Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Pertanian telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat kita. Pertanian tidak hanya dipandang sebagai kegiatan bercocok tanam dan sumber penghidupan semata. Didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang telah diwariskan para nenek moyang sebagai tanda penghormatan terhadap alam serta sebagai nasihat dan peringatan agar kita selalu menjaga keseimbangan alam. Bentuk pencampuran antara kebudayaan dan pertanian dapat berupa larangan atau pantangan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu yang dapat merusak kelestarian seperti penebangan pohon-pohon tua, karna dianggap berhubungan dengan nenek moyang. Selain berupa larangan, adanya unsur budaya dalam pertanian dapat juga berupa kesenian seperti upacara ritual sebelum panen atau pun pesta panen sebagai bentuk wujud syukur atas panen yang berlimpah. Adanya nilai-nilai kebudayaan dalam kegiatan pertanian masyarakat kita bukanlah hanya sebagai pemeliharaan tradisi nenek moyang semata. Karna bila ditinjau dari sudut pandang ilmiah nilai-nilai kebudayaan yang dijaga ini turut menjaga kelestarian alam dan secara tidak langsung meningkatkan hasil pertanian mereka. Contohnya, prinsip akan penggunaan apa yang ada di alam secara bijak seperti pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau seresah dan kotoran hewan, dinilai mampu meningkatkan produktifitas hasil serta mutu kualitas dari hasil panen itu sendiri karna tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, dunia pertanian pun turut berkembang. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat kita untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal mereka agar tidak tergerus modernisme. Masyarakat Bali yang dikenal akan gaya hidupnya yang masih menjunjung tinggi nilainilai kearifan lokal budaya mereka dan hidup berdampingan dengan kehidupan modern melalui

sektor pariwisata berkelas internasional juga menghadapi tantangan yang sama. Salah satunya di sektor pertanian mereka. Subak, merupakan sistem pembagian irigasi pada lahan pertanian di Bali. Petani Bali yang modern menanam padi dua kali dalam setahun di sebuah sawah yang beririgasi dan menggunakan sistem terasering sesuai dengan medan tanah di Bali yang berbukit-bukit. Sumber air dialirkan dari pegunungan menuju tiap petak sawah melalui jaringan irigasi yang cukup rumit, yang pengaturannya dilakukan oleh kelompok setempat yang bernama 'subak'. Tiap penampungan air dikelola oleh subak, yang terdiri dari para petani yang sawahnya saling berdekatan dan memakai air dari penampungan tersebut. Mereka bertanggung jawab untuk mendistribusikan air secara adil dan merata ke setiap petak sawah yang berada dibawah pengawasan mereka. 1.2 Tujuan Makalah ini disusun untuk menganalisis sistem kebudayaan subak di Bali dan tantangan yang dihadapinya dalam menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini. Serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pertanian.

BAB II PEMBAHASAN

2.1Masyarakat dan Kebudayaan Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan dengan akal. Kata culture yang berasal dari mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani. Sehingga berkembang menjadi segala sesuatu upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah atau merubah alam. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Berarti seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karenya hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka hidup bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakannya dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakan akibat proses fisiologi atau kelakuan apabila dia sedang membabi buta.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: 1. alat-alat teknologi 2. sistem ekonomi 3. keluarga 4. kekuasaan politik Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: 1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya 2. organisasi ekonomi 3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) 4. organisasi kekuatan (politik) Koentjaraningrat menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan bersifat universal yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, antara lain:

1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. System mata pencaharian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian 2.2 Analisis Sistem Subak Subak merupakan salah satu organisasi tradisional petani di Indonesia, yang mengelola air irigasi selain organisasi yang juga terdapat di daerah lain, namun dengan nama yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1972 dalam pasal 4 merumuskan bahwa subak merupakan masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala, dan berkembang terus sebagai organisasi pengairan di suatu daerah Sistem subak memiliki falsafah hidup Tri Hita Karana (THK) yakni parhyangan (disebutkan memiliki pura dan bersifat religius), palemahan (disebutkan memiliki wilayah), dan pawongan ( disebutkan merupakan organisasi petani) serta dijiwai oleh Agama Hindu. Krama (anggota) subak umumnya mayoritas beragama Hindu. Pura Subak adalah tempat suci untuk memuja Tuhan dengan manifestasi sebagai Dewi Sri yang memberi kekuatan dalam bidang pertanian. Palemahan adalah kawasan persawahan yang menjadi tempat kegiatan produksi petani. Kawasan ini sangat ketat dijaga kesuciannya, sehingga setiap petak sawah/pemilikan selalu memiliki bedugul. Bagi petani di Bali, sawah merupakan karunia Tuhan yang diwariskan dari leluhurnya sehingga sawah memiliki nilai religius dan tempat bermukim dan bermain Betara Sri. Pada masa lalu jual beli sawah waris pantang dilakukan, karena pada sawah melekat Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya, seperti Betara Sri. Orang Bali tidak mungkin menjual sanggahnya. Pawongan, yaitu kawasan tempat petani melakukan proses sosialisasi. Masing-masing kawasan ini memiliki tata cara pengaturan hak dan kewajiban anggotanya sehingga memberi

