Anda di halaman 1dari 187

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM PELANGGARAN MEREK TESIS

Oleh

JULI AGUNG PRAMONO 077005045/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM PELANGGARAN MEREK TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh

JULI AGUNG PRAMONO 077005045/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM PELANGGARAN MEREK : Juli Agung Pramono :077005045 : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) (Svafruddin S. Hasibuan, SH, MH)

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi

Di rek tu r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tanggal lulus : 04 Maret 2009

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Telah diuji pada Tanggal 04 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum 2.Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH 3.Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 4.Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

ABSTRAK

Merek adalah salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang saat ini memerlukan perhatian, terutama dengan munculnya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaranpelanggaran hak atas merek. Permasalahan yang menonjol di dalam dunia perdagangan yaitu merek dagang banyak dipalsukan dengan banyaknya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaran merek disebabkan karena mulai adanya kesadaran masyarakat bahwa hak atas merek hams dilindungi. Sedangkan permasalahan di dalam penelitian ini adalah Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran Hak Merek dalam perundang-undangan; Bagaimana Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran Merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas; Bagaimana langkahlangkah preventif untuk mencegah teljadinya pelanggaran Hak Merek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut jugs sebagai penelitian dokttinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum noimatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek barn akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file), menggantikan sistem deldaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Pemiagaan. Ketentuan Pidana yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90 95 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Inti pada setiap bisnis yang sukses adalah merek yang digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengidentifikasikan barangijasa yang dijualnya. Sehingga dengan demikian pasar Indonesia akan terbebas dari barang bermutu rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi di sisi lain, tampaknya tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum di masyarakat Selain itu jugs, sosialisasi oleh pemerintah secara tens menerus mengenai pentingnya HKI dan khususnya penegakan hukum atas merek di masyarakat dinilai masih sangat penting. Pelanggaran hak merek itu mulai meningkat di Indonesia sejak kebijakan Pasar bebas yang dicanangkan pemerintahan Indonesia, dimana Investor

Asing diberikan kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia. Untuk melindungi para pengusaha ataupun pemegang hak merek dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaflar, maim perlu diberikan perlindungan hukum terhadap hak merek barang terdaflar. Perlindungan hukum dapat berupa pemberian sanksi hukum terhadap pelanggaran hak merek, baik dalam bentuk ganti rugi maupun dalam bentuk tuntutan pidana. Kata Kunci : Pertanggungjawaban direksi, Pelanggaran merek

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

ABSTRACT Brand is one part of the Intellectual Property Rights, which currently require attention, especially with the emergence of the reports submitted to the violations of the rights to the brand. Problems are prominent in world trade that is the trademark of many many falsified reports to be submitted to the violation of due start of a public awareness that the right to the brand should be protected. While, the problems in this research is how forms collision of the brand rights in legislation; HowArrangement in the case of responsibility of Board of directors Limited Liability in the case collision of brand conducted by Legal Body Limited Liability; How stages/steps of preventive to prevent the happeningof collision of brand rights. Methods used inthis research is thejudicial normative. Normative research method is also called as a doctrinal research (doctrinal research) is a study that analyzes whether a law writteninthebooks (lawas it is writteninthe book), andthelawdecidedbyjudges throughthe court process (lawis decided by the Judge through the judicial process). Research based on normativelawandsecondarydataonthesteps speculativetheory-and-qualitativeanalysis of normative. The Indonesiangovernment has imposed theTrademarkLawNo.15Year 2001on 1 August 2001. LawBrand. No.15 Year 2001 adopting a systemwhere konstitutif legal protection to holders of the newbrandwill beobtainedwhen the brand was registered(first tofile), replacing the systemof declarative(first touse)thefirst timeit was law. 21of 1961onCorporateBrandand Brand Business. Criminal provisions that set of sanctions and fines for violators of the brand set out in Article 90 - 95law. 15 years in 2001 on Brand. Criminal imprisonment imposed on the accusedis the longest five(5) years, while themaximumfineof Rp. 1,000,000,000(onebillion rupiah). Onthe core business of everysuccessful brandisusedbybusinesstoidentifythegoods / services sold Trademark lawhas set the criminal provisions that aimtodefendthe interests and provide protection to brand owners in the area and the people (consumers) from the deeds of thosewho arenotresponsible. Sothemarketwillbefreedfromlow-qualitygoodsandcannotbe accountable. But on the other hand, seems not easy to do in the lawenforcement community. Besides, socialization by the government continuously about the importance of HKI and especially enforcement of the brand in the community are still considered very important. Violations of theright brands begantoincreaseinthefreemarket policies since thegovernment declaredIndonesia, where Foreign Investor was giventheopportunitytoplant intheIndonesian capital. To protect the rights holder or the brand of legal acts against the rights of the registered brand goods, the need to be given legal protection of the rights of registered brand goods. Protection of the lawcan formthe legal sanctions against violations of rights, whether in the form of compensation or inthe formof criminal charges.

Keywords: Liability of directors, Violations of the brand

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum/Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul tesis ini adalah : "Pertanggungjawaban Direksi

Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek" Di dalam


menyelesaikan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. dan Syafruddin Sulung Hsb, S.H., M.H. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada : 1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

2. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga tesis ini selesai di tulis. 3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 4. Bapak Syafruddin Sulung Hsb, S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan tesis ini. 5. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada Allah SWT. 6. Kepada Istriku Puspita Handayani, SH dan Anak-anakku Arif Pramono dan Adityo Ghalyh Parama, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do'a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 7. Kepada Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana., dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Semoga Allah SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan tesis ini.

Medan, Februari 2009 Penulis,

JULI AGUNG PRAMONO

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

RIWAYAT

HIDUP

Nama

Juli Agung Pramono

Tempat/Tgl. Lahir : Pacitan / 01 Juli 1975 Jenis Kelamin Agama Status Istri Anak : Laki-Laki : Islam : Menikah Puspita Handayani, SH Arif Satrio Pramono Adityo Ghalyh Parama Pendidikan A. Umum TK Bhayangkari Tahun 1982 SD Negeri 1 Brawijaya Sukabumi Tahun 1988 SMP Negeri 2 Sukabumi Tahun 1991 SMA Negeri 1 Sukabumi Tahun 1994 Strata Satu (51) Fakultas Hukum Univ. Panca Sakti Tegal Tahun 2003 Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Univ. Sumatera Utara Tahun 2009 B. Kepolisian : Akademi Kepolisian Tahun 1998 PTIK Tahun 2005 : Pama Polda Jateng Tahun 1999 :

Pamapta PKO Polresta Tegal Jateng Tahun 1999 Kapolsek Losari Polres Brebes Jateng Tahun 2000 Kaset OPS PKO Polres Brebes Jateng Tahun 2002 : Apolsek Bumiayu Polres Brebes Jateng Tahun 2002 Pama PTIK Jakarta Tahun 2003 : Pama Polda Sumut Tahun 2005 : Kanit III/ Opsnal Subbid Paminal Tahun 2005 : Kanit Idik 4/ Ranmor Poltabes Medan Tahun 2005 PS. Wakasat Reskrim Poltabes Medan Tahun 2005 : Kapolsekta Medan Sunggal Poltabes Medan Tahun 2005 : Kasat Reskrim Pokes Labuhan Batu Tahun 2006 : Katim Negoisasi Subden Penindak Den 88 AT Tahun 2006 PS. Kasubden Penindak Den 88 AT Tahun 2007 : Wakasat Reskrim Poltabes MS Tahun 2007 C. DIK/ SUS Dik Das PA Reserse Tahun 1999 Kibi Paja Akpol (Intermediete) Tahun 2000 Jurlan PA Idik Narkoba Tahun 2002 : Counter Terorism Invest (CTI) Tahun 2007 Clic Ilea Bangkok Tahun 2008 : : : :

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

D.Ketrampilan Scuba Driver/ Selam Polri Tahun 1997 : Sar Polri Tahun 1998

: Scuba Driver/ Selam TNI AL Tahun 1999 E. Kepangkatan : Letda Pol tahun 1998 : Iptu Tahun 2002 : AKP Tahun 2005

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................................. RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................. BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................................
ii iii

vi ix
1

A. Latar Belakang............................................................. 1 B. Permasalahan ..............................................................13 C. Tujuan Penelitian........................................................ 13 D. Manfaat Penelitian ..................................................... 14 E. Keaslian Penelitian...................................................... 14 F. Kerangka Teori dan Konsepsi....................................... 15

G. Metodologi Penelitian ................................................ 22

BAB II : BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN ............................................................. 29


A. Bentuk-bentuk Praktek Perdagangan Tidak Jujur..................36 B. Perlindungan Merek di Indonesia ................................. 39 C. Subjek Hukum Pelanggaran Merek .................................49

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

D. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pelanggaran Merek di Dalam KUHP.....................................................51 E. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Perusahaan (Korporasi) Pada Sumber-Sumber Hukum Pidana Diluar KUHP .....55

BAB III : PENGATURAN DALAM HAL PERTANGGUNG JAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM KASUS PELANGGARAN MEREK YANG DILAKUKAN OLEH BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS ............................................................... 70

A. Berlakunya Fiduciary Duty dan Bussiness Judgement


Rule Bagi Direksi .................................................. 70 1. Fiduciary Duty dan Prinsip Bussiness Judgement Rule

dalam Pasal 97 UUPT..........................................71


2.................Tanggung Jawab Direksi Menurut UUPT

80

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelanggaran Oleh Korporasi Sebagai Salah Satu Perkembangan Tindak Pidana87 C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Merek ..................................93 D. Analisis Kasus Pelanggaran Merek Nomor : 1314/Pid.B/2007 /PN.Mdn dengan Terdakwa Kamen ......................................................................... 101

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB IV : LANGKAH-LANGKAH PREVENTIF UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PELANGGARAN HAK MEREK .................................................................................. A. Sosialisasi UU Merek B. Pendaftaran Merek ...................................................... ........................................................... ................................................

111 111 114 127

C. Lisensi dan Pengalihan Hak

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

........................................................ 138 138 141

A. Kesimpulan ....................................................................... B. Saran ................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

143

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


Dalam era pembangunan yang sejalan dengan konvensi-konvensi internasional, bahwa peranan merek jadi sangat penting dalam menjaga persaingan usaha dan harus disesuaikan dengan peraturan merek. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, juga disebut pertimbangan bahwa hukum merek harus disesuaikan dengan perjanjian Trade

Related Aspect of lntelectual Property Right

sebagaimana diberlakukan dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Pengesahan Agreement World

Trade Organization.
Dalam hal ini merek sebagai salah satu wujud karya intelektual, juga memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia. Merek juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu pemisahan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usul barang (Indication of

Origin). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan


perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek selanjutnya dapat disingkat menjadi UU Merek, diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap pemegang hak merek barang terdaftar dari perbuatan melawan hukum. 1
i

Dikutip dan http://www.carolinafirst.com/, Diakses hari

Minggu, tanggal 13 Juli 2008


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Dalam prakteknya pernah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak atas merek barang terdaftar sebagai usaha persaingan yang tidak jujur seperti peniruan, pemalsuan, atau pemakaian merek tanpa hak terhadap merek-merek tertentu. Keadaan seperti ini tentu saja tidak hanya akan merugikan pemilik merek, tetapi juga akan merugikan para konsumen. Dapat diketahui bahwa ada beberapa tempat di kota Medan yang dijadikan lokasi penjualan barang-barang dengan merek-merek palsu, misalnya: Pusat Pasar Sentral, Pasar Petisah, Pasar Murah Medan Plaza, dan lain sebagainya. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan kepada pihak lain untuk menggunakannya. Pada prateknya penerapan hak atas merek ini sering tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga hal ini menimbulkan kerugian bagi pemilik merek. Tindakan yang dapat

menimbulkan kerugian ini merupakan tindakan pelanggaran terhadap merek. Negara memiliki tanggung jawab melakukan perlindungan atas penerapan hak atas merek tersebut. 2 Kemajuan teknologi saat ini membuat arus informasi menjadi sangat mudah didapat apalagi dengan keberadaan internet. Selain membawa kemudahan dalam mengakses informasi ternyata internet juga membawa masalah dalam perlindungan para pihak yang menggunakan teknologi ini.

Dikutip dan http://www.cbcindonesia.com/,

Diakses hari

Minggu, tanggal 13 Juli 2008


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Identitas di dalam internet sering disebut dengan nama domain (domain name) sesuai dengan nama yang didaftarkan pemilik situs. Permasalahan terjadi bila nama domain yang didaftarkan ternyata nama yang telah didaftarkan pada daftar merek di suatu negara. Menyikapi hal ini perlu dibedakan dengan jelas adanya perbedaan antara merek dan nama domain bahwa setiap nama domain belum tentu merek dari suatu produk tetapi keduanya sama-sama merupakan jati diri dari suatu produk barang atau jasa. Nama domain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan merek, tetapi perlu ditegaskan bahwa nama domain tidak identik dengan merek karena meskipun keduanya sama-sama merupakan jati diri suatu produk barang atau jasa, atau suatu nama perusahaan atau badan hukum lainnya. Ini berarti terdapat kemungkinan penggunaan nama tertentu yang merupakan merek dari suatu produk, barang atau jasa. Memang terdapat perbedaan mengenai cara perolehan merek dan nama domain, pada merek berlaku prinsip first to file yang mengatur perlindungan bagi pemegang hak atas merek terdaftar dalam daftar merek nasional sedangkan nama domain didapatkan dengan system first come first serve, seseorang yang mendaftarkan terlebih dahulu itulah yang diakui. 3 Sengketa nama domain yang merupakan merek suatu barang atau jasa ini menjadi masalah yang penting mengingat kerugian bagi pemilik nama

Dikutip dan http://www.ebizzasia.com/,

Diakses hari Minggu,

tanggal 13 Juli 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

merek yang ternyata digunakan nama domain dan timbul kesesatan pada konsumen (user) saat browsing nama domain palsu. Forum internasional memang telah menyediakan institusi internasional yang didirikan WIPO dan ICANN disebut Center. Institusi ini menggunakan WIPO Mediation and Arbitration

Uniform Domain Name Dispute Resolution

Policy (UDRP) sebagai dasar hukum menetapkan suatu perbuatan sebagai pelanggaran nama domain atau tidak. Keberadaan institusi ini memang sangat berperan penting dalam memutuskan sengketa nama domain yang termasuk merek, mengingat internet memiliki jaringan yang luas dan tidak terbatas pada suatu teritorial negara. Namun perlu diketahui batas kewenangan institusi ini hanyalah sebatas memutuskan apakah terjadi penyalahgunaan nama domain suatu produk dengan itikad buruk atau tidak, seperti dalam ketentuan antara lain: pertama, nama domain tersebut sama atau memiliki kemiripan yang membingungkan dengan merek terdaftar atau logo yang dimiliki oleh pihak ketiga. Kedua, pihak pemegang nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tersebut. Ketiga, nama domain yang didaftarkan telah digunakan dengan itikad buruk. Setelah suatu nama domain terbukti secara administratif oleh penggugat maka ICANN segera me-register ulang kepemilikan nama domain yang tidak

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

sah itu. 4 Ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan sebenarnya pihak yang dirugikan (pemegang nama merek yang terbukti dilanggar nama domainnya) dapat melakukan upaya hukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan bukan secara perdata saja tetapi juga secara pidana. Dasar hukum yang bisa digunakan adalah Pasal 90-94 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 dalam Bab Ketentuan Pidana bagi pelanggar merek. UU Nomor 15 Tahun 2001 mengatur 2 (dua) macam sanksi yang bisa dijatuhkan secara kumulatif ataupun alternatif yaitu pidana penjara dan/ atau denda. Sebagai bagian dari hak atas kekayaan intelektual (HKI) merek memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis. Fungsi merek tidak hanya sekadar untuk membedakan suatu produk dengan produk yang lain, melainkan juga berfungsi sebagai aset perusahaan yang tidak ternilai harganya, khususnya untuk merek-merek yang berpredikat terkenal (well known marks). Melalui
-

perkembangan perdagangan antar negara, yang dapat dikatakan maju sangat pesat, Indonesia "dibanjiri" merek-merek baru dari luar negeri. Tidak hanya brand brand terkenal dari negara Eropa seperti Gucci, Prada, Mercedes Benz,
-

dan Siemens yang masuk ke Indonesia, tetapi juga

brand terkenal dari negara

Asia tidak kalah bersaing untuk masuk. Sebut saja Giordano dari Hong Kong, Bread Talk dari Singapura, Jimmy Choo dari Malaysia, dan masih banyak lagi. Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Merek), disebutkan bahwa
4

Dikutip dan http://www.fdic.gov.html/,

Diakses hari Minggu,

tanggal 13 Juli 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

untuk dikatakan sebagai suatu merek terkenal maka harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, dan investasi merek di beberapa negara yang disertai bukti pendaftaran merek tersebut. Mengingat tingkat kerawanan terhadap pelanggaran atas merek-merek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu mekanisme perlindungan hukum secara khusus agar kasus-kasus pelanggaran merek terkenal tidak akan berkembang lebih banyak lagi. Manusia adalah merupakan subyek hukum, akan tetapi manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum yang dikenal. Selain manusia, masih terdapat subyek hukum lainnya yang dikenal dengan badan hukum (rechtspersoon). Di antara banyak badan hukum yang dikenal dalam doktrin hukum, salah satu yang amat dikenal adalah Perseroan Terbatas (PT). Adapun alasan para pihak lebih memilih bentuk perseroan terbatas adalah setiap orang pemilik dana selalu menginginkan resiko seminimal mungkin selain itu juga demi efisiensi.5 Perseroan terbatas dapat dikatakan efisien karena perseroan terbatas dapat digunakan untuk

mengakomodasikan kegiatan usaha dari yang terkecil yaitu bisnis perorangan (one person business) sampai yang terbesar
-

yaitu
Djaidir, Undang-Undang Perseroan Terbatas, (Medan: Disajikan dalam Seminar Sehari Mengenai Undang-Undang tentang Hak Tanggungan dan UndangUndang tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, 21 Juni 1997), hal. 1
5

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

bisnis multinasional. Selain itu perusahaan juga dapat digunakan untuk kegiatan non profit yang bertujuan usaha tidak untuk membuat keuntungan. UUPT di dalam beberapa pasal pengaturannya ditujukan untuk memberi perlindungan kepentingan bagi setiap pemegang saham, kreditur dan para pihak ketiga yang berhubungan dengan aktivitas perseroan terbatas. Kegiatan berusaha tersebut dapat dilakukan secara pribadi dengan segala konsekuensinya dan dapat pula dilakukan dalam bentuk kerja sama antar pribadi atau antar kelompok. Di samping itu, mengenai bentuk usaha yang dipilih pada dasarnya sangat bergantung pada berbagai hal baik faktor internal maupun eksternal dari para pihak yang mendirikan perusahaan. Sedangkan berdasarkan sumber dana yang dimanfaatkan untuk mendirikan perusahaan maka bentuk perseroan terbatas sangat diminati.
6

Yang memaparkan bahwa pada kehidupan suatu perusahaan sering sekali informasi yang diketahui oleh para pesero minim sekali. Sehingga dalam perseroan sendiri cara menyajikan informasi dan gambaran umum adalah merupakan kemajuan dari suatu perusahaan khususnya PT. Hal ini juga yang mengacu pada permasalahan tentang isi dari anggaran dasar dari suatu PT. Akan tetapi ketentuan hukum yang mengatur dari ini semua masih tidak ada, di mana tidak adanya peraturan yang menjelaskan kapan suatu RUPS dalam PT dapat dilaksanakan.
6 Marzuki Usman, Djoko Koesnadi, Arys Ilyas, Hasan Zein M., I Gede Putu Ary Suta, I Nyoman Tjager, Srihandoko, ABC Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990), Hal. 165

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Di samping itu, cukup beralasan mengapa perseroan terbatas yang diminati, tidak lain karena secara filosofi bahwa pendirian perseroan terbatas yang dilakukan oleh sekolompok orang tersebut semata-mata memiliki tujuan untuk memajukan perusahaan. UUPT yang telah ada jika dibandingkan dengan peraturan yang lama isinya cukup maju, ketentuan-ketentuan dalam UUPT dapat dikatakan lengkap dan terperinci. Di dalamnya dikenal perbedaan perseroan tertutup dengan perseroan terbuka, diatur tentang bagaimana perlindungan modal dan kekayaan perusahaan, juga tentang penggunaan laba, pengambilalihan perseroan, juga bagaimana jika perseroan melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini UUPT lebih terkonsentrasi pada pembahasan mengenai Anggaran Dasar, RUPS dan cara pendirian PT. Masalah yang paling signifikan yang tidak tergambar dalam UUPT ini adalah pertanggungjawaban pengurus apakah itu pertanggungjawab secara perdata maupun pertanggungjawaban secara pidana.
7

