Anda di halaman 1dari 3

Mengembalikan Pendidikan Kepribadian yang Hilang

Oleh Drs. MARIJAN (PRAKTISI PENDIDIKAN DI SMP N 5 WATES KULON PROGO)

Drs. Marijan Guru SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta dan Anggota KGI Kulon Progo DIY Ketika memperbincangkan keberhasilan pendidikan, populasi masyarakat terbelah menjadi dua kelompok yang berimbang jumlahnya. Kelompok pertama mendukung pernyataan bahwa keberhasilan pendidikan identik dengan keberhasilan ujian nasional ( UN). Diyakini, semakin tinggi rata-rata nilai UN, satuan pendidikan yang mengampu dikatakan semakin tinggi keberhasilan pendidikan yang dicapainya. Senada pernyataan di atas semakin rendah rata-rata nilai UN, maka satuan pendidikan dimaksud memiliki keberhasilan pendidikan yang rendah. Kelompok pertama ini justru secara formal dikembangkan oleh sistem pendidikan yang dianut pemerintah. Keikutsertaan pemerintah dalam menghakimi peserta didik yang ikut UN pada final kelulusan menunjukkan dukungannya terhadap kelompok pemuja UN. Kelompok kedua lebih memandang aspek afektif sebagai indikator keberhasilan pendidikan . Sikap peserta didik dan out put pendidikan yang mencerminkan kepribadiannya dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pandangan semacam ini dikembangkan oleh sekolah-sekolah yayasan keagamaan, dan sekolah-sekolah di kompleks pondok pesantren. Sekolah-sekolah tersebut tidak mengutamakan target nilai UN yang tinggi, akan tetapi lebih mengedepankan penanaman kepribadian pada peserta didik. Pendidikan kepribadian mengembangkan latihanlatihan tentang kedisiplinan, ketaatan agama, moral, akhlak dan budi pekerti sejak dini. Dengan adanya landasan kepribadian yang kuat diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecerdasan akhlak dan budi pekerti baik. Harapan ini sangat mulia karena lulusan yang memiliki kecerdasan akhlak dan budi pekerti yang baik bisa menjadi tauladan bagi masyarakat lain tanpa mudah dipengaruhi oleh tekanan atau iming-iming materi. Mana yang lebih baik, kelompok pertama atau kedua ? Tanpa memihak salah satu kelompok, sesungguhnya diperlukan menyatunya pendidikan akademik dengan pendidikan kepribadian. Apabila kita cermati pendidikan yang hanya mengejar keberhasilan nilai UN, proses pembelajarannya terjebak pada rutinitas penjejalan materi. Tak dapat dipungkiri , proses ini melalaikan penanaman pendidikan kepribadian pada peserta didik. Sekolah yang mestinya menjadi ajang latihan menghadapi kehidupan di masa depan, berubah menjadi sebuah gladi pembahasan soal-soal prediksi UN yang jelas-jelas menuruti kebutuhan jangka pendek. Maka

berkembanglah tradisi mencari strategi menembus keberhasilan UN hingga pendidikan kepribadian dan budi pekerti terus tererosi tanpa henti. Keadaan yang demikian ini berujung pada sistem pembelajaran didominir oleh satu kegiatan yang dikenal dengan delivery systems atau sistem penyampaian atau sistem suap. Sistem ini sebenarnya membelenggu semua sistem pendidikan dan pada gilirannya pendidikan kehilangan citranya atau kehilangan hakikatnya. Hilangnya hakikat pendidikan itu yang disalahkan adalah budi pekerti. Padahal budi pekerti cermin hasil dari learning to be yang merupakan salah satu pilar kegiatan pendidikan dari 4 pilar yang ditegaskan UNESCO ( Delors, 1999 ). Pengukuran pengetahuan dengan NEM seperti yang didambakan sekarang ini tidak akan mampu membentuk kepribadian. Oleh karena itu pendidikan kita perlu menengok lagi indikator keberhasilannya. Profesor Djohar menulis dalam bukunya berjudul Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan (2003) bahwa ukuran NEM sebagai indikator keberhasilan pendidikan , kenyataannya lebih banyak berakibat pada terbelenggunya penyelenggaraan pendidikan daripada membawa pendidikan ke arah hakikat pendidikan itu sendiri. Secara ekstrim pembelajaran yang berorientasi drill soal sebagaimana yang dilakukan setiap jenjang sekolah dewasa ini menurut Ausuble dinyatakan sebagai pendidikan yang tidak bermakna . Mengapa ? Siswa tidak memperoleh pengalam belajar apapun. Belajar untuk membentuk jati diri (learning to be) bagi siswa tidak pernah tersentuh oleh pendidikan secara formal di sekolah. Dalam kondisi sistem pendidikan yang demikian ini dapat diramalkan bahwa erosi akhlak, budi pekerti dan kepribadian generasi masa depan pasti terjadi. Kesan yang muncul secara umum terhadap generasi hasil pendidikan bangsa ini adalah belum dewasa, kurang beradap, kurang berpikir panjang, hanya ikut-ikutan, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan lainlain. Tidak mengherankan, karena para siswa berada dalam lingkungan sistem pendidikan yang diarahkan untuk mencapai keberhasilan nilai kognitif UN semata. Mereka berada dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang semuanya sudah terbius sistem pendidikan kita yakni ketercapaian UN menjadi terminal pendidikan anak-anak negeri. Kiranya, upaya yang perlu dilakukan untuk mengembalikan pendidikan kepribadian yang hilang adalah pertama sekolah tidak harus menghabiskan waktu temu guru siswa hanya untuk membahas soal-soal prediksi UN akan tetapi perlu meluangkan waktu 5 10 menit setiap guru mengajar untuk menanamkan akhlak, dan budi pekerti melalui cerita cerita yang menarik. Melalui cerita-cerita tersebut akan tumbuh sikap dan perilaku siswa untuk meniru tokoh cerita yang disajikan. Kedua, pemberian tauladan para tokoh masyarakat, guru, pejabat dan segenap sosok orang tua sendiri. Mereka dilihat langsung oleh siswa. Baik dan buruk perilaku mereka akan mengisi ruang memori dan pada gilirannya pengetahuan yang diperoleh ini akan menjadi konsep dalam bersikap dan berperilaku para generasi muda tersebut. Ketiga, hendaknya ada evaluasi afektif yang bermakna dan berkesinambungan dalam proses pendidikan di sekolah. Sejak SD hingga perguruan tinggi, evaluasi afektif ini hendaknya diterapkan baik tertulis maupun praktek keseharian. Penilaian afektif diterapkan seketat UN agar

siswa benar-benar mempersiapkan dan terlatih melakukan tindakan yang mengarah pada akhlak dan budi pekerti luhur. Dengan demikian pendidikan di sekolah benar-benar menjadi ajang latihan hidup bermasyarakat. Kecerdasan kognitif tumbuh terus dan kecerdasan afektif akan berkembang. Pendidikan yang menyeimbangkan pertumbuhan kecerdasan akademik dan perkembangan kepribadian inilah sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat adanya. Apabila keseimbangan pendidikan seperti ini terjadi maka sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah telah bermakna.

Anda mungkin juga menyukai