Anda di halaman 1dari 161

Penanganan rasional pada kanker

Posted on 8 April 2011 by ArtikelBedah

Pada dasarnya, pertumbuhan merupakan sifat dasar dari sel yang hidup dan proses ini memiliki regulator tersendiri. Organisme yang sudah dewasa tidak lagi mengadakan pertumbuhan karena pertumbuhan sel sudah berada dalam keadaan seimbang di mana sel-sel lama yang telah mati telah tergantikan oleh sel baru. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu misalnya ada luka pada jaringan tubuh, akan terjadi lagi pertumbuhan yang bersifat lokal yang akan berhenti dengan sendirinya apabila jaringan tersebut sudah mengalami penyembuhan. Pada tumor, proses yang terjadi adalah disregulasi pertumbuhan di mana pertumbuhantumor bersifat otonom sehingga pertumbuhan menjadi tidak terkendali. Proses disregulasi ini terjadi pada tumor jinak maupun tumor ganas. Tumor ganas dibedakan dari tumor jinak karena kemampuannya menginvasi dan mengadakan metastasis ke organ lain. Neoplasma adalah pertumbuhan sel-sel baru yang tidak terkendali, tidak sesuai dengan pertumbuhan normal, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak mempunyai fungsi fisiologis. Pada sel neoplasma terjadi perubahan sifat di mana energi sel digunakan hanya untuk pertumbuhan dan tidak digunakan untuk menjalankan fungsi fisiologis. Pertumbuhan sel tumor umumnya bersifat balans positif dimana pertumbuhan sel baru lebih banyak daripada sel yang mati. Secara skematis, faktorfaktor yang dapat menyebabkan terjadinya neoplasma dibagi dalam tiga golongan: 1. Faktor karsinogen yang menginduksi pertumbuhan abnormal. Faktor ini biasanya bersifat eksogen seperti bahan kimiawi, fisik dan biologik. 2. Faktor host yang mendukung pertumbuhan abnormal. Faktor ini biasanya bersifat endogen seperti genotipe, jenis kelamin dan umur. Juga termasuk faktor imunologik, imunogenetik dan hormonal. 3. Faktor lingkungan yang dapat menimbulkan modifikasi tetapi tidak bersifat karsinogen seperti makanan, obat-obatan, agenesis yang menginduksi hiperplasia, rangsangan kronik seperti fistel atau ulkus sebagai promotor dalam patogenesisnya. GAMBARAN KLINIK KARSINOMA Kanker dapat timbul di semua bagian tubuh. Akan tetapi, kadang kanker mempunyai tempat predileksi untuk tumbuh. Misalnya pada laki-laki banyak ditemukan di hati,

paru, kulit, darah, kelenjar limfe, nasofaring. Sedangkan pada perempuan banyak ditemukan di serviks, uterus, payudara, ovarium, kulit, hati dan paru. Karsinoma primer dapat timbul sebagai plakat, pembengkakan, atau luka (erosi atau ulkus). Kelainan primer ini kadang tampak pada permukaan tapi kadang juga tidak. Metastase tampak sebagai pembesaran kelenjar limfe atau benjolan di tempat lain. Selain itu, dapat timbul komplikasi misalnya perdarahan, obstruksi ataupun inflamasi. Secara umum, tidak ada keluhan spesifik bila karsinoma masih dalam stadium dini. Seringkali penderita sama sekali tidak terganggu dalam menjalankan aktivitas seharihari. Gejala dan tanda tumor beraneka ragam sesuai letak dan jenis tumor. Konsistensi tumor umumnya padat atau keras sebab karsinoma sebagai tumor epitel biasanya mengandug sedikit jaringan ikat. Tumor lain yang konsistensinya kenyal atau lunak misalnya sarkoma, karena berasal dari jaringan mesenkim. Kadang tampak hipervaskularisasi di sekitar tumor tetapi tidak tampak tanda proses radang akut. Pada umumnya kanker akan menginfiltrasi jaringan tempatnya tumbuh dan jaringan sekitarnya. Jika infiltrasi melibatkan banyak jaringan ikat maka akan terjadi pengerutan seperti pada jaringan fibrotik. Proses ini nanti akan tampil sebagai retraksi ataupun organ mengecil. Bila terdapat udem di sekitar tumor maka disebabkan infiltrasi ke pembuluh limfe regional dan mengalami obstruksi. Pembesaran kelenjar limfe regional baru akan tampak bila metastase telah tumbuh cukup besar. Konsistensinya kenyal atau keras. Metastase jauh 1. Hepar Metastase timbul di hati sebagai hepatomegali, nodus tunggal, ataupun nodus multipel yang dapat diraba pada palpasi. Metastase ini tidak akan menimbulkan nyeri kecuali ada rangsangan peritonium akibat nekrosis. Selain itu, dapat timbul ikterus akibat penekanan duktus choledocus atau duktus hepaticus oleh penyebaran ke kelenjar limfe. Bila terjadi ascites artinya telah terjadi hipertensi portal dan bendungan sirkulasi hati. Gangguan faal hati tidak dapat dijadikan patokan metastase karena kadang faal hati tidak terganggu akibat kemampuan regenerasi jaringan hati sangat tinggi. Karsinoma yang sering metastase ke hepar adalah karsinoma kolon, rektum, payudara, ginjal, paru, ovarium, dan melanoma malignum.