Dalam UUPT terdapat pengaturan yang berkenaan dengan organ perseroan. Adapun yang menjadi organ perseroan tersebut yaitu Pertama rapat umum pemegang saham, Kedua, direksi dan Ketiga, komisaris. Rapat umum pemegang saham (selanjutnya disingkat dengan RUPS) adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan oleh direksi dan komisaris.
I. G, Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2002). Hal 257
7

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh direksi dalam kasus pelanggaran merek ini, pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/ individual. Jadi menganut sistem pertanggungjawaban individual/ personal ("individual/ personal responsibility"). Pertanggungjawaban ini

merupakan prinsip umum yang wajar, bahwa pertanggungjawaban bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/para pelaku itu sendiri (asas

personal) dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang bersalah (asas


kesalahan/asas culpabilitas). Undang-undang Merek Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan merek yang bersifat represif dibatasi hanya bagi perlindungan hukum untuk barang atau jasa yang sejenis saja. Padahal dalam kenyataannya beredar banyak barang yang menggunakan merek terkenal terdaftar secara tanpa hak, tetapi digunakan pada barang yang tidak sejenis. 8 Berkaitan dengan merek terkenal, sebenarnya dalam banyak kasus pengadilan telah memperluas perlindungan hukum merek tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip itikad baik. Ada niat yang tidak baik (itikad buruk) untuk membonceng ketenaran merek orang lain. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 542/1980 G Tanggal 21 Agustus 1981 mengenai perkara Richard Dunhill
8

Dikutip dan http://www.fdic.html/, Diakses hari Minggu,

tanggal 13 Juli 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

dan John Wood melawan Lilien Sutan dan Pemerintah Indonesia tentang merek Dunhill. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui Keputusannya tanggal 19 Juli 1984 Reg. No. 370 K/Sip/1983. Selanjutnya, dalam perlindungan merek represif, di samping adanya tuntutan ganti rugi melalui gugatan perdata maupun penjatuhan sanksi pidana, pemilik merek memiliki hak mengajukan pembatalan merek. Gugatan pembatalan merek ini dilakukan apabila ternyata merek yang dimiliki seseorang (termasuk merek terkenal) telah didaftarkan pada Kantor Merek.
9

Gugatan pembatalan tersebut menurut Pasal 68 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan seperti dimaksud Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Gugatan Pembatalan tersebut tidak hanya dapat diajukan oleh pemilik terdaftar, tetapi juga pemilik merek tidak terdaftar (termasuk merek terkenal) setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal (Kantor Merek) (Lihat Pasal 68 ayat 2 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek). Sampai saat ini, terdapat 168 Merek dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
10

. Merek-merek yang dibatalkan itu antara lain merek: Waskite

Reiki (Putusan MARI. No 040 K/N/ HAKI/2004); Armani (Putusan MARI

Ibid. 1 Ibid
9

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

No.15 PK/N/HAKI/2004); Watson (Putusan PN. Niaga Jkt.Pst No.14/Merek 2004), versus (Putusan MARI No.06 K/N/HAKI/2004 Jo. Putusan PN Niaga Jkt.Pst. 01 /MEREK/2004); Jiangdong, (Putusan MARI Rol No.12 K/N/HAKI/2004 Jo. Putusan PN Niaga Jkt.Pst. No. 17/MEREK/2004), dianalisis dalam penelitian ini adalah merek pipa invilon AV dalam PN. Medan No. 1314/Pid.B/2007/PN.Mdn. Perlindungan hukum merek dan merek terkenal yang diberikan UU Merek yang bersifat preventif dan represif sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (3) dan (4) UU Merek sudah selaras dengan ketentuan Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs Agreement), Trade Related mencakup
11

dan yang Putusan

perlindungan terhadap barang atau jasa baik yang sejenis maupun bukan, yaitu dengan pendaftaran merek. Di samping itu, diatur pula hal yang berkaitan perlindungan merek bersifat represif.
12

Perlindungan hukum terhadap merek merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin adanya perdagangan yang sehat Terbatas (PT) merek itu merupakan (fair). Bagi sebuah Perseroan

asset yang cukup penting, karena dengan

adanya merek tersebut dapat menjadi pembeda dan juga bisa menentukan kualitas dari suatu merek tersebut. Dengan memiliki merek yang sudah teruji dan terkenal serta mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat merupakan suatu kebanggaan bagi PT (Perseroan Terbatas).

Dikutip dari http://www.google.com/trademark/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008 Ibid.
li 12

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Merek sebagai suatu asset riil perusahaan mempunyai fungsi, Sebagai tanda pengenal untuk membedakan barang atau jasa produk dari suatu perusahaan dengan barang atau jasa produk perusahaan lain; sebagai sarana promosi dari suatu produk; sebagai jaminan mutu dari suatu produk, dan sebagai penunjuk asal dari suatu produk
13

. Jika kita melihat fakta-fakta yang

terjadi dalam kasus-kasus merek pada umumnya, sangat banyak contoh-contoh kasus yang bisa dilihat dalam perdagangan saat ini, baik itu yang terjadi antara PT dengan PT maupun antara PT dengan perorangan, contoh kasus antara PT dengan PT adalah seperti kasus yang ada dalam penelitian ini, dimana Saudara Karnen juga merupakan Direktur dari Perusahaan pipa tersebut. Hal yang melatar belakangi penulis membahas masalah pertanggungjawaban direksi perseroan terbatas dalam pelanggaran merek karena studi kasus yang digunakan dalam penulisan ini adalah kasus tindak pidana pelanggaran Merek dengan Nomor: 1314/ Pid.B/2007/PN.Mdn di PN Medan dengan terdakwa Karnen yang melakukan tindak pidana pelanggaran merek pipa AV sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Undang-undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek dan telah diputus pada tanggal 30 Agustus 2007.

13 Dikutif dari bahan kuliah tentang HAKI Syafruddin Sulung Hasibuan tanggal 17 November 2007
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hak merek dalam perundangundangan? 2. Bagaimana Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas? 3. Bagaimana langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak merek?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak merek dalam perundang-undangan. 2. Untuk mengetahui Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas. 3. Untuk mengetahui langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak merek.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam pelanggaran merek. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus mengenai merek. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta konsultan hukum HKI serta badan pengawas HKI, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam HKI mempunyai persepsi yang sama.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas maupun tentang pelanggaran merek namun jelas berbeda dengan penelitian ini. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka Sehingga penelitian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah. asas ini

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi


1. Kerangka Teori Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Pengertian dari konsep "korporasi" ada berbagai macam, salah satunya menurut terminologi hukum "korporasi" (corporation) adalah sekelompok

orang yang secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan.
14

14

Di lain pihak pengertian korporasi

I. P. M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 176.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

termasuk di dalamnya pengertian dari badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan dan organisasi. Dalam pembahasan mengenai Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit)
15

yang

dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek

. Menurut teori

kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur tentang susunan perekonomian Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu. Menurut W. Friedman, maka corak tersebut merupakan penggabungan kedua tuntutan antara kolektivisme dengan individualisme.
16

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembahasan judul penelitian ini adalah Prinsip Duty of Care dan Duty of Loyality. Prinsip Duty of Care

menjelaskan bahwa Pengurus perseroan juga memiliki kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of care). Oleh karena pengurus perseroan umumnya

15 16

Ibid., hal. 14.

Ibid., hal 11

bekerja penuh waktu dan lebih menguasai permasalahan perusahaan, kewajiban berhati-hati yang mereka emban jauh lebih ketat dibandingkan dengan komisaris. Salah satu bagian dari duty of care yang diemban oleh pengurus perseroan adalah kewajiban mengawasi keseluruhan struktur perusahaan sesuai dengan masing-masing tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan. Kewajiban ini bervariasi sesuai dengan besarnya perusahaan. 17 Prinsip Duty of

Loyality ialah kewajiban lainnya yang diemban oleh Direksi sebagai pengurus
perusahaan terikat pada kewajiban untuk loyal (duty of loyality) dan patuh pada perusahaan. Secara teoritis adanya kewajiban tersebut membuat direksi wajib membayar ganti rugi apabila melanggar kewajibannya. Normalnya, apabila terjadi pelanggaran kewajiban pejabat perusahaan diberi peringatan, mutasi atau diberhentikan. Pada dasarnya kedudukan yang dipegang oleh direksi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh dewan komisaris 18 Untuk mengetahui bagaimana berlakunya fiduciary duty dan business

judgement rule bagi direksi perseroan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun


2007 tentang Perseroan terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT), maka harus diperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai tugas pengurusan, kewajiban dan khususnya tanggung jawab direksi perseroan terbatas dalam UUPT.
17

Bismar Nasution, Diktat Kuliah Hukum Perusahaan.(Bahan Fiduciary Duty dan Teori Salomon) SPS USU.Hal 25 Ibid, Hal.27.
18

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008 Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Terkait dengan kegiatan melakukan pengurusan perseroan terbatas yang diatur dalam UUPT dengan kewajiban fidusia bussiness judgement rule, mengatur mengenai (fiduciary duty) dan aturan

dapat dikatakan bahwa ketentuan mendasar yang dalam

fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule

UUPT dapat ditemukan aturan atau ketentuan umumnya dalam Pasal 97 UUPT tersebut. Ketentuan umum tersebut selanjutnya menyebar dalam berbagai pasal lainnya dalam UUPT. Berikut di bawah ini akan diuraikan dan dijelaskan eksistensi fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule dalam Pasal 97 UUPT dan pasal-pasal terkait lainnya.
19

Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan bahwa "Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)". Jika diperhatikan ketentuan adalah penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam Pasal 92 ayat (1) dimana dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan ini UUPT, tugas

kepengurusannya harus: a. b. c. Memperhatikan kepentingan perseroan Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intra vices act)

Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang (khususnya UUPT) dan anggaran dasar.

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 76.
19

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Dari ketentuan ini diketahui bahwa tindakan direksi adalah tindakan yang memiliki tanggung jawab keperdataan. Sebagai pengurus perseroan, direksi adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Apa yang dilakukan oleh direksi yang berada di luar batasan kewenangan yang diberikan kepadanya harus dapat dipertanggung jawabkan olehnya. Dalam hal ini ada tiga jenis pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh direksi, yaitu: a. Pertanggungjawaban terhadap perseroan b. Pertanggungjawaban terhadap pemegang saham; dan terakhir adalah c. Pertanggungjawaban terhadap kreditor. Selanjutnya untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab direksi dalam melakukan pengurusan dalam mencapai tujuan PT yang sudah ditetapkan dalam anggaran dasar, direksi harus membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi dalam penilaian kinerja direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang diserahkan kepada dan untuk disahkan oleh RUPS. Contoh kasus pelanggaran merek yaitu: a. Menggunakan merek yang identik atau yang mirip dengan merek yang sudah didaftarkan oleh pihak lain bagi barang-barang dan jasa yang identik atau mirip. Walaupun barang-barang tersebut adalah merupakan barang-barang asli yang diproduksi dan dijual oleh pemiliknya, tindakan menjual barang-barang tersebut yang

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009

USU Repository 2008

20

b. Menggunakan barang-barang hasil pelanggaran merek untuk dijual walaupun barang-barang tersebut diproduksi oleh orang lain,

memajangnya di toko, menyimpannya di gudang untuk dijual, maka barangbarang yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain tersebut telah digunakan merek atau kemasannya tanpa izin, dan lain-lain, dianggap melanggar merek. Baik membeli atau menyimpan barang-barang tanpa mengetahui bahwa menjual barang-barang tersebut merupakan pelanggaran terhadap merek, maka tindakan tersebut tetap dianggap sebagai pelanggaran merek; c. Menjual atau menggunakan sebuah merek atau kontainer, dan lain-lain.

yang merupakan merek yang digunakan tanpa seijin pemilik merek. Tindakan menggunakan sebuah merek, dan lain-lain, yang merupakan pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh orang lain untuk digunakan sendiri atau memungkin orang lain untuk menggunakannya adalah merupakan

pelanggaran terhadap merek. Lebih jauh lagi, misalnya menggunakan piring atau mangkok "western" yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain untuk
2

Dikutip dan http://www.internetlaw.htmlivirtualbanks/,

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

memberikan jasa, makanan dan minuman untuk digunakan di restoran milik sendiri atau memungkinkan orang lain untuk menggunakannya adalah juga merupakan pelanggaran merek; d. Memproduksi atau mengimpor sebuah merek, kontainer, Atau yang menunjukkan merek yang digunakan tanpa ijin dari pemilik merek tersebut. Walaupun merek tersebut diproduksi atau diimpor berdasarkan pesanan dari orang lain yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sudah terdaftar tersebut, maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran merek;21 e. Memproduksi, menjual atau mengimpor barang-barang untuk tujuan bisnis untuk digunakan sendiri guna memproduksi sebuah merek, kontainer, dll. Yang merupakan merek yang digunakan tanpa seizin dari pemilik merek. Suatu tindakan memproduksi, menggunakan atau mengimpor 'printing block' untuk merek, alat untuk

memproduksi kontainer, dll. Untuk tujuan bisnis tanpa instruksi atau ijin pemilik merek atau orang yang memiliki hak atas merek tersebut adalah merupakan sebuah pelanggaran merek.

Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh direksi dalam kasus pelanggaran merek ini, pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara

21

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

pribadi/individual. Jadi menganut sistem pertanggungjawaban individual/ personal ("individual/ personal responsibility"). Pertanggungjawaban ini

merupakan prinsip umum yang wajar, bahwa pertanggungjawaban bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/para pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang bersalah (asas kesalahan/asas culpabilitas).22 2. Konsepsi Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam studi ini adalah pertanggungjawaban perdata maupun pidana. Yang dimaksud dengan merek adalah merek dagang dan merek jasa yang telah terdaftar dalam daftar umum merek, pada Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan pelanggaran merek adalah pelanggaran terhadap hak pemilik merek dagang dan merek jasa terdaftar yang berupa pelanggaran hak-hak keperdataan maupun pelanggaran pidana merek.

G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian

22

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.
23

Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu (law as it is proses Penelitian langkah-

penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui pengadilan (law is decided by the judge through judicial process). hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
25

24

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik

pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal.118 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.
23 24 25

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 26 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 27 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek.

26 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57. 27 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997),

hal. 42.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009

USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
28

Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu -

penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek. 3. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari: Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302.

28

atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang klasifikasi tinggi.
29

buku komentar

adalah buku dasar ilmu mempunyai

c. Bahan hukum tersier: Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.
3

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

29

Petter Mahmud Marzuki,

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14.
30

Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141. Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dengan menggunanakan penelitian perpustakaan (library research), dengan
31

mengumpulkan bahan-bahan baik itu peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 6. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang -

31

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung :

Bina Cipta, 2004), hal. 97.


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : a.
32

Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut; b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis dalam penelitian ini adalah

atau berkaitan. Kategori-kategori

pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam pelanggaran merek; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian

diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau kualitatif. atas

peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan permasalahan.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,

(Jakarta : Grafindo, 2006), hal. 225.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB II BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM P ERUND AN G-UND AN GAN Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan. Dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan, merek mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan dalam memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda. Dengan memiliki suatu merek berarti telah dapat diterapkan salah satu strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek mempunyai mutu dan karakter yang baik yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar. Merek merupakan bagian dari HKI yang menembus segala batas. Dimana-mana ada usaha untuk memberikan perlindungan secara lebih besar. Terutama bagi negara-negara yang sudah maju, antara lain Amerika Serikat yang menghendaki adanya perlindungan terhadap HKI warga negaranya dari
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

jasa

negara-negara lain, supaya arus teknologi penemuan hak cipta serta merek merek mereka yang sudah terkenal di bidang perdagangan, yang telah mendapatkan "goodwill" secara seksama dengan pengorbanan banyak biaya
33

dan tenaga dapat dilindungi secara wajar oleh negara-negara lain.

Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreements mengatur tentang definisi merek sebagai berikut : "Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademark. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services. Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually percetible". Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreements, setiap tanda atau gabungan dari tanda-tanda yang dapat membedakan barang dan jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda semacam itu, khususnya, kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka, dan gabungan warna, serta setiap gabungan dari tanda semacam itu, dapat didaftarkan sebagai merek dagang.
Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs). (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 5-6. Lihat juga Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property SocietyllIPS) pada tanggal 19 20 September 2001 hal. 1 bahwa: "Merck sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek (dengan brand image-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu merek dapat merupakan asset individu maupun asset perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, tentunya apabila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik."
33

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai "unsur pembeda".
34

Merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak yang tercantum

dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, yaitu antara lain: Pasal 4 menyebutkan: Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.

Pasal 5 menyebutkan: Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; b. Tidak memiliki daya pembeda; c. Telah menjadi milik umum; atau d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (sering kali disebut dengan "daya pembeda") adalah satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek. Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) Persetujuan TRIPs tersebut adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya
34 Pemerintah RI telah menandatangani Persetujuan TRIPs pada tanggal 15 April 1994 dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Selain itu juga telah meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979, dan Trademark Law Treaty (TLT) melalui Keppres No 17 Tahun 1997.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

pembeda itu tadi. Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris." Dalam Konvensi Paris, penolakan suatu perlindungan diperbolehkan apabila registrasi atau pendaftaran ketiga di negara yang bersangkutan merek yang

melanggar

hak-hak

pihak

terdahulu

apabila

bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda, atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif, atau apabila merek tersebut

bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau ketertiban umum yang diterima masyarakat Sementara daya pembeda adalah kunci utama bagi perlindungan menurut Persetujuan TRIPs.
35 Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Op. Cit., hal. 6-7. Lihat Pasal 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merck: "Merck adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa." Lihat juga Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak


akan berkembang baik jika suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Adanya pembajakan, jelas akan merugikan tidak hanya bagi para pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek tersebut, tetapi juga bagi para konsumen. Merek-merek terkenal tertentu, sebagai contoh misalnya CARTIER, LEVI'S dan NIKE, telah mengembangkan kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi terhadap barang atau produknya, prestise karena upaya promosi yang gencar dan investasi yang besar yang dilakukan oleh pemilik merek sehingga merek-merek tersebut menjadi terkenal di seluruh dunia serta didukung oleh manajemen yang baik. Daya tarik merek-merek dunia ini menyebabkan banyaknya permintaan terhadap produk-produk yang menggunakan merek-merek ini namun sayangnya permintaan ini sering dipenuhi oleh pemalsu yang memproduksi dan mendistribusikan produk-produk yang tidak sah. Pemalsu memasarkan produknya ke seluruh dunia, dari Hong Kong hingga New York dimana kotakota tersebut dibanjiri dengan produk-produk palsu. Dari segi ekonomi maupun segi-segi lainnya, pemilik merek menderita kerugian akibat penjualan produkproduk palsu ini. Produk palsu biasanya murah dan berkualitas lebih rendah dibandingkan dengan produk aslinya. Tindakan pemalsuan merek, tentu akan mengurangi kepercayaan pihak asing terhadap jaminan perlindungan atas merek yang mereka miliki.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Akibatnya muncul ketidakpercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hak atas merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia ataupun untuk melakukan hubungan dagang dengan pihak Indonesia.
36

