Anda di halaman 1dari 10

Women in Buddhism

(Questions & Answers)


by : Chatsumarn Kabilsingh Ph.D

Pertanyaan 1
Saat Ratu Mahamaya meminta Sang Buddha untuk mengijinkannya masuk ke Order,
mengapa Sang Buddha semula ragu tetapi kemudian mengijinkannya?
Bagi Anda yang tertarik dengan ordination/penabhisan wanita, ini adalah
pertanyaan yang paling menjadi teka-teki, yang mana membutuhkan pemahaman
kontekstual yang mendalam.
Saat Raja Suddhodana, ayahanda Sang Buddha, meninggal dunia, maka tugas
dari Maha Pajapati sebagai seorang istri terhadap suaminya pun telah selesai.
Baginya, itu adalah waktu yang tepat untuk mulai mengikuti dan mendalami praktek
dari ajaran Buddha dengan serius. Akan tetapi saat ia mendatangi dan meminta ijin,
Sang Buddha hanya berkata, “Mohon jangan meminta hal demikian.” Tripitaka, yang
merupakan sumber utama yang paling penting, tidak memberikan suatu alasan apapun
untuk tidak mengijinkan wanita untuk bergabung dengan Order.
Banyak interpretasi yang belakangan dikemukakan di kitab komentar untuk
mencoba menjelaskan situasinya saat itu. Hal ini menyebabkan timbulnya juga
kepercayaan umum (rumor) bahwa Sang Budda tidak mau mengijinkan wanita untuk
menjalani kehidupan suci. Hal ini tentu tidak beralasan sama sekali. Menurut adat
istiadat masyarakat India, menjalani kehidupan suci bukanlah jalan untuk wanita
(tidaklah diperuntukkan bagi wanita). Sastra Manudharma dengan sangat jelas
menyatakan bahwa keselamatan seorang wanita hanya bisa ditempuh dengan cara
bhakti (kesetiaan/ketaatan) terhadap suaminya semata.
Akan tetapi keinginan Maha Pajapati tidak goyah. Setelah Sang Buddha pergi,
Maha Pajapati beserta dengan 500 orang wanita suku Sakya dari istana mencukur
rambut mereka dan mengenakan jubah berwarna kuning. Kemudian mereka mengikuti
Sang Buddha berjalan kaki hingga tiba di Vesali dimana Sang Buddha tinggal. Setelah
sampai di Arama (tempat tinggal Sang Buddha), mereka tidak meminta untuk bertemu
dengan Sang Buddha karena takut permintaan mereka ditolak lagi. Ananda, sepupu
sekaligus pelayan pribadi Sang Buddha, melihat mereka berada di pintu masuk
dengan tubuh kotor penuh debu, jubah sobek di sana-sini, dan kaki berdarah.
Kebanyakan dari mereka kondisinya sangat menyedihkan, sengsara, dan menangis
putus asa. Ia kemudian mempelajari permintaan mereka dan kemudian menemui Sang
Buddha atas nama para wanita tersebut. Lagi-lagi Sang Buddha melarang Ananda
dengan cara yang sama, “Ananda, mohon jangan meminta hal demikian.”
Ada bermacam alasan yang harus dipertimbangkan dalam upaya memahami
kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan yang muncul dalam benak Sang Buddha.
Pertama, Maha Pajapati adalah seorang ratu yang, bersama dengan kelima
ratus wanita istana, hanya tahu hidup dalam kenyamanan. Untuk menjalani kehidupan
pertapaan yang mana hanya boleh tidur dibawah pohon, atau di dalam gua, tentu akan
sangat berat sekali bagi mereka. Karena kasih sayang lah maka Sang Buddha ingin
agar mereka mempertimbangkan keinginan mereka itu.
Lagi pula, menerima sejumlah besar wanita untuk ditabhiskan sekaligus tentu
membutuhkan banyak guru untuk memberikan mereka arahan dan latihan. Sang
Buddha juga tidak dapat selalu ada untuk mereka terus menerus. Sangha belum siap
untuk menyediakan para bhikkhu yang kompeten untuk menjadi guru menangani
sejumlah besar wanita tersebut. Hal ini terbukti kemudian setelah para wanita tersebut
diterima di Sangha. Bhikkhu-bhikkhu yang mengajar para bhikkhuni tersebut tidak
boleh hanya terpelajar saja, tetapi juga harus memiliki sikap yang pantas untuk
membantu memajukan para wanita secara spiritual.
Sang Buddha sudah pernah menerima kritikan karena memisahkan anggota
keluarga dengan menabhiskan suami atau istri. Sewaktu Maha Pajapati menemuinya
beserta 500 orang wanita suku Sakya untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni, maka hal
tersebut akan bahan kritikan lagi. Particularly, orang-orang suku Sakya tidak menikah
dengan orang dari suku yang berbeda. Dengan mengijinkan 500 wanita suku Sakya
untuk ditabhiskan tentunya akan mempengaruhi keseimbangan status sosial/social
status quo. Tapi belakangan diketahui bahwa suami-suami dari para wanita tersebut
juga telah bergabung dengan Sangha. Oleh karena itu, kritik yang dilontarkan tersebut
bahwa dengan menerima para wanita tersebut akan menceraikan/memisahkan
keluarga mereka menjadi tidak berdasar/tidaklah benar.
Kenyataan bahwa para wanita tersebut mengikuti Sang Buddha berjalan kaki
hingga Vesali tentunya telah membuktikan kesungguhan tekad mereka untuk
menjalankan kehidupan suci dan menghilangkan keraguan bahwa permintaan mereka
tersebut hanya dorongan hati sesaat semata.
Hal ini mungkin menjadi beberapa alasan dibalik keraguan Sang Buddha.
Beliau membutuhkan waktu untuk memeriksa pro dan kontra terhadap permintaan
mereka tersebut.
Ananda juga berusaha untuk mengerti/memahami penolakan Sang Buddha.
Apakah hal ini karena wanita tidak mampu memperoleh pencerahan spiritual? Jika
demikian, maka (ordination) persaudaraan suci hanyalah jalan spiritual yang hanya
diperuntukkan bagi kaum pria. Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha menyatakan
dengan jelas bahwa baik pria maupun wanita memiliki potensi yang sama untuk dapat
mencapai pencerahan spiritual.
Pernyataan tersebut harus digarisbawahi mengingat ini adalah pertama kalinya
dalam sejarah agama seorang pemimpin spiritual menyatakan dengan terbuka bahwa
pria dan wanita adalah sama dalam hal/berdasarkan spiritual. Sebelum itu, dalam
konteks agama Hindu, Weda, teks/naskah/ayat wejangan yang paling sakral, hanya
diperuntukkan bagi kaum pria. Ajaran Buddha telah melampaui perbedaan ras, suku
bangsa, kasta, dan jender untuk menyatakan bahwa pencapaian spiritual tertinggi
melampaui halangan-halangan atau diskriminasi/perbedaan jender. Dengan alasan
penting inilah maka Sang Buddha mengijinkan wanita untuk bergabung dengan
Persaudaraan/Sangha (Order).

