Anda di halaman 1dari 36

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan hasil karya tulis yang berjudul Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan telah disetujui dan disahkan oleh :

Jakarta ,

Januari 2011

Guru Pembimbing

Dra. Anik Maryani

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemudahan sehingga dengan seizin-Nya tugas ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini kami buat semata-mata untuk memenuhi nilai tugas Bahasa Indonesia dan untuk memperluas pengetahuan kami tantang masalah kekerasan dalam dunia pendidikan. Dalam penyusunan tugas ini, kami menerima bimbingan, pengarahan, bantuan, kesempatan, dan kemudahan dari berbagai pihak yang tak terkira nilainya. Dan secara khusus kami mengucapkan rasa hormat dan terimakasih kepada: 1. Dr. Maman Suwarman. Selaku kepala sekolah SMA N 79 Jakarta yang telah mengizinkan kami membuat karya tulis ini. 2. Dra. Anik Maryani. Selaku guru bidang studi Bahasa Indonesia yang banyak meluangkan waktunya untuk melakukan bimbingan. 3. Kedua orangtua kami yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. 4. Kepada teman-teman yang telah ikut berpartisipasi hingga tugas ini selesai. Akhir kata kami mengucapkan maaf atas kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ini. Semoga dengan selesainya tugas ini akan membawa banyak manfaat untuk kita semua.

Jakarta,

Januari 2011

Tim Penyus

ii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................I KATA PENGANTAR...............................................................................................II DAFTAR ISI............................................................................................................III PENDAHULUAN.......................................................................................................1
I.1 I.2 I.3 I.4 I.5 I.6 LATAR BELAKANG.......................................................................................1 TUJUAN PENELITIAN....................................................................................2 RUANG LINGKUP.........................................................................................2 PEMBATASAN MASALAH..............................................................................3 METODE DATA PENGAMATAN.....................................................................3 SISTEMATIKA KARYA TULIS.........................................................................4

PERMASALAHAN...................................................................................................5 PEMBAHASAAN......................................................................................................6
I.7 KAJIAN TEORI...............................................................................................6 I.8 PEMBAHASAN..............................................................................................9

PENUTUP.................................................................................................................31
I.9 KESIMPULAN.............................................................................................31 I.10 SARAN ....................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA/ BIBLIOGRAFI.................................................................32 LAMPIRAN..............................................................................................................33

iii

PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Disiplin merupakan hal yang seringkali menjadi tolok ukur kualitas pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal seperti sekolah, sehingga para pendidik harus bekerja keras membuat peraturan serta menertibkan siswa-siswinya di sekolah. Berbagai macam cara mereka tempuh untuk menegakkan disiplin di sekolah, seperti memberikan sanksi yang keras dan tegas bagi siswa-siswi yang melanggar peraturan seperti membolos, merokok di lingkungan sekolah, terlambat, dan lain-lain. Walau demikian masih ada saja siswa-siswi yang melanggar peraturan, sehingga tak jarang guru melakukan tindak kekerasan untuk mendisiplinkan siswa-siswinya. Di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Hal tersebut dikarenakan kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena guru kurang kreatif dalam mencari metode mendisiplinkan murid sehingga cenderung mengambil cara kekerasan. Banyak guru atau para pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan manambah ketakutan atau kewibawaan pada guru. Dengan demikian, sang murid akan lebih mudah dikendalikan untuk menjadi siswa-siswi yang disiplin. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan tindak kekerasan kerap dilakukan dikarenakan pendidik menginginkan siswa-siswinya berperilaku disiplin. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik karena mempunyai tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang dilakukan guru dan penerapan tersebut perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam menyikapi kasus kekerasan pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk mendisiplinkan siswa dan memberikan pemahaman dan batasan kepada guru.

Perlakuan kasar atau tindak kekerasan yang berlebihan kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik yang dilakukan berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah. Banyak juga orang tua murid yang tidak terima dengan perlakuan guru terhadap anak didiknya. Sehingga orang tua murid kerap melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. Hal tersebut dapat menyebabkan nama sekolah menjadi jelek dan tercemar apalagi jika dipublikasikan oleh pers. Selain itu kekerasan juga dapat mengakibatkan perubahan pada psikologi dan idealisme baik bagi pihak pengajar maupun bagi anak didik. Kami meneliti permasalahan yang berkaitan dengan kekerasan di dalam dunia pendidikan karena kami ingin menunjukan bahwa kekerasan yang makin marak ini melibatkan banyak dampak yang sangat merugikan baik bagi pengajar maupun anak didik.