1. Paru-paru Penyebaran ke paru-paru dapat berbentuk tunggal maupun multipel, unilateral maupun bilateral. Metastase paru baru akan menimbulkan gejala bila pleura dan bronkus sudah terkena. Jika ingin mendeteksi dini metastase pada paru maka paling baik dilakukan pemeriksaan foto thoraks. Karsinoma yang sering bermetastase ke paru adalah melanoma malignum, karsinoma payudara, ginjal, paru, kolon, dan rektum. 1. Tulang Metastase ke tulang menyebabkan osteolisis yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya fraktur patologis yaitu fraktur spontan tanpa didahului trauma keras atau hanya trauma minimal. Hampir semua karsinoma dapat bermetastase ke tulang. Yang paling sering adalah melanoma malignum, payudara, bronkus, prostat, tiroid. 1. Sumsum tulang Metastase ke sumsum tulang menyebabkan gangguan hemopoeiesis sehingga terjadi pansitopenia. 1. Otak Metastase ke otak akan menyebabkan tanda dan gejala yang terdiri atas sindrom peningkatan tekanan intrkranial dan sindrom neurologik khusus akibat rangsangan atau destruksi di tempat metastase yang dapat timbul sebagai gangguan motorik, gangguan sensibilitas atau pancaindera. Karsinoma yang sering metastase ke otak adalah melanoma malignum, karsinoma payudara, paru dan ginjal. KANKER Beberapa hal yang harus diketahui antara lain: 1. Keadaan klinik dan biologik tumor Lama perjalanan tumor Kecepatan tumbuh Keadaan umum penderita

Keadaan lokal: ukuran tumor, luas infiltrasi, besar gangguan fungsional, bentuk makroskopik

Keadaan regional: banyaknya kelenjar getah bening yang terkena Keadaan organ-organ yang jauh: untuk melihat metastasis jauh

1. Gambaran patologik anatomi/sitologi: Ada beberapa metode: Pemeriksaan sitologi: untuk mencari sel-sel kanker dengan pewarnaan Papaniculou Pemeriksaan histologik:

Ada beberapa cara yang dapat digunakan: 1. Potong beku (frozen section): memerlukan waktu 15 menit untuk mendapatkan diagnosis keganasan 2. Blok parafin: jaringan difiksasi dengan formalin/alkohol lalu dimasak dengan alat technicium, kemudian diwarnai dengan HE. Jaringan yang akan diperiksa diperoleh dengan biopsi, operasi radikal, dll 3. Imunohistokimia: pemeriksaan petanda tumor ( tumor marker) yang dapat merefleksikan: Fungsi sel tumor/kanker Prognosis: dengan melihat adanya faktor growth fraction

Diferensiasi tumor: bila karsinoma maka faktor sitokeratin (+) karena berasal dari epitel, sedangkan bila sarkoma faktor Vementin atau Desmin (+) karena berasal dari jaringan penunjang 1. Pemeriksaan radiologi: untuk melihat adanya metastasis jauh Foto rontgen polos Foto rontgen dengan kontras USG

CT scan MRI

TERAPI PADA PASIEN KANKER Pilihan terapi pada pasien kanker adalah masalah yang sangat sulit dan kompleks. Terapi yang dipilih harus menghasilkan manfaat dan keuntungan. Walaupun saat ini cukup banyak pilihan terapi yang dapat dilakukan untuk setiap jenis kanker, tapi sebagian besar menimbulkan komplikasi dan penyulit lebih besar daripada keuntungan. Secara umum, tujuan terapi kanker adalah memperbesar angka harapan hidup dan mengatasi gejala yang berarti memperbaiki mutu hidup (quality of life). 1. PEMBEDAHAN Sampai saat ini terapi kanker dengan operasi memberikan angka kesembuhan yang paling besar. Operasi tidak hanya mengangkat kanker tetapi juga meningkatkan fungsi dan memperbaiki kosmetik. 1. Pembedahan primer Bedah kuratif merupakan terapi lokoregional. Penderita masih dapat sembuh apabila kanker masih terbatas pada organ tempatnya tumbuh (tumor primer/lokal) dan pada kelenjar limfe yang melewati daerah tersebut (regional). Pada tingkat ini, pembedahan dilakukan secara en bloc artinya daerah yang terkena tumor diangkat seluruhnya sekaligus bersama dengan pembuluh dan kelenjar limfe regional (lymphdenectomy). Seiring dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan maka sekarang pembedahan dilakukan tidak mengangkat tumor seluruhnya secara radikal karena terapi sering dikombinasikan dengan radioterapi yang dianggap mampu membersihkan sisa tumor. 1. Pembedahan paliatif Pembedahan ini dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan keluhan penderita sehingga akan meningkatkan mutu hidup (quality of life). Pembedahan ini juga berguna untuk mengeluarkan tumor yang mengganggu atau bertukak pada penderita yang tidak dapat ditolong dengan radioterapi atau kemoterapi. 1. Pembedahan sekunder Pembedahan ini dilakukan bila terjadi tumor residif di daerah setempat ataupun bila operasi primer dilakukan tanpa limfedenektomi dan ternyata ada metastase KGB. Pembedahan sekunder juga termasuk eksisi metastase di organ lain yang jauh.