Pertanyaan 2
Apa saja syarat-syarat bagi seorang wanita untuk dapat ditabhiskan menjadi seorang
Bhikkhuni?
Dalam penabhisan bhikkhuni diperlukan sedikitnya 5 orang Bhikkhuni hadir.
Pada hari yang sama, setelah diterima dan diakui oleh Sangha Bhikkhuni, wanita
tersebut harus diterima dan diakui pula oleh 5 sedikitnya orang Bhikkhu. Bhikkhuni
senior yang bertindak sebagai pembimbing atau pavattini harus minimal telah menjadi
Bhikkhuni selama 12 tahun yang mana benar-benar telah mengetahui dhamma dan
vinaya, dan juga harus telah diangkat sebagai pembimbing oleh kedua Sangha.
Setelah wanita diterima dan diakui dalam Sangha, maka menjadi hal yang
populer dan umum sekali bagi wanita untuk bergabung dengan Sangha Bhikkhuni,
sehingga mengakibatkan kurangnya tempat tinggal bagi mereka. Oleh karena itu,
setiap pavattini hanya diperbolehkan untuk menerima bhikkhuni baru sekali setiap
tahun. Tugas seorang bhikkhuni Pembimbing adalah memberikan ajaran dan latihan
kepada para bhikkhuni bimbingannya, termasuk merawat mereka jika sakit.
Ada tiga (3) cara penabhisan seorang bhikkhu. Pertama, Ehi Bhikkhu
Upasampada, yaitu penabhisan langsung oleh Sang Buddha di masa-masa awal
dengan tanpa ritual formal. Sang Buddha hanya mengucapkan, “Jadilah seorang
Bhikkhu,” yang mana dianggap merupakan penabhisan lengkap/sempurna.
Berikutnya muncul penabhisan dengan menerima Tiratna, yaitu Buddha,
Dhamma, dan Sangha, sebagai tempat perlindungan. Ini adalah bentuk penabhisan
yang dilakukan oleh para guru di masa-masa awal untuk menerima murid mereka
menjadi Bhikkhu.
Kemudian, setelah orang yang ingin menjadi bhikkhu semakin bertambah
banyak, bentuk penabhisan yang lebih formal mulai diperkenalkan. Penabhisan yang
dimaksud yaitu natticatuthakammavaca, dengan seorang pembimbing dengan dua
pelatih dan minimum chapter 10 orang bhikkhu sebagai saksi dalam penabhisan. Ini
adalah penabhisan yang dilakukan oleh Sangha, dan merupakan jenis penabhisan
yang lazim dilakukan saat ini.
Ada pula jenis penabhisan lainnya yang diperuntukkan bagi bhikkhuni. Dahulu
ada kejadian seorang wanita yang telah melalui prosedur penabhisan yang dilakukan
oleh Sangha Bhikkhuni akan tetapi ia tidak dapat menghadap Sangha Bhikkhu di
tempat lain pada hari yang sama seperti yang telah ditentukan dalam syarat
penabhisan. Karena ada sekelompok penjahat yang mencegat di perjalanan dan
berniat untuk menculiknya. Sang Buddha mengijinkan dutenasampada, yaitu
penabhisan oleh/melalui duta yang ditunjuk. Yang bertindak sebagai duta adalah
bhikkhuni lain yang diutus oleh Sangha Bhikkhuni atas nama calon bhikkhuni tersebut.
Ini juga dianggap merupakan penabhisan yang sah/benar.
Seorang wanita yang meminta untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni harus
berusia minimal 20 tahun, telah memperoleh ijin dari orang tua, tidak mempunyai
penyakit yang akan menjadi penghalang baginya untuk menjalankan kehidupan sebagi
bhikkhu/bhikkhuni. Ia harus telah menyelesaikan masa latihan 2 tahun sebagai
sikkhamana dan mampu mendapatkan/memperoleh kebutuhan dasar/utama yaitu
jubah, mangkuk, dan lain-lain.