I.2 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan utama dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk memenuhi nilai tugas Bahasa Indonesia. Tujuan lain dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk memberikan informasi dan membantu memahami tentang kasus kekerasan di dalam dunia pendidikan yang makin marak diberitakan, serta memberikan masukanmasukan kepada lembaga pendidikan agar dapat berpartisipasi dalam menanggulangi masalah kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut.

I.3 RUANG LINGKUP


Tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Keke sudah sering terjadi di lembaga pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dapat berasal dari guru, dari siswa, dari keluarga, serta

dari lingkungan. Tindak kekerasan secara fisik yang terjadi di sekolah dilakukan sejumlah oknum tenaga pengajar di Indonesia terhadap siswanya harus dihentikan, karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

I.4 PEMBATASAN MASALAH


Faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dapat berasal darri guru, dari siswa, dari keluarga, serta dari lingkungan. Batasan masalah yang kami ulas dalam karya tulis ini adalah: 1. Penyebab kekerasan yang berasal dari Guru 2. Penyebab kekrasan yang berasal dari Siswa 3. Penyebab kekerasan yang berasal dari Keluarga

I.5 METODE DATA PENGAMATAN


Metode data pengamatan yang kami gunakan dalam karya tulis ini adalah berupa studi literatur yang kami ambil dari media internet dan koran.

I.6 SISTEMATIKA KARYA TULIS


1. 2. 3. 4. 5. Cover Lembar Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi BAB I : PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 6. 7. BAB II BAB III Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Pembatasan Masalah Metode Data Pengamatan Sistematika Karya Tulis

: PERMASALAHAN : PEMBAHASAN 3.1 Kajian Teori 3.2 Pembahasan

8.

BAB IV

: PENUTUP 4.1 Kesimpulan 4.2 Saran

9. 10.

Daftar Pustaka/ bibliografi Lampiran

PERMASALAHAN
Permasalahan kekerasan di dalam dunia pendidikan terkait dengan banyak aspek, mulai daru guru, siswa, keluarga, serta lingkungan sehingga fokus masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut: 1. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di dalam dunia pendidikan? 2. Mengapa mendisiplinkan siswa menjadi alasan pendidik ketika melakukan kekerasan pada anak didiknya? 3. Bagaimana cara untuk menanggulangi/menangkal pelanggaran disiplin dan tata tertib sekolah? 4. Bagaimana dampak yang timbul akibat tindakan kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan? 5. Strategi menghadapi pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan? 6. Adakah peraturan yang membahas mengenai perlanggaran kekerasaan yang terjadi di dalam dunia pendidikan? 7. Solusi seperti apa yang seharusnya dilakukan agar tindakan kekerasan di dalam dunia pendidikan tidak terulang kembali?

PEMBAHASAAN
Pada bab ini kami akan memberikan kajian teori dan pembahasan dari masalah-masalah yang kami teliti dalam karya tulis ini.

I.7 KAJIAN TEORI


Kekerasan berarti suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan1.

Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan istilah Bullying merupakan suatu kejadian yang seringkali tidak terhindarkan terutama disekolah. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, suatu perilaku mengancam, menindas dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Seseorang yang bisa dikatakan menjadi korban apabila dia diperlakukan negatif (secara sengaja membuat luka atau ketidak nyamanan melalui kontak fisik, melalui perkataan atau dengan cara lain) dengan jangka waktu sekali atau berkali-kali bahkan sering atau menjadi sebuah pola oleh seseorang atau lebih.

Secara umum, kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental (Sugiarno, 2007). Kekerasan pada siswa adalah suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007).