Dalam banyak kasus, peniruan merek secara tidak bertanggung jawab untuk barang yang sejenis selain merugikan pemilik merek yang sah, juga akan merugikan masyarakat umum, khususnya para konsumen, karena merupakan suatu perbuatan curang yang menciptakan kekacauan mengenai asal-usul barang atau usaha industri dan dagang, mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang industrial dan komersial pemilik merek yang sesungguhnya dengan adanya pelanggaran terhadap merek, serta mengelabui khalayak ramai berkenaan dengan kualitas suatu barang. Contoh kasus pelanggaran merek yaitu: a. Menggunakan merek yang identik atau yang mirip dengan merek yang sudah didaftarkan oleh pihak lain bagi barang-barang dan jasa yang identik atau mirip. Walaupun barang-barang tersebut adalah merupakan barang-barang asli yang diproduksi dan dijual oleh pemiliknya, tindakan menjual barang-barang tersebut yang dimasukkan ke dalam beberapa kantong, yang menunjukkan merek yang sama seperti merek yang sudah
Lihat Laporan USTR 2005 Special 301 Report yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List. Selain Indonesia, negaranegara yang juga termasuk dalam kategori Priority Watch List adalah Argentina, Brazil, Mesir, India, Israel, Kuwait, Libanon, Pakistan, Filipina, Rusia, Turki dan Venezuela. USTR menyatakan bahwa negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List adalah negara yang tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai maupun penegakan hukumnya. Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPS, GATT dan Putaran Uruguay, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 27.
36 37

37

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

terdaftar pada kantong-kantong tersebut, dianggap, sebagai tindakan pelanggaran merek; 38 b. Menggunakan barang-barang hasil pelanggaran merek untuk dijual walaupun barang-barang tersebut diproduksi oleh orang lain,

memajangnya di toko, menyimpannya di gudang untuk dijual, maka barangbarang yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain tersebut telah digunakan merek atau kemasannya tanpa izin, dan lain-lain, dianggap melanggar merek. Baik membeli atau menyimpan barang-barang tanpa mengetahui bahwa menjual barang-barang tersebut merupakan pelanggaran terhadap merek, maka tindakan tersebut tetap dianggap sebagai pelanggaran merek; c. Menjual atau menggunakan sebuah merek atau kontainer, dan lain-lain. yang

merupakan merek yang digunakan tanpa seijin pemilik merek. Tindakan menggunakan sebuah merek, dan lain-lain, yang merupakan pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh orang lain untuk digunakan sendiri atau memungkin orang lain untuk menggunakannya adalah merupakan

pelanggaran terhadap merek. Lebih jauh lagi, menggunakan piring atau mangkok "western" yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain untuk memberikan jasa, makanan dan minuman untuk digunakan di restoran milik sendiri atau memungkinkan
38

Dikutip dan http://www.internetlaw.htmlivirtualbanks/, Diakses hari Minggu, tanggal 13

Juli 2008
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

orang lain untuk menggunakannya adalah juga merupakan pelanggaran merek; d. Memproduksi atau mengimpor sebuah merek, kontainer, Atau yang menunjukkan merek yang digunakan tanpa ijin dari pemilik merek tersebut. Walaupun merek tersebut diproduksi atau diimpor berdasarkan pesanan dari orang lain yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sudah terdaftar tersebut, maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran merek; 39 e. Memproduksi, menjual atau mengimpor barang-barang untuk tujuan

bisnis untuk digunakan sendiri guna memproduksi sebuah merek, kontainer, dll. Yang merupakan merek yang digunakan tanpa seizin dari pemilik merek. Suatu tindakan memproduksi, menggunakan atau mengimpor 'printing

block' untuk merek, alat untuk memproduksi kontainer, dll. Untuk tujuan
bisnis tanpa instruksi atau ijin pemilik merek atau orang yang memiliki hak atas merek tersebut adalah merupakan sebuah pelanggaran merek.

A. Bentuk-Bentuk Praktek Perdagangan Tidak Jujur.


a. Praktek peniruan merek dagang. Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upaya-upaya

" Ibid.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah terkenal untuk menimbulkan kesan seakanakan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk terkenal tersebut.4

b. Praktek pemalsuan merek dagang. Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara memproduksi barangbarang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya.

c.

Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek. Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu. Prinsip adanya `itikad baik' juga merupakan ketentuan yang sangat

penting mengingat ketentuan ini juga merupakan ketentuan internasional

Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 202.
40

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 BIS Konvensi Paris yaitu bahwa setiap negara peserta terikat untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif agar tidak terjadi persaingan yang tidak jujur.41 Lebih lanjut Pasal 10 ayat 2 (dua) Konvensi Paris menentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan

honest practice in industrial and commercial matters


perbuatan persaingan tidak jujur.

merupakan suatu

Sedangkan ketentuan ayat 3 (tiga) menentukan bahwa khususnya dilarang terhadap semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal-usul barang atau berkenaan dengan aktivitas industri dan perdagangan dari pesaing. Juga semua tindakantindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul suatu barang. Prinsip itikad baik' ini harus diterapkan dalam hal kepemilikan suatu merek mengenai siapakah pemilik merek sesungguhnya yang berhak memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 10 BIS Paris Convention for the Protection of Industrial Property (1967) berbunyi sebagai berikut:

41

(1) The Countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective protection against unfair competition. (1) Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition. (2) The following in particular shall be prohibited: 1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Walaupun Undang-Undang Merek No. 15 Tahun

2001 telah memberlakukan prinsip `itikad baik', syaratsyarat permohonan merek yang harus ditolak serta merek

ketentuan-ketentuan lain

mengenai

perlindungan

terdaftar, termasuk sanksi perdata dan pidana, akan tetapi kenyataannya pelanggaran atas merek masih saja

berlangsung, khususnya terhadap merekmerek terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri.

B. Perlindungan Merek di Indonesia Pemerintah Indonesia telah memberlakukan UndangUndang Merek No. 15 Tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 2001.42 Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap

pemegang hak atas merek baru akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file), menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh UndangUndang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.43 Pasal 7 UU No. 15/2001 tentang Merek di bawah ini adalah syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek:
Sebelumnya merek dilindungi berdasarkan UU No. 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 tahun 1992 tentang
42

Merek. UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek sebagai pengganti UU No. 14 tahun 1997 jo UU No. 19 tahun 1992. Undang-undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem deklaratif (first to use), artinya "siapa yang pertama-tama memakai suatu merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas merek yang bersangkutan".
43

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pasal 7 menyebutkan: (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: a. Tanggal, bulan, dan tahun; b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. Nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (2) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. (4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. (5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang Mewakilkan. (7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. (8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. (9) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan Tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden. Ketentuan Pidana yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90-95, yaitu antara lain: Pasal 90 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 91 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 92 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 93 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 94 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: (1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 95 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan. 92,

Dalam hal perlindungan merek, Indonesia sesungguhnya tidak hanya mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan nasional di bidang merek semata, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh TRIPs yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Pembentukan Trade Organization (WTO). Oleh karena perjanjian WTO merupakan perjanjian multilateral, maka bagi negara yang menandatanganinya seperti Indonesia harus taat pada ketentuan tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasikan ketentuan ketentuan Persetujuan TRIPs tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Begitu pula mengenai perlindungan bagi merek terkenal sebagaimana pula telah diatur dalam Konvensi Paris pada Pasal 6 BIS."
Lihat juga Nils Victor Montan, Chander M. Lall dan Clifford Borg-Marks, (Author & Ed.), Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pacific Rim (New York: 1NTA) 2001, hal 97 bahwa: "Menurut Monstret, untuk menentukan apakah merek tersebut termasuk dalam kategori "well known" atau "famous", maka ada beberapa kriteria yang hams diperhatikan, yaitu: 1. pengakuan merek;
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008
44

Agreement on Establishing the World

Persetujuan TRIPs memuat pengaturan mengenai penegakan hukum untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI di negara-negara anggota. Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan administrasi dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual, bila terjadi pelanggaran yang menyangkut Hak Kekayaan Intelektual. Dalam era global, era perdagangan bebas, dimana negara-negara saling mengembangkan usaha-usaha investasi ke negara-negara lainnya di bidang perdagangan yang memiliki aspek HKI, bagian yang terpenting dalam TRIPs adalah Bagian Keempat yang mengatur tentang to Boarder Measures" "Special Requirements Related

yang mengandung prinsip-prinsip pokok dalam

penegakan hukum bila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran.


45

2. penggunaan jangka waktu merek; 3. keluasan dan jangka waktu iklan dan promosi merek; 4. daya pembeda merek tersebut; 5. Derajat keeksklusifan merek serta sifat dan keluasan penggunaan merek yang sama atau serupa oleh pihak ketiga; 6. Sifat barang atau jasa serta jalur perdagangan atas barang dan jasa merek; 7. Derajat reputasi merek melambangkan kualitas; dan 8. nilai komersial yang merek. Lihat Persetujuan TRIPs Pasal 51 dan 52 yang teks aslinya berbunyi sebagai berikut: "Members shall, in conformity with the provisions set out below, adopt procedures to enable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trademark or pirated copyright goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Members may enable such an application to be made in respect of goods which involve other infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Members may also provide for corresponding procedures concerning the suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories." "Any right holder initiating the procedures under Article 51 shall be required to provide adequate evidence to satisfy the competent authorities that, under the laws of the country of importation, there is prima facie an infringement of the right holder's intellectual property right and to supply a sufficiently detailed description of the goods to make them readily recognizable by the customs authorities. The competent authorities shall inform the applicant within a reasonable period
45

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Bagi Indonesia, seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional yang cenderung menciptakan pasar global yang semakin mengarah kepada perdagangan bebas, tersedianya sistem perlindungan hukum yang efektif di bidang HKI semakin diperlukan. Peranan tersebut secara nyata akan terlihat pada dampak dari perlindungan hukum di bidang HKI yang dapat meningkatkan citra Indonesia di forum internasional. Di dalam negeri akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kreatifitas masyarakat di berbagai bidang, mendorong alih teknologi dan alih ilmu pengetahuan, memperbesar informasi di bidang HKI, merangsang penanaman modal asing, melindungi konsumen dan sebagainya.
46

Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap merek terkenal sendiri, landasan hukumnya sudah lama diatur dalam Konvensi Paris, yaitu bahwa negara-negara anggota Konvensi Paris harus menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang pemakaian merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang menimbulkan kekeliruan atau kekacauan dari suatu merek yang dipandang dari suatu negara merek terdaftar atau dipakai sebagai suatu merek yang terkenal dan merupakan merek orang lain. Peranan POLRI dalam Menangani Kejahatan HKI, dimana Polisi Republik Indonesia (POLRI) selaku alat negara, perlu melakukan berbagai
whether they have accepted the application and, where determined by the competent authorities, the period for which the customs authorities will take action." Dalam harian Kompas tanggal 9 April 2002. Mantan Memperindag Rini MS Soewandi melalui Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert B Zoellich meminta agar Pemerintah AS mengubah status Priority Watch List (PWL) menjadi Watch List (WL) bagi Indonesia.
46

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

upaya penanggulangan atas kejahatan atau pelanggaran HKI melalui upaya penegakan hukum dengan melakukan penyidikan atau investigasi. POLRI diharapkan untuk senantiasa berupaya melakukan penegakan hukum berdasarkan kewenangan yang ada melalui kegiatan penyidikan kejahatan HKI yang terjadi. Sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, tahapan proses peradilan pidana terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan (investigasi) dilakukan oleh POLRI; penuntutan merupakan kewenangan Kejaksaan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan menjadi wewenang Hakim. Setelah perkara divonis di Pengadilan, kemudian pelaksanaan putusan Hakim dilakukan oleh Jaksa (selaku eksekutor), sedangkan pembinaan dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan batasan yang tegas antara fungsi-fungsi tersebut di atas, maka dalam penerapannya harus merupakan suatu proses peradilan atau penegakan hukum yang terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek. Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan "penetapan sementara pengadilan" untuk mencegah kerugian yang lebih besar. 47 Terhadap penetapan sementara tersebut, tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau kasasi. Selain itu pemilik merek diberi kesempatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui badan selain badan peradilan, yaitu arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (AP S/ADR). Penetapan sementara pengadilan ini disebut
48

provisional measures, yang

juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang penyelesaian sengketa tentang penanaman moda1.
49

Di dalam Persetujuan

TRIPs mengenai provisional measures diatur dalam Article 50, sebagai berikut: The judicial authorities shall have the authority to order prompt and effective provisional measures:

Lihat Pasal 85 mengenai Penetapan Sementara Pengadilan yang menyatakan bahwa: "Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang: a. pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek;dan b. penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut." Hal ini dimaksudkan untuk mencegah pihak pelanggar menghilangkan barang bukti. Lihat Pasal 84 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 189. Lihat juga http://www.inta.org/., Diakses 20 November, 2008 hal. 6. Bahwa International Trademark Association (ITA) mengingatkan bahwa Article 50 tersebut masih membuka kesempatan bagi pihak yang diduga memalsu merek untuk segera memusnahkan label atau merek yang dipergunakannya tersebut, sehingga "penetapan sementara pengadilan" tersebut dapat ditentang oleh penggugat. Seharusnya bagian ini dianggap sebagai minimum requirements yang diatur dalam Persetujuan TRIPs. Pembuat Undang-undang masingmasing negara seharusnya menyiapkan peraturan yang lebih ketat lagi dengan mempertimbangkan berbagai segi.
47 48 49

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

a. To prevent an infringement of any intellectual property right from occuring, and in particular to prevent the entry into the channels of commerce in their jurisdiction of goods, including imported goods immediately after customs clearance; b. To preserve relevant evidence in regard to the alleged infringement. Proses pendaftaran merek dagang ke Direktorat Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM harus memenuhi syarat-syarat material dan syarat-syarat administrarif Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Setelah permohonan dan tidak ada yang mengajukan keberatan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan maka akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek (BRM) seri B. Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek yang bersangkutan dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Gugatan pembatalan merek dapat diajukan pada Pengadilan Niaga dengan alasan yang tertera dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang merupakan syarat materia1.
50

Penyelesaian sengketa merek dagang dapat diajukan secara perdata dan/atau secara pidana. Bahkan undang-undang memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa dengan Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS/ADR).
Margareth Thatcher Jalmav, Dikutip dari Diakses tanggal 10 Desember 2008.
50

http://digilib.unej.ac.id/,

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009

USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Para pelaku bisnis hendaknya menjunjung tinggi nilai etika moral dalam berbisnis yaitu jujur dan dapat bersaing secara sehat. Perlu dilakukan sosialisasi yaitu berupa penyuluhan dan pembinaan dari Kantor Konsultasi Pendaftaran Hak atas merek kepada masyarakat akan pentingnya perlindungan sebuah merek. Perlunya kejelian, ketelitian dan kecermatan dalam memeriksa suatu permohonan pendaftaran merek kepada Ditjen HKI khususnya hak merek. Begitu pula kepastian hukum dapat mempengaruhi iklim investasi yang lebih baik sehingga peningkatan kualitas para penegak hukum khususnya yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hal yang wajib dipersiapkan dengan matang dan terencana dengan maksimal.51 Persoalan lain berkenaan dengan hal persamaan pada merek terkenal ini adalah soal merek terkenal. Salah satu persoalan berkenaan dengan ini adalah apakah merek terkenal tidak dapat ditiru oleh orang lain dan tidak dipakai untuk barang sejenis saja atau juga untuk barang lainnya, karena statusnya sebagai merek yang sudah terkenal. Telah kita saksikan bahwa berkenaan dengan merek terkenal ini ada ketetapan dari Menteri Kehakiman No. M.02H.G.01.01.1987. Menurut peraturan ini dipandang sebagai merek terkenal apabila di Indonesia terkenal merek itu dan juga sudah dipakai selama jangka waktu yang cukup lama Akan ditolak pendaftaran dari merek yang terkenal itu oleh pihak lain kecuali oleh pihak si pemilik.
5'

Ibid.

Sebelum tahun 1987 maka merek terkenal hanya dilindungi untuk

barang-barang yang sejenis. Dan perkembangannya adalah kemudian bahwa tidak boleh didaftarkannya merek serupa ini, juga berkenaan dengan barang barang yang tidak sejenis.
52

C. Subjek Hukum Pelanggaran Merek


Dengan lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt. No. Tahun 1955), di samping perorangan, badan hukum atau koperasi dapat juga melakukan tindak pidana ekonomi dan dapat dijatuhi hukuman pidana.
53

Di dalam hukum Pidana (KUHP) pada prinsipnya hanya mengenal orang sebagai subyek hukum. Hal ini sesuai dengan hampir setiap kalimat yang terdapat pada setiap pasal dalam KUHP dimulai dengan kalimat "barang siapa". Kata "barang siapa" menunjuk kepada orang, misalnya dalam Pasal 342 KUHP yang dimulai dengan kalimat "seorang ibu", Pasal 413 mulai dengan "panglima tentara", Pasal 414, 415, 418 dan 419 mulai dengan "pegawai negeri", Pasal 420 mulai dengan "hakim yang menerima hadiah dan seterusnya". Seorang ibu, panglima tentara, pegawai negeri dan hakim, menunjukkan orang. Hanya orang/manusia merupakan subyek hukum dalam

52

Undang-undang Merek Baru Tahun 2001,

61.

Sudargo Gautama, dan Rizawanto Winata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002., hal.

H. A. K. Moch. Anwar, Segi-Segi Hukum Masalah Penyelundupan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 35.
53

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008 Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

KUHP yang dapat dituntut dan dihukum. Sedangkan badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum dalam KUHP. Hal ini sesuai dengan Pasal 59 KUHP yang berbunyi: Dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana. Sedangkan dalam Tidak Pidana Ekonomi (TPE), badan hukum seperti perseroan, perserikatan orang atau yayasan, dianggap dapat melakukan tindak pidana ekonomi; badan-badan tersebut dapat juga dipertanggungjawabkan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan-badan tersebut in de sfeer van een rechtsperson).
54

Hal ini

sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUTPE yang menyatakan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dapat dijatuhkan, baik terhadap badan hukum dan lain-lain itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan delik ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun keduanya. Salah satu perbedaan yang menonjol antara KUHP dengan Undang Undang Tindak Pidana Ekonomi ini (dalam hal ini Pelanggaran Merek) ialah bahwa dalam KUHP Pasal 54 dan Pasal 60 ditetapkan "percobaan pelanggaran
54

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

tidak dihukum"; sedangkan dalam Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 Pasal 4 berbunyi "Jika dalam Undang-Undang Darurat ini disebut Tindak Pidana Ekonomi pada umumnya atau Tindak Pindana khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan atau untuk melakukan Tindak Pidana dan percobaan untuk melakukan Tindak Pidana itu, sekedar suatu ketentuan menetapkan sebaliknya. Dan oleh karena dalam No. 7 Tahun 1955 tersebut.
55

itu tidak

Rechten Pasal 4 Undang Undang drt.

Yang menjadi obyek dalam pelanggaran merek ialah semua merek barang-barang" Merek.

"nama/

seperti yang termasuk dalam pengertian Pelanggaran

D.

Pengaturan Tentang M erek di DalamKUHP

Tindak

Pidana

Pelanggaran

Antara KUHP dengan Tindak Pidana lainnya di luar KUHP terdapat titik pertalian. Pertalian ini terletak pada aturan Buku I KUHP, yang dalam Pasal 103-nya berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII, buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain" Hal ini berarti, bahwa ketentuan dalam 8 bab Buku I KUHP berlaku juga bagi Tindak Pidana yang diatur di luar KUHP, kecuali jika undang -

55

Ekonomi(Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan),

hal. 179.

Baharudin Lopa, Tindak Pidana (Jakarta:Pradnya Paramita, 1992),

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

undang

menentukan

lain.