1. Pembedahan diagnostik Pembedahan ini juga disebut biopsi yang bertujuan memperoleh sediaan jaringan tumor yang cukup untuk melakukan diagnosis histologik yang akurat. Indikasi dan teknik biopsi yang digunakan tergantung dari organ yang terlibat, letak tumor di organ. RADIOTERAPI Radioterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan sinar radioaktif. Cara ini telah dimulai sejak kurang lebih seratus tahun lalu, tidak lama setelah Prof. Willem Conrad Roentgen menemukan sinar X. Dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan teknologi, metode ini makin mendapat tempat dalam pengobatan penyakit kanker. Sinar X, elektron, dan sinar y (gamma), adalah yang terbanyak digunakan dalam pengobatan kanker selain partikel lain. Pada prinsipnya, apabila berkas sinar radioaktif atau partikel dipaparkan ke jaringan, maka akan terjadi berbagai peristiwa antara lain proses ionisasi molekul air yang mengakibatkan terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang kemudian akan menyebabkan kematian sel. Lintasan sinar juga menimbulkan kerusakan akibat rusaknya DNA yang dapat diikuti kematian sel. Baik sel kanker maupun sel normal, akan mengalami peristiwa yang sama, hanya saja pada sebagian besar jenis kanker memperlihatkan kepekaan yang lebih tinggi terhadap sinar ini daripada sel-sel normal. Jadi diharapkan, pada pengobatan penyakit kanker, semua sel kanker telah mengalami kematian sebelum terjadi cedera yang berlebihan pada sel-sel normal yang masih hidup. Apabila pemberian radiasi dihentikan, sel normal ini akan kembali sehat seperti semula. Keadaan ini dapat tercapai apabila dosis sinar yang diberikan tidak melewati ambang dosis kemampuan hidup sel normal dan apabila tidak terlalu banyak jaringan yang terikut serta pada radiasi. Hal ini berarti makin sedikit jumlah sel kanker yang disinar makin tinggi kemungkinan penyembuhannya. Dengan kata lain, bila benjolan relatif masih kecil pengobatan akan lebih efektif. Sebagai contoh adalah kanker payudara. Setelah jaringan kanker beserta jaringan normal sekitarnya dioperasi, maka selanjutnya radiasi akan membersihkan sel-sel kanker yang tertinggal. Metode ini disebut sebagai radiasi pascabedah (radiasi adjuvant). Metode lain adalah radiasi sebelum operasi atau radiasi prabedah (radiasi neoadjuvant) seperti halnya yang sering dilakukan pada kanker kolon (usus besar). Tujuan penyinaran adalah untuk memperkecil jaringan kanker sehingga mempermudah

pengangkatan semua jaringan kanker, sekaligus untuk mencegah terjadinya penyebaran sel-sel kanker pada saat pembedahan dilakukan. Namun sayangnya tidak semua kanker dapat dioperasi, baik karena keadaan pasien tidak mengizinkan maupun ukuran kanker yang terlalu besar atau bahkan telah terjadi penyebaran jauh. Pada beberapa keadaan radioterapi dapat berdiri sendiri dalam memberantas sel-sel kanker. Pada kanker leher rahim, kanker pita suara, dan kanker lidah (stadium awal), radiasi dapat dilakukan sebagai alternatif pembedahan. Kelebihan pada cara pengobatan sinar adalah masih terpeliharanya fungsi pita suara dan lidah masih dapat digunakan untuk merasakan makanan. Cara Pemberian Metode pengobatan dengan sinar dilakukan dengan cara pemberian sinar luar (radiasi eksterna) dan sinar dalam (brakhiterapi) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk memperoleh hasil yang optimal seringkali kedua metode diberikan secara kombinasi. Radiasi eksterna dapat diberikan pada hampir semua jenis kanker tidak tergantung pada stadium, baik awal maupun lanjut. Cara pemberian sinar luar yaitu radiasi terletak pada suatu jarak tertentu (80 cm sampai 100 cm) dari tubuh pasien, kemudian sinar diarahkan pada lokasi jaringan kanker, biasanya diikutsertakan pula kelenjar getah bening setempat yang mungkin sudah mengandung sel-sel kanker. Kelebihan cara ini adalah diharapkan semua sel kanker beserta penyebaran ke sekelilingnya akan memperoleh radiasi sehingga akan mengalami kematian sel. Sedangkan kerugiannya adalah selain jaringan kanker, jaringan normal yang sehat yang berada di lapangan radiasi juga akan memperoleh sinar. Sekalipun jaringan normal mengalami cedera yang lebih ringan daripada jaringan kankernya, seperti telah diuraikan sebelumnya, namun apabila jaringan normal terlalu banyak yang terlibat maka dikhawatirkan akan terjadi efek samping radiasi yang terlalu berat. Karena itulah, pemberian sinar luar ini harus dibatasi sampai dosis tertentu. Untuk mengatasi ambang dosis sel kanker yang tidak mematikan, diperlukan dosis kompensasi sedemikian rupa sehingga akan tercapai dosis yang mematikan sel kanker. Dosis tambahan ini hanya dapat diperoleh dari cara pemberian sinar dalam. Sesuai dengan istilahnya maka sinar dalam diberikan dengan cara langsung pada jaringan kankernya, bisa dengan menancapkan sumber radiasi (berupa jarum) langsung

ke jaringan kanker seperti pada kanker lidah atau prostat, atau dengan menempatkannya pada struktur anatomis seperti pada kanker rahim. Dengan cara demikian hanya jaringan kanker saja yang memperoleh dosis sinar. Brakhiterapi atau sinar dalam ini hanya dapat diberikan pada jenis kanker tertentu saja dan yang paling klasik adalah kanker leher rahim. Pengobatan sinar ini biasanya memakan waktu 5-6 minggu bahkan kadang lebih. Pemberian informasi mengenai penyakit serta metode pengobatan yang akan diterima di samping pemberian pengobatan yang bertujuan menghilangkan keluhan, akan sangat membantu pasien. Disamping efek samping umum seperti kelemahan dan depresi mental pasien dapat juga terjadi efek samping lokal sesuai dengan tempat radiasi. Terapi radiasi di daerah kepala dan leher menyebabkan inflamasi, nyeri, penurunan salivasi, caries gigi, gangguan pengecapan, stomatitis, infeksi oral, trismus, dysfagi, atau adenofagi. Radiasi di daerah abdomen dan pelvis akan secara langsung mempengaruhi sistem pencernaan. Pada dosis rendah akan menyebabkan muntah dan nausea. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan ulkus di sistem pencernaan, nausea, muntah, diare dan kehilangan berat badan. Namun, meskipun berbagai metode pengobatan terkini didukung oleh peralatan modern, kegagalan masih dapat terjadi. Faktor kegagalan tersering adalah lambatnya pasien meminta pertolongan dokter sehingga penyakit telah mencapai stadium lanjut, dan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan. KEMOTERAPI Sel-sel kanker sebenarnya memiliki sifat yang sangat menguntungkan apabila dimiliki oleh sel yang sehat. Sel kanker memiliki kemampuan cepat beradaptasi dengan lingkungan toksik, kemampuan tentang mekanisme biologi yang menjamin kelangsungan hidupnya dan mencegah kematian selnya. Berbagai kemampuan sel kanker di atas inilah yang menyebabkan sel kanker sangat sulit dimusnahkan. Kemoterapi biasanya memiliki presentasi kegagalan yang besar karena hanya bekerja spesifik untuk sel kanker tertentu, ataupun sel kanker bermutasi dan menjadi resisten terhadap kemoterapi.