Bullying seringkali terlihat sebagai bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah. Professor Dan Olweus pada tahun 1993 telah mendefinisikan bullying yang mengandung tiga unsur mendasar perilaku bullying, yaitu: 1. Bersifat menyerang (agresif) dan negatif. 2. Dilakukan secara berulang kali. 3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Olweus kemudian meng-identifikasikan dua subtipe bullying, yaitu perilaku secara : -langsung (Direct bullying), misalnya penyerangan secara fisik, dan -tidak langsung (Indirect bullying), misalnya pengucilan secara sosial. Underwood, Galen, dan Paquette di tahun 2001, mengusulkan istilah Social Aggression untuk perilaku menyakiti secara tidak langsung2. Berdasarkan definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif dan negatip seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalahgunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan untuk menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik. Kalau hanya kadangkadang biasanya tidak dianggap sebagai bullying, kecuali jika sangat serius. Misalnya kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik yang membuat korban merasa tidak aman secara permanen3.
2

Riset menunjukkan bahwa bentuk bullying tidak langsung, seperti pengucilan atau penolakan secara sosial, lebih sering digunakan oleh perempuan daripada laki-laki (Banks 1997; Olweus 1997, 1999). Sementara anak laki-laki menggunakan atau menjadi korban tipe bullying secara langsung, misalnya penyerangan secara fisik (Nansel et al. 2001; Olweus 1997).

Contoh perilaku kekerasan : Kontak fisik langsung (meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya, memukul, menampar, mendorong, menggigit, menarik rambut, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain, pelecehan seksual). Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip). Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh Bullying fisik atau verbal). Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng). Berdasarkan penelitian, remaja pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingin dipatuhi secara mutlak dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai orang lain. Karakter bullying seringkali dikaitkan dengan preman, gang jalanan atau gang motor.

Ciri-ciri seorang bully, antara lain: Mencoba untuk menguasai orang lain. Hanya peduli dengan keinginannya sendiri.
Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami atau dilakukan terhadap siswa, antara lain kekerasan fisik yaitu merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dan lain-lain. Kemudian kekerasan psikis yaitu kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya. Adapula kekerasan defensive, kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan penyerangan. Serta kekerasan agresif yaitu kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti merampas, dan lain-lain (Rini, 2008).

Sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan kurang berempaty terhadap perasaan orang lain. Pola perilakunya impulsif, agresif, intimidatif dan suka memukul. Motivasi seseorang untuk melakukan bullying bisa berdasarkan kebencian, perasaan iri dan dendam. Bisa juga karena untuk menyembunyikan rasa malu dan kegelisahan, atau untuk mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya.

I.8 PEMBAHASAN
Kekerasan telah banyak terjadi pada sekolah-sekolah yang membuat anak murid merasa takut bila pergi kesokolah karena merasa takut bila dikerasi atau disakiti oleh teman-temannya maupun guru mereka, padahal sekolah penting untuk menuntut ilmu.

I.8.1

Faktor-faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan

Terdapat banyak faktor baik dari guru, siswa maupun lingkungan di sekitar sekolah. Berikut ini akan di bahas beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan. I.8.1.a Faktor person/ aktor dan sistem pendidikan faktor person/aktor dan sistem pendidikan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap siswa. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1). Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa. 2). Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan

tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap melanggar batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda/sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas menangani tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan/sikap siswa. 3). Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif. 4). Adanya tekanan kerja, target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar. 5). Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan. 6). Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi kering dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.

I.8.1.b
yaitu:

Faktor Dari Guru Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya,

10

Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.

Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap melanggar batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas menangani tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap siswa.

Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru ybs menjadi lebih sensitif dan reaktif. Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.

Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan4.

I.8.1.c

Faktor Dari siswa

Salah satu faktor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis
4

Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008).

11

dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority figure dan malah memancing orang tersebut untuk actively responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak sehat. Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.

I.8.1.d

Faktor Dari Lingkungan

Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:

Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.

Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka. Contoh, kekerasan yang terjadi ketika mahasiswa senior melakukan kekerasan pada mahasiswa baru pada masa orientasi bersama terjadi karena mahasiswa senior meniru sikap seniornya dulu dan dimasa lalunya juga pernah mengalami kekerasan pada masa orientasi

12

Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.