Pertanyaan 3
Mengapa pria hanya melalui dua tahap penabhisan, sedangkan wanita harus melewati
tiga tahap penabhisan?
Ada lima (5) jenis penabhisan yang berbeda, 2 untuk pria dan 3 untuk wanita.
Samaneri adalah bentuk penabhisan (pabajja) yang paling rendah tingkatannya
dengan 10 sila (yang harus dijalankan). Seseorang yang ditabhiskan dalam tingkatan
ini harus memiliki usia yang cukup untuk dapat mengusir burung gagak dari sawah.
Belakangan ditentukan usia yang pasti yaitu minimal 7 tahun. Pria yang lebih tua
terkadang juga hanya menerima tingkat penabhisan yang rendah.
Seseorang dapat ditabhiskan di tingkatan yang lebih tinggi (upasampada) jika
telah berusia mimimal 20 tahun dan memiliki kondisi fisik yang normal. Seorang wanita
yang telah menikah dapat ditabhiskan pada usia 12 tahun dengan ijin dari
pasangan/suaminya.
Untuk sikkhamana, masa pelatihan diadakan kemudian. Pernah terjadi kejadian
seorang wanita yang telah menikah meminta untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni
tanpa mengetahui bahwa ia sedang mengandung. Kehamilannya baru diketahui
setelah ia ditabhiskan. Oleh karena itu ditetapkan peraturan bahwa wanita harus
mengikuti/melalui/melewati masa pelatihanan sikkhamana selama 2 tahun. Selama
masa waktu ini, seorang sikkhamana menjalankan 6 anudhamma yang merupakan
enam sila pertama dalam 10 sila untuk seorang Samaneri. Akan tetapi, seorang
sikkhamana dianggap memiliki tingkat latihan yang lebih tinggi daripada seorang
Samaneri meskipun hanya menjalankan 6 sila. Ini menunjukkan bahwa seorang
sikkhamana sebenarnya adalah orang yang sedang dalam tahap persiapan untuk
memasuki tingkatan penabhisan yang lebih tinggi. Dan selama 2 tahun masa pelatihan
tersebut, apabila ia melanggar salah satu dari keenam sila yang dijalankan, maka ia
harus mengulang lagi dari awal. Dikehendaki agar ia harus dapat menjalankan latihan
selama 2 tahun dengan tanpa melanggar satupun dari keenam sila yang dijalankan.

Pertanyaan 4
Mengapa bhikkhuni menjalankan sila yang lebih banyak (sikkhapada) daripada
bhikkhu?
Di Theravada, bhikkhu menjalankan 227 sila dan bhikkhuni menjalankan 311
sila. Perbedaan ini sering mengarah pada pandangan bahwa Sang Buddha
sebenarnya tidak menginginkan agar wanita memasuki Sangha, sehingga Beliau
membuat aturan-aturan sebagai rintangan/penghalang untuk menghalangi wanita
sejak permulaan/awal.
Dari kajian/studi perbandingan/komparatif antara Patimokkha bhikkhu dan
bhikkhuni (disampaikan pada Konferensi Internasional Kajian Thai, di Chiangmai, 14-
17 Oktober 1996), dihitung dari banyaknya kelompok/bab maka terlihat bahwa bhikkhu
memiliki 8 kelompok peraturan yang harus dijalankan sedangkan untuk bhikkhuni ada
7 kelompok. Satu kelompok aturan yang hanya diperuntukkan bagi bhikkhu itu disebut
“Aniyata”. Dalam bagian/kelompok tersebut, terdapat 2 peraturan yang diusulkan oleh
Visakha, penyokong utama wanita di zaman Sang Buddha. Salah satu peraturan yaitu
melarang bhikkhu untuk berada seorang diri dengan seorang wanita di tempat yang
tertutup, dan peraturan lainnya yaitu melarang bhikkhu untuk berada seorang diri
dengan seorang wanita di tempat terbuka dimana tidak ada orang di sekitarnya.
Menurut Parajika, kelompok pertama dari Patimokkha yang berisi tentang
pelanggaran yang paling berat, bhikkhu atau bhikkhuni manapun yang melanggar
salah satu dari peraturan tersebut akan dikeluarkan dari Sangha saat itu juga. Ada
empat peraturan untuk bhikkhu dan delapan peraturan untuk bhikkhuni. Keempat
peraturan lebih yang dijalankan oleh bhikkhuni tersebut pun juga berlaku untuk bhikkhu
tetapi digolongkan/dikelompokkan ke dalam Sanghadisesa, yaitu kelompok peraturan
yang kedua yang kurang/tidak begitu berat/keras. Bagi bhikkhu yang melanggarnya
harus menjalani masa ‘manatta’, yaitu pengeluaran/pengusiran/pengunduran diri
sementara dari Sangha. Perlu diingat bahwa pengelompokkan aturan semacam ini
dilakukan belakangan oleh bhikkhu-bhikkhu murid Sang Buddha setelah Sang Buddha
wafat.
Pada kelompok Patidesaniya, terdapat delapan aturan untuk para bhikkhuni.
Pada bhikkhu juga berlaku peraturan dengan esensi yang sama tetapi kesemua
peraturan tersebut digabung menjadi satu dan digolongkan ke dalam bagian Sekhiya,
kelompok lain. Inilah mengapa sila untuk bhikkhuni terlihat banyak.
Pada kelompok Pacittiya, bhikkhuni menjalankan 166 aturan sedang bhikkhu
hanya 92 aturan. Terdapat 70 aturan biasa yang berlaku untuk kedua Sangha.
Kemudian bhikkhu memiliki 76 aturan lain yang khusus untuk bhikkhu, dan bhikkhuni
juga memiliki 76 aturan khusus yang tersendiri. Dalam 76 aturan khusus untuk
bhikkhuni tersebut, terdapat banyak aturan berkaitan dengan syarat penabhisan yang
mana juga harus dijalankan oleh bhikkhu. Namun, untuk bhikkhu, aturan-aturan
tersebut tidak dimasukkan ke dalam Patimokkha. Sehingga hal ini mengakibatkan
Patimokkha sila untuk bhikkhuni sangat banyak sekali.
Karena alasan-alasan diatas, maka bhikkhuni mengemban aturan yang lebih
banyak dalam Patimokkha dibandingkan dengan bhikkhu. Akan tetapi sebenarnya
mereka menjalankan serangkaian sila yang sama.