Artinya

undang-undang

yang

bersangkutan itu sendiri menentukan aturan-aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (8 bab KUHP tersebut) atas dasar "lex specialis derogate lex generalis" (aturanaturan

khusus dapat mengenyampingkan aturan-aturan yang umum)


56

Adanya dasar pemikiran peraturan perundang-undangan pidana khusus yang diatur di luar KUHP adalah sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan akan kebutuhan dan perkembangan akan kebutuhan hukum masyarakat, mengingat betapapun tuntas dan sempurnanya

perundangundangan dikodifikasi, namun suatu saat pasti tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan hukum dalam menghadapi perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, maka antara perundang-undangan

pidana khusus (yang berada di luar KUHP) dengan KUHP dapat digambarkan sebagai berikut: "bahwa KUHP

merupakan induk peraturan perundang-undangan pidana, karenanya is merupakan kedudukan sentral, sebab di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP yang berlaku juga bagi perundang-undangan pidana khusus yang diatur di luar KUHP, kecuali jika perundang-undangan khusus tersebut menentukan lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka undangundang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP yang menyebutkan:
56 Soufnir Chibro, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 46.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Dimana pasal tersebut memiliki sifat-sifat khusus, dan karena kekhususannya itu memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan (eksepsional), baik dari bagian umum maupun bagian khusus KUHP, yang mana hal ini dapat juga terjadi terhadap beberapa hal-hal yang menyangkut masalah-masalah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Sepanjang penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak akan melampaui batas kewenangan yang diperbolehkan oleh undang-undang Apabila dihubungkan dengan berlakunya KUHAP, yaitu dengan adanya ketentuan peralihan Pasal 284 ayat 2 maka hal-hal yang merupakan penyimpangan-penyimpangan tersebut masih tetap berlaku pada perundang undangan pidana khusus, sepanjang belum diubah atau dicabut. Untuk memperjelas uraian ini dapat kita perhatikan ketentuan materi Pasal 25 Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 yang berbunyi: Terhadap pengusutan Tindak Pidana Ekonomi selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam "Het Herzine Indonesische Reglement" (baca: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karena HIR telah digantikan KUHAP), kecuali jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain. Adanya kalimat "kecuali" jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain", menyimpulkan adanya penyimpangan dalam Undang-Undang Darurat
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

tersebut, baik dari segi hukum pidana materilnya maupun hukum acaranya/ formalnya, dan hal inilah yang merupakan tetap melekat pada undang-undang yang bersangkutan dan tetap berlaku sekalipun sifatnya sementara, sepanjang belum diubah atau dicabut. Selanjutnya, selain dari yang disebutkan di atas apabila diteliti secara lebih cermat, masih terdapat beberapa penyimpangan yang merupakan kekhususan dari Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini dalam hukum acaranya antara lain: 1. Adanya wewenang yang sangat luas dari petugas/ pegawai pengusut dalam Tindak Pidana Ekonomi. Luasnya wewenang ini atas dasar pertimbangan, agar petugas pengusut dapat menindak secara cepat pelanggaran bidang ekonomi pada umumnya dan Tindak Pidana Pelanggaran Merek khususnya. Hal ini misalnya terdapat dalam Pasal UUTPE yang memberikan wewenang kepada petugas pengusut untuk menyita setiap barang yang dapat digunakan dalam rangka berhasilnya penyelidikan. Masih banyak lagi wewenang pegawai/penyidik yang apabila diperhatikan sangat luas, melampaui wewenang penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP. 2. Banyaknya tindakan tata tertib sementara yang tidak terdapat dalam KUHAP. 3. Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

18

4. Seorang Hakim, Jaksa dan Panitera Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi.

E.

P e n g a t u ra n t e n t a n g T i n d a k P i d a n a Dilakukan oleh Perusahaan (Korporasi) Sumber-sumber Hukum Pidana Di Luar KUHP

yang pada

Selain KUHP pengaturan mengenai hukum pidana, juga terdapat di dalam peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 7/ Drt/ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan lain sebagainya yang mungkin tidak secara khusus mengatur masalah pidana, tetapi dalam salah satu pasalnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran merek. Peraturan perundang-undangan Merek di luar KUHP telah ada yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam era pembangunan yang sejalan dengan konvensi-konvensi internasional, bahwa peranan merek jadi sangat penting dalam menjaga persaingan usaha dan harus disesuaikan dengan peraturan merek. Dalam Undang-Undang merek No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, juga disebut pertimbangan bahwa hukum merek harus disesuaikan dengan perjanjian Trade Related Aspect of lntelectual Property

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Right dan UU No. 7 Tahun 1974 tentang pengesahan Organization. 57

Agreement World Trade

Dalam hal ini merek sebagai salah satu wujud karya intelektual, juga memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia. Merek juga merupakan "Suatu alat yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal-usul barang (Indication of Origin)". Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 merupakan

perubahan dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap pemegang hak merek barang terdaftar dari perbuatan melawan hukum. Dalam prakteknya pernah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaftar sebagai usaha persaingan yang tidak jujur seperti peniruan, pemalsuan, atau pemakaian merek tanpa hak terhadap merek-merek tertentu. Keadaan seperti ini tentu saja tidak hanya akan merugikan pemilik merek, tetapi juga akan merugikan para konsumen. Pengaturan hukum yang terkait dengan keberadaan merek di Indonesia. dimana Hukum Merek di Indonesia adalah merupakan hasil penerapan dari hukum Merek di negara Perancis dan Inggris yang dibawa dan diterapkan di Indonesia pada jaman kolonial Belanda. Indonesia menerapkan peraturan yang

Dina Yenny M. Sitepu, Dikutip dari http://library.usu.ac.id/, Diakses tanggal 11 Desember


57

2008.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

mengatur Merek sendiri adalah sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.
58

Masa berlaku Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 adalah selama tiga puluh satu tahun dan berakhir pada tahun 1992 sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Sejak tahun 1992 hingga tahun 2001 Indonesia mengalami beberapa perubahan perundangan tentang Merek, hal ini disebabkan oleh karena Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian tentang hak atas kekayaan intelektual yang telah diakui dan diberlakukan di Indonesia. Beberapa perubahan perundangan tersebut antara lain Undang Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek dan yang terakhir berlaku hingga sekarang adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 59 Sebuah Merek dapat diakui keberadaannya jika telah didaftarkan legalitasnya di Direktorat Jenderal Merek, tentunya Merek tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hak atas merek melekat jika merek tersebut secara yuridis telah didaftar dan mendapat hak tertulis atas penggunaan dari merek tersebut. Perlindungan hak merek semata-mata karena adanya kreasi daya cipta manusia (faktor -

Ibid. Poernomo Agustinus Dani Mega, Dikutip dari Desember 2008.


58 59

www.adln.lib.unair.ac.id , Diakses tanggal 12

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

manusia) yang berada di lingkungan perdagangan dan jasa, sehingga jelas apabila hak merek tersebut melekat pada orang yang menciptanya. Konsekuensi hukum pasti akan timbul, jika terjadi sengketa merek di Indonesia. Sengketa merek yang terjadi di Indonesia berdasar yang telah banyak terjadi dewasa ini dikarenakan beberapa faktor penyebab di antaranya:
6

a. Faktor ekonomis, yang merupakan penyebab terbanyak dari kasus sengketa Merek di Indonesia di antaranya kasus pemakaian Merek oleh yang tidak berhak, meniru bentuk tulisan Merek terkenal, meniru design dan pola

Merek yang sah dan tentunya semua itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atas barang atau jasa yang ditirukan. b. Faktor efisiensi waktu, faktor ini sebenarnya masih ada hubungannya dengan faktor ekonomis karena pada hakekatnya peniru Merek melakukan peniruan tersebut dikarenakan untuk mendapatkan keuntungan secara cepat dari barang atau jasa yang dibuatnya tanpa melalui proses yang sebagaimana mestinya dan menghemat biaya promosi yang cukup mahal.

Kasus atau sengketa Merek dapat diajukan ke Pengadilan Niaga jika telah terbukti sebelumnya salah satu pihak telah mempunyai bukti pendaftaran Merek dari Direktorat Jenderal Merek.
6

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Setelah perkara tersebut diproses dan keluar putusan maka pihak yang

bersalah dan terbukti melakukan pelanggaran Merek haruslah membayar sejumlah ganti rugi atau menerima semua keputusan pengadilan yang dikeluarkan
61

Dalam pelanggaran merek tersebut, undang-undang dapat membatasi pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa hak pembatasan pelanggaran merek yang diberikan oleh undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pemilik hak atas kekayaan intelektualnya khususnya hak atas merek sehingga secara ekonomi maupun moral terasa terlindungi. Merek tidak dapat didaftarkan karena merek tersebut : a. b. Didaftarkan oleh pemohon yang beritikad tidak baik; Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum; c. d. e. Tidak memiliki daya pembeda; Telah menjadi milik umum; atau Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. (Hal ini sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Permohonan suatu merek ditolak apabila merek tersebut :
61 62

62

Ibid.

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; d. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal; e. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan

hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; f. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,

lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; g. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. (Sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Syarat pengajuan permohonan pendaftaran merek, antara lain:

63

a. Mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangkap 4 yang diketik dalam bahasa Indonesia pada blangko formulir permohonan yang telah disediakan dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, yang berisi: 1) Tanggal, bulan dan tahun permohonan; 2) Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; 3) Nama lengkap dan alamat kuasa, apabila pemohon diajukan melalui 4) Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; 5) Nama negara dan tanggal permintaan pendaftaran merek yang kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. b. Surat permohonan pendaftaran merek perlu dilampiri dengan: 1) Foto copy KTP yang dilegalisir. Bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus memilih
63 V. Damayanti, Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/journali, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

kuasa;

pertama

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya; 2) Foto copy akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum; 3) Foto copy peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang (merek kolektif); 4) Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan; 5) Tanda pembayaran biaya permohonan; 6) 20 helai etiket merek (ukuran max 9x9 cm, min 2x2 cm); 7) Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya. (Sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan. Atas permohonan pemilik merek jangka waktu perlindungan merek terdaftar dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama. (Sesuai dengan Pasal 21 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek) Permohonan perpanjangan pendaftaran merek dapat diajukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya secepat-cepatnya 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

tersebut sampai dengan hari terakhir masa berlakunya perlindungan hukum terhadap pendaftaran tersebut. (Sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU Merek) Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan dengan cara: (Sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek) a. Pewarisan; b. Wasiat; c. Hibah; d. Perjanjian; atau e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.

Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Ditjen HKI dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. (Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek) Merek terdaftar dapat dihapuskan karena empat kemungkinan yaitu: (Sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 63 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

a. Atas prakarsa Ditjen HKI; b. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan; c. Atas putusan pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan;

d. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya.

Yang menjadi alasan penghapusan merek terdaftar yaitu: (Sesuai dengan Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek) a. Merek terdaftar tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam

perdagangan barang dan/ atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Ditjen. HKI, seperti: larangan impor, larangan yang berkaitan dengan ijin bagi peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara, atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; b. Merek digunakan untuk jenis barang/ atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang dan/ atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan pendaftarannya. Merek terdaftar dapat dibatalkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan pihak yang berkepentingan dengan alasan berdasarkan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tahun 2001 tentang Merek. Kewenangan mengadili gugatan penghapusan maupun gugatan pembatalan merek terdaftar adalah Pengadilan Niaga. Yang berwenang melakukan penyidikan di bidang merek adalah Pejabat Kepolisian Negara R.I. (POLRI) maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Ditjen HKI sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. PPNS dalam melakukan penyidikan di bidang merek berwenang: (Sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU No.15 tahun 2001 tentang Merek) a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana

di bidang merek; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga pada huruf

melakukan tindak pidana di bidang merek berdasarkan aduan tersebut a; c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya dan

berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti,

pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti bidang merek.

terhadap bahan dan

dalam perkara tindak pidana di

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana merek.

Peraturan lain yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi ini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama sejak Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 yang kembali menyebutkan korporasi/ perusahaan/ badan usaha/ badan hukum sebagai subjek hukum pidana. Hal ini tertuang pada bunyi Bab IX Pasal 46 angka (1) dan angka (2), yang berbunyi:
64

(1) Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin didalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. (2) Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama ..............................................................................

64

Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Pasal 46.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Secara sepintas terlihat bahwa baik Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 melakukan penyimpangan dari KUHP sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia. Akan tetapi kita telaah lagi pada KUHP khususnya pada Pasal 103 yang menyatakan:
65

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang undang ditentukan lain. Maka keberadaan Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dan peraturan lainnya yang juga mengatur masalah pidana dan pemidanaannya tidak menyimpang dari KUHP dan tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar peraturan perundang-undangan Indonesia, karena dengan adanya pasal tersebut pembuat undang-undang dapat melakukan penyimpangan dan ketentuan Buku I KUHP dapat dikesampingkan. -

F. Data Pelanggaran HKI di Kepolisian


Kepolisian RI (POLRI) menyatakan hingga saat ini pelanggaran hak cipta masih mendominasi kasus pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia. Kepala Unit I Industri Perdagangan Direktorat II Ekonomi

65

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Buku I, Pasal 103.


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Khusus Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (Kanit I Indag Dit II Eksus Bareskrim Mabes Polri) Komisaris Besar Polisi (KombesPol) Drs. Rycko Amelza Dahniel di Lembang, Bandung, mengatakan, persen dari kasus HKI adalah pelanggaran hak cipta. Dan 90% (sembilan puluh) persen dari kasus pelanggaran hak cipta terkait dengan cakram optik, ungkap Rycko dalam peluncuran program sertifikasi untuk legalisasi piranti lunak "Piagam HKI" dari BSA (software) komputer yang disebut 80

(Business Software Alliance) dengan dukungan Polri.

Rycko juga mengungkapkan data penegakkan hukum terhadap pelanggaran HKI untuk pelanggaran hak cipta pada 2006 mencapai 1439 kasus, menurun menjadi 589 kasus pada 2007 dan ada 76 kasus sampai Juli 2008. Untuk pelanggaran paten pada 2006 dan 2007 masing-masing ada 6 kasus, dan ada satu kasus sampai Juli 2008, sedangkan pelanggaran merek ada 48 kasus pada 2006, kemudian meningkat menjadi 83 kasus pada 2007 dan ada kasus sampai Juli 2008. Sementara pelanggaran desain industri ada lima kasus pada 2006 meningkat menjadi 17 kasus pada 2007 dan ada satu kasus sampai Juli 2008. Rycko juga mengungkapkan data jumlah tersangka, barang bukti cakram optik maupun alat duplikator--alat untuk menggandakan cakram optik dengan kapasitas besar-- yang berhasil disita oleh kepolisian dalam rangka penegakkan hukum terhadap kasus pelanggaran HKI. 8

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pada tahun 2004 ada 322 tersangka dengan 45.9470 barang bukti (BB) cakram optik yang berhasil disita, dan pada 2005 meningkat menjadi 437 tersangka dengan 2.809.649 BB cakram optik. Jumlah pelanggaran pada tahun 2006 meningkat tajam dibanding 2005 yaitu 437 tersangka dengan 2.809.649 BB cakram optik dan mulai ditemukan BB duplikator sebanyak 178 buah. Pada tahun 2007 tertangkap 74 tersangka dengan 2.140.933 BB cakram optik yang berhasil disita, serta BB 223 duplikator. Sampai Juli 2008, tertangkap 126 tersangka dengan 1.388.364 BB cakram optik dan 135 BB duplikator. Dengan mulai ditemukannya BB duplikator mulai tahun 2006, Rycko melihat mulai ada perubahan modus operandi pembajakan cakram optik dari pembajakan skala pabrik ke pembajakan skala industri rumah tangga (home

industry) karena alat duplikator bisa dioperasikan oleh satu orang (stand alone).
Ada duplikator dengan kapasitas produksi 100 sampai 200 cakram optik per tiga menit. Alat duplikator menjadikan pembajakan cakram optik lebih berbahaya dibandingkan pembajakan cakram optik skala pabrik. Timnas Penanggulaan Pelanggaran HKI sendiri diketuai Menkopolhukkam dengan Ketua Harian Menkumham dan beranggotakan antara lain Kapolri, Kajagung, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian.66

6 6

Budi Utama, "Pelanggaran Hak Cipta dominasi kasus HAKI", (Bandung: Koran Bisnis Bali, 12 Agustus 2008).
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB III PENGATURAN DALAM HAL PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM KASUS PELANGGARAN MEREK YANG DILAKUKAN OLEH BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS Merek adalah salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang saat ini memerlukan perhatian, terutama dengan munculnya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaran-pelanggaran hak atas merek. Permasalahan yang menonjol di dalam dunia perdagangan yaitu merek dagang banyak dipalsukan dengan banyaknya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaran merek disebabkan karena mulai adanya kesadaran masyarakat bahwa hak atas merek harus dilindungi.
67

A. Berlakunya Fiduciary Duty dan Bussiness Judgement Rule Bagi Direksi Untuk mengetahui bagaimana berlakunya fiduciary duty dan judgement

rule bagi direksi perseroan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT), maka harus diperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai tugas pengurusan, kewajiban dan khususnya tanggung jawab direksi perseroan terbatas dalam UUPT. Terkait dengan kegiatan melakukan pengurusan perseroan terbatas yang diatur dalam UUPT dengan kewajiban fidusia bussiness judgement rule, mengatur mengenai (fiduciary duty) dan aturan

dapat dikatakan bahwa ketentuan mendasar yang

fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule dalam

67

Margareth Thatcher Jalmav, Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

UUPT dapat ditemukan aturan atau ketentuan umumnya dalam Pasal 97 UUPT tersebut. Ketentuan umum tersebut selanjutnya menyebar dalam berbagai pasal lainnya dalam UUPT. Berikut di bawah ini akan diuraikan dan dijelaskan eksistensi fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule dalam Pasal 97 UUPT dan pasal-pasal terkait lainnya.
68

1. Fiduciary Duty dan Prinsip Bussiness Judgement Rule dalam

Pasal 97 UUPT

Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan bahwa "Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan Jika diperhatikan ketentuan ini

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)".

adalah penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam Pasal 92 ayat (1) dimana dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan

UUPT, tugas

kepengurusannya harus: a. b. c. Memperhatikan kepentingan perseroan Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intra vices act)

Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang (khususnya UUPT) dan anggaran dasar.

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 76.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Bentuk pertanggungjawaban direksi terhadap perseroan, pemegang saham dan kreditor ini selanjutnya tercermin dalam berbagai ketentuan atau pasal dalam UUPT, beberapa di antaranya dapat disebutkan yaitu: a. Pasal 37 ayat (3) UUPT yang menyatakan bahwa direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali saham oleh perseroan yang batal karena hukum. b. Pasal 69 ayat (3) UUPT menyatakan dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi (dan anggota dewan komisaris) secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. c. Pasal 95 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa dalam hal ternyata pengangkatan anggota direksi menjadi batal sebagai akibat tidak memenuhi persyaratan pengangkatannya, maka meskipun perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh anggota direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan, namun demikian anggota direksi yang bersangkutan tetap bertanggung jawab terhadap kerugian perseroan. d. Pasal 97 ayat (3) menyatakan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

e. Pasal 101 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa setiap anggota direksi yang tidak melaksanakan kewajibannya melaporkan kepada

perseroan terbatas, saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan dan

perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan terbatas. f. Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng

bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. g. Pasal 97 ayat (6) UUPT yang memberikan hak kepada pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, atas nama perseroan, untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau karena kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Selanjutnya untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab direksi dalam melakukan pengurusan dalam mencapai tujuan PT yang
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

sudah ditetapkan dalam anggaran dasar, direksi harus membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi dalam penilaian kinerja direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang diserahkan kepada dan untuk disahkan oleh RUPS. Kegiatan pengurusan perseroan ini tidak pernah dapat dipisahkan dari tugas perwakilan direksi yang diatur dalam Pasal 98 UUPT. Sebagai pengurus perseroan, direksi akan mewakili perseroan dalam setiap tindakan atau perbuatan hukum perseroan dengan pihak ketiga. Dalam hal ini jelas, direksi merupakan agen bagi perseroan. Rumusan selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa: "Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab". Sejalan dengan sifat pertanggungjawaban perdata yang melekat pada direksi dalam melakukan pengurusan terhadap perseroan, Pasal 97 ayat (2) UUPT menekankan pada arti itikad baik, dan sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dibebankan kepadanya serta menurut aturan main yang berlaku. Selama dan sepanjang direksi melakukan pengurusan dengan itikad baik, dan dalam batasan atau koridor serta menurut ketentuan yang ditetapkan sebelumnya, maka direksi senantiasa dilindungi oleh bussiness judgement rule.

Bahwa Pasal 97 ayat (2) UUPT ini, anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab

(and with full sense of responsibility).