I.8.2

Mendisiplinkan Murid Menjadi Alasan Melakukan Kekerasan Pada hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu berbuat

untuk hal yang lebih baik. Untuk mengubah prilaku menuju ke hal yang lebih baik itu tidaklah mudah yang kita bayangkan. Perubahan itu melalui perjalanan yang panjang, berjenjang, dan berkesinambungan. Satu-satunya jalur yang dapat ditempuh yakni dengan pendidikan. Siswa adalah orang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Dalam perkembangannya harus melalui proses belajar. Termasuk di dalamnya belajar mengenal diri, belajar mengenal orang lain, dan belajar mengenal lingkungan sekitarnya. Ini dilakukan agar siswa dapat mengetahui dan menempatkan posisinya di tengah-tengah masyarakat sekaligus mampu mengendalikan diri. Sifat pengendalian diri harus ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Pengendalian diri di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang dalam perbuatannya selalu dapat menguasai diri sehingga tetap mengontrol dirinya dari berbagai keinginan yang terlalu meluap-luap dan berlebih-lebihan. Berarti dalam sifat pengendalian diri tersebut terkandung keteraturan hidup dan kepatuhan akan segala peraturan. Dengan kata lain, perbuatan siswa selalu berada dalam koridor disiplin dan tata tertib sekolah. Bila demikian, akan tumbuh rasa kedisiplinan siswa untuk selalu mengikuti tiap-tiap peraturan yang berlaku di

13

sekolah. Mematuhi semua peraturan yang berlaku di sekolah merupakan suatu kewajiban bagi setiap siswa5. Di sekolah yang tertib akan selalu menciptakan proses pembelajaran yang baik. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak tertib kondisinya akan jauh berbeda. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sudah dianggap barang biasa dan untuk memperbaiki keadaan yang demikian tidaklah mudah. Hal ini diperlukan kerja keras dari berbagai pihak untuk mengubahnya, sehingga berbagai jenis pelanggaran terhadap disiplin dan tata tertib sekolah tersebut perlu dicegah dan ditangkal. Menyimak dan menyaksikan pemberitaan di media massa dan elektronik akhirakhir ini menggambarkan bahwa tingkat kedisiplinan siswa umumnya masih tergolong memprihatinkan. Kuantitas pelanggaran yang dilakukan oleh siswa semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dari berbagai jenis pelanggaran tata tertib sekolah, misalnya banyaknya siswa yang bolos atau minggat pada waktu jam belajar, perkelahian, terlambat datang ke sekolah, malas belajar, sering tidak masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru, tidak membuat pekerjaan rumah, merokok, dan lain-lain. Secara garis besar banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh siswa akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar di sekolah. Melihat hal tersebut maka pengajar harus menciptakan kedisiplinan siswa yang bertujuan untuk mendidik siswa agar sanggup memerintahkan diri sendiri. Mereka dilatih untuk dapat menguasai kemampuan, juga melatih siswa agar ia dapat mengatur dirinya sendiri, sehingga para siswa dapat mengerti kelemahan atau kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Menanamkan kedisiplinan siswa memang merupakan tugas tenaga pengajar (guru). Untuk menanamkan kedisiplinan siswa ini harus dimulai dari dalam diri

Masalah kedisiplinan siswa menjadi sangat berarti bagi kemajuan sekolah (Nursisto, 2002:78).
5

14

sendiri, barulah kita dapat mendisiplinkan orang lain sehingga akan tercipta ketenangan, ketentraman, dan keharmonisan6. Kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah menempati peringkat kedua sebagai tindak kekerasan yang sering dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sepanjang 2008-2009, tingkat kekerasan di sekolah mencapai 25 persen dari seluruh laporan tindak kekerasan. "Kekerasan di sekolah peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga," ujar Ketua KPAI Hadi Supeno di Jakarta, Senin (2/8/2010). Masih banyaknya tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, menurut Hadi, terjadi karena guru kurang kreatif dalam mencari metode mendisiplinkan murid sehingga cenderung mengambil cara kekerasan. Contoh paling nyata seperti yang terjadi pada Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SD Negeri Kepatihan, Banyuwangi, Jawa Timur, yang dipukuli gurunya karena bergurau di kelas, Minggu (1/8/2010). "Padahal, banyak metode untuk mendisiplinkan anak," katanya. Selain itu, kata dia, pengetahuan guru yang kurang mengenai hak anak, serta masih banyaknya guru yang tidak profesional, menjadi penyebab tingginya tindak kekerasan anak di sekolah. Seperti diberitakan sebelumnya, Minggu (1/8/2010), siswa SD Negeri Kepatihan, Banyuwangi, menderita luka lebam di kedua kakinya akibat dipukul dengan penggaris kayu besar karena tidak disiplin, yaitu bergurau saat proses belajar mengajar. Pemukulan terhadap siswa bernama Mauro Billy Fiesandy (9) itu dilakukan sang guru di depan kelas yang disaksikan murid-murid lainnya. Atas kejadian tersebut, KPAI melalui Hadi Supeno menyampaikan keprihatinannya.
6

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Darmodihardjo (1980:12) yang mengatakan bahwa Seorang guru tidak akan efektif mengajar apabila ia sendiri tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan siswa, dan seorang guru tidak akan hidup dengan norma Pancasila bila dia tidak meyakini dan menghayatinya.