Sel kanker berbeda dengan sel yang normal dalam hal pertumbuhan dan kematian sel. Pada sel normal, pertumbuhan dan kematian sel diatur dalam suatu siklus sel yang disebut apoptosis. Sedangkan sel kanker tidak diatur dalam siklus tersebut. Sel kanker akan terus tumbuh dan membelah secara aktif tanpa suatu siklus yang mengatur. Obatobat kemoterapi bekerja dengan menghancurkan sel kanker dengan menghentikan pertumbuhan dan pembelahannya dengan cara mengintervensi salah satu siklus pertumbuhan selnya. Hanya saja kerugiannya adalah kemoterapi membunuh sel kanker maupun sel yang sehat. Tujuan kemoterapi adalah memperkecil ukuran tumor, memperlambat pertumbuhan tumor, dan mematikan sel-sel kanker yang sudah metastase ke bagian lain tubuh. Secara umum, obat kemoterapi terbagi dalam 2 kelas yaitu cell cycle specific yang secara bersifat toksik untuk proliferasi sel dan non cell cycle specific yang langsung membunuh sel sisa yang tidak membelah selama paparan obat CSS. 1. Alkylating agets Menyebabkan kematian sel secara langsung, mutasi dan perlambatan karsinogenesis. Selain itu, berperan dalam mencegah transkripsi dan translasi DNA dan RNA. Efek tosisitas terbesar yaitu berupa pansitopenia, sistitis hemoragik, dan keluhan gastrointestinal. Nitrogen mustard: cyclophsphamide, ifosamide Alkyl sulfonates: busulfan Ethylenamine: thiotepa, digunakan untuk tumor pada vesica urinaria Nitrosureas: carmustine (BCNU), dapat melewati sawar darah otak sehingga

digunakan untuk tumor otak Triazines: dacarbazin (DTIC), digunakan untuk melanoma dan soft tissue sarcoma 1. Vinca alkaloids Berperan dalam inhibisi pembentukan kumparan sehingga menyebabkan terhentinya fase metafase dan selanjutnya mengakibatkan kematian sel. Efek toksisitas berupa

leukopeni dan stomatitis, dan neuropati perifer. Contoh sediaan yang ada: vincristine, vinblastine, dan videsine. 1. Antibiotik Antibiotik antracycline berperan dalam menghentikan transkripsi dan translasi. Golongan ini tidak bekerja secara spesifik untuk sel dan dapat mengakibatkan supresi sumsum tulang, alopesia, mukositis dan kardiotoksik. Contoh sediaan yang ada: doxorubycin (adriamycin), daunorubicin, bleomycin 1. Antimetabolit Secara umum, golongan ini bekerja dengan menghambat sistem enzim karena mempunyai fungsi yang mirip dengan subsrat fisiologis. 5-fluorouracil menghambat sintesis thymidylate, methotrexate menghambat dyhidroxyfolat reductase, dan ara-c menghambat DNA polimerase. Efek toksisitas berupa mukositis dan myelosupresi. 1. Platinum Terikat pada DNA sehingga mengganggu sintesis DNA dan RNA. Efek toksik yaitu nefrotoksik. Golongan ini dapat digunakan secara primer pada kanker ovarium. Berbagai cara kerja obat kemoterapi: 1. Inhibisi jalur transduksi sinyal Setiap sel baik sel normal maupun sel kanker mempunyai bagian tempat perlekatan reseptor molekul di bagian permukaannya. Bagian ini seperti kunci yang hanya bisa dibuka atau diaktifkan dengan molekul pasangannya yang sesuai. Ketika diaktifkan, maka proses biokimiawi yang spesifik dengan reseptor tersebut akan diaktifkan. Sebagai contoh TGF-alpha dan reseptornya EGFR yang menyebabkan proliferasi sel yang sangat cepat. Bila dilakukan intervensi terhadap ikatan ini, dapat menekan pertumbuhan tumor dengan intervensi terhadap kemampuan sel kanker untuk memperbaiki diri, invasi, metastasis dan angiogenesis. Keuntungan dari obat kemoterapi yang bekerja pada siklus ini adalah dapat mencegah sel kanker bermutasi yang nantinya menyebabkan sel kanker resisten terhadap kemoterapi. TERAPI HORMONAL Tamoxifen

Adalah analog estrogen sintesis dengan aktivitas etrogenic yang minimal dan afinitas tinggi terhadap reseptor estrogen sitosolik. Obat ini bekerja dengan mengggantikan estrogen pada reseptornya sehingga menginaktivasi kompleks estrogen. Efek samping berupa ruam kulit, nausea, vomit, dan menstruasi yang ireguler. Terapi ini sangat baik diberikan pada pasien kanker payudara. Megestrol

Obat ini terikat pada reseptor progesteron sehingga nantinya akan mengganggu fungsi kompleks tersebut. Obat ini dapat digunakan pada kanker endometrium. Leuprolide

