makhluk. Sebagaimana perbuatan zalim
merupakan perbuatan buruk jika dilakukan oleh manusia, maka begitu pun ia adalah suatu
keburukan pula jika berasal dari Allah SWT. Beginilah pendapat mereka.

Wshil binAtha berkata tentang pokok ajaran keadilan Tuhan: Allah itu bijaksana dan Adil,
keburukan dan kezaliman atau ketidak adilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Dan Tuhan
tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak boleh menetapkan apa yang mereka kerjakan dan
kemudian membalas mereka lantaran melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah
pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan
dialah yang akan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Oleh karenanya, Tuhan telah
menganugerahkan kemampuan kepada manusia atas itu semua.
Andaikata perbuatan-perbuatan manusia terjadi dengan qudrat dan irdat-Nya, dapatlah
disandarkan kepada Allah perbuatan-perbuatan manusia seperti sembahnyang, puasa, dusta,
mencuri dan lain-lain. Maha Suci Allah daripada yang demikian. Dan tentulah Allah benci dan
ridha pada perbuatan-Nya sendiri bukan perbuatan manusia.
Golongan Qadariyah juga mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang mereka dapati bertentangan
dengan pendapat mereka, agar supaya ayat-ayat tersebut berjalan beriringan dengan apa pendapat
mereka, minimal agar tidak menghantam madzhab mereka. Di antara ayat yang secara jelas
menyatakan bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, baik atau buruk, dan terpuji atau
tercela. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anm (6): 102

(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain
dia; Pencipta segala sesuatu.

Ayat ini yang pada lahirnya bertentangan dengan paham Qadariyah mengharuskan madzhab
Mutazilah untuk menggeser nash ini dari makna lahirnya dan mentakwilkannya dengan sesuatu
yang dapat diterima akal sehat atau sesuatu yang rasional yang sesuai dan mendukung madzhab
yang dianutnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Jabbr seorang hakim yang beraliran
Mutazilah, bahwa makna zhir ayat ini tidak boleh digunakan menurut kesepakatan, karena
Allah SWT adalah termasuk dari sesuatu, dan Dia tidak menciptakan diri-Nya sendiri, maka
tidak boleh bergantung pada makna lahir ayat ini. Ayat ini juga dikeluarkan dalam konteks
pemberian pujian, dan tidak mungkin ada pujian jika dikatakan Allah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia yang mana dalam perbuatan manusia itu ada kekufuran,
pengingkaran dan ketidak adilan, maka tidak pantas untuk menggunakan makna zahir ayat ini,
sehinga ayat ini perlu ditakwilakan. Jadi yang dimaksud ayat ini adalah bahwa Allah Pencipta
segala sesuatu maksudnya mayoritas sesuatu bukan segala sesuatu, seperti dalam firman Allah
dalam kisah ratu Balqis dalam QS. al-Naml (27): 23

Dan dia dianugerahi segala sesuatu.

Dalam ayat ini dinyatakan segala sesuatu, sedangkan pada kenyataannya dia tidak diberi banyak
sesuatu.
Sebagaimana Qadariyah, paham jabariyah juga menggunakan argumen-argumen rasional untuk
mempertahankan pendapat yang dianutnya, di antara dalil-dalil aqli yang mereka gunakan ialah:

Sekiranya manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri dengan kemampuan yang
dimilikinya berdasarkan kemauannya sendiri, tentulah perbuatan-perbuatan itu bukan dengan
kehendak Allah dan kekuasaann-Nya. Karena mustahil berpautan dua kehendak dengan satu
perbuatan dan menjadikan kekuasaan Allah terbatas. Dan Allah mempunyai sekutu dalam
perbuatan-Nya. Hal ini tidak sesuai dengan kebesaran Allah SWT. Padahal kesempurnaan-Nya
adalah mutlak.
Jika dianggap manusia adalah pelaku yang mempunyai daya pilih apa yang disukai, tentulah
ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya, sedang Allah berfirman QS al-Mulk (67):
14

Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)

Maka kalau manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia
mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu; dia mengetahui apabila dia melangkah
apa yang akan terjadi dari langkahnya itu?, dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak? Dan
seterusnya. Akan tetapi manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian, tidaklah
manusia dikatakan mukhtr dalam perbuatannya.
Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakannya bukan
kepada yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan warna dan Allah sendiri tidak
bersifat dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna ialah tempat warnanya itu.
Masalah taklif, pahala dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dengan aturan itu
kita analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita
dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya.