Apabila direksi tersebut ternyata

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban

fiduciary duty nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita perseroan,
-

perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut. Tanggung jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditunjukkan baik terhadap perseroan itu sendiri, tiap-tiap pemegang saham atau kreditor (dalam hal terjadinya kepailitan perseroan). Dalam konteks yang demikian berarti baik perseroan, pemegang saham ataupun kreditor yang dirugikan sebagai akibat berkurangnya harta kekayaan perseroan, karena tidak adanya itikad baik direksi yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi. Yang mewakili perseroan sebagai penggugat adalah para pemegang saham yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mewakili jumlah 1/10 (satu persepuluh) pemegang saham perseroan. Gugatan dilakukan untuk dan atas nama perseroan terhadap direksi, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action). Selain itu setiap pemegang saham yang

dirugikan juga dapat secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi pemegang saham, terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi perseroan yang merugikan pemegang saham. Bagi kreditor yang digugat adalah tanggung jawab sepenuhnya atas setiap ketidakbenaran informasi yang disampaikan oleh perseroan terhadap pihak ketiga, yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

harta kekayaan perseroan sehingga tidak cukup membayar kewajiban perseroan terhadap pihak ketiga. Ketentuan selanjutnya yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa: "Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)". Pada dasarnya ketentuan tersebut merupakan kelanjutan dari dua ayat sebelumnya dalam Pasal yang sama. Dalam ketentuan Pasal 97 ayat (3) UUPT ini, yang ditekankan adalah akibat dari tindakan atau perbuatan direksi yang salah karena disengaja ataupun lalai untuk berbuat, bertindak atau mengambil keputusan secara itikad baik. Dalam hal tersebut, direksi bertanggung jawab penuh terhadap kerugian perseroan. Pasal 1131 KUH Perdata berlaku bagi harta kekayaan anggota direksi yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 97 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa: "Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi". Pasal 97 ayat (4) UUPT menegaskan mengenai tanggung jawab kolegial dari direksi sebagai satu dewan, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UUPT, yang menyatakan: "Dalam hal anggota direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar".
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tanggung jawab secara renteng direksi sebagai satu kesatuan adalah tanggung jawab bersama secara kolektif yang berlaku bagi seluruh anggota direksi. Dengan diberikannya tanggung jawab kolegial ini, dimaksudkan agar sesama anggota direksi: a. Dilakukan keterbukaan atau transparansi, atau disclosure sesama anggota direksi, mengenai setiap tindakan dan atau perbuatan hukum yang hendak diambil atau telah diambil oleh satu atau lebih masingmasing anggota direksi atas hal-hal yang berada dalam kewenangannya, demikian pula kepemilikan saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain agar dalam daftar khusus; b. Dilakukan check and balance tentang kegiatan, tindakan atau keputusan yang menghendaki agar sedapat mungkin atau seyogyanya diambil berdasarkan pada keputusan rapat direksi. Dengan pertanggungjawaban secara tanggung renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di antara sesama anggota direksi perseroan atas setiap perbuatan, tindakan atau

keputusan direksi yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap fiduciary duty, yang menyebabkan tidak berlakunya

bussiness judgement rule.

Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari itikad baik (good faith) dan prinsip kehati-hatian (due care) dalam
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

bussiness judgement rule bagi setiap anggota direksi. Setiap pembuktian yang
secara tegas dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar

fiduciary duty atau telah melakukan kelalaian berat (gross negligence),


kecurangan (fraud), hal-hal yang di dalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), maka prinsip bussiness judgement rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan. Dengan aturan Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi anggota direksi yang ingin lepas dari tanggung jawab renteng tersebut maka is harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa: a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT ini, secara tidak langsung memberikan beban pembuktian pada pihak yang menyatakan bahwa direksi tidak berhak atas perlindungan bussiness judgement rule. Dengan demikian berarti seorang yang hendak menggugat direksi harus membuktikan:
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

a. Kesalahan atau kelalaian telah dilakukan oleh direksi; b. Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian; c. Mempunyai benturan kepentingan atau sesama anggota direksi dan atau

keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; d. Direksi tidak telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Berhasilnya pembuktian tersebut membawa akibat bahwa seluruh anggota direksi menjadi tanggung jawab renteng atas seluruh kewajiban sebagai akibat kerugian yang disebabkan oleh keputusan direksi yang bersangkutan. Dengan demikian jelaslah bahwa ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT merupakan Pasal pamungkas bagi anggota direksi untuk dibebaskan dari kewajiban tanggung jawab renteng yang dibebankan dalam Pasal 97 ayat (4) UUPT. Pasal 97 ayat (6) UUPT mengatur mengenai hak gugatan derivatif terhadap direksi sebagai satu dewan. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak dapat dibaca lepas dari ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT mengenai hal yang sama namun berlaku bagi dewan komisaris. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa oleh karena tidak ada yang dapat mewakili perseroan untuk menggugat
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

direksi dan dewan komisaris secara bersama-sama, maka kepada pemegang saham ini haruslah diberikan hak turunan yang dinamakan hak derivatif. Menurut ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT ini, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, atas nama perseroan, dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Ketentuan Pasal 97 ayat (7) UUPT menyatakan bahwa: "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota direksi lain dan/atau anggota dewan komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan", jelas merupakan refleksi bahwa yang seharusnya mewakili perseroan adalah anggota direksi yang tidak melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty direksi.

2. Tanggung Jawab Direksi Menurut UUPT


Jika UUPT dibaca dengan seksama, maka setidaknya dapat ditemukan 9 Pasal dalam UUPT tersebut yang secara tegas mengatur mengenai tanggung jawab pribadi masing-masing anggota direksi maupun tanggung jawab renteng semua anggota direksi perseroan terbatas. Kesembilan Pasal tersebut, secara berurutan, adalah: a. Pasal 37 ayat (3) UUPT dikaitkan dengan kewajiban direksi untuk menjamin bahwa dalam transaksi pembelian kembali saham
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

perseroan terbatas, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh perseroan terbatas, direksi wajib memastikan bahwa pembelian tersebut dilakukan dengan cara dan proses yang telah ditentukan, yaitu: 1) Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih

perseroan terbatas menjadi lebih kecil dari jumlah modal ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan

yang ditempatkan

2) Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan terbatas dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan terbatas, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. b. Pasal 69 ayat (3) UUPT, yang terjadi dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi (dan anggota dewan komisaris) secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Ketentuan ini merefleksikanketerbukaan informasi dalam rangka pelaksanaanfiduciry duty direksi terhadap perseroan.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

c.

Pasal 72 ayat (6) UUPT, yang berhubungan dengan pembagian

deviden

interim yang dilakukan direksi dengan persetujuan dewan komisaris sebelum tahun buku perseroan berakhir, namun ternyata perseroan terbukti menderita setelah akhir tahun buku diketahui dan

kerugian, sedangkan pemegang saham tidak dapat

mengembalikan deviden interim yang telah dibagikan tersebut kepada perseroan. Jadi dalam hal ini unsur kehati-hatian guna menghindari kesalahan ditekankan. d. Pasal 95 ayat (5) UUPT, dalam hal terjadinya pembatalan anggota direksi karena tidak memenuhi persyaratan dilakukan sebelum tanggung jawab sangatlah

pengangkatan

pengangkatannya, maka meskipun perbuatan hukum yang telah untuk dan atas nama perseroan oleh anggota direksi

pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi perseroan, namun demikian anggota direksi yang jawab terhadap kerugian perseroan. bersangkutan sama sekali pengangkatannya direksi

bersangkutan tetap bertanggung

Dalam hal ini sangat nyata bahwa yang

tidak memiliki itikad baik, bahkan sebelum

sebagai anggota direksi perseroan. Lebih jauh lagi anggota

tersebut sebenarnya dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan (illegality) dengan tidak mengemukakan (disclose) fakta atau

melawan hukum

keadaan yang sebenarnya.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

e.

Pasal 97 ayat (3) UUPT terkait dengan tanggung jawab penuh setiap direksi secara pribadi, manakala dalam melaksanakan tugas

anggota

pengurusannya terhadap perseroan telah menerbitkan kerugian perseroan,

akibatnya dari kesalahan atau kelalaian direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut. Tanggung jawab tersebut berubah menjadi tanggung jawab renteng manakala keanggotaan direksi terdiri atas 2 (dua) anggota atau lebih (Pasal 97 ayat (4) UUPT). f. Pasal 101 ayat (1) UUPT dengan sanksi tanggung jawab pada Pasal 101

ayat (2) UUPT tentang keterbukaan (disclosure) yang dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya benturan kepentingan. g. Pasal 104 ayat (2) UUPT, yang berlaku dalam hal kepailitan, baik karena permohonan perseroan maupun permohonan pihak ketiga, terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Menurut Pasal 104 ayat (3) UUPT tanggung jawab tersebut juga berlaku bagi direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pailit diucapkan.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Perlu diingat dan diperhatikan bahwa dalam hal kepailitan, fiduciary

duty direksi adalah terhadap kreditor, tidak lagi semata-mata untuk


perseroan atau pemegang saham perseroan. h. Penjelasan Pasal 117 ayat (2) UUPT yang terkait dengan

diabaikannya kewajiban untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada dewan komisaris sebelum direksi melakukan perbuatan hukum tertentu. Meskipun UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik, hal tersebut tetap dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi anggota direksi, manakala terjadi kerugian pada perseroan. Kelalaian berat atau kesalahan pada sisi direksi tidak memberikan perlindungan bussiness judgement

rule terhadapnya.
i. Pasal 102 ayat (4) UUPT yang berhubungan dengan diabaikannya

kewajiban untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada RUPS. Dengan penafsiran analogi dengan ketentuan yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 117 ayat (2) UUPT, jelas bahwa meskipun UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beriktikad baik, kelalaian berat atau kesalahan pada sisi direksi tidak memberikan kepadanya perlindungan bussiness

judgement rule.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Dalam hal yang demikian terhadap direksi tersebut dapat dikenakan tanggung jawab pribadi, manakala terjadi kerugian pada perseroan.

Selain dari pertanggungjawaban yang diatur dalam UUPT tersebut, secara umum direksi juga dapat dituntut berdasarkan ketentuan umum yang diatur dalam KUH Perdata, terkait dengan masalah: a. Tuntutan pengembalian harta kekayaan perseroan yang diambil secara tidak

sah oleh direksi; b. Tuntutan pengembalian keuntungan yang seyogyanya dinikmati oleh

perseroan; c. Pembatalan kontrak yang dilakukan secara langsung oleh perseroan melalui

gugatan di pengadilan negeri, atau dalam rangka kepailitan atau tidak.

actio pauliana oleh kreditor perseroan, baik

Terhadap pertanggungjawaban renteng sesama anggota direksi, ketentuan: a. Pasal 69 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa anggota direksi dan anggota dewan

komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagai akibat laporan disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. b. Pasal 97 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat

keuangan yang

apabila terbukti bahwa

dipertanggungjawaban atas kerugian PT apabila dapat membuktikan:


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

1) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; 4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. c. Pasal 104 ayat (4) UUPT anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan: 1) Kepailitan tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan 4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Hal-hal yang dikemukakan dalam pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa, sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya, setiap anggota direksi dapat keluar dari pertanggungjawaban pribadi yang kolegial, dalam bentuk tanggung renteng.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Manakala yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dalam melakukan pengurusan terhadap perseroan yang bersangkutan tidak telah memiliki itikad baik, dengan penuh kehati-hatian, tidak telah lalai, tidak telah salah, atau berbuat curang atau melakukan perbuatan melawan hukum atau telah mengambil tindakan pencegahan atau telah memberikan nasihat atau masukan dalam hal atau terhadap hal-hal yang dapat menerbitkan kerugian bagi perseroan.69

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelanggaran Oleh Korporasi Sebagai Salah Satu Perkembangan Tindak Pidana
Tanggung jawab adalah konsekuensi yang harus diterima oleh setiap manusia atas setiap perbuatan yang ia lakukan. Di dalam hukum pidana hal ini juga ada ketentuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (harus diingat bahwa hukum pidana menganut asas legalitas dimana seseorang tidak dapat dipidana kecuali telah diatur oleh undang-undang). Pertanggungjawaban ini berhubungan dengan pemidanaan pelaku tindak pidana. Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia hanya menganut bentuk pertanggungjawaban pidana perorangan. Apabila seseorang melakukan tindak pidana maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Seperti bidang lainnya, tindak pidana juga sudah berkembang maju mengikuti

69

/bid., hal. 76-87

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

perkembangan jaman. Tindak pidana tidak lagi hanya dapat dilakukan oleh orang-perorangan tetapi badan hukum pun dapat melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi ini dalam bidang perekonomian mempunyai dampak negatif yang lebih parah dari pada bentuk pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh orang-perorangan. Dalam ilmu hukum pidana ada beberapa bentuk pertanggungjawaban pidana. Adapun bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana tersebut adalah : a. Pertanggungjawaban Mutlak (strict liability) Pertanggungjawaban merupakan efek yang timbul sebagai akibat dari tindakan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban pidana timbul apabila pelaku melakukan tindak pidana dan padanya terdapat unsur kesalahan karena unsur ini merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana kepada

seseorang yang dipersangkakan telah melakukan tindak pidana. Akan tetapi dimungkinkan seseorang dipidana atas

perbuatannya walaupun pada dirinya tidak terdapat kesalahan. Bentuk pertanggungjawaban ini disebut sebagai

pertanggungjawaban mutlak (liability without fault). Pada bentuk pertanggungjawaban pidana ini pelaku tidak diharuskan memiliki niat jahat (guilty minds/mens area) pada

dirinya. Bentuk pertanggungjawaban pidana ini pada umumnya

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

timbul pada delik-delik terhadap kesejahteraan umum (public

welfare offences)

70

Pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 35 ayat (1) dikatakan : "Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/ atau menghasilkan limbah berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup." Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa : Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dan pada undang-undang ini pencemaran dan perusakan lingkungan adalah tindak pidana. Oleh karenanya pelaku tindak pidana dapat diancam atas perbuatannya. b. Pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan orang lain

(vicarious liability)

70

Barda Nawawi Arif,

Perbandingan Hukum Pidana, cet.2, (Jakarta: Rajawali Pers 1994),

hal. 29

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Bentuk lain dari pertanggungjawaban pidana adalah vicarious

liability (the legal responsibility of one person for the wrongful acts

of

another). Pada bentuk ini seseorang bertanggung jawab dimuka


umum atas delik yang dilakukan oleh orang lain. Jadi di dalam bentuk pertanggungjawaban pidana ini mens area melekat pada satu orang dan actus reus nya dilakukan oleh orang lain, dan yang
-

dimintakan pertanggungjawabannya adalah yang memiliki niat jahatnya (mens area nya).
-

Bentuk pertanggungjawaban pidana ini dapat terjadi pada delikdelik yang menyebabkan gangguan substansial pada penduduk/

public nuisance (pada common law). Selain itu terjadi apabila ada
prinsip pendelegasian, yaitu apabila aktor intelektual telah mendelegasikan kewenangan melakukan tindakan yang menjadi delik itu kepada pelaku (actor fisicus), dan apabila perbuatan pelaku menurut hukum adalah pencerminan dari perbuatan aktor intelektual.

(the servant's act is the master act's in law).

71

c. Pertanggungjawaban Korporasi (corporate liability) Bentuk pertanggungjawaban pidana ini adalah perkembangan lebih lanjut dari dua bentuk pertanggungjawaban pidana diatas yang menjadi subjek hukum adalah orang-perorangan (naturlijk persoon), akan tetapi pada bentuk pertanggungjawaban pidana ini yang
71

Barda Nawawi Arif, Ibid.,hal. 33-34.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

menjadi subjek hukum adalah badan hukum

(recht persoon). Di

Indonesia bentuk pertanggungjawaban pidana ini mulai dikenal sejak dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Bentuk pertanggungjawaban pidana ini timbul dikarenakan perkembangan yang ada dimana badan hukum pun dapat melakukan tindak pidana. Pada awalnya beban pertanggungjawaban pidana ada pada pengurus badan hukum tersebut, kemudian setelah masa perang dunia kedua beban pertanggungjawaban ini langsung pada badan hukum. Perubahan ini ditandai dengan keluarnya Keputusan Pengendalian Harga Tahun 1941 yang pada Pasal 6 ayat (2) dikatakan bahwa, "Badan-badan hukum dan perseroan-perseroan, sama halnya dengan perorangan dapat dijatuhi hukuman". Dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan kemungkinan dilakukan perbuatan melanggar hukum sangatlah besar. T.R Young dari Red Feather Institute menyatakan bahwa, "crime is a way of life in

corporate world. The honest corporations stagnate or bankrupt, dishonest corporations thrive, expand, diversify and become international conglomerates". Prinsip-prinsip kapitalisme yang diterapkan oleh perusahaan dalam rangka usaha mencari keuntungan menyebabkan perusahaan-perusahaan

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

mengenyampingkan hukum dan melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan

hukum. 72
Disebut tindak pidana korporasi adalah karena tindak pidana itu dilakukan oleh korporasi. Memang secara fisik bukan korporasi langsung yang menjadi pelaku, tetapi orang yang melakukan tindak pidana itu bertindak untuk dan atas nama korporasi. Penerapan prinsip kapitalisme menjadi salah satu penyebab timbulnya tindak pidana korporasi ini, tetapi kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya kepada ajaran kapitalisme ini. Tidak ada satu korporasi pun yang tidak mengejar keuntungan. Walaupun korporasi itu dibentuk dengan tujuan sosial, korporasi tersebut tetap mencari keuntungan, meski keuntungan minimal, untuk dijadikan biaya operaional korporasi itu. Berbicara tentang tindak pidana korporasi, sekilas terlintas dibenak kita bahwa bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi hanya sebatas perbuatan-perbuatan penipuan, penggelapan dan pemalsuan surat serta yang lainnya sehubungan dengan kegiatan pengurusan. Pada kenyataannya di luar itu masih banyak perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Permasalahan yang timbul di sini adalah hingga saat ini KUHP yang berlaku di negara Indonesia masih menganut paham lama yang tidak mengakui

72

Eli Lederman, Criminal Law, Perpetrator and Corporation : Rethiking a Complex Triangle, J. Crim. L. & Criminology : 1985, Hal. 288-289
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

perusahaan sebagai subjek hukum pidana, yang oleh karenanya tidak dimungkinkan sebuah perusahan dapat melakukan tindak pidana. Akan tetapi apabila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya Indonesia bukannya tidak mengakui perusahaan sebagai subjek hukum pidana. Hal ini terlihat ketika diundangkannya Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955. melalui Undang-undang Darurat ini disebutkan bahwa perusahaan dapat melakukan tindak pidana, tetapi hanya terbatas delik-delik yang disebutkan dalam Undang-undang ini.73 Sebagaimana dijelaskan di atas, saat ini bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi tidak hanya terbatas jenis-jenis delik sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 7/Drt/1955, jenis-jenis kejahatan yang tercantum dalam KUHP khususnya delik-delik terhadap harta kekayaan dapat dilakukan oleh perusahaan.

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Merek


Indonesia sebagai negara hukum (Recht Staat) telah melakukan perubahan hukum antara lain di bidang perbankan, kemudian di bidang perseroan terbatas yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT). UUPT diundangkan pada tanggal 7 Maret 1995 Lembaran Negara RI Tahun 1995
73 Lihat Pasal 15 ayat (1) UU No. 7/drt/1995.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3687. terakhir Undang Undang ini dirubah lagi dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. perubahan yang terjadi pada Undang-Undang baru tidak secara signifikan jika dibandingkan dengan yang lama. Ada beberapa hal-hal khusus yang ditonjolkan dalam perubahan Undang-Undang tersebut, yaitu. Adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh perusahaan, hal ini sangat familiar dikenal dengan nama corporate social Responsibility (CSR).