Adalah analog gonadotropin releasing hormone yag berfungsi menurunkan sekresi luteinizing hormone dan follicle stimlating hormone, serta menurunkan produksi androgen di testis dan adrenal. Obat ini digunakan pada kanker prostat yang telah bermetastasis Aminoglutethimide Disebut juga adrenalectomy medik. Pada dosis tinggi menurunkan konversi kolesterol menjadi pregmenolone di adrenal, dan pada dosis rendah menghambat konversi androstenedione menjadi estrone (prekursor estrogen) IMUNOTERAPI Imunoterapi adalah terapi dengan mengaktifkan sistem pertahanan tubuh untuk secara aktif melawan sel kanker, dan bergantung pada kemampuan sistem imun yang akan membedakan antara sel tumor dan sel normal. Sistem imun yang dimaksud termasuk limfosit termasuk sel T, sel B. Imunitas humoral yaitu antibodi yang menghancurkan sel dengan fagositosis. Imunitas seluler menghancurkan sel dengan sel sitotoksik yang nantinya akan mengenali sel target. Dalam hal ini termasuk sel T. Ada 4 jenis imunoterapi yaitu: imunoterapi non spesifik, terapi antibodi, imunoterapi adaptif, dan imunoterapi dengan vaksin tumor.

1. Imunoterapi non spesifik Interferon dengan efek anti tumor yaitu dengan imunomodulasi dan secara langsung bersifat anti proliferatif terhadap sel tumor. 1. Terapi antibodi Antibodi ini mempunyai efek anti tumor dengan memblok molekul target. Terapi ini dapat diberikan pada limfoma dan kanker payudara. 1. Imunoterapi adoptif TERAPI NUTRISI Terdapat hubungan yang erat antara kanker, intake oral dan status nutrisi, di mana kakori dan karbohidrat sangat kurang yang menyebabkan cachexia dan akhirnya menyebabkan penurunan berat badan dan terganggunya beberapa protein penting yang berperan sebagai enzim, imun dan mekanik fungsional. Selain itu, efek dari kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan bersama dengan malnutrisi akan semakin meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Pada pasien kanker terjadi beberapa kelainan metabolisme. Metabolisme glukosa: Dibagi menjadi dua penyebab, yaitu gangguan metabolisme glukosa tubuh otot (berupa resistensi terhadap insulin), dan gangguan metabolisme glukosa dihati, (berupa peningkatan glukoneogenesis). Metabolisme protein: Pasien kanker mengalami muscle wasting karena dua cara yaitu penurunan pembentukan otot oleh protein dan katabolisme protein otot yang berlebih, untuk dijadikan kalori. Katabolisme protein ini melalui sitokin (IL-1, IL-6, TNF). Metabolisme Lipid: Terjadi peningkatan lipolisis dan kegagalan proses mobilisasi dari depot lemak ke sirkulasi. Cairan Tubuh: Terjadi peningkatan cairan tubuh total.

Respons Hormonal: Terjadi resistensi terhadap insulin, peningkatan kadar hormon tiroid (T3-T4) dan peningkatan kadar growth hormon. Tujuan utama dari terapi nutrisi pada kanker adalah menjamin intake, mencegah atau meminimalkan malnutrisi, mencegah kehilangan berat badan, mempertahankan

cadangan protein yang adekuat, dan menormalkan massa sel tubuh. Hal ini dilakukan dengan memastikan tercukupinya nutrisi yang masuk dan memperbaiki metabolik yang abnormal secara oral, enteral maupun parenteral. Tipe nutrisi yang akan diberikan tergantung dari keadaan umum, status nutrisi, tipe dan lokasi tumor, dan terapi medik yang diindikasikan untuk pasien tersebut. 1. Nutrisi enteral Dapat diberikan secara per oral, selang nasogastrik (NGT), jejunostomi, gastrostomi. Keuntungan terapi ini adalah sistem pencernaan masih dapat berfungsi secara normal, lebih minimal invasif dan resikonya lebih sedikit daripada parenteral. Oleh karena itu, enteral selalu merupakan pilihan utama untuk terapi nutrisi. 1. Nutrisi parenteral Terapi ini merupakan pilihan apabila sistem pencernaan sudah tidak mampu mengabsobsi nutrisi secara adekuat ataupun terapi enteral yang diberikan tidak adekuat. Terapi ini mungkin dibutuhkan pasien yang sistem pencernaannya tidak mampu lagi toleransi oleh karena nausea, muntah, obstruksi atau malabsorbsi. Menurut Copeland, ada 3 tipe pasien kanker yang prlu diberikan nutrisi parenteral: Pasien malnutrisi yang memiliki kesempatan perubahan terhadap respon terapi Pasien yang tidak mamu menerima nutrisi enteral yang adekuat karena malnutrisi yang disebabkan pengobatan kanker sebelumnya Pasien yang telah menerima nutrisi yang adekuat yang selanjutnya akan menerima terapi gabungan seperti kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi atau pembedahan di mana pada keadaan ini nutrisi yang optimal akan sangat diperlukan Dapat melalui vena sentra atau perifer. Sebaiknya pemberian dilakukan melalui vena sentral kerena dapat diberikan cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan 1 tahun). Hubungan antara radioterapi dan terapi nutrisi yang diberikan tergantung pada lokasi tumor, tipe radiasi yang digunakan, ukuran lapangan radiasi, status pasien dan dosis selama durasi terapi.