Pertanyaan 5
Apa yang menyebabkan timbulnya nuansa androsentis (berpusat pada kaum
pria/lelaki) dalam Tripitaka?
Saya memusatkan jawaban saya hanya dalam konteks Theravada yang mana
tetap menjaga/memelihara ajaran Buddha dalam bahasa Pali. Orang Theravada
meyakini bahwa ajaran yang mereka jalankan adalah yang paling autentik berdasarkan
sudut pandang historisnya. Kita perlu memahami/mengerti bahwa Tripitaka yang kita
ketahui sekarang tidaklah ditulis pada jaman Sang Buddha. Ajaran agama dipelajari
dan kemudian diturunkan/diwariskan dari guru ke murid-murid yang dipilih, sehingga
tidak ada (ajaran agama) yang dicatat/dibukukan. Hal ini erlaku juga pada ajaran
Buddha. Tripitaka pertama kali ditulis di Sri Lanka sebelum 450 B.E (sekitar 90 SM).
Apa yang ditulis dalam Tripitaka tentu berdasarkan pemahaman para bhikkhu
yang mengingatnya/menulisnya. Apa yang mereka pilih untuk ditulis adalah/bersifat
subyektif, sehingga dapat dipahami/dimengerti mengapa Tripitaka berpusat pada kaum
pria/lelaki. Tripitaka ditulis oleh kaum pria/lelaki yang dipengaruhi/diliputi oleh nilai-nilai
masyarakat India. Mereka adalah kaum pria/lelaki yang mana dengan Vinaya
diharapkan untuk menjalankan kehidupan suci. Tentu yang mungkin menjadi gangguan
dari tekad mereka untuk hidup selibat adalah lawan jenisnya. Oleh karena itu banyak
ajaran yang dituangkan oleh para bhikkhu tersebut menggambarkan/menampilkan
wanita (perwujudan/penjelmaan dari rintangan mereka) sebagai sesuatu yang
jahat/tidak baik, kotor/tidak suci/tidak bersih, dll. Ini adalah halangan yang diperlukan
untuk memagari diri mereka agar tidak jatuh ke dalam jebakan/lubang untuk berlaku
tidak selibat. Saat membaca Tripitaka, kita harus mengingatkan diri kita akan adanya
keterbatasan ini agar kita dapat menyaring Tripitaka dari segala keterbatasan konteks
sosial yang ada dan mengambil esensinya.
Jika dilihat dari tingkat Paramattha, maka akan terlihat bahwa dalam ajaran
agama buddha tidak ada bias jender. Buddhisme adalah agama pertama di dunia yang
mengakui adanya potensi spiritual yang sama antara pria dan wanita. Hal ini memberi
kekhususan bagi ajaran agama Buddha yang berawal di India untuk mengangkat
tingkatan spiritual yang tanpa batas ras, kasta, maupun jender ke seluruh penjuru
dunia.