Manusia adalah merupakan subjek hukum, akan tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum yang dikenal. Selain manusia, masih terdapat subjek hukum lainnya yang dikenal dengan badan hukum (rechtspersoon). Di antara banyak badan hukum yang dikenal dalam doktrin hukum, salah satu yang amat dikenal adalah Perseroan Terbatas (PT). sangat cukup beralasan mengapa perseroan terbatas yang diminati, karena secara filosofi bahwa pendirian perseroan terbatas yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut semata-mata memiliki tujuan untuk memajukan perusahaan. Salah satu pemikiran yang muncul dalam UUPT dalam hal RUPS adalah Pertama, bahwa RUPS memiliki segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dalam batas yang ditentukan oleh UUPT dan atau anggaran dasar perseroan. Kedua, bahwa RUPS berhak memperoleh keterangan

yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan komisaris. Ketentuan UUPT menyatakan bahwa sebagai penyelenggara RUPS adalah direksi. Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan untuk
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

kepentingan perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya. Namun direksi berhalangan atau antara direksi dengan perseroan terjadi suatu pertentangan maka yang menyelenggarakan RUPS adalah komisaris.
74

jika

Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa RUPS merupakan hal yang sangat subtantif untuk dilaksanakan demi kepentingan PT, hal ini juga karena RUPS memiliki pengaruh-pengaruh terhadap PT jika tidak dilaksanakan apakah itu merupakan pengaruh hukum maupun pengaruh pada perkembangan jalannya PT tersebut. Ketentuan hukum pidana yang mengatur pelanggaran merek untuk pelaku-pelaku pemalsu merek-merek terdaftar diatur dalam Bab XIV tentang Ketentuan Pidana dalam Pasal 90-95 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan komentar tentang Pasalnya, yaitu antara lain: Pasal 90 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Di sini kita saksikan bahwa jika ada perbuatan melanggar dengan sengaja (dolus) berlaku ketentuan yang serupa dengan Undang-undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 jika dibandingkan dengan Pasal 82 UU No.14 Tahun

74

I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2002), hal 257

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

1997 maka dendanya sekarang dinaikkan menjadi Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun. Pasal ini terhadap pemohon melanggar hak terhadap merek yang sama pada keseluruhan. 75

Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pemakaian merek ini dengan sengaja kalau dibandingkan Pasal 90, persamaannya pada (keseluruhannya) dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis dan pidana maksimum penjara 4 (empat) tahun. Terdapat perbedaan dalam maksimum denda yang Pasal 90 Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sedangkan Pasal 91 karena hanya ada persamaan pada pokoknya tidak pada keseluruhannya maka denda maksimum dikurangi menjadi Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Ada perbedaan ancaman hukuman terhadap pelanggaran persamaan untuk keseluruhan atau hanya pada pokoknya.76

75

Sudargo Gautama, dan Rizawanto Winata,

Op. Cit., hal. 197. Ibid., hal. 198.


76

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis; (3) Milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah); (4) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 92 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengenai denda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 92 ayat (2) apabila ternyata yang sama pada pokoknya yang dipergunakan untuk indikasi geografis milik pihak lain maka dikurangi maksimum dendanya menjadi Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah), sedangkan hukum pidana penjara 4 (empat) tahun. Demikian pula pelanggaran pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil

pelanggaran atau pencantuman kata yang merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi juga diberlakukan ketentuan yang sama seperti pada ayat (1) dan ayat (2).

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pasal 134 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Dalam Memori penjelasan hanya diberitahukan bahwa pasal ini cukup
jelas. Seperti diketahui bahwa indikasi geografis ini diberikan perlindungan seperti sesuai dengan perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property

Rights dan sudah disisipkan dengan Pasal 82 a dan Pasal 82 b, Pasal 82 a untuk
indikasi geografis dan Pasal 82 b untuk indikasi asal.77

Pasal 93 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 93 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang dan jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa dipidana dengan pidana penjara selambatnya 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Jadi di Pasal 93 tampaknya mengurangi pidana paling banyak 4 (empat) tahun penjara tapi dendanya dinaikkan menjadi maksimum Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah), untuk para peniru.78

77 78

Ibid., hal. 199.

Ibid., hal.199-200.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pada Pasal 94 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bagi mereka yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut mengetahui, dihukum paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sedangkan dalam pasal-pasal terdahulu adalah melakukan produksi barang tiruan secara tanpa hak. Pasal 94 ayat (2) menyatakan perbuatan pidana sebagai pelanggaran (over trading). 79 ini

Pasal 95 menyebutkan: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan. 92,

Sanksi atas pasal 90 dan seterusnya dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang tidak menyatakan adanya delik aduan ini. Artinya hanya dapat ditindak apabila ada suatu aduan (satu klacht) atau

merupakan klacht delict. Padahal menurut hemat kami ketertiban umum dari masyarakat Indonesia yang tidak senonoh dari para pembajak merek dan dari
79

Ibid., hal. 200.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009

USU Repository 2008

yang memperdagangkannya. Seharusnya pihak penuntut umum dapat bertindak tanpa adanya suatu aduan sekalipun apabila ada pelanggaran, menjadi delik aduan hanya dapat dituntut tanpa ada aduan dari pihak yang dirinya merasa dirugikan. Seperti misalnya penghinaan berdasarkan Pasal 310 KUH Pidana merupakan delik aduan dan hanya dapat dituntut diajukan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan. Tapi ini merupakan suatu kemunduran pada Undang undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut, jika dibandingkan UU Merek terdahulu.
8

Dalam kasus merek, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal, diberi wewenang khusus sebagai penyidik dalam tindak pidana di bidang Merek dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;
80

Ibid., hal. 200-201.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Merek; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek; f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek.

D. Analisis Kasus Pelanggaran Merek Nomor:1314/Pid.B/2007/PN.Mdn dengan Terdakwa Karnen


Kasus diawali pada tahun 1985 dimana Karnen telah menggunakan tanda AV pada pipa paralon yang diproduksi PT Indra Sari milik Karnen yang selanjutnya disebut dengan Terdakwa Karnen, kemudian pernah diperpanjang kembali pada tahun 1995, selanjutnya pada tanggal 25 April 2005 sekira pukul 14.30 WIB, saksi korban bernama Sucipto datang ke Toko Sinar Laris di Jl. Barus No. 11 Medan, penjual barang-barang pipa paralon dan bertemu dengan pemilik toko, sewaktu saksi melihat pipa paralon yang dipajang pada toko tersebut saksi terkejut melihat sebahagian di antara jenis pipa yang dipajang itu menggunakan merek Insar dengan tanda AV dan saksi mengetahui bahwa Insar adalah PT Indra Sari yang memproduksi pipa paralon yang beralamat di Jl.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Puri Medan, melihat hal tersebut saksi korban merasa tidak senang PT Indra Sari menggunakan merek atau tanda merek yang sama dengan PT Sagita Invilon milik saksi korban yang memproduksi pipa paralon merek bertanda AV dan sudah terdaftar di Tangerang pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan No. pendaftaran: 473785 tanggal 20 April 2001, akibat perbuatan Terdakwa Karnen tersebut saksi korban merasa keberatan/dirugikan dan melaporkannya ke Poltabes MS untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Perbuatan Terdakwa Karnen dituntut dengan pelanggaran merek dan diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 91 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang pada pokoknya mengatur tentang perbuatan menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain. Dakwaan alternatif pertama mengatur persamaan merek pada keseluruhannya. Artinya antara merek yang ditiru dengan yang asli terdapat persamaan pada seluruh elemen merek, sehingga satu sama lainnya menjadi identik. Sedangkan dakwaan alternatif kedua mengatur tentang persamaan merek pada pokoknya. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan: Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Fakta-fakta yang ditemukan di persidangan ini, para Majelis Hakim mendapati bahwa dakwaan yang paling mengena dikenakan pada Terdakwa Karnen adalah dakwaan alternatif pertama karena dari fakta tersebut terbukti bahwa: 1. Merek AV yang digunakan oleh Terdakwa Karnen tersebut telah terdaftar atas nama PT Sagita Invilon; 2. Merek AV terdaftar di kelas 17 untuk jenis barang segala macam pipa plastik dan PT Sagita Invilon menggunakannya untuk jenis barang pipa PVC; 3. Bahwa Terdakwa Karnen menggunakan kata AV untuk jenis barang pipa PVC yang diproduksinya. Dakwaan alternatif pertama melanggar Pasal 90 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. Barang Siapa; Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain; 3. Untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.

Dalam hal ini Terdakwa Karnen benar-benar mengetahui dan menyadari tentang maksud dari perbuatannya itu. Dalam perkara ini Terdakwa Karnen mengakui bahwa is telah memproduksi pipa PVC dengan merek terdaftar
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

INSAR milik Terdakwa sendiri sejak tahun 1980. Terdakwa Karnen juga mengakui bahwa ia telah menggunakan kata AV bersama-sama dengan merek INSAR, sehingga pipa PVC produksi Terdakwa Karnen diberi merek INSAR AV. Selanjutnya menurut keterangan saksi Sucipto, Terdakwa Karnen telah menggunakan merek INSAR AV pada pipa PVC yang diproduksinya sejak tahun 1985. Sedangkan kata AV itu telah diajukan pendaftarannya pada tanggal 15 Februari dan telah terdaftar dengan Sertifikat Merek No. 473785 tertanggal April 2001 atas nama PT Sagita Invilon; Terdakwa Karnen dalam argumentasinya menyatakan bahwa ia menggunakan merek AV tersebut pada pipa PVC yang diproduksinya dengan merek INSAR AV karena sepengetahuan Terdakwa Karnen kata AV tersebut di bidang bisnis pipa PVC lainnya juga menggunakan kata AV tersebut dalam produksi mereknya. Terdakwa juga mengatakan selama ini ia tidak mengetahui kalau kata AV tersebut sudah didaftarkan PT Sagita Invilon sebagai merek dagang dan baru mengetahuinya setelah dilaporkan ke pihak yang berwajib pada tanggal 28 April 2005 oleh Sucipto selaku direktur PT Sagita Invilon. Argumentasi Terdakwa Karnen tersebut tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan sistem pendaftaran merek yang dianut oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah bersifat terbuka atau transparan. Dalam hal ini, Terdakwa Karnen secara hukum dianggap telah mengetahui 20

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

bahwa merek AV tersebut telah terdaftar sebagai merek dagang atas nama PT Sagita Invilon dalam kelas 17 untuk jenis barang pipa PVC. Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa Karnen telah memenuhi unsur-unsur dakwaan alternatif pertama melanggar Pasal 90 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Oleh karena itu, tentang unsur "Barang Siapa" dalam perkara ini telah terpenuhi dengan dipenuhinya seluruh unsur perbuatan materil yang didakwakan kepadanya. Majelis Hakim sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan Terdakwa Karnen melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman sehubungan dengan telah terpenuhi unsur-unsur tersebut di atas. Hal ini dikarenakan berdasarkan fakta-fakta yang ditemui di persidangan ini, Majelis Hakim mendapati bahwa meskipun Terdakwa Karnen telah terbukti menggunakan merek AV yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar AV milik PT. Sagita Invilon. Namun ternyata telah ada suatu putusan Pengadilan No. 02/Merek/2006/PN. Niaga Mdn tertanggal 20 April 2006 Putusan Mahkamah Agung RI No. 017 K/N/HAKI/2006 tertanggal 02 Agustus 2006 yang telah membatalkan pendaftaran merek AV tersebut dan memerintahkan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual untuk mencoret merek AV dari Daftar Umum Merek. Adapun alasan Pengadilan Niaga yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung yang membatalkan pendaftaran merek AV tersebut adalah berdasarkan jo.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

pertimbangan pada halaman 28 dan 30 dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 017 K/N/HAKI/2006 tertanggal 02 Agustus 2006, yaitu sebagai berikut: "Menimbang, bahwa dalam persidangan ini didapati fakta-fakta bahwa kata AV dalam praktek bisnis produksi pipa air PVC lazim dipergunakan oleh produsen pipa PVC dari berbagai merek seperti INSAR, INVILON, SAGITA, PRAINDOLON SN Putih AV dan SN Biru AV untuk membedakan ketebalan minimum dinding pipa (wall-thickness). Istilah AV, AW dan lain sebagainya ini JIS

dibakukan penggunaannya oleh para produsen pipa PVC mengikuti Standar (Japanesse Industrial Standard) K6741 dan 6542 untuk membedakan

ketebalan dinding pipa serta tekanan kerja pipa. Dalam hal ini kelas AV memiliki tekanan kerja 6 kg/cm kerja 10 kg/cm
2 2

, sedangkan jenis pipa AW memiliki tekanan

dan seterusnya.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Penggugat dapat membuktikan dalilnya bahwa kata AV adalah merupakan keterangan atau berkaitan dengan ketentuan Pasal 5 huruf b, c, dan kata AV tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai merek dagang." Putusan Pengadilan Niaga yang membatalkan merek AV sebagai merek terdaftar, di tingkat kasasi ternyata telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI dengan pertimbangan hukum pada halaman 18 dan 19 menyatakan sebagai berikut: "Bahwa huruf AV yang digunakan oleh Penggugat sejak tahun 1995 sampai sekarang maupun produsen pipa PVC lainnya menunjukkan kualitas/
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

ketebalan dari pipa PVC tersebut dengan yang lainnya. Bahwa dengan didaftarkannya merek AV oleh pemohon kasasi dapat menimbulkan kesan hanya Tergugatlah yang berhak memakai merek AV pada pipa PVC, hal ini menunjukkan adanya itikad tidak baik dari Tergugat dengan mendaftarkan merek AV tersebut (persaingan usaha tidak sehat). Bahwa itikad tidak baik dari Tergugat tersebut dapat dibuktikan yaitu setelah merek AV ini didaftarkan sebagai miliknya, Tergugat kemudian melaporkan Penggugat ke instansi Kepolisian bahwa Penggugat telah menggunakan mereknya tanpa seizin dari Tergugat sesuai dengan Tanda Bukti Laporan No. Pol/LP/110K/K3/IV/2005/OPS/Tabes." Putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tersebut, pihak Dirjen Hak Kekayaan Intelektual dalam hal ini Direktorat Merek selaku pihak pengelola administrasi dan pendaftaran merek telah menyurati PT. Sagita Invilon dengan surat No.H4.HC.UM . 01.06.01/2007/PH tertanggal 4 Januari

2007 tentang pembatalan merek AV daftar No.473765 yang menyatakan bahwa merek AV telah dicoret dari Daftar Umum Merek sejak tanggal 4 Januari 2007. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Terdakwa Karnen memang telah menggunakan merek AV yang terdaftar atas nama PT Sagita Invilon untuk jenis barang pipa PVC. Namun ternyata oleh suatu Putusan Pengadilan Niaga, merek AV tersebut dinyatakan tidak dapat didaftarkan sebagai merek untuk jenis barang pipa PVC karena kata AV tersebut merupakan keterangan atau berkaitan dengan jenis barang. Selanjutnya
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pengadilan Niaga telah membatalkan pendaftaran merek AV tersebut dan pihak Dirjen Hak Kekayaan Intelektual telah mencoret merek AV dari Daftar Umum Merek sejak tanggal 4 Januari 2007. Sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan. Dengan demikian pemegang hak merek yaitu PT Sagita Invilon tidak lagi memiliki hak eksklusif atas kata AV tersebut sudah tidak dilindungi lagi oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Oleh karena itu, perbuatan Terdakwa Karnen yang menggunakan merek AV tersebut pada pipa PVC yang diproduksinya ternyata tidak dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana pelanggaran merek sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan alternatif pertama melanggar Pasal maupun dalam dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 91 Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Terdakwa Karnen haruslah dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum tersebut. Oleh karena Terdakwa Karnen dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum karena perbuatan Terdakwa Karnen bukan merupakan suatu tindak pidana, maka berdasarkan ketentuan Pasal 97
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

90 undang

ayat (1) KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya haruslah dinyatakan untuk dipulihkan dalam keadaan semula. Dan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa

Karnen terbukti akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana dan Terdakwa Karnen diputus lepas dari segala tuntutan hukum, maka segala biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dinyatakan dibebankan kepada Negara. Maka berdasarkan Putusan terdakwa Nomor: Karnen

1314/Pid.B/2007/PN.Mdn,

perbuatan

terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana (oonslaagh). Melepaskan terdakwa Karnen dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum. Memulihkan terdakwa Karnen dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat dalam keadaan semula. Membebankan biaya perkara kepada negara. Putusan hakim PN Medan menurut hemat penulis terdapat suatu kejanggalan, dimana adanya kata-kata majelis hakim yang tertulis dalam putusan tersebut yang mengatakan perbuatan terdakwa karnen terbukti namun

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, kalau memang perbuatan tersebut terbukti dan masuk dalam kategori tindak pidana, karena pasal yang disangkakan

kepada terdakwa karnen sudah terpenuhi unsur-unsur nya sesuai dengan Pasal 90 UU No.15 Tahun 2001 tentang merek. Jadi seharusnya Terdakwa Karnen dapat dipidana sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Karnen selaku Pemilik dan merupakan Direksi karena menjabat sebagai Direktur Utama PT Indra Sari, maka Karnen harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Hal ini terjadi dikarenakan Karnen merupakan Pemilik tunggal dari PT. Indra Sari tersebut.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB IV LANGKAH-LANGKAH PREVENTIF UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PELANGGARAN HAK MEREK A. Sosialisasi UU Merek Undang-undang Merek telah mengatur ketentuan pidana yang bertujuan untuk membela kepentingan dan memberi perlindungan kepada pemilik merek secara luas dan masyarakat (konsumen) dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga dengan demikian pasar Indonesia akan terbebas dari barang bermutu rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan Tetapi di sisi lain, dari kasus yang dijelaskan di muka, tampaknya tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum di masyarakat Selain itu juga, sosialisasi oleh pemerintah secara terus menerus mengenai pentingnya HKI dan khususnya penegakan hukum atas merek di masyarakat dinilai masih sangat penting. Pemakaian merek berfungsi sebagai:
81

1. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya; 2. Sebagai alat promosi atau publikasi ke khalayak umum, sehingga mempromosikan/mempublikasikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya saja; 3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya;

81

Margareth Thatcher Jalmav, Op.Cit.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

4. Menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan. Sanksi terhadap pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang marak selama ini belum menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat Undang-undangnya.82 Menurut Konsultan HKI Dwi Anita Daruherdani, tingkat pelanggaran HKI terbesar terjadi pada pelanggaran hak merek dan dalam berbagai kasus pelaku pelanggaran hanya dikenakan hukuman enam bulan sampai satu tahun atau denda hanya sekitar Rp 1.000.000,-. Padahal Undang-Undang Merek mengijinkan hukuman sampai lima tahun penjara dan denda sebanyak Rp 1 Miliar. Tapi selama ini belum ada hukuman sebesar itu terhadap pelanggaran HKI. Akibatnya, dalam beberapa kasus pelanggaran merek yang dilakukan suatu perusahaan yang kemudian dilakukan tindakan hukum pidana, namun kemudian ditemukan lagi perusahaan itu masih melakukan pelanggaran yang sama, seperti yang terjadi pada sejumlah industri kecil dan menengah yang memalsukan merek garmen terkenal. Para hakim mungkin memberikan hukuman yang ringan kepada para pelanggar HKI tersebut karena kebanyakan mereka berasal dari industri rumah tangga, usaha kecil dan menengah (UKM).

Dwi Anita Daruherdani, Dikutip dari http://indonesianlaw.blogspot.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.
82

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tampaknya Hakim tidak hanya melihat dari pelanggaran saja, tapi juga aspek kemanusiaannya karena mereka melibatkan banyak tenaga kerja. Namun, para penegak hukum juga harus agresif melakukan penyidikan, karena kebanyakan UKM tersebut hanya sub kontraktor dari pemilik modal besar yang selama ini sulit ditemukan. Seperti mafia, mereka memberikan pesananpesanan kepada industri rumahan tersebut untuk membuat barang dari merek terkenal, sementara pengusaha kecil belum sadar HKI dan hanya ingin mengambil keuntungan saja.83 Oleh karena itu, peranan organisasi seperti Indonesian Intellectual

Property Society (TIPS) untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan HKI


terhadap masyarakat khususnya UKM sangat penting agar mereka tidak terjebak pada kasus pelanggaran HKI. Lebih jauh is mengatakan sanksi terhadap pelanggar HKI akan lebih menimbulkan efek jera jika dilakukan dengan hukum perdata, seperti yang dilakukan Microsoft terhadap penggunaan

software bajakan yang dijual pedagang komputer rakitan, karena dendanya bisa
mencapai ratusan juta rupiah. Namun, persoalannya di Indonesia belum ada penilai independen seperti negara lain terutama negara maju, untuk menghitung nilai kerugian akibat pelanggaran HKI dan nilai aset-aset di bidang HKI. Selama ini penghitungannya hanya secara umum, misalnya keuntungan yang diterima pihak pelanggar adalah kerugian pemilik HKI.
83

Ibid.

Bila penegakan hukum terhadap HKI sangat tegas dan Indonesia sudah memiliki mekanisme penghitungan HKI serta penilai independennya, maka sertifikat HKI terutama merek bisa dijadikan jaminan utang ke bank."