Fraktur Terbuka, Penanganan


Posted on 16 March 2011 by ArtikelBedah

Tulang adalah materi komposit yang terdiri dari komponen organik dan inorganik. Komponen organik terutama terdiri dari matriks kolagen dan glikoprotein nonkolagen, fosfoprotein, proteolipid serta mukopolisakarida, yang ketika bergabung bersama-sama disebut sebagai osteoid. Kolagen tipe I merupakan struktur protein terbanyak dalam osteoid, sekitar 95% volume keseluruhan. Sel-sel yang menghasilkan matriks tulang disebut osteoblast. Komponen inorganik tulang terdiri dari hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2. Mineral ini awalnya tersimpan dalam matriks organik sebagai garam kalsium fosfat dan selanjutnya berubah menjadi kristal-kristal apatit. Sejumlah bahan-bahan ion lain, seperti karbonat, magnesium, sodium, kalsium dan fluoride juga dijumpai dalam tulang dan berperan penting dalam struktur serta metabolisme tulang. Kandungan mineral disimpan baik dalam bagian kortikal maupun trabekular tulang.1 1. Pembentukan Tulang dan Remodelling Tulang normal terbentuk oleh osifikasi intramembranosa dari mesenkim osteoblas atau oleh osifikasi endokondral. Tulang-tulang panjang dan vertebra bertambah volumenya oleh kombinasi dari dua proses ini.1 Metabolisme tulang hidup tidak pernah berhenti, secara konstan tulang mengalami remodeling dan memperbaharui matriksnya dan mineral sesuai dengan stres mekanik yang dialaminya. Faktor-faktor yang mengendalikan pembentukan tulang tidak sepenuhnya dimengerti, namun dalam tulang orang dewasa, kedua proses ini selalu berpasangan sehingga pembentukan tulang sebanding dengan resorpsi tulang.1 Proses remodeling tulang mulai pada periode fetal, meningkat selama janin, dan berlanjut seumur hidup. Rata-rata remodeling tulang kortikal selama 2 tahun pertama kehidupan mencapai 50% pada tulang-tulang tertentu. Pada orang dewasa remodeling kortikal tulang menurun sekitar 5% pertahunya.1 2. Berkurangnya matriks tulang dimulai pada usia 40 tahun. Wanita kehilangan sekitar 35%-40% tulang kortikalnya dan 55%-60% dari tulang trabekularnya, dimana laki-laki kehilangan sekitar dua-pertiga dari jumlah ini sepanjang hidupnya. Fase lambat berkurangnya tulang kortikal (0.3 %-0.5% per tahun) dimulai pada wanita maupun pria di usia 40 tahun dan meningkat seiring pertambahan usia sehingga melambat pada usia tua. Berkurangnya matriks tulang trabekular memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada laki-laki maupun wanita, fase lambat berkurangnya tulang trabekular dimulai sekitar 510 tahun lebih awal daripada berkurangnya tulang kortikal dan lebih besar daripada tulang kortikal. Peningkatan hilangnya tulang trabekular adalah sekitar 4% 8%

pertahun.1 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. ( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 ) Fraktur atau patah tulang adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir. (3) Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada Usila prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.(2) Klasifikasi patah tulang terbuka: menurut Gustilo(3,4) Tipe I Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tandatanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif Tipe II Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan Tipe III Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe: 1. tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah 2. tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat do cover soft tissue 3. tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera Penanggulangan fraktur terbuka(4): 0. Obati sebagai suatu kegawatan 1. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang mungkin akan menjadi penyebab kematian 2. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi 3. Segera lakukan debridement dan irigasi yang baik

4. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya 5. Stabilisasi fraktur 6. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari 7. Lakukan bone graft autogenous secepatnya 8. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena Tahap pengobatan patah tulang terbuka(4) : 1. Pembersihan luka 2. Eksisi jaringan yang mati dan disangka mati 3. Pengobatan patah tulang dan penentuan jenis traksi 4. Penutupan kulit 5. Pemberian antibiotik 6. Pencegahan tetanus Prinsip debridement adalah untuk membersihkan kontaminasi yang terdapat di sekitar fraktur dengan melakukan pengangkatan terhadap jaringan yang non viabel dan material asing, seperti pasir yang melekat pada jaringan lunak. Dilakukan penilaian pada sekitar jaringan sekitar tulang, cedera pembuluh darah, tendon, otot, saraf. Debridement jaringan otot dipertimbangkan jika otot terkontaminasi berat dan kehilangan kontraktilitas. Debridement pada tendon mempertimbangkan kontraktilitas tendon, sedangkan debridement pada kulit dilakukan hingga timbul perdarahan. Pada fraktur terbuka grade IIIb dan IIIc dilakukan serial debridement yang diulang dalarn selang waktu 24-72 jam untuk tercapainya debridement definitive. (4) Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin. Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka Gustilo tape III, diberikan tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin.(4)

Sindrom Kompartemen
Posted on 4 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial

yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, parestesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang. (1,2,3) Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik, tergantung dari penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan lamanya gejala. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan arteri, dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik dapat disebabkan oleh aktivitas yang berulang misalnya lari. (1) INSIDEN Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindroma kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindroma kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria daripada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah fraktur tibia. Menurut Qvarfordt, sekelompok pasien dengan nyeri kaki, 14% pasien dengan sindroma kompartemen anterior. Sindroma kompartemen ditemukan 1-9% fraktur pada kaki. (4,5) ANATOMI Fascia memisahkan serabut otot dalam satu kelompok. Kompartemen adalah merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran dan fascia yang melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. (6) Pada regio brachium, kompartemen dibagi menjadi 2 bagian yaitu : (9,10) 1. Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median. 2. Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior. Pada regio antebrachium, kompartemen dibagi menjadi 3 bagian yaitu : (9,10) 1. Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median. 2. Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior. 3. Mobile wad : otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor carpi radialis brevis, otot brachioradialis. Pada regio wrist joint, kompartemen dibagi menjadi 6 bagian yaitu : (9,10)