Pertanyaan 6
Apakah benar bahwa Tripitaka menekan/menyudutkan/memojokkan kaum wanita?
Tripitaka, kumpulan besar dari banyak teks-teks ajaran Buddha berbahasa
Kanon, terdiri atas tiga bagian utama. Ajaran Sang Buddha ditulis dan diletakkan ke
dalam tiga keranjang yang disebut pitaka. Bagian yang pertama, yaitu Vinaya,
mengatur tentang hal-hal yang dilarang dan diperbolehankan untuk para bhikkhu dan
bhikkhuni. Sutta, yaitu bagian yang kedua, berisi tentang ajaran-ajaran yang diberikan
oleh Sang Buddha maupun oleh murid-murid utama-Nya. Beberapa bagian dari Sutta
ini membahas tentang perkembangan batin yang terlepas dari konteks sosial,
sementara bagian yang lain masih diliputi/diselimuti/terpengaruh oleh nilai-nilai
masyarakat India. Ada pula bagian tentang Jataka, yang berisi cerita-cerita kehidupan
lampau Sang Buddha yang terangkai/terjalin dengan cerita-cerita populer dari tanah
India. Kedua bagian dari Tripitaka ini diulang oleh para murid Sang Buddha pada
konsili/pesamuan agung pertama yang dilangsungkan tiga bulan setelah Maha
Parinibbana Sang Buddha. Bagian ketiga dari Tripitaka, yaitu Abidhamma, yang berisi
tentang penjelasan filosofis dari pikiran/batin dan fungsinya disusun/dibuat oleh
komentator di belakangan hari. Ketiga bagian Tripitaka tersebut dituliskan pertama kali
sebelum 450 B.E. (sekitar 90 S.M.).
Isi Tripitaka dapat digolongkan ke dalam dua bagian besar, yaitu Lokuttara dan
Lokiya. Lokuttara menyangkut dhamma murni yang bertujuan untuk pembebasan
batin. Berdasarkan sifat alaminya, batin/pikiran tidak memiliki perbedaan jender. Oleh
karena itu, lokuttara dhamma melampaui/tidak dilingkupi oleh perbedaan dan bias
jender.
Bagian yang kedua, yakni lokiya, adalah ajaran yang berkenaan dengan
konteks sosial dan historis/sejarahnya, maka dari itu nilai-nilainya bergantung
pada/dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial/masyarakat dan sejarah. Bagian ini
selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi dua kategori. Kategori yang pertama yaitu yang
diambil dari konteks masyarakat India, sehingga membawa sekaligus diperkuat oleh
nilai-nilai masyarakat India. Keberadaan bagian inilah yang membuat sebagian besar
materi dalam Tripitaka terkesan menyudutkan/memojokkan/menekan kaum wanita jika
kita membaca Tripitaka tanpa memahami kerangka kerjanya.
Di bagian yang kedua jelas tampak sikap Buddhisme yang mencoba untuk
membebaskan diri dari nilain-nilai masyarakat India, yaitu dalam hal sistem kasta.
Sang Buddha dengan tegas menolak sistem kasta yang menjadi alat ukur masyarakat
India saat itu yang membagi orang ke dalam beberapa kasta yang berbeda. Malah
Beliau menegaskan/menekankan bahwa seseorang adalah Brahmana bukanlah
ditentukan oleh karena ia terlahir di keluarga Brahmana, melainkan karena perbuatan
bajiknya sendiri.
Kemudian Beliau membuat pendiriannya menjadi sangat jelas dengan
mengemukakan bahwa pria dan wanita adalah sama dalam hal potensinya untuk
mencapai pencerahan spiritual. Pencapaian spiritual seorang wanita diperoleh dengan
usahanya sendiri, bukan dengan cara pengabdian terhadap suaminya. Saat wanita
memasuki Sangha, mereka menikmati kesempatan yang sama untuk mempelajari
Dhamma. Banyak aturan Vinaya yang diterapkan agar bhikkhu tidak mengambil
manfaat dari keberadaan bhikkhuni, contohnya para bhikkhu tidak boleh meminta
bhikkhuni untuk mencuci jubah mereka, rug, dll. Pada isi bagian ini, dapat kita lihat
bahwa Tripitaka mendukung dan memajukan wanita. Kita harus menangkap hal ini
sebagai jiwa/semangat yang sesungguhnya (true spirit) dari ajaran agama Buddha. Hal
ini adalah reformasi/perubahan sosial dalam upaya untuk mengangkat wanita untuk
membagi embanan tanggung jawab sebagai salah satu dari empat kelompok penganut
ajaran Buddha yang bertanggung jawab terhadap perkembangan atau kemunduran
agama Buddha.

Tripitaka

Lokuttara Lokiya
Diluar jender/Tidak membedakan pria atau wanita Dalam konteks sosial

Diturunkan melalui/dengan Jiwa/Semangat ajaran Buddha yang sesungguhnya


nilai-nilai masyarakat India Membebaskan & Mengangkat Wanita

Pertanyaan 7
Apa pendapat Anda tentang Delapan Garudhamma?
Saat Sang Buddha akhirnya mengijinkan wanita untuk memasuki Sangha,
Beliau memberi/menetapkan Delapan Garudhamma yang harus dijalankan oleh
mereka. Ratu Maha Pajapati menerima semua aturan tersebut dan menjunjungnya
laksana mahkota yang menghiasi kepalanya. Meskipun demikian, Delapan
Garudhamma tersebut telah banyak dikritik dengan anggapan bahwa Sang Buddha
sesungguhnya tidak benar-benar terlepas dari kondisi/keadaan masyarakat India.
Untuk itu, kita perlu meninjau lebih dekat kedelapan Garudhamma tersebut, yaitu:
1. Seorang bhikkhuni yang (meski) telah ditabhiskan selama satu abad harus
menyambut/menyapa dengan penuh hormat, bangkit dari tempat duduk,
beranjali, dan melakukan penghormatan dengan semestinya kepada seorang
bhikkhu yang baru ditabhiskan.
2. Seorang bhikkhuni tidak boleh melakukan vassa (selama musim hujan) di
tempat dimana tidak ada bhikkhu disana.
3. Setiap setengah bulan seorang bhikkhuni harus meminta dua hal dari Sangha
Bhikkhu, yaitu: permintaan (waktu.......
4. Setelah masa vassa seorang bhikkhuni harus mengundang kedua Sangha
untuk meminta tiga hal ???
5. Seorang bhikkhuni yang melanggar aturan yang penting harus menjalani masa
manatta (hukuman) selama setengah bulan didepan kedua Sangha.
6. Setelah menjalani masa latihan sebagai seorang Samaneri yang menjalankan 6
sila selama dua tahun, ia harus ditabhiskan oleh kedua Sangha.
7. Seorang bhikkhu tidak boleh diperlakukan dengan semena-mena atau dicaci
dengan cara apapun oleh seorang bhikkhuni.
8. Seorang bhikkhuni tidak boleh memberi teguran kepad bhikkhu, sedang
bhikkhu boleh menegur bhikkhuni. (Cv.X.SBE.XX.p.354)