15

I.8.3

Cara Menanggulangi Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi

berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh para siswa. Dalam Buku 4 Pedoman Tatakrama dan Tata Tertib Kehidupan Sosial bagi SMP yang diterbitkan oleh Depdiknas (2001:1) disebutkan bahwa dunia pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut adalah menurunnya tatakrama kehidupan sosial dan etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam bentuk: kurang hormat kepada guru dan pegawai sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan tata tertib serta peraturan sekolah, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang, dan lain-lain. Akhir-akhir ini tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh dari banyak tindak kekerasan guru terhadap siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat mengendalikan diri.

16

Pada dasarnya pengajar menginginkan anak-anak didiknya berperilaku baik, disiplin dan sopan bukan karena takut akan hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik barangkali mempunyai tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang dilakukan guru dan penerapan tersebut perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk mendisiplinkan siswa. Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah7.

Menurut Clemes (2001:47), ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman dan tata tertib sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh: 1. Seorang anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri pasti membutuhkan penghargaan. 2. Seorang anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan. 3. Seorang anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian perlu diberikan penghargaan jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain. 4. Seorang anak yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil. 5. Seorang anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti Saya tidak dapat melakukannya, dan Saya selalu gagal, Saya tidak akan mampu melakukannya lagi, adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan. 6. Seorang anak yang mengalami gangguan fisik, motorik, atau organik, dan karena kesulitan semacam itu serinng mengalami kegagalan dibandingkan anak lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan tugas yang sesuai dengan kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan penghargaan atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya.

17

Untuk itu penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang semestinya tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis. I.8.3.a Peraturan Otoritarian Dalam peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang. I.8.3.b Peraturan Permisif Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali. I.8.3.c Peraturan Demokratis Pendekatan peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya 18

menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Dalam disiplin sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti peraturan yang ada bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada manfaat. I.8.3.d Sanksi yang dapat diberikan akibat melanggar tata tertib Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang melanggar tata tertib atau kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah, yang secara eksplisit berbentuk larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas (2001:10), Sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis. Pemberian hukuman tidak ada bedanya dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya, pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman termasuk respons negatif. Akan tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan mengurangi frekuensi negatifnya. Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang paling ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa: 1. Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan. 2. Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menterjemahkan tulisan berbahasa Inggris dan lain-lain.

19

3. Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang dilakukan putera-puterinya. 4. Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya. 5. Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat. 6. Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan. Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa. I.8.4 Dampak Tindakan Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Tidak semua korban akan menjadi takut karena mengalami kekerasan, namun yang paling memprihatinkan adalah korban-korban yang kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini. Mereka merasa tertekan dan trauma sehingga mempersepsikan dirinya selalu sebagai pihak yang lemah, yang tidak berdaya, padahal mereka juga asset bangsa yang pasti memiliki kelebihan-kelebihan lain. Berikut ini merupakan gejala dari siswa yang terkena Bullying: Mengalami luka (berdarah, memar,goresan).

20

Sakit kepala/sakit perut. Barang miliknya mengalami kerusakan. Tidak mau pergi ke sekolah,merubah rute pergi ke sekolah. Prestasi akademiknya menurun. Menarik diri dari pergaulan atau merasa malu. Tidak mau berpartisipasi lagi dalam kegiatan yang biasanya disukainya. Gelisah, muram, dan menjadi agresif dengan melakukan bullying kepada saudara kandung. Mengancam atau mencoba melakukan bunuh diri Bagaimana anak bisa belajar kalau dia dalam keadaan tertekan? Bagaimana bias berhasil kalau ada yang mengancam dan memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar jika dikatakan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan sangat mengganggu proses belajar mengajar. Bullying (tindak kekerasan dalam dunia pendidikan) ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa. Para pelaku Bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan Bullying. Bagi si korban biasanya akan merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.