1. Kompartemen I : otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis. 2. Kompartemen II : otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi radialis longus. 3. Kompartemen III : otot ekstensor pollicis longus. 4. Kompartemen IV : otot ekstensor digitorum communis, otot ekstensor indicis. 5. Kompartemen V : otot ekstensor digiti minimi. 6. Kompartemen VI : otot ekstensor carpi ulnaris. Pada regio cruris, kompartemen dibagi menjadi 4 bagian yaitu : (9,10) 1. Kompartemen anterior : otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari kaki, nervus peroneal profunda. 2. Kompartemen lateral : otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal superfisial. 3. Kompartemen posterior superfisial : otot gastrocnemius dan soleus, nervus sural. 4. Kompartemen posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki, nervus tibia. ETIOLOGI Penyebab terjadinya sindroma kompartemen adalah tekanan di dalam kompartemen yang terlalu tinggi, lebih dari 30 mmHg. Adapun penyebab terjadinya peningkatan tekanan intrakompartemen adalah peningkatan volume cairan dalam kompartemen atau penurunan volume kompartemen. (9) Peningkatan volume cairan dalam kompartemen dapat disebabkan oleh : (9) Peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka bakar, trauma langsung. Peningkatan tekanan kapiler, akibat latihan atau adanya obstruksi vena. Hipertrofi otot. Pendarahan. Infus yang infiltrasi. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan oleh : (9) Balutan yang terlalu ketat. PATOGENESIS Perkembangan sindroma kompartemen tergantung tidak hanya pada tekanan intrakompartemen tapi juga tekanan sistemik darah. Patofisiologi sindroma kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia. (1) Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan menyebabkan kapiler kolaps, nutrisi tidak dapat mengalir keluar ke sel-sel dan hasil metabolisme tidak dapat dikeluarkan. Hanya dalam beberapa jam, sel-sel yang tidak

memperoleh makanan akan mengalami kerusakan. Pertama-tama sel akan mengalami pembengkakan, kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi pembengkakan lebih lanjut. Pembengkakan yang terus bertambah menyebabkan tekanan meningkat. (12,13) Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif (misal : histamin, serotonin) yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat kerusakan disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis. (5) DIAGNOSIS Sindroma kompartemen dapat didiagnosis berdasarkan pengetahuan tentang faktor resiko, keluhan subjektif dan adanya suatu tanda-tanda fisik dan gejala klinis. Adapun faktor resiko pada sindroma kompartemen meliputi fraktur yang berat dan trauma pada jaringan lunak, penggunaan bebat. (15,16) Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma kompartemen meliputi 5 P, yaitu : (17) 1. Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. 2. Pallor (pucat) : kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat, abu-abu atau keputihan. 3. Parestesia : biasanya memberikan gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi. 4. Paralisis : biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi, merupakan tanda yang lambat diketahui. 5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) : akibat adanya gangguan perfusi arterial. Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari pemeriksaan fisik tidak memberi hasil yang memuaskan. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter. (15,16) Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain : (19) a. Teknik injeksi. Jarum ukuran 18 dihubungkan dengan spoit 20 cc melalui saluran salin dan udara. Saluran ini kemudian dihubungkan dengan manometer air raksa standar. Setelah jarum disuntikkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam spoit akan meningkat

sehingga meniskus salin-udara tampak bergerak. Kemudian tekanan dalam kompartemen dapat dibaca pada manometer air raksa. b. Teknik Wick kateter. Wick kateter dan sarung plastiknya dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tabungnya diisi oleh three-way yang dihubungkan dengan transducer. Sangat perlu untuk memastikan bahwa tidak ada gelembung udara dalam sistem tersebut karena memberi hasil yang rendah atau mengaburkan pengukuran. Ujung kateter harus dapat menghentikan suatu meniskus air sehingga dapat dipastikan dan diketahui bahwa dalam jaringan tersebut dilewati suatu trocar besar, kemudian jarumnya ditarik dan kateter dibalut ke kulit. TERAPI Penanganan sindroma kompartemen meliputi : 1. Terapi medikal / non bedah. (11) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut kontriksi dilepas. Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah. Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik. 2. Terapi pembedahan / operatif. Fasciotomi adalah pengobatan operatif pada sindroma kompartemen dengan stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. (11) Terapi untuk sindroma kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.(8,20) Adapun indikasi untuk melakukan fasciotomi adalah : (21) 1. Ada tanda-tanda klinis dari sindroma kompartemen. 2. Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg. FASCIOTOMI PADA REGIO CRURIS Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio cruris : fibulektomy, fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi adalah prosedur

radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif. (1,19) Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) : Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal. (1,19) Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) : Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.(1,19) FASCIOTOMI PADA REGIO ANTEBRACHIUM Pendekatan volar (Henry) Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai

dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan.(1,19) Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.(1,19) Pendekatan Volar Ulnar Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.(1,19) Pendekatan Dorsal Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.(1,19) DIAGNOSIS BANDING Diferensial diagnosis dari sindroma kompartemen meliputi tendinitis, fatigue fraktur dan shin splints. Keadaan ini dihubungkan berdasarkan nyeri pada tungkai bawah akibat latihan. Namun memberikan gejala yang sama dengan sindroma kompartemen. (22,23)

Gejala pada tendinitis biasanya muncul setelah latihan, nyeri sering diakibatkan oleh regangan pada tendo. Pada fatigue fraktur, daerah tulang yang diserang meluas dari satu sisi tulang ke tulang yang lain. Pada shin splints, nyeri biasanya hanya pada puncak belakang tibia medial, sering pada pertemuan setengah dan sepertiga distal tibia. (22,23) KOMPLIKASI (21,24) Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia pada jaringan tersebut. Kontraktur volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan kelanjutan dari sindroma kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau bulan. Infeksi. Hipestesia dan nyeri. Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem. PROGNOSIS Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversibel terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten. (11)

Fiksasi Eksterna, external Fixation


Posted on 6 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Dalam penanganan pada seorang pasien yang mengalami fraktur terdapat beberapa cara yang digunakan tergantung dari bagaimana bentuk fraktur yang terjadi. Salah satunya adalah fiksasi eksterna yang merupakan teknologi baru yang digunakan untuk menstabilkan patah tulang atau fraktur dengan menggunakan pin yang dihubungkan dengan bars atau frame yang dapat dilihat diluar tubuh. Teknik ini pertama kali dilakukan oleh Strader seorang dokter hewan kemudian digunakan untuk manusia lebih dari 5 dekade yang lalu oleh Roger

