Anda di halaman 1dari 7

BAB I PEMBAHASAN

I.1 Biografi Abu Ala Al-Madudi Abu Ala merupakan cendekiawan muslim yang berasal dari India, dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 M/3 Rajab 1321 H di kota Hyberad. Cendekiawan ini merupakan putra dari Abu Hasan yang berketurunan dari sufi besar tarekat Christiyah. Madrasah Furqoniyah merupakan pendidikan awal beliau, kemudian orang tua beliau lebih memilih mendidiknya di rumah sehingga ia menjadi seorang tradisionalis fundamentalis.[1] Dengan bukunya yang berjudul AlJihad fil Islam, beliau menceritakan kehidupannya dalam perkumpulan tahrik-e-hijrat sekitar tahun 1920 ketika masih bekerja sebagai seorang wartawan. Tidak lama, beliau pun bekerja sebagai koresponden di Jabalpur dan di tahun ini pula beliau hijrah ke Delhi dan bekerja sebagai editor pembantu. Beliau meninggal pada tanggal 22 September 1979 di Buffalo, New York dan dimakamkan di Lehrah, Lahore. 2. Format Sistem Ekonomi Islam Menurut Al-Maududi, Islam telah menerangkan sebuah system ekonomi. Akan tetapi, Islam hanya menentukan landasan dasar yang bisa membuat kita menyusun sebuah rancangan ekonomi yang sesuai di setiap masa. Dalam bidang ekonomi, Islam telah membuat beberapa peraturan dan menyusun sejumlah batasan dimana kita boleh membuat suatu system. Sebagaimana perkembangan yang ada, kita harus menyimpulkan peraturan baru yang berada pada batasan-batasan yang ditemukan oleh Islam.[2] Jawaban beliau juga

dibenarkan oleh Yusuf Qardhawi ketika temannya bertanya bertanya mengenai hal yang sama. Saat itu beliau mengatakan Aturan dalam Islam ada yang bersifat global dan rinci. Yang global biasanya untuk hal-hal yang memungkinkan berubah karena faktor waktu dan tempat. Sedangkan yang rinci untuk hal-hal yang baku. Masalah ekonomi dan politik sering berubah, temporal, menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu untuk masalah ini Islam cukup meletakkan dasarnya.[3] 3. Tujuan Organisasi Ekonomi dalam Islam a. Kebebasan Individu (Individual Freedom) Tujuan yang pertama dan utama dari Islam ialah untuk memelihara kebebasan individu dan untuk membatasinya ke dalam tingkatan yang hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Alasannya adalah karena seseorang harus bertanggung jawab secara individu kepada Allah dan bukannya secara kolektif. Oleh karena itu, Islam menentukan peraturan ekonomi yang menghasilkan kebebasan secara maksimal terhadap

kegiatan ekonomi kepada setiap individu, dan mengikat mereka yang hanya kepada batasanbatasan yang sekiranya penting untuk menjaga mereka tetap pada jalur yang ditentukan. Tujuan semua ini adalah menyediakan kebebasan kepada setiap individu dan mencegah munculnya sistem tirani yang bisa mematikan perkembangan manusia.[4] b. Keselarasan dalam Perkembangan Moral dan Materi Yang kedua, perkembangan moral manusia adalah kepentingan dasar bagi Islam. Jadi penting bagi individu di dalam masyarakat untuk memiliki kesempatan mempraktekkan kebaikan secara sengaja. Maka kedermawanan, kemurahan hati, dan kebaikan lainnya menjadi suatu yang hidup dalam masyarakat. Karena itulah Islam tidak bersandar seluruhnya kepada hukum untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi memberikan otoritas utama kepada pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan, dan lain-lainnya.[5] c. Kerjasama, Keserasian dan Penegakkan Keadilan Yang ketiga, Islam menjunjung tinggi persatuan manusia dan persaudaraan serta menentang perselisihan dan konflik. Maka dari itu Islam tidak membagi masyarakat ke dalam kelas sosial. Jika menengok kepada analisis terhadap peradaban manusia akan kelas sosial terbagi menjadi dua; yang pertama kelas yang dibuat-buat dan tercipta secara tidak adil yang dipaksakan oleh system ekonomi, politik dan sosial yang jahat seperti Brahmana, Feodal, Kapitalis. Adapun Islam tidak menciptakan kelas seperti itu dan bahkan membasminya. Yang kedua, kelas yang tercipta secara alami, karena adanya rasa hormat menghormati dan perbedaan kemampuan dan kondisi dari masyarakatnya.[6] 4. Prinsip-prinsip Dasar a. Kepemilikan Pribadi dan Batasannya (Private Property and Its Limits) Islam tidak memperbolehkan manusia untuk mencari penghidupan dengan cara-cara yang akan menyebabkan timbulnya kekacauan dalam memperoleh harta kekayaan. Ajaran Islam menegakkan perbedaan antara halal (yang sah) dan haram (tidak sah) dalam menilai berbagai cara yang merugikan dan merusakkan moral. b. Keadilan Distribusi (Equitable Distribution) Peraturan penting dalam ekonomi Islam ialah membangun suatu system distribusi yang adil. Kemudian dalam hal pengeluaran, Islam menentukan kondisi yang tidak menyebabkan kerugian moral dari individu atau yang membahayakan public secara umum. Islam juga tidak menyetujui seseorang untuk menahan hartanya dari sirkulasi. Selain itu, Al-Maududi pun menyebutkan bahwa Islam melarang