Berbagai argumen yang dapat diterima akal sehat saling bertentangan. Berbagai ayat yang pada
lahirnya saling bertentangan. Adalah tidak mengherankan kalau umat Islam mempertanyakan
bagaimana sebenarnya perbuatan manusia itu, meskipun para pioner masing-masing paham
Qadariyah dan Jabariyah yang pertama telah wafat. Di satu segi, manusia tampaknya memiliki
hak memilih dan dituntut pertanggung jawaban atas setiap perbuatannya, baik atau jelek.
Sementara itu harus diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa karena pencipta segala makhluk.
Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh golongan Mutazilah
sedang paham Jabariyah, meskipun tidak identik dengan paham yang dibawa oleh Jahm bin
Shafwn atau dengan pahan yang dibawa al-Najjr dan Dirr, terdapat dalam aliran al-
Asyariyah.




LMU KALAM
Kebebasan Menurut Perspektif Jabariyah dan
Qadariyah
A. Pengertian Kebebasan
Wacana kebebasan menemukan momentum pengikraran, sekaligus juga meretas ketidakpastian makna
kebebasan itu sendiri. Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan
yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, seperti: lepas sama sekali, lepas dari
tuntutan, kewajiban dan perasaan takut, tidak di kenakan hukuman, tidak terikat atau terbatas oleh
aturan-aturan dan merdeka (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,1990,90). Pengertian etimologi
ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas
sosial. Karena jika itu terjadi maka akan melahirkan ketidak bebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada
seorang pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian,
pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya
keterikatan makna bebas dangan konsepsi keagamaan, etika dan budaya inilah membuat pengertiannya
menjadi bias dan subyetif. Karena setiap agama dan budaya memiliki atuaran dan norma yang mungkin
berbeda sesuai titah yang di reduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.
Agama islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan ( hurriyah ). Dalam kitab
al- Mausuah al-Islamiyah al-Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan
yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meningalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya,
dalam koridor sistem islam, baik akidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk
kebebasan :
1. Kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan
bertentangan
2. Kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah) bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga :
a. al-Tabiiyah yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu
melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat.
b. al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undagan
c. al-Diniyah, kemampuan atas keyakina terhadap berbagai mazhab keagamaan.
Dari sini jelas sudah, bahwa kebebasan yang sedang berkeliaran dinegeri ini terserabut dari definisi
keagamaan.
B. Ayat-ayat al-Quran yang membahas tentang kebebasan
Ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah
Artiya : Bahwasanya Allah tidak bias merubah nasib suatu kaum, kalau tidak mereka sendiri merubahnya
(Ar-Rad:11)
Perhatikanlah ayat diatas, kata mereka Tuhan tidak biasa atau tidak kuasa merubah nasib manusia kecuali
mereka sendiri yang merubah nasibnya. Kekusaan Tuhan dalam masalah ini tak ada lagi, karena sudah
diberikan nya kepada manusia, menurut kaum Qadariah.
Dikemukan lagi sebuah ayat:
Artinya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiyaya Dirinya sendiri, kemudian ia minta
ampun kepada Tuhan, nicaya akan diperolehnya, bahwasannya Tuhan itu pengampun dan penyayang(An
Nisa:110)
Jelas dalam ayat ini, kata mereka bahwa orang-orang itu sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan. Kalau
Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya itu, ini mustahil karena tuhan tidak
menganiaya hamba-Nya.
Ayat-ayat yang membawa kepada paham Jabariyah