masyarakat petani dimensi kehidupan yang lengkap dan harmonis, yaitu selaras, serasi dan seimbang. Piodalan di pura Subak dilakukan secara rutin sekali tiap enam bulan (untuk perhitungan hari dengan sistem wewukon) atau setahun (sistem sasih atau lunar/bulan). Ayahan (pelaksanaan kegiatan) di pura Subak dikenakan kepada sesuluruh anggota subak terutama yang beragama Hindu. Anggota subak non-Hindu memberi toleransi yang tinggi dan mendukung keberadaan pura subak. Ada juga pura subak yang dibuat relatif besar dan lengkap (biasanya dekat pemukiman). Di jaba (luar) pura subak besar biasanya ada bale subak (tempat pertemuan krama subak) yang dilengkapi dengan bale kulkul. Anggota suatu subak bisa berasal dari berbagai desa dan seorang petani dapat menjadi anggota beberapa subak. Walau ditemui adanya beberapa variasi tentang status keanggotaan dalam subak, secara umum anggota subak yang diistilahkan dengan karma subak dibedakan dalam tiga kelompok.
1. Krama pengayah (anggota aktif) yaitu anggota subak yang secara aktif terlibat dalam

kegiatan-kegiatan subak seperti gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak, upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, dan rapat-rapat subak. Di beberapa subak, anggota ini disebut juga karma pekaseh atau sekaa yeh.
2. Krama Pengempel atau Krama Pengoot (anggota pasif) yaitu anggota subak yang karena

alas an-alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalamkegiatan-kegiatan (ayahan subak). Sebagai gantinya anggota ini membayar dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel. Besarnya pengoot ini biasanya disepakati dalam rapat subak menjelang musim tanam. Persyaratan untuk dapat menjadi anggota pasif bervariasi antar subak.
3. Krama Leluputan (anggota khusus), yaitu anggota subak yang dibebaskan dari berbagai

kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku (pinandita di sebuah pura), bendesa adat (pimpinan desa adat), perbekel (kepala desa), ataupun sulinggih (pendeta, peranda, Sri Mpu, dan lain-lain)

Organisasi subak umumnya terdiri seorang kelian (ketua) subak, beberapa juru arah, dan kerama subak (anggota). Pesangkepan (rapat) anggota subak biasanya dilakukan rutin setiap 35 hari sekali misalny setiap Buda Manis (perulangan hari sistem sapta wara dan panca wara) untuk mengecek kelancaran kegiatan subak. Setiap anggota subak wajib hadir. Anggota yang tidak hadir atau belum hadir sampai batas waktu tertentu misalnya tiga janggi (pengukur waktu tradisional yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa dan berlubang kecil pada bagian bawahnya (air dalam janggi keluar). Jika air janggi pengulangan ketiga sudah habis keluar, anggota belum datang, maka anggota tersebut dianggap tidak hadir dan dikenai denda biasanya dalam bentuk uang. Dalam rapat rutin subak juga dikumpulkan pembayaran denda dari anggotan yang melanggar aturan subak seperti menutup cakangan sawah dari anggota lain untuk memperbesar air yang masuk ke cakangannya sendiri tanpa seijin pemilik cakangan yang ditutup, dan pembayaran swinih (sewa air petani non-anggota). Di musim panas pada subak dengan persediaan air terbatas umumnya dilakukan pergiliran menanam tanaman yang tidak memerlukan air telalu banyak (non-padi atau gegadon seperti menanam kacang, cabai, atau ketela rambat). Pergiliran tanam biasanaya per bagian wilayah subak (seperti dulu, tengah, teben). Sebagai contoh suatu bagian daerah subak (misalnya daerah hulu subak) dapat bagian ngegadon sekali dalam tiga kali musim panas. Anggota yang ngegadon, jika ingin menyirami tanamannya ia sering diwajibkan untuk memberitahun anggota lain yang dapat giliran menanam padi bahwa ia meminjam menggunakan air untuk menyiram tanaman gegadonnya Tiap subak mendirikan sebuah pura (ulun carik) yang dibangun diantara petak sawah para anggotanya, dan dipakai saat mereka mengadakan sebuah upacara bersama. Pura Ulun Danu di Danau Bratan, dikenal sebagai 'induk' dari semua sistem subak di Bali, dan beberapa subak sering mengadakan kunjungan ke pura Ulun Danu sebelum mereka mulai mengairi sawah mereka. Ada juga pura-pura kecil yang disebut 'bedugul', sering dijumpai di daerah persawahan dan biasanya terletak dekat dam. Pura kecil tanpa atap ini dibangun oleh perorangan untuk petak-petak sawahnya sendiri. Upacara paling penting yang dilakukan subak adalah perayaan 'ngusaba dini', yang biasanya digelar menjelang atau segera setelah panen. Perayaan ini digelar di pura milik subak dan merupakan perwujudan dari rasa syukur terhadap Dewi Sri. Dewi Sri adalah istri Wisnu dan salah satu figur penting dalam masyarakat Hindu di Bali, dan dianggap sebagai sebuah teladan sempurna