B. Pendaftaran Merek
Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mengatakan modus pelanggaran merek dagang kini semakin canggih dan sulit untuk dilakukan upaya penegakan hukumnya. Undang-undang Merek yang berlaku saat ini tidak mengenal dan tidak menyediakan sarana untuk dapat melakukan tindakan atas perbuatan pelanggaran merek dengan modus baru tersebut. Modus baru pelanggaran itu, cenderung lebih banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha yang cukup kredibel dan bukan dari golongan pengusaha kelas rumahan atau UKM. Menurut pengamatan MIAP, ada tiga modus pelanggaran merek. Pertama, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang sama dengan merek milik pihak lain yang terdaftar. Kedua, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang mirip dengan merek pihak lain yang telah terdaftar. Kasus seperti dikenal dengan istilah passing off
85

ini

Tindakan passing off, ujarnya, bukanlah bentuk pelanggaran merek biasa dan bahkan sering dianggap tidak ada pelanggaran terhadap merek yang

84 85

Ibid.

Suwatin Oemar, Koran Bisnis Indonesia, terbit tanggal 12 September 2008.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

sudah terdaftar. Pelaku memproduksi suatu produk yang memakai merek yang berbeda, akan tetapi menggunakan elemen atau bagian bagian tertentu sehingga penampilannya menyerupai tampilan produk milik pihak lain yang sudah terkenal dan terdaftar. Konsumen cenderung lebih melihat pada tampilan fisik dan tidak terlalu teliti dalam melihat merek. Tindakan ini merugikan konsumen karena mereka tidak mendapatkan produk yang sesuai dengan yang mereka cari. Ketiga, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang sama dan atau mirip dengan merek milik orang lain yang telah terdaftar. Akan tetapi, untuk jenis produk berbeda. MIAP mendorong lembaga pemerintah tekait dengan supaya mengakomodasi modus-modus baru pelangaran merek itu,

sehingga bisa memberikan kepastian hukum. Kemajuan teknologi saat ini membuat arus informasi menjadi sangat mudah didapat apalagi dengan keberadaan internet. Selain membawa kemudahan dalam mengakses informasi ternyata internet juga membawa masalah dalam perlindungan para pihak yang menggunakan teknologi ini.86 Namun, arah perkembangan Putusan MA berkaitan dengan merek dalam dekade terakhir ini menegaskan bahwa Republik Indonesia telah melakukan kewajibannya sesuai dengan hukum Internasional.87
Ibid. Prof. Dr. 0. C. Kaligis, SH, MH, Teori & Praktik Hukum Merek Indonesia, Bandung: Alumni, 2008., hal. 192.
86

87

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Identitas di dalam internet sering disebut dengan nama domain (domain

name) sesuai dengan nama yang didaftarkan pemilik situs. Permasalahan


terjadi bila nama domain yang didaftarkan ternyata nama yang telah didaftarkan pada daftar merek di suatu negara. Menyikapi hal ini perlu dibedakan dengan jelas adanya perbedaan antara merek dan nama domain bahwa setiap nama domain belum tentu merek dari suatu produk tetapi keduanya sama-sama merupakan jati diri dari suatu produk barang atau jasa. Nama domain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan merek, tetapi perlu ditegaskan bahwa nama domain tidak identik dengan merek karena meskipun keduanya sama-sama merupakan jati diri suatu produk barang atau jasa, atau suatu nama perusahaan atau badan hukum lainnya. Ini berarti terdapat kemungkinan penggunaan nama tertentu yang merupakan merek dari suatu produk. barang atau jasa. Memang terdapat perbedaan mengenai cara perolehan merek dan nama domain, pada merek berlaku prinsip first to file yang mengatur perlindungan bagi pemegang hak atas merek terdaftar dalam daftar merek nasional sedangkan nama domain didapatkan dengan system first come first serve, seseorang yang mendaftarkan terlebih dahulu itulah yang diakui. Sengketa nama domain yang merupakan merek suatu barang atau jasa ini menjadi masalah yang penting mengingat kerugian bagi pemilik nama merek yang ternyata digunakan nama domain dan timbul kesesatan pada konsumen (user) saat browsing nama domain palsu.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Forum internasional memang telah menyediakan institusi internasional yang didirikan WIPO dan ICANN disebut Center. Institusi ini menggunakan WIPO Mediation and Arbitration

Uniform Domain Name Dispute Resolution

Policy (UDRP) sebagai dasar hukum menetapkan suatu perbuatan sebagai pelanggaran nama domain atau tidak (policy).

Keberadaan institusi ini memang sangat berperan penting dalam memutuskan sengketa nama domain yang termasuk merek, mengingat internet memiliki jaringan yang luas dan tidak terbatas pada suatu teritorial Negara. Namun perlu diketahui batas kewenangan institusi ini hanyalah sebatas memutuskan apakah terjadi penyalahgunaan nama domain suatu produk dengan itikad buruk atau tidak, seperti yang terdapat dalam ketentuan dibawah ini: Pertama, nama domain tersebut sama atau memiliki kemiripan yang membingungkan dengan merek terdaftar atau logo yang dimiliki oleh pihak ketiga. Kedua, Pihak pemegang nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tersebut. Ketiga, Nama domain yang didaftarkan telah digunakan dengan itikad buruk. Setelah suatu nama domain terbukti secara administratif oleh penggugat maka ICANN segera me-register ulang kepemilikan nama domain yang tidak

sah itu. Ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan sebenarnya pihak yang dirugikan (pemegang nama merek yang terbukti dilanggar nama domain-nya)

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

dapat melakukan upaya hukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan bukan secara perdata saja tetapi secara pidana.88 Dasar hukum yang bisa digunakan Pasal 90-94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dalam Bab Ketentuan Pidana bagi pelanggar merek. UU Nomor 15 Tahun 2001 mengatur 2 (dua) macam sanksi yang bisa dijatuhkan secara kumulatif ataupun fakultatif (dan/atau) yaitu pidana penjara dan/atau denda. Penuntutan ini menjadi penting dipahami mengingat ketentuan pidana dalam Undang-undang ini termasuk ke dalam delik aduan89 (klacht delict) sehingga orang yang merasa dirugikan harus mengajukan laporan atau aduan kepada pihak yang berwenang. Yang dapat mengajukan pendaftaran merek adalah:9 1. Orang (persoon); 2. Badan hukum (recht persoon); 3. Beberapa orang atau badan hukum (pemilikan bersama/merek kolektif). Sedangkan fungsi pendaftaran merek adalah: 91 1. Sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan;

88

Ibid.

Hwian Christianto SH, Dikutip dari http://gagasanhukum.wordpress.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008. V. Damayanti, Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.
89 90
91

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

2.

Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau

sama

pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenis; 3. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama barang/jasa

keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk sejenis.

Penuntasan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia masih dihantui persoalan lama. Salah satunya, trade mark trafficker.

Pelaku aksi ini mendaftarkan merek yang bukan miliknya dengan berharap imbalan dari pemilik asli. Merek-merek yang diincar kebanyakan dari luar negeri. Modusnya sederhana. Pertama, pelaku trade mark trafficker jalan-jalan

keliling dunia. Targetnya satu, yakni memantau merek-merek terkenal yang diasumsikan belum masuk Indonesia. Setelah semua merek terpegang, mereka buru-buru pulang. Setiba di Indonesia, mereka langsung mendaftarkan merek merek itu ke Ditjen HKI Departemen Hukum dan Undang-Undang. Untuk urusan daftar-mendaftar merek, mereka memang selangkah lebih cepat dari pemilik asli. Ketika pemilik merek dari luar negeri ingin memasarkan produknya ke Indonesia langsung berhadapan dengan trafficker. trade mark -

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pentingnya merek dalam suatu negara, termasuk Indonesia, diatur dalam UU Merek. Begitu pentingnya, sampai-sampai Pasal 3 UU No 15/2001 menegaskan, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Dalam praktik sehari-hari, sesuai pasal 1 (2), hak eksklusif tersebut menjadi pembeda terhadap barang-barang sejenis lainnya. Selain itu, hak eksklusif juga memberi perlindungan hukum terhadap barang dimaksud. Tidak hanya dalam negeri, negara juga memberi hak tersebut kepada barang dari luar negeri. Asal, pendaftar berdomisili di Indonesia. Ketentuan domisili ini sangat penting. Pasal 10 (1) menyatakan, permohonan yang diajukan pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Indonesia, wajib diajukan melalui kuasanya di Indonesia. Ayat (2) menambahkan, pemohon wajib menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasa sebagai domisili hukum di Indonesia. Ini berarti, domisili atau alamat di Indonesia menjadi faktor penting dalam pendaftaran merek. Menurut konsultan HKI, Dwi Arnita Daruherdani, karena ada pembatasan wilayah hukum merek itulah yang digunakan para trade mark

trafficker. Praktik semacam ini bukan hanya muncul pada tahun-tahun terakhir.
Sepanjang amatannya, kasus serupa sudah ada sejak lama, tapi hingga kini belum bisa diberantas. 92
Dwi Anita Daruherdani, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id, Diakses tanggal 13 Desember 2008.
92

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Pelaku trade mark trafficker terkenal. Yang penting

mengincar semua jenis barang yang ini

booming dan belum masuk ke Indonesia. Orang-orang

mempunyai itikad buruk saat mendaftarkan merek. Dari dulu sampai sekarang, kerjaannya mendaftarkan merek dari luar negeri, yang belum masuk Indonesia. Salah satu merek terkenal yang pernah tersandung trade mark trafficker ke Pada Indonesia tidak bisa ke

adalah Pierre Cardin. Kemeja terkenal asal Prancis ini sempat kesulitan masuk Indonesia karena hak atas merek sudah didaftarkan dan dipegang orang lain. waktu yang asli (Pierre Cardin) masuk, pemilik sah berdasarkan hukum di adalah orang Indonesia yang sudah mendaftarkan. Pemilik asli malah mendaftar. Itikad buruk yang is maksud adalah kesengajaan mendaftarkan merek yang bukan miliknya. Itikad ini Bakal menghasilkan uang setelah pemilik merek asli datang ke Indonesia. Saat mengembangkan bisnis di Indonesia, pemilik asli itu kesulitan mendapat legalitas karena merek yang dipegang sudah didaftarkan pihak lain. Biasanya, jika tidak menggugat melalui jalur hukum, penyelesain yang ditempuh adalah lah yang diharapkan oleh pelaku

buying out. Penyelesaian kedua ini

trade mark trafficker. Akan ada negosiasi

pengalihan kepemilikan sertifikat dari pendaftar ke pemilik asli. Soal harganya, tergantung kesepakatan.
" Ibid.
93

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Selama ini, pelaku trade mark trafficker tersebar di beberapa wilayah. Selain Jakarta, mereka juga menjalankan aksi di wilayah lain. Di Sumatera, misalnya, ada pelaku yang fokus ke merek-merek rokok dan parfum terkenal. Modusnya tetap, menawarkan negosiasi kepada pemilik asli. Satu merek, sepanjang amatan Dwi, merek bisa dijual antara Rp.50 juta sampai Rp.70 juta. Nilainya bisa mencapai ratusan juta jika menyangkut merek-merek kuat. Bahkan, nilainya bisa tinggi. Kalau memang produknya dirasa menguntungkan atau laku keras, bisa saja sampai miliaran rupiah. Dibandingkan dengan biaya pendaftaran, keuntungan yang didapat memang jauh lebih tinggi. Biaya pendaftaran merek hanya Rp. 450 ribu per permintaan. Artinya, dari negosiasi kepada pemilik asli, pelaku trade mark

trafficker memperoleh keuntungan puluhan kali lipat. Keuntungan akan


semakin membumbung karena mereka tidak bermain pada satu-dua merek. Yang mereka pegang sangat banyak, bukan hanya satu.94 Bagi pemilik asli, negosiasi merupakan pilihan sulit, namun tak mungkin dihindari. Apalagi, di antara produk-produk HKI, merek dagang merupakan pintu utama mengenalkan barang kepada konsumen. Selain itu, oleh pebisnis, merek dagang juga berfungsi sebagai identitas produk atau jasa layanan. Merek dagang meliputi nama produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau layanan tersebut. Obyek pantauan HKI untuk merek, meliputi tanda huruf, logo, dan kata, atau kombinasinya.
94

Ibid.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Sebuah merek, sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ek tidak dapat didaftarkan, salah satunya, jika tidak memiliki daya pembeda. Disebut tidak memiliki daya beda karena mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhan dengan merek pihak lain yang sudah didaftarkan terlebih dulu. Pasal itulah yang beberapa tahun lalu, meresahkan sebuah perusahaan bumbu masak terkenal yang hendak mengembangkan bisnis di Indonesia. Pengelola perusahaan terkejut ketika mengetahui merek miliknya sudah didaftarkan pihak lain. Sadar mereknya telah dimainkan oleh trafficker, perusahaan segera menggugat ke pengadilan. Untuk membuktikan merek yang dipegang pemilik asli adalah merek terkenal, Dwi meminta kesaksian beberapa pengelola restoran dan hotel yang menggunakan merek tersebut. Dari kesaksian itu, akhirnya hakim memenangkan Dwi dan kliennya, sekaligus memerintahkan pembatalan merek yang sudah didaftarkan pihak lain. Tindakan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU Merek, yang mengatur upaya pembatalan merek. Hanya saja, dalam pasal lain, UU juga membenarkan tindakan pengalihan kepemilikan merek. Pasal 40, ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatakan bahwa hak atas merek bisa dialihkan karena beberapa alasan. Yakni, pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian, serta sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. trade mark

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Bersandar pada pasal tersebut, negosiasi tersebut adalah upaya untuk mempermudah peralihan hak. Itu adalah kesepakatan kedua pihak, pemegang merek dan pihak yang ingin memiliki merek. 95 Persoalannya, kerap kali para trade mark trafficker tidak melakukan upaya investasi dan produksi dari merek yang dipegang. Kalau pun ada, hanya sekali-dua kali. Mereka tidak memiliki modal cukup, atau sengaja menunggu pihak lain menggunakan merek serupa. Begitu terjadi, mereka langsung menawarkan negosiasi. Mereka memang sengaja menunggu. Praktik tersebut sebenarnya kurang sejalan dengan ketentuan undangundang UU Merek, mempersyaratkan, merek yang terdaftar dipakai dalam waktu tiga tahun berturut-turut. Misalnya, didaftarkan 1 November 2006, kalau tidak pakai sampai 1 November 2009, pihak ketiga bisa mengajukan gugatan penghapusan. 96 Namun demikian, pihak Ditjen HKI, Departemen Hukum dan Undangundang membantah terjadinya praktik trade mark trafficker terhadap merekmerek terkenal. Apalagi, Ditjen HKI memiliki data base merek-merek terkenal. Untuk merek internasional yang sudah well known brand, tidak akan diluluskan bila ada pemohon yang ingin mendaftarkan Di loket pendaftaran, memang tetap diterima, namun akhirnya tetap ditolak.
" Ibid.
96

Ibid.

Pada akhir tahun 2004, Dirjen HKI menerima pendaftaran merek asing
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

sebanyak 13.685 Jumlah ini menurun pada 2005 yang hanya mencapai 10.082 merek. Sedangkan pada 2006, naik lagi menjadi 13.859 merek asing. Sementara itu, untuk pendaftaran hak paten merek barang-barang produksi luar negeri, pada periode 1991-2005 terdapat 34.676 hak paten merek asing. Khusus selama semester I 2006, tercatat 2.369 hak paten merek asing. Dari jumlah itu, pendaftar terbanyak datang dari Amerika Serikat (554 permohonan), Jepang (378 permohonan), Jerman (224 permohonan), dan Swiss (104 permohonan). Adakalanya suatu kata yang bersifat umum dapat menjadi merek juga yaitu dalam hal pemakaian yang sangat lama, kata tersebut oleh khalayak ramai sudah dianggap sebagai berasal dari pabrik tertentu (herkomst aanduiding) dan diakui sebagai merek.97 Sejatinya, pemilik merek asli lebih menguntungkan menempuh jalur hukum. Pasalnya, para trade mark trafficker kesulitan bermain di pengadilan, karena tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat. Kalau pun memakai argumen kerugian, darimana menghitungnya, dia nggak pernah memakai merek yang didaftarkan. Itulah alasannya, pelaku trade mark trafficker cenderung `menggiring' pemilik asli ke negosiasi buying out.
98

Saidin, S.H., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 315
97 98

Dwi Anita Daruherdani, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id, Op.

Cit.
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Sejauh ini pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Intelektual berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang ada di beberapa negara yang telah maju. Direktorat Jendral HKI merupakan institusi yang relatif masih muda/baru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi seandainya dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala. Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif telah ada beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai guna mendukung peningkatan sistem hak kekayaan intelektual sebagaimana diharapkan. Perlu pula kiranya dikemukakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, sejak Januari 2000, pengajuan permohonan Hak Kekayaan Intelektual dapat dilakukan di Kantorkantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktorat Jenderal HKI untuk diproses lebih lanjut. Di samping itu, pada saat ini, dengan bantuan World Bank sedang dilaksanakan penyempurnaan sistem administrasi pendaftaran merek di Direktorat Jenderal HKI yang diharapkan dapat lebih menunjang proses administrasi dimaksud. 99

" Ibid.

C. Lisensi Dan Pengalihan Hak


Lisensi dan pengalihan hak merupakan cara lainnya dalam kerangka melindungi HKI secara preventif. Dalam konteks lisensi, penerima lisensi boleh menggunakan atau memperbanyak HKI, tetapi harus izin dan memberikan sejumlah royalti yang telah disepakati. Dengan adanya mekanisme lisensi dan pengalihan hak berarti telah terwujud suatu bentuk perlindungan hukum yang bersifat preventif. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.100 Beberapa Pasal dalam UU Merek mengenai Lisensi, yaitu antara lain: Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: (1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa; (2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain, untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan Merek terdaftar yang bersangkutan. (3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.
100

UU Merek, Pasal 1 angka (13).

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

(4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Direktorat Jenderal dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Di pasal tersebut dinyatakan bahwa harus didaftarkan perjanjian lisensi yang diberikan kepada pihak lain. Baik secara seluruhnya menggunakan merek itu atau hanya sebagian untuk jenis barangnya atau jasanya. Adanya perjanjian lisensi ini sudah lama dikenal dalam praktek dagang di Indonesia. Tetapi baru belakangan telah diakui adanya sistem lisensi ini dengan dicantumkan dalam Undang-undang Merek tahun 1992 atau tahun 1997. Akan tetapi, sebelum adanya ketentuan dalam Undang-undang secara tertulis, dalam praktek sudah lama dibenarkan penggunaan lisensi ini. Putusan dalam merek "Gold Bond", sebagai salah satu contoh jurisprudensi yang mengakui lisensi ini. Telah dikuatkan juga dalam praktek yang tidak pernah meragukan keabsahan dari lisensi ini. Misalnya perusahaan Bayer di Jerman memberikan lisensi kepada perwakilan cabangnya di Indonesia untuk juga memproduksi obat-obatan dengan merek Bayer. Demikian pula dengan merek pabrik farmasi Hoechst terlihat bahwa selalu diproduksi dengan catatan barangnya atau etiketnya bahwa telah diproduksi barang ini dengan lisensi dan kontrol pemilik merek Bayer atau Hoechst. Dinyatakan pada ayat (2) bahwa lisensi ini bisa berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia tetapi juga hanya untuk sebagian. Dan juga jangka waktu lisensi ini tidak boleh melebihi 10 (sepuluh) tahun atau sisa jangka waktu perlindungan karena pencatatan merek ini dalam Daftar Merek
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Indonesia. Juga dinyatakan kemudian dalam ayat (3) bahwa harus dicatat perjanjian lisensi ini pada Direktorat Paten dan Merek. Tetapi hingga kini boleh dikatakan masih belum ditaati pelaksanaan dari pemeliharaan pendaftaran lisensi secara khusus oleh Kantor Merek di Tangerang. Hal ini disebabkan karena katanya belum ada peraturan pelaksanaannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan dan merupakan suatu kekurangan dari birokrasi dan tata usaha negara Indonesia. Karena banyak sekali peminat pemilik merek yang berada di luar negeri selalu menghubungi kantor merek untuk minta didaftarkan perjanjian lisensinya. Mereka memberikan lisensi kepada
licensee

di Indonesia dan menurut ketentuan perundang-undangan harus didaftarkan. Tetapi pendaftaran ini belum bisa dilakukan. Menurut Sudargo Gautama, adalah ideal dan juga sesuai dengan ketentuan dari negara Indonesia sendiri, bahwa perlu ada dan dibuka kemungkinan pendaftaran lisensi ini secepat mungkin.
101

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan Lisensi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) tetap dapat menggunakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan Merek tersebut, kecuali bila diperjanjikan lain. Dan pada prinsipnya suatu pemberian lisensi bukan secara eksklusif tetapi hanya untuk sebagian. Bahwa si pemilik merek dapat memberikan juga
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Ibid., hal. 135136.
101

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

lisensi kepada pihak-pihak lain di dalam wilayah Indonesia atau bisa juga lisensi ini diberikan untuk barang-barang tertentu sedangkan untuk barang barang lain oleh pihak licensor diberikan kepada seorang licensee lain. Jadi di -

sini dijunjung tinggi kebebasan berkontrak. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Dalam perjanjian Lisensi dapat ditentukan bahwa penerima Lisensi bisa memberi Lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga. Dalam Pasal 45 tersebut menerangkan prinsip dari kebebasan pemberian lisensi ini untuk seluruhnya maupun sebagian secara eksklusif atau tidak, seperti telah diutarakan dalam Pasal 44 diulangi dan dipertegas lebih lanjut. Pihak ketiga dapat diberikan lisensi pula oleh pihak yang berhak atas merek yang bersangkutan itu.
102

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan: Penggunaan Merek terdaftar di Indonesia oleh penerima Lisensi dianggap sama dengan penggunaan Merek tersebut di Indonesia oleh pemilik Merek. Di pasal tersebut dipertegas prinsip mengenai pemakaian merek Dinyatakan bahwa apabila telah diberikan lisensi oleh seorang pemilik merek yang haknya terdaftar di Indonesia maka dianggap pemakaian mereknya itu (use).