Sang Buddha sebenarnya menetapkan Delapan Garudhamma yang harus


dipatuhi oleh para bhikkhuni demi kebaikan mereka/untuk melindungi mereka. Jika
dilihat hanya pada permukaannya saja maka orang akan berpikir bahwa aturan
tersebut diberlakukan untuk mengontrol para bhikkhuni. Untuk dapat memahami dan
menghargai Garudhamma, kita harus melihatnya dalam konteks sosial historisnya.
Masyarakat India sejak dulu menganut sistem patrialkal. Kaum pria selalu menjadi titik
pusat dari segala pertimbangan/pemikiran dan kepentingan. Kaum wanita dibesarkan
dalam kedudukan sosial dan kultural yang menempatkan mereka di bawah kaum pria.
Mereka berada dalam asuhan orang tua mereka saat masih muda, di bawah
perlindungan suami mereka setelah menikah, dan di bawah lindungan anak laki-laki
mereka setelah lanjut usia (Manudharmasastra). Wanita dipandang sebagai makhluk
yang penuh ketergantungan.
Mereka tidak dapat dibiarkan sendiri sedemikian hingga mereka tidak terbiasa
untuk membuat/mengambil keputusan sendiri. Hidup mereka sepenuhnya bergantung
pada arahan/bimbingan pria dalam anggota keluarga mereka. Kehidupan religius
mereka pun tidak terlepas dari kondisi yang sama. Seorang wanita dapat berharap
memperoleh keselamatan spiritual hanya dengan cara ketaatan dan pelayanan
terhadap suaminya. Ia boleh mempersembahkan sesuatu sebagai sebagian dari
suaminya (as the other half of her husband), tapi ia tidak dapat melakukan
ritual/upacara apapun dengan bebas/sekehendaknya. Ia juga tidak boleh melantunkan
ataupun membaca/mempelajari Weda karena dianggap tidak suci/tidak bersih, dan
sebaliknya, ia tidak suci karena tidak tidak bisa mempelajari Weda.
Kondisi-kondisi sosial religius/keagamaan seperti demikian memungkinkan
satu-satunya cara bagi seorang wanita untuk memperoleh keselamatan hanya melalui
ketaatan/kesetiaan terhadap suaminya. Ini juga berhubungan/terkait dengan kewajiban
wanita untuk melahirkan anak laki-laki bagi keluarganya. Diyakini bahwa anak laki-
lakinya itu harus melakukan upacara terakhir/final untuk membuka jalan ke surga bagi
orang tuanya. Jika seorang wanita tidak bisa mempunyai anak laki-laki untuk keluarga
suaminya, maka keberadaannya dianggap sungguh suatu kesialan.
Ajaran Buddha muncul dan berkembang dari tanah/daerah India yang penuh
dengan nilai-nilai masyarakat semacam ini. Perlu diingat bahwa bhikkhu-bhikkhu di
masa awal penyebaran agama Buddha kesemuanya adalah orang-orang India dari
kasta yang berbeda-beda yang merupakan bentukan dari nilai-nilai dan norma-norma
sosial semacam itu.
Wanita masuk bergabung dengan Sangha kurang lebih setelah lima tahun
Sangha Bhikkhu terbentuk. Merupakan hal yang lumrah dan dapat dipahami jika Sang
Buddha menempatkan posisi Sangha Bhikkhuni di bawah Sangha Bhikkhu demi
keharmonisan keberadaan dan untuk tujuan fungsional untuk membangun
landasan/dasar/pondasi yang seimbang dari administrasi?? Sangha Bhikkhuni dapat
dipandang sebagai adik yang baru datang yang harus menerima dan menghormati
Sangha Bhikkhu sebagaimana/layaknya kakak mereka. Sang Buddha sangat
menyadari bahwa dengan masuknya sekelompok besar pengikut wanita maka beliau
tentu membutuhkan sejumlah bhikkhu untuk membantunya menjagarkan dan melatih
para bhikkhuni yang baru ditabhiskan tersebut. Cara yang paling mudah untuk
memperlancar jalan/latihan mereka adalah menempatkan mereka di bawah Sangha
Bhikkhu demi kebaikan/kepentingan/manfaat fungsional.
Tetapi seperti yang diceritakan, diketahui bahwa meskipun demikian masih ada
saja bhikkhu yang masih mengharapkan para bhikkhuni tersebut untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga untuk mereka sebagaimana yang biasa mereka lakukan
dahulu sewaktu masih berumah tangga. Perbedaannya adalah jika dahulu melayani
pria di rumah, kini para bhikkhuni tersebut melayani mereka di lingkungan vihara. Jika
kita melihat/memandang Delapan Garudhamma secara negatif maka akan tampak
bahwa aturan tersebut mendukung dan menegaskan nilai-nilai semacam itu.
Tambahan lagi, kajian/studi lebih lanjut menunjukkan bahwa kita tidak bisa
menganggap Delapan Garudhamma sebagai otoritas/kekuasaan final (harga mati)
tanpa feksibilitas. Saya dapat mengutip contoh dari Garudhamma pertama yang
mengatakan bahwa ‘seorang bhikkhuni yang (meski) telah ditabhiskan selama seratus
tahun harus hormat pada seorang bhikkhu yang baru ditabhiskan pada hari itu.’ Ada
kejadian/kasus dimana 6 orang bhikkhu yang dengan main-main mengangkat jubah
mereka hingga terlihat paha mereka untuk menarik perhatian para bhikkhuni. Dalam
kasus tersebut, Sang Buddha menginstruksikan/menyuruh para bhikkhuni untuk
kemudian tidak menghormati keenam bhikkhu tersebut. Ini menunjukkan bahwa aturan
manapun yang ditetapkan oleh Sang Buddha selalu diikuti dengan/memiliki
ketentuan/syarat tertentu. Kita tidak boleh memegang teguh aturan tanpa mengetahui
dan memahami makna/maksudnya. Saya juga ingin menambahkan bahwa
Garudhamma butir keenam yang menyebutkan bahwa ‘seorang sikkhamana yang
telah selesai menjalani latihan selama 2 tahun harus meminta untuk ditabhiskan
menjadi bhikkhuni’ adalah butir yang ditambahkan belakangan. Saat Sang Buddha
mengijinkan Ratu Maha Pajapati untuk memasuki Sangha, ia (Ratu Maha Pajapati)
ditabhiskan sebagai seorang bhikkhuni. (Istilah dan pengertian) Sikkhamana belum
ada saat itu. Yang dapat ditarik dari hal yang tidak bersesuaian ini adalah bahwa
Garudhamma sebenarnya diperkenalkan belakangan, tetapi ditempatkan/diletakkan
pada konsepsi/konsep/gambaran penabhisan bhikkhuni untuk menegaskan
kekuasaan/otoritas Sangha karena bhikkhu yang mencatat dan menuangkan kembali
ajaran (the recorder) mungkin mengira bahwa hal ini bisa dijadikan ‘alat’/bahan
Bhikkhu Sangha untuk mengontrol Sangha Bhikkhuni. Selebihnya Delapan
Garudhamma tersebut dapat ditemui/sudah ada dalam Patimokkha sendiri.