Artinya: bagi manusia (upah) apa yang di usahakannya dan atas manusia (hukuman) apa yang diusahakannya.
(Al Baqarah: 286).
Ayat di atas menjelaskan manusia akan dapat pahala kalau ia mengusahakan pekerjaan yang baik dan akan diberi
azab (hukuman) kalau ia mengusahakan yang buruk.
Di kemukakan lagi ayat:
Artinya: pada hari itu (hari akhirat) setiap diri menerima balasan menurut yang diusahakannya. Tidak ada
ketidakadilan pada hari itu. Sesungguhnya Tuhan amat cepat membuat perhitungan (Al Mumin : 17 )
Melihat pada ayat-ayat seperti yang tersebut di atas, tidak mengherankan kalau paham Qadariah dan paham
Jabariyah, walaupun penganjur-penganjurnya yang pertama telah meninggal dunia,masih tetap terdapat di dalam
kalangan umat Islam.
C. Pandangan Kaum Jabariyah Tentang Kebebasan Manusia
Kehendak dan perbutannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak Kaum Jabariyah
berpendapat, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan mutlak Tuhan. Dalam aliran ini
terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kodar Tuhan.
Menurut Jahm yang merupakan penganut paham Jabariyah ini mengatakan: manusia tidak mempunyai
kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan
tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbutan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan di ciptakan Tuhan di dalam diri manusia tak ubahnya
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu, manusia dikatakan berbuat
bukan dalam arti sebenarnya,tetapi dalam arti majasi / kiasan: tak ubahnya sebagaimana disebut, air mengalir,
batu bergerak matahari terbit dan terbemam dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya masuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban,
menerima pahala, dan menerima siksaan.
D. Pandangan kaum Qadariah tentang kebebasan manusia
Kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan
sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Menurut Ghailan yang merupakan penganut paham Qadariah ini mengatakan, bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya : Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-pebuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan / menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri.Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik
adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Disini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa manusia
dalam perbuatan-pebuatannya hanya betindak menurut nasibnya yang telah di tentukan semejak ajal.
Mereka bependapat, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan manusia dan apa yang di perbuat
manusia tidak diketahui oleh Allah sebelumnya, tetapi tuhan mengetahui setelah diperbuat oleh
manusia.Jadi,pada waktu sekarang tidak bekerja lagi karena kodratnya diberikannya kepada manusia dan ia
hanya melihat dan memperhatikan saja. Kalau manusia mengerjakan perbuatan yang baik maka ia akan diberi
pahala oleh Tuhan karena ia telah memakai kodrat yang di berikan tuhan sebaik-baiknya, tetapi ia akan di
hokum kalau kodrat yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dipakai.
E. Kesimpulan
Menurut pandangan saya bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak bebasan itu sendiri.
Karena, tidak satupun prilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifit ilahiyah ( ketuhanan )
maupun insaniyah (kemanusiaan ). Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan pengikat yang
menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas)
Kaum qadariah adalah kaum yang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh daya
mereka sendiri bukan oleh Tuhan; lain halnya dengan kaum jabariah, kaum jabariyah adalah kaum yang
memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh Tuhan bukan manusia.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasn
manusia sebenarnya,hanyalah memilih hukum alam mana yang akan di tempuh dan diturutinya. Hal ini perlu
ditegaskan karena paham Qadariah biasa di salah artikan mengandung paham,bahwa manusia adalah bebas
sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan
kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
Daftar Pustaka :
Ali, A. Mukti dkk (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988.
Al-Quran Digital_(http://www.alquran-digital.com)
K.H Abbas, Siradjuddin, Itiqad Ahlu Sunah Wal Jamaah, Bandung : Karya Nusantara, 1987
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta : Universitas Indonesia ( UI Press ), 2007.
SPIRITUALIS PARANORMAL GASA REKOMENDASI BOYKE BIKIN ISTRI
KETAGIHAN!
ANDA MAU KUAT DIRANJANG? BELI FOREDI Rp.
200.000
SEX KUAT TAHAN LAMA REKOMENDASI BOYKE,
MAU?
FOREDI UNTUK KUAT TAHAN LAMA SEX REKOM
BOYKE!
METODE ALAMIAH TAMBAH UKURAN PENIS
GASA UTK EREKSI KERAS LEBIH KENCENG BIKIN
ISTRI KE
MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA
95RIBU
WOW! SAYA DAPAT 1,5 JUTA/HARI, MODAL
HANYA 95RIBU
INVESTASI 95 RIBU HASIL 30 JUTA/BULAN, MAU ?
MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA
95RIBU
OLES HERBAL UTK TAHAN LAMA SEX
REKOMENDASI BOYKE!
Ku

alil Naqli dan Aqli Landasan Jabariyah dan Qadariyah
Setelah admin mengulas sedikit tentang sejarah Jabariyah dan Qadariyah dan hal yang
melatarbelakanginya. Kesempatan kali ini, sebagai bahan material makalah akan diulas
sedikit dari landasan naqly (alasa yang diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang
bersandar pada akal atau rasional semata) yang menjadi pegangan sekaligus alasan "ada" nya
kedua aliran teologi ini.
1. Dalil-dalil naqliy sebagai dasar aliran Jabariyah
- QS. Ash-Shafaat ayat 96 :



Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".QS.
- Al-Anfal ayat 17 :


Artinya: ......dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.
- QS. al-Hadid ayat 22:


Tiada suatu nubaba neb yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
- QS. Al-Insan 30 :



Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2. Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai
berikut:
- Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi,
berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Mereka menolak keadaan Allah Maha
Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai
kekuasaan.
- Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan (Istitha`ah). Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia
bukan dari perbuatan manusia karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak
memperbuat. Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan
perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti
kata pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan
biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
1. Dalil-dalil naqliy yang menjadi dasar aliran Qadariyah
- QS Ar- Ra`du ayat 11 :


Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri..
QS An Nisa` ayat 110 :


Artinya:...... Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, Kemudian
ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
2. dalil-dalil aqliy yang dijadikan sebagai landasan kaum Qadariyah adalah:
- Jika perbuatan manusia diciptakan atau dijadikan oleh Allah swt mengapa menusia
diberi pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat maksiyat dan dosa, bukankah
yang membuat atau menciptakan perbuatan itu adalah Allah swt sendiri.Jika demikian
halnya berarti Allah swt tidak bersikap adil terhadap manusia, sedang manusia itu
sendiri adalah adalah ciptaan-Nya.
- Melihat bahwa terdapat ayat ayat al-Quran dan dalil-dalil aqli menjadi landasan kedua
golongan tersebut, tidak mengherankan, sekalipun penganjur paham Jabariyah dan
Qadariyah telah lama meninggal, akan tetapi masih terdapat di kalangan kaum
muslimin. Dalam sejarah teologi Islam selanjutnya, paham Qadariyah dianut oleh kaum
Muktazilah sedangkan paham Jabariyah moderat masih terdapat dalam aliran
Asyariyah.
Surga Makalah
*Dikutip dari berbagai sumber
Tulisan dengan kategori yang sama :
- Qadariyah; Warisan Nasrani?
- Sebab Munculnya Aliran al-Maturidi
- Ketuhanan dan Filsafat Jiwa al-Kindi
- Maqam Ittihad Abu Yazid al-Bustami
- Memahami Konsep Wajib al-Wujud (1)
- Asal Mula Lahirnya Muktazilah
- Pendapat Aliran-aliran Teologi
- Material Makalah; Mengenal Syiah Ismailiyah
- Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur
- Mengenal Teologi; Suatu Pengantar
Anda barusan melihat/membaca posting dengan ju

BAGIAN KEEMPAT
Penutup
Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan
Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan
kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi
jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupun naqli
(nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka
berpegang pada beberapa ayat tentang qadha dan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang
beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini.
Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka
ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang
berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa
Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan
terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-
Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun
pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk
menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan
kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya,
sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa
pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun
berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak.
Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini:
a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya;
b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan.
Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di
alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah,
secara terpaksa dan deterministis.
Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni
pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang
reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya
yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah.
Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan
pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara
deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada
kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak
ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini
yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih
menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!!
Umar Khayyam berkata dalam syairnya:
Sungguh nikmat mereguk minuman khamr,
bagi mereka yang terbiasa meminumnya.
Allah telah mengetahui perbuatan ini.
Jika Anda kini menolaknya, hai kawan,
Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan.
Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai
pengertian yang benar tentang qadha dan qadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah
diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-
akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan
telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah,
agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain
daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan
menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan
perencanaan yang telah mendahuluinya itu.
Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-
akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya;
dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian
antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-
akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari
aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan
pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar
dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi
sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi
pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya
berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi
ketidaktahuan.
Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan!
Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang
terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-
akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta
menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan
si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2]
Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang
berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan
yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta
sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya
suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu
peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah
bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya.
Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan
aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa)
dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih).
Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami
dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnya pengaruh aktifator emosional dari aktifator yang
emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruh
aktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan
Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara
paksa dan deterministis.
Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan
sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan
dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau
alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem
yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya
setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam
alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia
juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator
adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu
aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur.
Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan
aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari
aktifator yang majbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang
majbur menjadi bebas.
Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak
semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam
aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya,
termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu
Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan
azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak
mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-
siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan
konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya
sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna
ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yang mukhtar dan ijbar", yakni
memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas).
Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari
siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadi mukhtar
(memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar
dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan.
Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini,
tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami
tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan
tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan
bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu
kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta
dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam
tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis,
hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu,
kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui
ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr
yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa
paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan
manusia?
Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan
minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum
secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang
tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum,
hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.
Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang
azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki
kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan
dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki
kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti.
Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair:
Menjadikan dosa sebagai sesuatu
yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi.
Menurut anggapan orang berakal
adalah sama dengan ketidaktahuan.
Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah
pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim
dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang
menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula.
Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini
seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali
pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah
juga.
Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga
merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya
meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu
hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam
semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi
segala sesuatunya (imanen).
Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115)
Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu.
(QS 57 : 3)
Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat
ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek
yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada
atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan:
"Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi
yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[]

