Anda di halaman 1dari 3

Manusia berevolusi selama periode Paleolitikum, dari sekitar 2,6 juta tahun yang lalu sampai sekitar 10.

000 tahun yang lang lalu (OKeefe et al., 2004). Pengenalan praktek dan pertanian pada peradaban manusia itu sendiri baru terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu yang menurut Cordain et al., 2005) perubahan diet dan gaya hidup tersebut terjadi terlalu cepat bagi gen manusia untuk bisa berevolusi. Lebih lanjut lagi, adaptasi genetik manusia kalah cepat dengan kemajuan peradaban manusia, apalagi terhadap revolusi industri (Eaton et al., 1997). Oleh sebab itu manusia sekarang ini (Neolitikum) sebenarnya masih sangat identik dengan nenek moyang dari jaman Paleolitikum. Manusia yang menjalani diet paleolitikum disebut-sebut bebas dari gejala dan penyakit jantung (cardiovascular disease) (Eaton et al., 1988), selain diet Paleolitikum bisa meningkatkan toleransi glukosa pada pasien penyakit jantung (Lindebergh et al., 2007). Diet Paleolitikum bisa mencegah penyakit yang suka disebut sebagai penyakit peradaban (disease of civilization). Penyakit peradaban adalah penyakit-penyakit yang muncul dan banyak diderita di negara-negara yang menjadi semakin berbasis industri, penyakit ini meliputi penyakit jantung, atherosclerosis, diabetes tipe 2, asma, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit metabolism, Alzheimer, osteoporosis, stroke, hipertensi, depresi, dan obesitas (Kurylowicz & Kopczyriski, 1986). Diet Paleolitikum versus Diet Neolitikum Pada umumnya diet neolitikum terdiri dari roti, serealia, beras, pasta, buah-buahan, sayuran, susu dan produk olahan susu seperti yogurt dan keju, daging merah, daging ayam, telur dan kacang-kacangan. Sedangkan formulasi diet Paleolitikum mengecualikan susu dan produk olahan susu (dairy product) dan biji-bijian seperti gandum dan beras (grains) (Cordain, 2002). Konsumsi garam, gula terafinasi, bahan tambahan pangan, alkohol, dan minyak olahan juga bisa dikecualikan pada diet Paleolitikum (Lindeberg et al., 2007). Menurut Cordain et al. (2005) proses pengolahan makanan yang diperkenalkan sejak masa Neolitikum dan revolusi industri mengubah secara mendasar 7 karakteristik nutrisi penting, yaitu: 1) muatan glisemik, 2) komposisi asam lemak, 3) komposisi makronutrien, 4) densitas mikronutrien, 5) keseimbangan asam-basa, 6) rasio sodium-potasium, dan 7) kandungan serat. Muatan Glisemik Tingginya kadar insulin dalam darah yang disebabkan olehnya tingginya muatan glisemik bisa memicu penyakit peradaban seperti obesitas dan diabetes tipe 2 (Cordain et al., 2005). Asupan karbohidrat nenek moyang kita mirip dengan asupan karbohidrat aman sekarang, yaitu 45-50% dari total energi harian (Eaton et al., 1997), akan tetapi sumber karbohidrat dari diet modern sangat berbeda dengan diet paleolitikum. Kebanyakan sumber karbohidrat dari diet jaman sekarang berasal dari sereal dan biji-bijian yang diproses, gula, makanan yang terolah yang bisa mengandung indeks glisemik yang tinggi (Mann, 2007). Pada diet

Paleolitikum sumber karbohidrat berasal dari sayuran dan buah-buahan (Eaton et al., 1997).