Pertanyaan 8
Para bhikkhu memiliki/mempunyai tiga jubah sedangkan bhikkhuni lima jubah. Apa
saja itu?
Lima jubah yang diperuntukkan bagi bhikkhuni adalah sebagai berikut:
1. Sanghati, yaitu jubah tambahan yang biasanya dilipat dan diletakkan di pundak.
Jubah ini mempunyai/memiliki dua fungsi/kegunaan. Fungsi/Kegunaan yang
pertama adalah untuk digelar dan dijadikan sebagai alas duduk atau tempat tidur.
Fungsi/Kegunaannya yang lain yaitu sebagai penutup ekstra/tambahan di kala/saat
musim dingin.
2. Uttarasanga yaitu jubah biasa. Jubah ini dapat dipakai untuk menutupi kedua
pundak, atau menutupi slah satu pundak saja.
3. Antarasavaka, adalah jubah bawah untuk menutupi tubuh bagian bawah dan diikat
di pinggang dengan menggunakan ikat pinggang dari kain (katun) yang khusus
(dibuat) untuk para bhikkhu dan bhikkhuni. Di Thai jubah bagian ini disebut “Rad
Pakot”, dipakai dengan dilipit membentuk lipatan di bagian depan, dan ditarik
dengan rapi dibawah ikat pinggang. Bagian bawah harus sejajar/lurus.
4. Udakasatika adalah jubah untuk mandi yang harus dipunyai para bhikkhu dan
bhikkhuni. Jubah ini mirip bentuknya dengan jubah no. 3 diatas tapi tidak
memiliki/tanpa pinggir/tepi. Untuk bhikkhuni, saat mandi, jubah ini dipakai lebih
tinggi untuk menutupi bagian dada hingga lutut. Dahulu para bhikkhu mandi tanpa
mengenakan (penutup) apapun. Visakha, pengikut umat awam/perumah-tangga,
memberi usul pada Sang Buddha bahwa tidaklah pantas bagi para bhikkhu untuk
mandi dengan tanpa mengenakan apapun/telanjang. Semenjak itu, ditetapkanlah
ketentuan memakai jubah mandi ini sebagai tambahan atas tiga jubah yang
pertama.
5. Samkacchika, yaitu rompi yang diperuntukkan bagi bhikkhuni. Dahulu para
bhikkhuni mengenakan jubah yang sama dengan para bhikkhu. Pada suatu saat
para bhikkhuni keluar berpindapatta dan angin bertiup kencang sehingga bentuk
tubuh mereka terlihat jelas dari balik jubah yang mereka kenakan. Penduduk
setempat pun kemudian menertawai mereka. Sang Buddha lalu menganjurkan
mereka untuk mengenakan rompi. Rompi tersebut dipakai dengan kencang/ketat
untuk meratakan dada mereka.
Keperluan yang lainnya yaitu ‘jubah bulanan’ yang, meskipun tidak termasuk ke dalam
kelompok lima jubah diatas, sangat diperlukan untuk para bhikkhuni. Ini digunakan
selama masa menstruasi. Pada jaman Sang Buddha, kain tidaklah mudah diperoleh,
sehingga ‘jubah bulanan’ ini tidak dimiliki perseorangan, melainkan menjadi milik
Sangha. Bhikkhuni manapun dapat menggunakannya saat perlu. Kemudian ia harus
mencucinya bersih dan mengembalikannya untuk penggunaan bersama para
Bhikkhuni.
Jenis pakaian yang tidak diijinkan untuk bhikkhuni adalah ‘Sanghani’. Ini adalah
pakaian bercorak yang dipakai/dikenakan di pinggang/pinggul sebagaimana yang
dikenakan oleh wanita perumah tangga.