[1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul
Falsafah, jilid 3.
[2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar
merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu
adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan
ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara
filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang
seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-
pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan
lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan.
Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam.
Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu,
yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah.
ilmu kalam
Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat allah yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya serta
membicarakan tentang rosul-rosul Allah, untuk menetapkan kerosulan nya, mengetahui sifat-sifat yang
mesti ada padanya, dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi beberapa alasan untuk mempertahankan
keimanan dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang yang
menyeleweng dari kepercayaan aliran salaf dan ahli sunah. Ada beberapa pandangan bahwa ilmu ini di
sebut sebagai ilmu kalam, yaitu antara lain:
A. Pokok persoalan yang menjadi pembicaraan ialah firman Allah dan non azalinya Quran (khaliq al-
quran)
B. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran para mutakalimin, dalam hal ini nampak jelas dalam
pembicaraan-pembicaraan para mutakalimin, mereka terkadang tidak langsung kembali kepada dalil
naql (quran hadis), kecuali sesudah menetapkan kebenaran pokok persoalan tersebut.
C. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka
pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam
filsafat.






BAB II
PEMBAHASAN

1. Latar belakang berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Maupun
pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu
keislaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan
alam gaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami persoalan persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya
kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian-kejadian politis dan
historis yang menyertai p-ertumbuhannya. Faktor-faktor itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat
digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam islam dan kaum muslimin
sendiri dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan lain dari agama-
agama yang bukan islam.
2. Aliran-Aliran Kalam
A. Asal-usul munculnya aliran-aliran kalam
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Umat islam sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi
perpecahan itu mulai reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya
Abu Bakar memegang kekhalifahan, mulai timbul kembali perpecahan yang di hembuskan oleh orang-
orang murtad dari islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti
Musailamatul Kadzab, Thulaihah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu ada pula golongan-
golongan yang tidak membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal tadinya mereka semua membayar
zakat pada nabi. Akan tetapi persilahan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena
kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar.
Selanjutnya perjalanan kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Ustman tidak begitu menghadapi persoalan,
tetapi setelah islam meluas kemana-mana, tiba-tiba di akhir Khalifah Ustman, terjadi suatu persoalan
yang ditimbulkan oleh tindakan Ustman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya.
Tindakan Ustman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu mengakibatkan difitnah dan
terbunuhnya Sayyidina Ustman. Setelah itu maka Ali terpilih menjadi Khalifah, tetapi tidak memperoleh
suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Semenjak itulah,
berpangkalnya perpecahan umat islam, hingga menjadi beberapa golongan.di antaranya sebagai
berikut:
1. Golongan yang setuju atas pemangkatan Ali.
2. Golongan yang mula-mula patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi
golongan yang netral. Mereka berpendirian tidak mau mengikuti Ali, tidak pula memerangi Ali. Karena
mereka meyakini bahwa keberpihakkan kepada salah satu dari dua golongan tersebut tidak berakibat
baik.
3. Golongan yang terang-terangan menentang ali, yaitu Tholhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Aisyah
binti Abu Bakar. Semua nya bersatu, dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai pemimpin untuk
menumpas Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di basrah di
bunuh, perbendaharaan di rampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya
sendiri menuju basrah, dan akhirnya terjadi pertempuran hebat. Tholhah dan Zubair terbunuh, Aisyah
tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Dan tentara lainnya banyak yang melarikan diri dan bergabung