umatnya berbuat terhadap orang lain atau menggunakan aturan yang tidak adil dalam mencari

harta, tetapi mendukung penggunaan semua cara yang adil dan jujur dalam mendapatkan harta kekayaan. Hak individu untuk memiliki harta dan bekerja secara bebas diperbolehkan tetapi hendaklah menurut landasan teretentu, karena islam tidak akan toleran terhadap tindakan penyalahgunaan hak-hak tersebut. Jelasnya terdapat hanya tiga penggunaan yang munasabah terhadap harta yang diperoleh seseorang. Dibelanjakan, atau diinvestasikan untuk pengembangan hartanya atau disimpan saja. Maka, jalur yang benar menghasilkannya secara halal,

mengeluarkannya sesuai kebutuhan, menginvestasikannya kepada jalur sirkulasi yang halal pula. Dan dalam hal ini, Islam juga melarang adanya reservasi terhadap kesempatan ekonomi untuk beberapa individu, keluarga, kelas yang menghalangi kelas lainnya untuk menggunakan kesempatan itu.[7] Hak-hak Sosial Islam kemudian menghubungkan kembali hak sosial dengan kekayaan individu dalam berbagai bentuk, salah satunya yaitu seseorang yang memiliki harta lebih mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan kepada kerabatnya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.[8] Semua ini bertujuan untuk menanamkan moral kedermawanan, lapang dada dan mencegah sifat egoism dan kikir. Zakat Dalam perekonomian konvensional, dikenal istilah pajak. Sedangkan dalam Islam, dikenal istilah zakat yang dipungut sesuai dengan besarnya pengeluaran atau dengan kata lain pungutan yang ditarik melalui harta yang diakumulasikan, perdagangan, pertanian, peternakan dan berbagai macam bisnis lainnya. Namun pada dasarnya, zakat sangatlah jauh berbeda dengan pajak. Karena dana zakat tidak disalurkan untuk pembangunan sarana umum, melainkan untuk memenuhi hak-hak orang yang telah ditentukan oleh Allah, yakni mustahiq. Selain itu, menurut Al-Maududi zakat adalah solidaritas umat Islam untuk mewujudkan jiwa saling tolong menolong di kehidupan social. Ini adalah inovasi yang baik bagi mereka yang sedang mengalami kemandekan dalam berekonomi. Ini juga merupakan sarana untuk menolong mereka yang tidak mampu, yang sakit, para yatim piatu sehingga terwujud persamaan, kestabilan kondisi dan ketentraman jiwa. Di atas semua itu, zakat adalah sesuatu yang tidak pernah hilang dalam pikiran umat Islam.[9] c. Hukum Waris (Law of Inheritance) Hukum waris pada intinya ialah mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh almarhum. Hukum waris dimaksudkan agar harta yang dimiliki oleh almarhum tidak terpusat pada satu orang atau satu keturunan, tetapi terdistribusi kepada pihakpihak yang berhak menerimanya.[10]