Pertanyaan 9
Saat para wanita memasuki Sangha, bagaimana mereka diperlakukan oleh para
bhikkhu?
Tidak ada catatan langsung yang berhubungan dengan topik/subjek, tapi dari
mempelajari vinaya dapat diketahui bahwa bagaimanapun juga para bhikkhu adalah
kaum pria yang berasal dari masyarakat India. Karena terbiasa dengan pelayanan
yang diberikan oleh wanita, para bhikkhu memperlakukan para bhikkhuni seperti istri.
Mereka harus menghabiskan waktu mencuci jubah, rugs??, dll, untuk para bhikkhu
sebagaimana seorang wanita yang harus mengurusi suaminya dalam kehidupan
berumah tangga.
Para bhikkhuni terus menerima perlakuan semacam ini dari para bhikkhu
hingga para umat awam mengetahuinya dan kemudian membawa hal ini kepada Sang
Buddha. Sang Buddha setelah mendengar keluhan tersebut lalu memanggil kedua
belah pihak yang terkait. Kedua belah pihak membenarkan apa yang didengar oleh
Sang Buddha. Kemudian Beliau menetapkan vinaya/aturan yang melarang para
bhikkhu untuk meminta hal yang demikian dari para bhikkhuni. Dapat dilihat dengan
jelas bahwa saat Sang Buddha mengijinkan wanita untuk memasuki Sangha, pada
dasarnya adalah agar mereka dapat belajar dan berlatih ajaran-Nya. Mereka bukan
lagi perumah tangga, sehingga tidak lagi terikat pada pekerjaan rumah tangga. Setiap
orang yang telah ditabhiskan harus mengurus keperluannya sendiri dan menghabiskan
waktu untuk mengejar/mencapai/meraih tujuan spiritualnya yaitu berjuang demi
tercapainya pencerahan.
Baik bhikkhu maupun bhikkhuni telah meninggalkan kehidupan berumah
tangga mereka dengan tujuan untuk mencari pencapaian spiritual. Dengan
mengharapkan para bhikkhuni mengurusi para bhikkhu tentu bertentangan dengan
prinsip/asas/dasar yang ditetapkan dengan mana Sang Buddha mengijinkan wanita
untuk menjadi bhikkhuni.

Pertanyaan 10
Bagaimana sikap para bhikkhu akan penerimaan Sang Buddha terhadap wanita?
Lagi-lagi tidak ada catatan langsung dari jaman Sang Buddha berkenaan
dengan hal ini, sebagian dikarenakan saat Sang Buddha mengijinkan wanita untuk
memasuki Sangha, adalah Ratu Maha Pajapati yang memintanya. Oleh karena
kedekatan hubungan mereka maka bahkan apabila ada bhikkhu yang keberatan
dengan keputusan tersebut, tidak ada yang mengemukakan atau melontarkannya
hingga dapat ditulis sebagai bukti.
Akan tetapi pada Konsili/Pesamuan Pertama, tiga bulan setelah Parinibbana
Sang buddha, dengan Maha Kassapa sebagai pimpinan/ketua Konsili/Pesamuan,
ketidaksenangan akan diterimanya wanita di Sangha terlihat dengan meminta Ananda
mengakui bahwa hal tersebut adalah kesalahannya dengan menjadi mediator penting
untuk mendekati Sang Buddha atas nama/mewakili para wanita dan akhirnya mereka
diterima ke dalam Sangha. Bhikkhu Ananda mengutarakan dengan jelas bahwa ia
tidak melihat keterlibatannya tersebut sebagai suatu kesalahan/pelanggaran, tetapi
karena hormatnya pada Sangha ia pun mengakuinya.
Kejadian menarik lainnya untuk diutarakan sehubungan/terkait dengan hal ini
adalah Maha Kassapa yang menjadi pemimpin dalam Konsili bersejarah tersebut tidak
memiliki hubungan yang baik dengan para bhikkhuni. Kami menemukan suatu kejadian
saat ia pergi untuk mengajar para bhikkhuni, ia sempat ditertawakan oleh mereka saat
para bhikkhuni tersebut mengungkapkan keraguan mereka akan bagaimana ia
mengetahui dhamma dengan latar belakangnya yang berasal dari brahmin (pertapa).
Terlepas dari itu, para bhikkhuni juga dengan jelas lebih memilih untuk diajari oleh
bhikkhu Ananda. Hal ini menyebabkan Maha Kassapa sangat tidak senang dan lagi-
lagi Bhikkhu Ananda harus ikut campur dengan meminta maaf kepada Maha Kassapa
atas nama/mewakili para bhikkhuni. Latar belakang kejadian ini menandakan bahwa
memang sudah ada ketidaksenangan antara Maha Kassapa dengan Sangha
Bhikkhuni. Oleh karena itu apa yang terjadi pada Konsili/Pesamuan Pertama dapat
dipahami/dimengerti.

Pertanyaan 11
Apa/Bagaimana status/kedudukan para bhikkhuni selama masa Sang Buddha?
Saat Sang Buddha mengijinkan wanita untuk bergabung dengan Sangha,
sejumlah besar/banyak sekali wanita yang menyambut kesempatan yang diberikan
kepada wanita untuk pertama kalinya dalam sejarah India itu. Sebagian dari mereka
ingin menjadi bhikkhuni untuk melarikan diri dari kehidupan mereka yang menyedihkan
karena harus menghabiskan sebagian besar dari waktu mereka di dapur, sebagian
ingin lari/keluar dari kehidupan yang hampa sebagai seorang janda, sebagian
mengikutinya sekedar sebagai gaya busana/fashion, atau cuma karena ingin mengikuti
keluarga dekat mereka.

Anda mungkin juga menyukai