Komposisi Asam Lemak Cordain (2002) mengemukakan bahwa diet Paleolitikum juga mengandung lemak, akan tetapi sebagian besar asupan lemak mengandung asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan lemak tidak jenih rantai tunggal. Pada diet modern rasio asam lemak omega 3 dan omega 6 dalam diet adalah 10:1, sedangkan pada diet Paleolitikum rasionya adalah 2:1 atau 3:1. Selain itu, hewan buruan pada jaman dulu yang memakan rumput mempunyai jumlah lemak lebih sedikit, terutama dalam jumlah asam lemak jenuh, daripada hewan komersial jaman sekarang yang diberi makan biji-bijian (Cordain et al., 2000). Menururt Cordain (2002) walaupun lebih dari 50% energi diet Paleolitikum berasal dari sumber hewani, kandungan lemak jenuhnya hanya 7% atau masih dalam batas yang direkomendasikan (<10%). Komposisi Makronutrien Eaton et al. (1997) mengemukakan bahwa pada diet modern jaman sekarang, jumlah total energi dari 3 makronutrien adalah karbohidrat (51.8%), lemak (32.8), dan protein (15.4%). Sedangkan pada diet Paleolitikum diet proteinnya lebih tinggi (19-35%) dan jumlah karbohidratnya lebih rendah (22-40%). Densitas mikronutrien Penggantian makanan dari yang sebelumnya mengandung banyak mikronutrien (buah, sayur, daging tanpa lemak, dan seafood) menjadi yang lebih sedikit densitas mikronutriennya (gula, biji-bijian, minyak sayur, dan susu) menjadikan diet neolitikum kekurangan vitamin dan mineral. Pada umumnya diet modern kekurangan vitamin B6, vitamin A, magnesium, calcium, zinc, dan folat (Cordain et al., 2005). Keseimbangan asam-basa Diet modern memproduksi lebih banyak asam untuk mencerna daging, ikan, keju, susu, biji-bijian, dan telur. Sedangkan konsumsi diet Paleolitikum yang mengandung lebih banyak buah, sayur, umbi-umbian, dan kacang memproduksi basa (bikarbonat) dalam sistem pencernaan. Rasio asam yang terlalu tinggi bisa menyebabkan penyakit kronis asidosis pada metabolism sedangkan diet yang memproduksi basa bisa mencegah osteoporosis, batu ginjal, dan hipertensi (Cordain et al., 2005). Rasio sodium-potasium Diet tipikal orang dewasa mengkonsumsi lebih banyak sodium (~4000 mg/hari) daripada potassium (25003400 mg/hari) di mana sekitar 75% sodium didapat dari makanan olahan. Manusia adalah satu-satunya mamalia yang mempunyai diet seperti ini (Eaton et al., 1997). Diet Paleolitikum lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung banyak potasium daripada biji-bijian dan susu (Cordain et al., 2005). Asupan sodium pada diet Paleolitikum hanya sebesar 726 mg/hari sedangkan potasiumnya sebesar 2.620 mg/hari (Cordain, 2002). Masyarakat yang mengkonsumsi diet Paleolitikum seperti suku Yanamamo, Xingo, dan Asaro pada umumnya tidak bertekanan darah tinggi seiring bertambahnya usia dan juga jarang terjadi hipertensi (0.6%) (Eaton et al., 1997). Kandungan serat Asupan serat pada masyarakat para-agrikultural biasanya melewati 100 mg/hari sedangkan diet modern umumnya kurang dari 20 mg/hari (Eaton et al., 1997). Sayur, buah, umbi-umbian, kacang, dan sumber sayur

lainnya selain sereal kandungan asam fitatnya jauh lebih sedikit daripada serat yang dimakan oleh masyarakat industry yang bersumber dari sereal. Serat larut yang biasanya ada pada buah dan sayur bisa mengurangi jumlah total LDL. Sedangkan, diet rendah serat bisa menyebabkan konstipasi, usus buntu, hemoroid, dan hernia (Cordain et al., 2005).

Tinjauan Pustaka Cordain, L., Brand Miller, J. Boyd, E., Mann, N., Holt, S.H.A., Speth, J.D. 2000. Plant-animal subsistence ratios and macronutrient enery estimations in worldwide hunter-gatherer diets. American Journal of Clinical Nutrition, 71: 682-692. Cordain, L. 2002. The Nutritional Characteristic of a Contemporary Diet Based upon Paleolithic Food Groups. Journal of the American Nutraceutical Association, 5: 15-24. Cordain, L., Eaton, S.B., Sebastian, A., Mann, N., Lindeberg, S, Watkins, B.A., OKeefe, J.H., dan BrandMiller, H. 2005. Origins and evolution of the Western Diet: health implications for the 21 st century. Am J Clin Nutr, 81: 341-354. Eaton, S.B., Eaton III, S.B. & Konner, M.J. 1997. Review, Paleolithic nutrition revisited: A twelve-year retrospective on its nature and implications. European Journal of Clinical Nutrition, 51: 207-216. Kuryowicz, W. & Kopczyski, J. 1986. Diseases of civilization, today and tomorrow. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 2: 253-265. Lindeberg, S. Jonsson, T. Grandfeldt, Y., Borgstrand, E., Soffman, J., Sjostrom, K., Ahren, B. 2007. A Palaeolithic diet improves glucose tolerance more than a Mediterranean-like diet in individuals with ischaemic heart disease. Diabetologia, 50: 1795-1807. O'Keefe, .JH. Jr & Cordain, L. 2004. Cardiovascular Disease Resulting From a Diet and Lifestyle at Odds with Our Paleolithic Genome: How to Become a 21st-Century Hunter-Gatherer. Mayo Clin Proc., 79: 101-108.

Anda mungkin juga menyukai