d. Peran Tenaga Kerja, Modal dan Pengelolaan (Role of Labor, Capital and Management) Islam mengenali hak pemilik tanah dan pemodal, begitu pula terhadap pekerja dan pelaku bisnis yang menerangkan secara jelas bahwa Islam menganggap keduanya sebagai factor ekonomi. Kemudian dari faktor-faktor tersebut harus adil dalam pembagian keuntungan. Intinya, Islam melepaskan kepada kebiasaan dalam pembagiannya. Jika diantara faktor-faktor tersebut terdapat ketidakadilan maka hukum tidak hanya boleh melakukan intervensi, melainkan bertugas untuk mengarahkan kepada regulasi keadilan dalam distribusi profit diantara modal, tenaga kerja dan pengelolaan. 5. Teori Bunga Al-Maududi telah membahas secara khusus dan memberikan kritik secara rasional terhadap teori bunga, serta membicarakan panjang lebar mengenai aspek-aspek negatif dan menunjukkan kejahatan-kejahatannya secara fundamental. Masalah yang pertama kali harus kita putuskan adalah apakah bunga itu merupakan pembayaran yang beralasan? Apakah para kreditor itu adil apabila menuntut untuk membayar bunga atas hutang yang diberikan? Dan adilkah jika penghutang dituntut harus membayar bunga terhadap pemberi pinjaman sesuatu yang melebihi pinjaman pokok? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyelesaikan separuh dari masalah bunga. Jika dapat ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat dibenarkan baik oleh akal maupun keadilan, lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan. Mengapa peraturan yang tak beralasan tersebut tetap dibiarkan berlangsung berada di tengah masyarakat. Terdapat perbedaan pendapat yang menyolok di antara para ahli yang mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah bunga itu dibayarkan? Sebagian mengatakan bunga itu merupakan harga, tetapi harga itu untuk apa? Para pelopor institusi bunga mendapat kesulitan besar untuk memperoleh kesepakatan dalam masalah ini. Teori Piutang Menanggung resiko Menurut Al-Maududi, sesungguhnya kreditor

hanya meminjamkan sejumlah uang yang berlebih dari yang ia perlukan dan yang tidak ia gunakan sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh dikatakan sebagai imbalan karena itu tidak menahan diri dari sesuatu yang memungkinkan dirinya menuntut imbalan. Kemudian sewa itu sendiri hanya dikenakan terhadap barang-barang yang dapat digunakan berulang-ulang. Teori Pinjaman memperoleh Keuntungan Pemikiran ini mengatakan bahwa waktu itu sendiri memiliki harga yang meningkatkan sejalan dengan periode waktu. Kemudian masa peminjam menginvestasikan modalnya,mempunyai harga tertentu baginya dan ia akan menggunakannya untuk memperoleh keuntungan. Maka tidak ada alasan mengapa kreditor tidak

boleh menikmati sebagian dari keuntungan peminjam.

Tetapi kemudian Al-maududi

mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan masuk akal oleh para pendukung teori bunga ini. Yakni dengan pertanyaan bagaimana dan darimana sumbernya kreditor itu mendapatkan informasi bahwa peminjam itu nyata-nyata memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian dengan investasi modal pinjamannya itu? Bagaimana ia mengetahui bahwa peminjam itu akan memperoleh keuntungan yang pasti sehingga dengan begitu ia menetapkan bagian keuntungan tersebut? Dan bagaimana pemberi pinjaman dapat memperhitungkan bahwa peminjam pasti akan memperoleh keuntungan yang begitu banyak selama masa modal digunakannya sehingga ia akan mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun? Para pendukung teori bunga ini tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal terhadap masalah tersebut.[11] Teori Produktivitas Modal Pendapat ini memandang bahwa modal adalah produktif yang dapat diartikan bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu, atau bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga merupakan imbalan atas pelayanan produktif tersebut atas modal kepada peminjam dalam proses produksi. Tetapi pernyataan bahwa produktivitas merupakan kualitas yang melekat pada modal adalah tidak beralasan karena modal menjadi produktif hanya apabila digunakan untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan oleh seseorang. Apabila modal digunakan untuk tujuantujuan konsumsi, maka modal tidak mempunyai kualifikasi semacam itu. Meskipun modal digunakan dalam usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan, tidak perlu kiranya menghasilkan nilai lebih. Dapat dinyatakan bahwa produktivitas tersebut merupakan kualitas yang melekat pada modal. Sering terjadi, terutama dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanaman modal tidak hanya menipiskan keuntungan tetapi ternyata melibatkan keuntungan menjadi kerugian. Teori Present Value > Future Value Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya di masa sekarang serta kepuasan sekarang daripada yang akan datang. Para ahli tersebut menjelaskan fenomena bunga dengan suatu rumusan yang sangat dikenal dengan menurunkan nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini. Singkatnya, bunga dapat dianggap sebagai agio yang diperoleh dari barang-barang yang waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran

barang di waktu yang akan datang. Boehm, pendukung penting dari pendapat ini, memberikan tiga alasan terhadap penurunan nilai di waktu yang akan datang: Keuntungan di masa yang akan datang diragukan karena ketidakpastian peristiwa yang akan datang serta kehidupan manusia, sedangkan keuntungan pada masa kini jelas dan pasti. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka di waktu yang akan datang karena mungkin mereka tidak mempunyai kehendak semacam itu di waktu yang akan datang. Oleh karena dalam kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna,dengan demikian barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding dengan barang-barang di waktu yang akan datang. Berdasarkan alasan-alasan

tersebut, mereka mengatakan bahwa keuntungan pasti masa kini sudah jelas diutamakan daripada keuntungan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, modal yang dipinjamkan kepada peminjam sekarang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sejumlah uang yang dikembalikan beberapa tahun kemudian. Sesungguhnya, bunga merupakan nilai kelebihan yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan pada masa pembayarannya agar mempunyai nilai yang sama dengan modal pinjaman semula. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah sifat manusia

sungguh-sungguh menganggap kehendak masa sekarang lebih penting dan berharga daripada keinginan-keinginannya di masa yang akan datang? Jika demikian, lalu mengapa banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannnya sekarang tetapi senang menyimpan

pendapatannya itu untuk keperluan di masa yang akan datang? Kita akan banyak menjumpai orang yang menahan keinginannya di masa kini demi untuk keinginan masa depan yang merupakan peristiwa yang tidak dapat dilihat dan disangka. Segala usaha manusia kini diarahkan untuk masa depan yang lebih baik, sehingga kemungkinan kehidupan manusia di masa yang akan datang lebih bahagia dan sejahtera. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan orang yang secara sukarela menciptakan hari ini yang lebih bahagia dan sejahtera dengan mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraannya di masa depan. Maududi menjelaskan akan bahaya kejahatan institusi bunga dan menunjukkan bagaimana bunga itu dapat menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat. Sekarang kita akan membicarakan kejahatan-kejahatan moral, budaya dan ekonomi tersebut satu persatu. Kejahatan Moral dan Spiritual Institusi bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta demi kepentingannya sendiri. Bunga menjadikan manusia egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Bunga membentuk sikap tidak

mengenal belas kasihan, mendorong sifat tamak, menaburkan sifat cemburu, dan memupuk sifat bakhil dalam berbagai cara. Secara ringkas, bunga mendorong dan menyuburkan sifat-sifat buruk terhadap diri manusia yang dapat menimbulkan kesengsaraan di kalangan masyarakat. Kejahatan Sosial Budaya Institusi bunga akan menyebarkan keegoisan yang merusak semangat mengabdi kepada masyarakat dan tidak membantu pertumbuhan masyarakat. Kepentingan orang kaya pun dianggap bertentangan dengan kepentingan orang miskin. Kejahatan Ekonomi Apabila dipinjamkan untuk kepentingan konsumsi, maka yang terjadi kan menurunkan standar hdup dan pendidikan anak-anak mereka karena pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus. Kecemasan dalam hal tersebut akan mempengaruhi efisiensi kerj. Dan pembayaran bunga juga telah mengurangi daya beli di kalangan mereka. Pinjaman yang dilakukan untuk hal produktif biasanya dilakukan oleh pedagang dan pelaku bisinis lainnya. Maududi berpendapat bahwa dampaknya akan negatif bagi masyarakat bila dipungut bunga pada sektor produktif. Pertama, terakumulasinya modal secara sia-sia karena pemodal menahannya dengan harapan adanya kenaikan suku bunga. Kedua, sikap tamak untuk menaikkan bunga yang lebih tinggi yang menyebabkan tidak dislurkannya dana yang seharusnya dikerjakan oleh pelaku bisnis dan dapat sangat cepat mempengaruhi kehancuran ekonomi. Ketiga, modal tidak diinvestasikan ke dalam banyak perusahaan yang sangat bermanfaat panjang dengan mengharapkan meningginya bunga di masa depan. Hal ini merupakan hambatan dalam pembangunan industri.

Anda mungkin juga menyukai