21

Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu , mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidakmasuk sekolah .Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologispada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri. Kekerasan sudah mengakarabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Bahkan, seperti kasus-kasus yang belakangan ini terjadi di institusi pendidikan, kekerasan menjadi pertunjukkan yang menarik untuk dipertontonkan. Bisa kita amati bersama bagaimana rekaman kasus perkelahian siswa SMP di Polewali Mandar (Polman), pertarungan tinju dua siswi di Timika, kekerasan geng nyik-nyik di Tulungagung dan seabrek kasus serupa lainnya. Artinya kini budaya kekerasan bukan hanya milik orang dewasa semata. Anak-anak sekolah yang notabene adalah generasi penerus bangsa juga telah ikutambil bagian. Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.

I.8.5

Strategi Menghadapi Pelaku Bullying Pelajar perlu memahami, bahwa pelaku bullying (bully) biasanya ingin

melihat targetnya menjadi emosi. jadi Sangat penting untuk bersikap tetap tenang dan jangan membuat bully senang karena bisa membuat korbannya marah.

22

Di bawah ini daftar contoh bagaimana menghadapi bully: Periksalah bagaimana cara bersikap. Jalan menunduk dan gelisah menunjukkan tidak percaya diri. Berjalanlah secara tegak dan percaya diri. Pelaku bullying memilih orang yang mereka pikir tidak percaya diri dan takut terhadap mereka. Bergabunglah dengan group atau bertemanlah dengan siswa yang sendirian. Jangan membawa barang mahal atau banyak uang ke sekolah. Pelaku bullying memilih anak yang membawa sesuatu yang bisa mereka ambil. Hindari pelaku bullying. Jika tahu siapa yang tidak menyukai kamu, jauhi mereka, Pergilah ke sekolah lebih dulu atau ambil jalan lain ke sekolah dan jangan sendirian. Jangan melawan atau marah sehingga membuat situasi menjadi semakin lebih buruk. Cobalah menarik diri dari situasi secara tenang. Pelaku bullying senang reaksi, jadi jangan memberikan reaksi, tetaplah tenang. Jangan memberi pelaku bullying kekuasaan untuk mengatur kamu. Bullying dapat membuat korbannya merasa sebagai kesalahan korban sendiri, padahal samasekali tidak demikian. Jika pelaku tidak mau pergi/mengikuti, abaikan saja dan pergilah menyingkir. Jangan berdiam diri jika menyaksikan orang lain mendapat perlakuan bullying. Dokumentasikanlah apa yang terjadi secara spesifik (kapan waktunya, kejadian, dan bukti fisik) dalam buku harian. Apa yang terjadi terhadap kamu dan apa yang kamu lakukan. Siapa yang melakukan bullying terhadap kamu, siapa saja yang menyaksikan dan apa yang dilakukannya.

23

Dimana terjadi dan seberapa sering terjadi. Carilah bantuan. Jangan takut untuk mengatakan kepada orang dewasa. Bicarakandengan kepala sekolah untuk mencari tahu apa yang dapat dilakukan sekolah mengenai situasi bullying. Peran Bystander Dalam Kejadian Bullying Dalam kejadian bullying biasanya ada tiga pihak, yaitu pelaku (bully), korban dan orang yang berada di lokasi atau didekat korban (bystander). Pada umumnya bystander merasa tidak nyaman meyaksikan bullying dan jarang melakukan intervensi karena tidak tahu harus berbuat apa, khawatir akan menjadi sasaran, atau khawatir akan membuat keadaan menjadi semakin buruk bagi korban. Padahal menurut penelitian (Hawkins, Pepler, and Craig, 2001), bullying akan berhenti jika ada teman sebaya yang berperan membantu menghentikannya. Jika kita sebagai bystander tidak melakukan apa-apa apalagi memberi semangat kepada pelaku, maka perilaku bullying akan semakin menjadi-jadi. beberapa tips bagi bystander untuk menghentikan perilaku bullying: 1. Ketahuilah bahwa bullying itu tidak hanya berupa penyerangan secara fisik tapi juga secara lisan, misalnya mengejek. 2. Bilang sama pelaku untuk berhenti dan jangan mau ikut-ikutan. Kamu bisa mengatakan bahwa melakukan bullying atau ngerjain orang lain itu merupakan perbuatan salah dan tidak keren. 3. Bantulah korban menjauhi pelaku, misalnya dengan memanggilnya agar mendekati kamu karena ada keperluan dengannya. Kalau kamu hanya menonton saja, secara tidak langsung kamu memberikan dukungan terhadap bully. 4. Kalau kamu khawatir turut campur akan membuat keadaan menjadi semakin buruk bagi korban, pergilah cari bantuan teman sebaya atau orang lain yang lebih dewasa untuk menolong korban. 5. Bertemanlah dengan korban, temani pergi dengannya jika korban merasa ketakutan.