dengan tentara Muawwiyah di Syam, yang sama-sama menentang Ali. Terjadinya pertempuran-
pertempuran antara Muawwiyah dan Ali, hingga pertempuran Shifin, yaitu perang terakhir antara Ali
dan Muawwiyah.
4. Perpecahan yang memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan ini dinamakan Khawarij. Mereka tidak
setuju dengan gencatan senjata antara Ali dan Muawwiyah.
Demikianlah beberapa golongan politik yang muncul dimasa Khalifah Ali. Kemudian sesudah Ali, timbul
lah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang di akibatkan oleh timbulnya
golongan-golongan politik tersebut di atas yaitu golongan Syiah, Qodariah, Jabariah, Murjiah,
Karamiyah, Khawarij, Mutazilah, dan Ahli Sunah Wal Jamaah.
B. Aliran-aliran ilmu kalam
1. Aliran Mutazilah
a. Pokok-pokok ajaran Mutazilah.
1. Tauhid (keesaan Allah SWT)
2. Keadilan Allah SWT.
3. Janji dan ancaman
4. Posisi diantara dua posisi (al-manzilatu baina manzilatain)
5. Amar maruf nahyi munkar
b. Tokoh_tokoh Aliran Mutazilah
1. Washil bin atha (80-131 H/ 699-748 M)
2. Al-allaf (135-236 H/ 753-850 M)
3. An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
4. Al-JubbaI (wafat 303 H/915 M)
5. Bisyr bin al-Mutamar (wafat 226 H/ 840 M)
2. Aliran asyariyah (ahli sunah wal jamaah)
Imam Asyari (260-324 H), menurut Abu Bakar Ismail Al-Qairawani, adalah seorang penganut Muktazilah
selama 40 tahun. Kemudian ia menyatakan diri keluar dari Muktazilah. Setelah itu, ia mengembangkan
ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan Muktazilah. Ajarannya kemudian di kenal
sebagai aliran Ahl al-Sunnah Wa al-jamaah.
Ajaran pokok aliran tersebut adalah kemaha kuasaan Tuhan yang keadilannya telah tercakup dalam
kekuasaannya. Suatu gagasan yang mirip dengan gagasan jabariah.
Adapun pendapat Imam Asyari yaitu bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak
yang berlawanan pada masanya, seperti pendapatnya dalam soal sifat tuhan terletak antara aliran
Mutazilah yang tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqo dan wahdaniyah dan aliran Hasywiyah
dan Mujassimah yang mempersamakan sifat-sifat makhluk.
Al-asyari mengakui sifat-sifat Allah tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah
dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
3. Aliran Maturidiyyah
Dalam perkembangan ajaran ahli sunnah wal jamah, ajaran tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan
gagasan imam Al-Asyari. Para pelanjutnya, antara lain Imam Abu Mansyur al-Maturidi mendirikan aliran
Maturidiyah yang ajaranya, menurut Harun Nasution lebih dekat dengan Mutazilah.
Dalam bidang fiqh, Al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal
Theologi Islam dan menganut Aliran Fuqoha dan Muhaddisin, seperti yang dilakukan Al-Asyari. Sungguh
pun demikian pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut
Meskipun metode yang dipakai oleh Al-maturidi berbeda dengan Al-Asyari, namun hasil pemikirannya
banyak yang sama. Menurut ulama-ulama Hanafiyah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah
sama dengan pendapat-pendapatnya imam Abu Hanifah
Meskipun pendapat-pendapat Al-asyari dan Al-maturidi sering berdekatan, karena persamaan lawan
yang dihadapinya, namun perbedaan-perbedaannya masih selalu ada, adapun perbedaan yang tegas
antara Al-asyari dan Al-Maturidi antara lain:
1. Menurut aliran asyariah, mengetahui akan adanya Allah merupakan kewajiban Syara, sedangkan
menurut Maturidiyyah merupakan kewajiban akal.
2. Menurut golongan Asyariyah, sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan
buruk tidak lain karena di perintahkan atau dilarang syara. Menurut Maturidiyah, pada tiap-tiap
perbuatan itu sendiri ada sifat baik dan buruk. Dengan demikian aliran Maturidiyah lebih mendekati
aliran Mutazilah
4. Aliran Syiah
Syiah ialah golongan umat islam yang terlalu mengagungkan keturunan Nabi, mereka meyakini bahwa
hanya keturunan Nabi yang lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal nabi. Syiah maknanya ialah
sahabat atau pengikut.
Syiah berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya nabi ialah Ali. Ali adalah guru yang
ulung. Alilah yang mewarisi segala pengetahuan yang ada pada nabi, Ali adalah manusia yang
mempunyai ciri-ciri istimewa, Ali dianggap mashum dari kesalahan.oleh karena itu, menurut mereka
menaati dan mempercayai Ali termasuk rukun iman juga.
Sesudah Ali kekhalifahan itu turun-temurun kepada anak cucunya dan ini seolah merupakan ketetapan
Allah, tetapi dalam menentukan keturunan itu timbul pula perbedaan pendapat. Ali mempunyai anak,
Hasan dan Husein. Hasan dan Husein memiliki keturunan beberapa orang pula, akhirnya timbul
pertikaian, kepada siapa jatuh kekhalifahan itu. Akibatnya lahir lah beberapa golongan seperti Az-
Zaidiyah, Al-Imamiyah (Al-istna Asyriyah), Al-Ismailliyah.
Aliran Syiah memiliki pandangan sebagai berikut:
1. Tauhid. Golongan Syiah percaya sepenuhnya kepada Allah, bahwa Allah itu Maha Esa.