dari segala sesuatu yang baik dan indah. Terlebih lagi, sebagai dewi padi, Dewi Sri dikenal sebagai sumber dari kesuburan dan panen yang baik, sedangkan putrinya, Dewi Melanting Dewi Pelindung benih dan tanaman. Pada ritual 'ngusaba nini', berbagai sesajen yang lezat disiapkan oleh para anggota subak. Setelah sesajen dipersembahkan oleh pendeta kepada Dewa, dalam hal ini Dewi Sri, sesajen tersebut dibagikan kepada seluruh peserta upacara. Konon, sesajen-sesajen tersebut telah diambil sarinya oleh para Dewa, meninggalkan 'sisa'nya untuk dinikmati oleh para umat. Subak memiliki norma-norma dan awig-awig yang dibuat dan diputuskan secara musyawarah dan demokratis. Perbedaan pendapat diantara anggota Subak dalam pengambilan suatu keputusan dapat diselesaikan dengan baik secara demokratis dan dijiwai dengan rasa tanggung jawab religius. 2.3 Eksistensi Sistem Subak Di Era Modern Sistem irigasi subak pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu sistem teknologi sepadan, dan juga dapat dipandang sebagai sistem kebudayaan. Karena adanya fenomena dan pengertian seperti ini, maka sering disebutkan sistem subak adalah sebagai suatu sistem teknologi yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat (Puspostuardjo,2007) atau sistem seperti ini disebutkan pula sebagai suatu sistem teknologi yang telah berkembang menjadi fenomena budaya masyarakat (Puspowardojo, 1993). Subak diyakini merupakan pilar kebudayaan Bali yang sangat penting, sehingga bila eksistensi lembaga tradisional tersebut mulai terancam, tidak solid dan bahkan tidak berlanjut, maka selain sektor pertanian akan menghadapi permasalahan, dunia kepariwisataan di Bali juga akan memulai kehancurannya. Hal ini disebabkan pembangunan kepariwisataan yang dikembangkan di Daerah Bali adalah konsep Pariwisata Budaya. Disisi lain dengan semakin berkembangnya industri pariwisata budaya di Bali membuat adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi infrastruktur pendukung sektor pariwisata seperti pembangunan hotel dan jalan. Semakin berkurangnya lahan pertanian tentu mengancam keberadaaan subak dan mengganggu kegiatan pertanian yang ada.