24

6. Jangan melawan pelaku dengan cara berkelahi, tidak aman. Lebih baik carilah bantuan orang lain. 7. Kenalilah lokasi rawan dimana bullying dapat terjadi atau pelakunya nongkrong. Beritahukan kepada petugas yang berwenang di wilayah tersebut agar lebih sering mengawasinya.

I.8.6

Peraturan Mengenai Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan Meskipun tidak ada peraturan mewajibkan sekolah harus memiliki

kebijakan program anti bullying, tapi dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 548. Dengan kata lain, siswa mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai tugas untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan. Yang dimaksud dengan anak dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 20029 Pasal 80 ayat 1: "Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)." ANTI KEKERASAN PADA ANAK KetentuanUmum Pasal 1 - (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
8

"Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau temantemannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya."
9

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1).

25

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (15) Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 - Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 8 - Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 10 - Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 13 - (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas

26

pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1.diskriminasi; 2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3. penelantaran; 4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5. ketidakadilan; dan 6. perlakuan salah lainnya.

I.8.7

Solusi Menanggulangi Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Untuk mewujudkan agar generasi penerus kita menjadi generasi yang sehat

secara fisik dan psikis, kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah perlu ditangani karena mengakibatkan dampak negatif bagi siswa. Semua orang bisa menjadi korban atau malah menjadi pelaku Bullying. Oleh karena itu diperlukan kebijakan menyeluruh yang melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari guru, siswa, kepala sekolah sampai orang tua murid, yang tujuannya adalah untuk dapat menyadarkan seluruh komponen sekolah tadi tentang bahaya terselubung dari perilaku Bullying Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu: I.8.7.a Bagi Sekolah Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah

Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan tidak pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa (Susilowati, 2007).

27

Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.

Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.

Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.

Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.

Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.

28

Kesemuanya ini dilakukan dengan tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali perilaku Bullying di Sekolah. diharapkan dengan adanya kebijakan itu sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan dan membuat trauma tapi justru menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi siswa, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosional . Sekolah dapat menjadi tempat yang paling aman bagi anak serta guru untuk belajar dan mengajar serta serta menjadikan anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia. Bukan malah sebaliknya mencetak siswa-siswa yang siap pakai menjadi tukang jagal dan preman. I.8.7.b Bagi Orangtua atau keluarga Perlu lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.

Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya. Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial

Hindari tayangan televisi yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan kekuasaan.

Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.

Carilah bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari 29

I.8.7.c Bagi siswa yang mengalami kekerasan Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.

30

PENUTUP
I.9 KESIMPULAN
Kekerasan dalam dunia pendidikan adalah suatu perilaku pnggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok berupa fisik maupun psikis yang berdampak kemungkinan timbul gangguan psikologis pada korban bulying yaitu sering merasa takut dan juga timbulnya gangguan fisik seperti terdapatnya tubuh yg memar-memar dan luka. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan tidak hanya member dampak negative pada korban melainkan juga pada perilaku tindakan itu sendiri yaiutu dampaknya bias menyebabkan menjadi depresi, agresi dan tindakan semena-mena. Bullying akan meenjadi apabila ada orang yang memberi support pada pelaku bullying tersebut.

I.10 SARAN
Setiap sekolah seharusnya lebih menerapkan kepada siswa siswi pendidikan moral untuk menghindari kekerasan. Para siswa seharusnya lebih mengerti dan berfikir lebih kritis, bahwa tindakan kekerasan akan terkena sanksi. Guru lebih mengawasi dan memberikan contoh yang baik, sebaiknya juga peran orang tua dalam mengawasi anaknya baik di sekolah ataupun dimana saja.

31

DAFTAR PUSTAKA/ BIBLIOGRAFI


http://ideguru.wowrdpress.com http://tarmizi.wordpress.com www.kompas.com

32

LAMPIRAN

33

Anda mungkin juga menyukai