2. Keadilan. Golongan syiah percaya bahwa allah itu maha adil, konsep keadilan golongan syiah sama
dengan ajaran mutazilah.
3. Kenabian. Keyakinan syiah terhadap kenabian tidak berbeda dengan pemikiran muslim lainnya antara
lain:
a. Jumlah nabi dan Rosul yang di utus Allah berjumlah 124 ribu
b. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad adalah nabi yang mashum atau suci dari aib apapun.
d. Istri-istri nabi tergolong orang yang suci dan terhindar dari keburukan.
e. Al-Quran merupakan mukjizat nabi yang kekal.
5. Aliran Khawarij
Khawarij ini timbul setelah perang Shifin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu di akhiri dengan
gencatan senjata, untukmengadakan perundingan antara kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah
pengikut Ali, yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perudingan itu.
Seorang yang bernama Abu Muslim Al- Khurasani, dapat mempengaruhi golongan ini untuk
menggulingkan pemerintahan Muawiyah di Parsi. Setelah Khawrij ini berkembang selama dua abad,
datang pulalah saat runtuhnya, yang akhirnya lenyap sampai sekarang. Pada masa jayanya, dalam aliran
ini timbul beberapa perpecahan. Tetapi dalam beberapa pandangan pokoknya, tetap pada pendirian
yang sama, yaitu:
a. Ali, ustman dan orang-orang yang turut dalam perang jamal, dan orang-orang yang setuju adanya
perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua di hukumkan oarang-orang kafir.
b. Setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar,hingga matinya belum tobat,
orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka.
c. Boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu
seorang yang zalim dan khianat.
Beberapa golongan khawarij antara lain:
a. Golongan Azariqoh
Menurut mereka, bahwa orang yang tidak sefaham dengan mereka tergolong orang yang musyrik,
Azariqoh tidak akan mengembalikan benda-benda amanah golongan-golongan lain. Negara ataupun
daerah yang diduduki oleh lain dari Azariqoh, dihukumkan negara kafir atau daerah kafir.
b. Golongan Ibadhiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa haram memakan makanan Ahli kitab. Hal ini bertentangan dengan
golongan islam lainnya yang membolehkan memakan makanan ahli kitab. Mereka mewajibkan
mengqodho puasa, kepada orang yang bermimpi dalam keadaan berpuasa saat tidur siang pada bulan
Romadhon.
Adapun golongan khawarij yang dianggap keluar islam adalah sebagai berikut:
a. Golongan Yazidiyah
Golongan ini menyatakan, bahwa seseorang laki-laki boleh mengawini cucu perempuannya, baik dari
anaknya yang laki-laki maupun dari anak yang perempuan. Alasannya, bahwa al-quran tidak
menyebutkan mereka seorang yang di nikahi.
b. Golongan Maymuniah
Ada yang meriwayatkan bahwa golongan ini mengingkari adanya surat Yusuf dalam Al-Quran.
c. Golongan Syabibiyah
Golongan ini membolehkan wanita menjadi kepala negara atau imam,asal saja bekerja untuk
kepentingan rakyat dan tidak bekerja sama dengan golongan-golongan yang bukan Syabibiyah.
6. Aliran Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Dinamai Murjiah karena sesuai dengan
makna istilah tersebut yaitu menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang
mukmin yang berbuat dosa besar hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum dapat kita hukumi
sekarang, tersaerah atau di tunda serta di kembalikan saja urusannya kepada Allah kelak pada hari
kiamat. Jadi, pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij.
Ada dua pokok ajaran yang dianut oleh aliran ini, yaitu:
a. Pengakuan iman seseorang cukup di hati saja, tidak di tuntut membuktikan keimanannya dengan
perbuatan.
b. Selama meyakini dua kalimah syahadat, seorang muslim yang berbuat dosa besar tidak tergolong
kafir. Hukuman terhadap perbuatan ini ditangguhkan di akhirat dan hanya Allah yang berhak
menghukumnya.
7. Aliran Jabaryah
Golongan ini adalah gerakan yang menentang Qodariyah. Pendirinya yaitu Jaham bin Shafwan. Jaham,
selain penggerak Jabariyah juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan bahwa Allah tidak
mempunyai sifat. Menurut Jaham, Allah hanyalah mempunyai zat saja. Walaupun terdapat ayat yang
menyebutkan sifat-sifat Tuhan seperti sama,bashor,kalam dan sebagainya.
Terhadap Al-Quran, ia berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk Allah yang dibuat (baru). Allah
tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak.
Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk kedalamnya dan sesudah
merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah
surga dan neraka itu.
Golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama di luar
Jabariyah, yang menolak dan memberantas paham tersebut.
8. Aliran Qodariyah
Menurut mereka, usaha dan gerak perbuatan manusia di timbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini
mulanya di anjurkan oleh Mabad Al-Juhainy, Khilan Dimasyqi dan Al-Jadu bin Dirham. Ketiga tokoh ini
hidup pada zaman Daulah Umayah dan ketiganya mati terbunuh.



BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dilakukan di atas, kesalahan yang telah dilakukan oleh para mutakalimin
diantaranya adalah, pertama, dalam berargumentasi, metode ini bersandar kepada asas mantiq atau
logika bukan bersandar pada hal yang bersifat indrawi.Yang kedua adalah mereka membahas berbagai
perkara diluar dari fakta yang dapat diindra melampaui kepada batas perkara yang tidak dapat
diindra.Ketiga, mutakallimin telah memberikan kepada akal kebebasan untuk membahas segala sesuatu,
baik perkara yang dapat diindra maupun perkara yang tidak dapat diindra.Keempat, metode
mutakallimin telah menjadikan akal sebagai asasuntuk membahas persoalan apapun tentang keimanan,
mereka akhirnya menjadikan akal sebagai asas bagi al-Quran, dan bukan sebaliknya, menjadikan al-
Quran sebagai asas bagi akal. Terakhir, para mutakallimin menjadikan pertentangan para filsuf sebagai
asas dalam pertentangan mereka, mereka terjebak dengan menjadikan aqidah sebagai topik
pembahasan yang bersifat teori dan polemik dan tidak lagi menjadikannya sebagai sebagai topik dawah
dan landasan dalam memahami Islam dan mereka tidak berhenti pada batas-batas yang telah
ditetapkan.
Metode mereka ini bertentangan dengan metode al-Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang
alam semesta, mengenai benda-benda yang ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang,
manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lainnya yang termasuk perkara yang dapat
diindra.Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang adanya pencipta segala yang ada yang
diperoleh melalui pengindraannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas sesuatu yang
ada dibalik alam semesta, maka al-Quran mensifatinya sebagai fakta dan menetapkannya sebagai suatu
fenomena seraya memerintahkan mengimaninya dengan perintah yang pasti.Dan al-Quran tidak
memerintahkan hamba untuk memikirkannya lebih jauh.Inilah metode yang difahami oleh para
sahabat.Wallahu alamu bishawab.

Anda mungkin juga menyukai