102 Ibid., hal. 137.


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

dilakukan pula olehnya, satu dan lain untuk memenuhi persyaratan-persyaratan use di dalam UU Merek Indonesia. Seperti diketahui, oleh karena non use

(tidak dipakai) maka untuk selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dapatlah diadakan pembatalan merek yang terdaftar itu. Sekarang ini dipertegas bahwa pemakaian oleh pihak licensee adalah sama dengan

dipakainya oleh si pemilik merek ini yang terdaftar di kantor merek di Indonesia sendiri. Sebagai pemilik merek is tidak khawatir bahwa karena sudah membuat perjanjian lisensi, dan pihak licensee nya yang memakai mereknya itu di dalam
-

wilayah Indonesia ini tidak akan diberikan perlindungan. Dipertegas hal ini juga dalam Memori Penjelasan Pasal 46 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dinyatakan merek yang terdaftar dianggap terus dipakai merek atau jasa yang bersangkutan.
13

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: (1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. (2) Direktorat Jenderal wajib menolak permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

13

Ibid., hal. 137.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Dapat diketahui bahwa peranan dari Direktorat Jenderal Merek (Hak Kekayaan Intelektual) sebenarnya besar. Sebelum Direktorat Jenderal mencatatkan makna isi dari perjanjian lisensi ini perlu diperiksa apakah merugikan masyarakat Indonesia, memberi pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dan bisa merugikan perekonomian Indonesia. Semua ini harus diperiksa. Oleh karena hingga kini belum ada kasus mengenai hal ini bahkan peraturan mengenai pendaftaran lisensi perjanjian lisensi ini tidak belum diterbitkan pada Direktorat Jenderal HKI di Tangerang belum bisa dilaksanakan, maka jelas apa yang dapat dianggap merugikan perekonomian Indonesia atau membatasi dan menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. Perjanjian yang merugikan masyarakat Indonesia ini wajar untuk tidak diluluskan. Pelaksanaannya dalam praktek tentu masih akan dilihat hasilnya secara faktual. Bahwa penolakan ini diberitahukan, beserta alasannya mengapa ditolak, sudah sepatutnya. Ini juga adalah sesuai dengan prinsip fair play dan memberikan

alasan-alasan untuk setiap tindakan, baik dalam bidang peradilan atau secara administratif yang merugikan pihak tertentu. Keluhan yang sudah diutarakan berkenaan dengan praktek belum diadakan pendaftaran lisensi ini, karena menurut keterangan dari kantor Merek Tangerang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka sekali lagi diulangi hal ini sebenarnya adalah bertentangan dengan apa yang ditentukan Undang-undang Merek yang didasarkan atas Persetujuan World Trade di bahwa dalam

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Organization, baik konvensi Paris maupun Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights.
104

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: (1) Penerima Lisensi yang beriktikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian Lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian Lisensi; (2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemberi Lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan; (3) Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti secara sekaligus dari penerima Lisensi, pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Syarat dan tata cara permohonan pencatatan perjanjian Lisensi dan ketentuan mengenai perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sekarang ini ada ketentuan bahwa pelaksanaan daripada pencatatan perjanjian lisensi ini harus dengan Keputusan Presiden. Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini lebih lagi akan menghambat pelaksanaannya dalam praktek. Maka sangat diharapkan bahwa Keputusan Presiden bersangkutan akan cepat dikeluarkan untuk kepastian hukum. Karena sudah tercantum dalam Undang14

/bid., hal. 138-139.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

undang Merek sekarang ini bahwa perjanjian lisensi yang tidak dicatat tidak dapat bekerja terhadap pihak ketiga. Beberapa Pasal dalam UU Merek mengenai Pengalihan Hak, antara lain: Pasal 40 angka (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan:

(1) Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena: a. Pewarisan; b. Wasiat; c. Hibah; d. Perjanjian; atau e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang undangan. (2) Pengalihan hak atas Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek. (3) Permohonan pengalihan hak atas Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen yang mendukungnya. (4) Pengalihan hak atas Merek terdaftar yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (5) Pengalihan hak atas Merek terdaftar yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Merek tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. (6) Pencatatan pengalihan hak atas Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Mengenai hal pengalihan hak ini dinyatakan bahwa prinsip publisitas juga harus diperhatikan. Artinya harus diumumkan kepada pihak dunia luar mutasi pengalihan hak ini. Yang dengan pengumuman dalam Berita Resmi Merek. Supaya berakibat terhadap Pihak Ketiga. Pewarisan wasiat ini adalah cara-cara peralihan hak secara biasa untuk keseluruhan atau juga yaitu karena

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

wasiat atau hibah. Atau karena akibat produk perjanjian khusus, misalnya perjanjian yang membuat akibat juga terhadap peralihan hak-hak atas merek. Dijelaskan dalam Memori Penjelasan mengenai Pasal 40 ayat (1) ini bahwa apa yang dimaksudkan "dibenarkan oleh peraturan perundangundangan", misalnya karena pembubaran badan hukum yang semula pemilik merek. Kemudian diserahkan kepada salah satu peserta pemegang saham. Dalam ayat (3) Memori Penjelasan dinyatakan bahwa dimaksud adalah sertifikat merek dan bukti lainnya yang mendukung hak. Untuk selanjutnya Memori Penjelasan hanya mengatakan bahwa cukup jelas. Dalam Memori Penjelasan dinyatakan pada ayat (5) bahwa penentuan akibat hukum tersebut baru berlaku untuk pengalihan hak atas merek dicatat dalam daftar umum Merek ini. Yang berlaku adalah apa yang dinamakan asas publisitas. Di kantor merek dilakukan tidak akan dapat berlaku terhadap pihak ketiga yang bukan pihak pada perjanjian itu.105

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: (1) Pengalihan hak atas Merek terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya yang terkait dengan Merek tersebut; (2) Hak atas Merek Jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan dapat dialihkan dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa.

105 Ibid. , hal. 131-132.


Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Di pasal tersebut disaksikan bahwa perlu diberikan perlindungan yang wajar berkenaan dengan adanya pengalihan hak atas merek. Maka dialihkannya merek ini juga harus diartikan turut beralih nama baik (goodwill) reputasi atau lain-lainnya yang terkait dengan merek itu. Jadi di pasal tersebut boleh dikatakan disesuaikan dengan praktek yang sudah berlaku dalam hal peralihan hak atas merek. Pada waktu sekarang ini sudah menjadi praktek bahwa jika dilakukan bahwa jika dilakukan suatu peralihan hak atas merek, assignment atau jual beli maka harus dilakukan, hal ini bukan saja mengenai mereknya tetapi juga menyangkut "the bussiness and the goodwill of the bussiness". Dalam prakteknya cukup dicantumkan kata-kata bahwa yang ditransfer atau dialihkan adalah merek bersangkutan berikut perusahaannya dan goodwill dari perusahaannya itu. Ini adalah yang sudah lazim dalam praktek dan jika sebagai konsultan merek dalam praktek sehari-hari mempunyai formulir-formulir tertentu mengenai pengalihan hak atas merek ini yang mencakup juga "the

bussiness and the goodwill of bussiness".

Dalam prakteknya akan diberikan

perlindungan kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan adanya merek yang bersangkutan. Konsumen supaya dilindungi hak-haknya memerlukan persyaratan ini. Jangan merek ini dialihkan begitu saja tanpa dipelihara reputasi baiknya. Demikian pula merek jasa yang sudah terdaftar inijika hendak dialihkan, harus melekat padanya juga kemampuan kualitas dan keterampilan pribadi dari pemberi jasa dan tidak dapat dialihkan tanpa ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa ini.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tentunya segala sesuatu ini dalam teori. Bagaimana dalam prakteknya sukar ditentukan, kecuali dilihat persoalan-persoalan (case by case) dalam hal dialihkan suatu jasa tertentu. Artinya harus diusahakan bahwa juga perusahaannya yang memberikan jasa itu turut dialihkan.106

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Pengalihan hak atas Merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa Merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa.

Pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut akan dipergunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa yang sama. Di pasal tersebut juga prinsipnya adalah perlindungan kepada konsumen. Supaya reputasi pada merek tertentu yang terdaftar ini juga disertai dan digunakan setaraf dengan sebelum pengalihan ini oleh yang akan menerima pengalihan. Ditegaskan di pasal tersebut bahwa harus ada pihak yang menerima pengalihan merek bersangkutan merek itu bagi perdagangan barang dan/atau jasa, yang sama.107

/bid., hal.133134. Ibid., hal.134.


16
17

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian di muka, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk Pelanggaran merek, antara lain: a. Praktek peniruan merek dagang. Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upaya-upaya menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah terkenal untuk menimbulkan kesan seakan akan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk terkenal tersebut. b. Praktek pemalsuan merek dagang. Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara memproduksi barang barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya. c. Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat -

dan asal-usul merek. Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu. 2. Inti pada setiap bisnis yang sukses adalah merek yang digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengidentifikasikan barang/ jasa yang dijualnya. Selain menandai barang/ jasa yang ditawarkan, merek juga harus dapat berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan konsumen atas kualitas barang/ jasa yang dilekati merek tersebut. Pemilihan merek secara seksama adalah hal yang penting agar merek tersebut dikenali oleh konsumen. Hal ini seringkali memerlukan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit di dalam mempromosikan merek untuk menjadi merek yang terkenal. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 6 huruf b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek bahwa ada beberapa prasyarat untuk sebuah merek dikategorikan sebagai merek terkenal, yaitu pengetahuan umum masyarakat mengenai merek yang bersangkutan, reputasi karena adanya promosi yang gencar dan besar besaran, investasi di beberapa negara di dunia, dan juga bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Sungguh merupakan hal yang sangat merugikan bagi pemilik merek terkenal apabila mereknya disalahgunakan oleh pihak lain dengan itikad tidak baik yang pada akhirnya akan memperdaya konsumen, sehingga tidak mempercayai lagi kualitas merek yang sesungguhnya. -

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

3. Bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak sekali terjadi pelanggaran terhadap hak merek. Pelanggaran hak merek itu mulai meningkat di Indonesia sejak kebijakan Pasar bebas yang dicanangkan pemerintahan Indonesia, dimana Investor Asing diberikan kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia. Untuk melindungi para pengusaha ataupun pemegang hak merek dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaftar, maka perlu diberikan perlindungan hukum terhadap hak merek barang terdaftar. Perlindungan hukum dapat berupa pemberian sanksi hukum terhadap pelanggaran hak merek, baik dalam bentuk ganti rugi maupun dalam bentuk tuntutan pidana. Selain itu juga, sosialisasi oleh pemerintah secara terus menerus mengenai pentingnya HKI dan khususnya penegakan hukum atas merek di masyarakat dinilai masih sangat penting. Upaya preventif yang harus dilakukan dalam pelanggaran merek adalah Sosialisasi UU Merek, pendaftaran merek serta lisensi dan pengalihan hak.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

B. Saran
1. Perlunya kejelian dan kecermatan dalam memeriksa suatu permohonan hukum diperlukannya

pendaftaran merek ke Ditjen HKI khususnya hak merek. Kepastian dapat mempengaruhi iklim investasi yang lebih baik sehingga peningkatan kualitas para penegak hukum khususnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual selama ini merupakan suatu tuntutan pidana, hanya

yang berkaitan dengan

(HKI). Delik aduan yang berlaku

kemunduran apabila ancaman hukuman ini dan

bergantung pada pengaduan dari orang yang merasa dirinya

dirugikan. Akan lebih efektif apabila dari pihak penyidik sendiri tanpa perlu adanya laporan atau pengaduan dari orang yang berkepentingan, tindakan-tindakan penyidikan dalam hal yang tidak wajar masyarakat (delik murni). Merek terkenal dibonceng terkenalnya merek atau indikasi geografis/ bersangkutan. Hingga masyarakat 2. diadakan

dalam pandangan karena ketenaran atau

indikasi asal dari barang-barang

terperdaya dan dirugikan.

Pemilik merek asli lebih menguntungkan menempuh jalur hukum. bermain di

Pasalnya, para trade mark trafficker (pelanggar merek) kesulitan

pengadilan, karena tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat. Kalau pun memakai argumen kerugian, darimana menghitungnya, para trade mark trafficker

(pelanggar merek) nggak pernah memakai merek yang didaftarkan. Itulah alasannya, pelaku trade mark trafficker
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

cenderung `menggiring' pemilik asli ke negosiasi buying out. Para pelaku bisnis hendaknya menjunjung tinggi nilai etika moral dalam berbisnis yaitu jujur dan dapat bersaing secara sehat. 3. Perlu dilakukan sosialisasi yang berupa penyuluhan dan pembinaan dari Kantor Konsultasi Pendaftaran Hak atas merek kepada masyarakat akan pentingnya perlindungan sebuah merek.sehingga masyarakat terdorong untuk menghasilkan produk yang berkualitas tanpa harus memalsukan/ menggunakan merek orang lain, disamping itu perlu ditingkatkan sosialisasi Undang-undang Merek.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

DAFTAR PUSTAKA Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1998 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta . Grafitti Press, 2006 Anwar, H. A. K. Moch., Segi-Segi Hukum Masalah Penyelundupan, Alumni, 1982. Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, cet.2, Pers, 1994. Artikel harian Kompas tanggal 9 April 2002. BIS Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1967. Chibro, Soufnir, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan, Jakarta . Sinar Grafika, 1992. Christianto SH, Hwian, Dikutip dari http://gagasanhukum.wordpress.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008. Clarkson, CMV., Understanding Criminal Law. 2nd ed. London: Sweet & Maxwell Ltd., 1998. Damayanti, V., Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/journal/, tanggal 13 Desember 2008. Damayanti, V., Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/, 13 Desember 2008. Diakses Bandung:

Jakarta: Rajawali

Diakses tanggal

Daruherdani, Dwi Anita, Dikutip dari http://indonesianlaw.blogspot.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008. Daruherdani, Dwi Anita, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id , Diakses tanggal 13 Desember 2008. http://www.inta.org/., 20 November, 2008. Diakses tanggal 12 Desember 2008 Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

http://puspasca.ugm.ac.id/, http://www.carolinafirst.com/,

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

http://www.cbcindonesia.com/, http://www.ebizzasia.com/, http://www.fdic.gov.html/, http://www.fdic.html/,

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. Diakses hari Minggu, tanggal 13

http://www.gagasanhukum.wordpress.com/, Juli 2008. http://www.google.com/trademark/,

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. Diakses hari Minggu, tanggal 13

http://www.internetlaw.html/virtual_banks/, Juli 2008.

http://www.kompas.com , Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.kompas-cetak/ekonomi/.htm, 2008. http://www.mediaindo.co.id/, http://www.ristek.go.id/, http://www.theage.com.au/, http://www.wikipedia.co.id/, Djaidir, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

Undang-Undang Perseroan Terbatas, Medan: Disajikan Dalam Seminar Sehari Mengenai Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Dan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, 21 Juni 1997

Djumhana, Muhammad, dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Elliot, Chatherine, and Frances Quinn., Education Limited. Criminal Law, 3rd ed., Essez: Person

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Gautama, Sudargo, dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Gautama, Sudargo, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT dan Putaran Uruguay, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Gautama, Sudargo, dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994 Hasibuan, Syafruddin Sulung, Bahan Kuliah tentang HAKI tanggal 17 November 2007 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Citra Aditya Bakti, 2007 Jalmav, Margareth Thatcher, Dikutip dari tanggal 10 Desember 2008. http://digilib.unej.ac.id/, Bandung: Diakses

Kaligis, SH, MH, Prof. Dr. 0. C., Teori & Praktik Hukum Merek Indonesia, Bandung: Alumni, 2008. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Media, 1997. Jakarta . Prenada

Kurniadi, Dedi, Perlindungan Hak Cipta Atas Format Program Televisi, Jakarta: Jurist Publishing, 2005. Laporan USTR 2005 Special 301. Lederman, Eli, Criminal Law, Perpetrator and Corporation: Rethiking a Complex Triangle, J. Crim. L. & Criminology : 1985. Lopa, Baharudin, Tindak Pidana Ekonomi (Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan), Jakarta: Pradnya Paramita, 1992. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006. Yogyakarta
.

Mertokusumo, Sudikno, Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, 2004.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Montan, Nils Victor, Chander M. Lall dan Clifford Borg-Marks, (Author & Ed.), Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pacific Rim (New York: INTA) 2001. Nasution, Bismar, Diktat Kuliah Hukum Perusahaan.(Bahan Fiduciary Duty dan Teori Salomon) SPS USU. Oemar, Suwatin, Koran Bisnis Indonesia, terbit tanggal 12 September 2008. Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005 www.adln.lib.unair.ac.id ,

Poernomo dan Dani Mega, Agustinus, Dikutip dari Diakses tanggal 12 Desember 2008.

Priapantja, Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property SocietyIIIPS) pada tanggal 19 20 September 2001. Rai Widjaya, I. G, Hukum Perusahaan, Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2002 Ranuhandoko, I. P. M., Terminologi Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2003 Perseroan

Republik Indonesia, Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Terbatas

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Ratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Republik Indonesia, Keppres No 17 Tahun 1997 tentang Trademark Law Treaty (TLT).

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 1961. Republik Indonesia, Undang-Undang Darurat No. 7/drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 14 Tahun 1997. Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Bina Cipta, 2004 Saidin, S.H., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Sitepu, Dina Yenny M., Dikutip dari Desember 2008. http://library.usu.ac.id/, Diakses tanggal 11 Pengelolaan

Saliman, Abdul. R., Dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta: Kencana, 2005. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. ----------------- , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Grafitti Press, 1990 ----------------- , Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Supramono, Gatot, Hukum Perseroan Terbatas yang Baru, Jakarta: Djambatan, 1996. Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Paramitha, 2003 Jakarta . Pradnya Jakarta:

Tjager, I Nyoman, Srihandoko, ABC Pasal Modal Indonesia, Jakarta . Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990
Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Tunggal, Hadi Setia, Tanya Jawab UU Perseroan Terbatas Indonesia, Harvarindo, 2006.

Jakarta:

Usman, Marzuki, Djoko Koesnadi, Arys Ilyas, Hasan Zein M., I Gede Putu Ary Suta, Wilamarta, Misahardi, "Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance", Cet.1, Jakarta. Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2002. Utama, Budi, "Pelanggaran Hak Cipta dominasi kasus HAKI", Bandung: Koran Bisnis Bali, 12 Agustus 2008. Widjaja, I.G.Rai., Hukum Perusahaan, Jakarta: Kesaint Blanc, 2005. Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta: Forum Sahabat, 2008. Yani, Ahmad, & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Juli Agung Pramono : Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek, 2009 USU Repository 2008

Anda mungkin juga menyukai