Tanggung jawab religius yang ada pada subak yakni Tri Hita Karana,yang merupakan unsur penting dalam sistem subak, dihayati dengan sangat dalam walaupun banyak mereka tidak tahu secara teoritis arti dari Tri Hita Karana, tetapi masyarakat Bali sudah terbiasa dengan pelaksanaan dibandingkan pemahaman teoritis saja. Oleh karena itu banyak implementasinya dari teori-teori filosofis itu muncul dalam bentuk-bentuk simbolis, misalnya simbol-simbol dalam berbagai perlengkapan upacara keagamaan. Simbol-simbol ini dianggap lebih mudah dipahami oleh masyarakat tanpa harus terlalu banyak berteori. Rasa hormat terhadap lingkungan terimplementasi dalam masyarakat berupa berbagai bentuk upacara seperti Tumpek Pengatag dan Tumpek Kandang (rasa terima kasih kepada Tuhan atas karunia berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan). Kelestarian pohon-pohon yang besar dapat terjaga karena adanya simbol keangkeran dari pohon tersebut, sehingga masyarakat Bali tidak berani melakukan penebangan hutan. Rendahnya pemahaman teoritis nilai-nilai budaya, adat dan keagamaan (filosofi Tri Hita Karana) mengandung resiko lebih mudah tergerus oleh budaya yang sifatnya rasional universal seperti nilai-nilai modernisasi dan westernisasi, baik yang terbawa melalui pariwisata maupun melalui media elektronika. Akibatnya adalah banyak perilaku kehidupan masyarakat Bali yang bersifat ambivalen atau mendua. Nilai lama masih tetap ingin dipegang, namun akibat pengaruh komunikasi dunia luar, maka ada keinginan untuk mengadopsi nilai-nilai yang baru yang dirasakan lebih rasional dan ekonomis, sementara cara mengawinkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru itu tidak mereka ketahui. Disatu pihak perilaku tradisional itu tetap dihormati dan menjadi perilaku sehari-hari, namun dipihak lain perilaku yang bertentangan dengan filosofi itu sering juga muncul dalam perilaku kehidupannya. Budaya Bali ada pada persimpangan yang membingungkan masyarakatnya, karena tidak adanya batas tegas yang diciptakan antara transisi kehidupan dipersimpangan tersebut atau tidak ada usaha untuk mengawinkannya. Untuk tetap menjaga keeksistensian subak, perlu adanya transformasi pada organisasi tersebut tanpa mengubah nilai-nilai budayanya. Seperti, mendorong dan memfasilitasi pembentukan wadah kordinasi antar subak dalam lingkungan suatu, tujuan-tujuannya yaitu mencegah atau mengurangi timbulnya konflik dalam pemanfaatan air antar subak pada bendung yang sama, mengkordinasikan pengalokasian air secara lebih adil pengaturan pola tanam dan jadwal tanam antar subak yang terkait. Mendorong dan

memfasilitasi pembentikan wadah kordinasi antar sistem irigasi guna mengkordinasikan pengalokasian air antar DI dan pengaturan pola tanam serta jadwal tanam dari subak-subak pada aliran sungai yang bersangkutan. Mengadakan program pemberian status badan hukum bagi subak supaya dapat lebih berkembbang menjadi lembaga yang berorientasi ekonomi/agribisnis. Menggalang kerjasama antara subak dengan LSM serta instansi terkait dalam upaya pelestarian sumber daya alam disepanjang daerah aliran sungai.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan Subak diyakini merupakan pilar kebudayaan Bali yang sangat penting, sehingga bila eksistensi lembaga tradisional tersebut mulai terancam, tidak solid dan bahkan tidak berlanjut, maka selain sektor pertanian akan menghadapi permasalahan. Perlu adanya transformasi dalam subak tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya didalamnya seperti pembentukan wadah koordinasi antar subak, pemberian status badan hukum dan melakukan kerjasama dengan LSM dan pihak-pihak terkait dalam kegiatan pertanian dan pelestarian alam. 3.2 Saran Pemerintah harus lebih menyadari akan pentingnya keberadaan subak sebagai warisan budaya serta sebagai organisasi kesejahteraan petani Bali serta turut membangun kerja sama dengan organisasi subak itu sendiri secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya/ diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://www.anneahira.com/kebudayaan-sosial.html diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://ri3dh2.multiply.com/reviews/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://www.dimasprasetyo.net/risalah-singkat-kebudayaan-indonesia-1709#more-1709%27 diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://www.bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-modelkearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28 diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/subak diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 http://jagatbali.com/in/culture/padi-persembahan-dan-pura-subak-di-bali.html diunduh pada tanggal 1 Maret 2012

ANALISIS KEBUDAYAAN SUBAK DAN TEORI MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pertanian

Disusun oleh : Iwan Sunarya Aditya Juliawan Choirony Ferrera Z Rayoga Akbar F Ricky Azhari 150110080033 150110080045 1501100800 150110080062 150110080063

AGROTEKNOLOGI B

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2012

Anda mungkin juga menyukai