DEFINISI Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.(1,4,5,6) Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak. Pada pelvis, kompresi oleh fiksasi eksterna dapat menstabilisasikan pelvis, mengurangi perdarahan, sebagai penatalaksanaan resusitasi awal dan sebagai definitive treatment pada beberapa trauma . (2,3,5) Fiksasi eksterna terutama digunakan ketika terdapat luka dan trauma pada jaringan lunak yang merupakan kontraindikasi langsung untuk dilakukan pembedahan terhadap fraktur. TIPE FIKSASI EKSTERNA Terdapat beberapa tipe fiksasi eksterna yaitu : (4) Pin fixators : unilateral, bilateral frame, V-shaped dan triangular. Ring (Wire fixator) Hybrid fixators (wire and pin), adalah tipe fiksasi eksternal yang digunakan untuk fraktur tertutup pada sendi. Dinamakan hybrid karena terdiri dari wire fixation (3/4 ring fixator) dengan pin fixator (fiksasi unilateral pada bagian diafisis). Pinless external fixators , tujuan utama desain dari pinless fixator adalah untuk menghindari tembusnya pin kedalam kanalis medularis. Mefisto, merupakan teknik fiksasi eksterna yang baru diperkenalkan dan dirancang untuk limb lengthening dan bone transport. INDIKASI (4,7) Terdapat indikasi absolut untuk penatalaksanan fiksasi baik internal maupun eksternal pada fraktur yang terbagi menjadi dua bagian utama yaitu : 1. Saving life, yang dimaksud dengan saving life atau menyelamatkan hidup adalah dengan adanya stabilisasi yang cepat maka dapat mengurangi resiko terjadinya

kematian. 2. Saving Limb, stabilisasi pada fraktur diafisis merupakan suatu bagian penatalaksanan darurat terutama pada fraktur dengan trauma jaringan lunak dimana dengan stabilisasi dapat mengurangi kerusakan yang lebih lanjut pada jaringan lunak. Sedangkan indikasi pada fiksasi eksterna yaitu : Fraktur Terbuka Fiksasi eksterna merupakan satu-satunya kemungkinan yang digunakan untuk menstabilkan tulang pada fraktur terbuka, khususnya pada fraktur terbuka tipe III B dan C. Dengan fiksasi eksterna maka dapat menghindari bertambahnya kerusakan pada jaringan lunak, dan vaskularisasi tulang dapat berjalan dengan baik. Fraktur Tertutup Pada fraktur tertutup, fiksasi eksterna jarang dilakukan, kecuali pada polytrauma yang berat, atau terdapat luka memar yang berat pada fraktur tertutup. Polytrauma Pada polytrauma yang berat, fiksasi eksterna dapat menjadi indikasi utama untuk menstabilisasi multiple fractures. Fraktur pada Anak-anak Pada anak-anak, meskipun terdapat polytrauma atau tidak, fiksasi eksterna tetap merupakan indikasi terapi khususnya pada ekstremitas bawah atau pada kasus dengan fraktur terbuka. Indikasi Khusus- articular fractures/ joint bridging Rekonstruksi sendi yang tepat dan fiksasi yang stabil dengan kompresi interfragmen yang dapat mengurangi nyeri pada pergerakan bebas merupakan terapi utama untuk articular fractures. Tujuan ini dapat dilaksanakan dengan cara ORIF atau pada simpler fractures dengan cara kombinasi lag-screw fixation dan hybrid fixator. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN A. KEUNTUNGAN FIKSASI EKSTERNA(1,4,8) Mengurangi kerusakan vaskuler pada tulang Mengurangi gangguan pada lapisan jaringan lunak. Sangat berguna untuk menstabilkan fraktur terbuka. Kekakuan pada fiksasi dapat diatur tanpa prosedur operasi Mengurangi resiko terjadinya infeksi. Cukup aman untuk digunakan pada kasus dengan infeksi pada tulang. Mobilisasi dapat cepat dilakukan oleh pasien, dan bagian tubuh dapat digerakkan dan berpindah posisi tanpa adanya perasaan takut akan terjadi pergeseran pada tulang. Kompresi, netralisasi dan distraksi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna sesuai

dengan bentuk fraktur. B. KERUGIAN FIKSASI EKSTERNA (1,4,8) Pin dan wires dapat menembus jaringan lunak Membatasi pergerakan sendi. Terdapat komplikasi pin-track pada penggunaan fiksasi eksterna yang lama. Secara mekanis pemasangan pin dan rangka fiksasi sulit dilakukan dan mudah terjadi infeksi jika teknik pemasangannya tidak benar. Alat-alat pada fiksasi eksterna sangat mahal. Rangka fiksasi dapat terdiri dari beberapa rangkaian sehingga pasien merasa tidak nyaman dan dengan alasan estetika. METODE DAN TEKNIK PEMASANGAN Metode Terdapat dua metode yang pada umumnya digunakan untuk meletakkan pin yang digunakan pada fiksasi eksterna yaitu : (4,5,9) 1. Through-and-through, yaitu masing-masing pin dimasukkan melalui kulit dan menembus fragmen tulang kemudian keluar menembus kulit pada sisi sebelahnya. 2. One-side (Cantilever system), yaitu pin dimasukkan melewati fragmen tulang tetapi tidak sampai menembus sampai pada sisi sebelah dan menonjol hanya pada salah satu sisi tubuh. TEKNIK PEMASANGAN (4,7,10) A. Teknik pin insertion Sebelum dilakukan fiksasi, berikan tanda silang pada tempat atau daerah safe Zone sebagai tempat untuk memasukkan pin dan meminimalkan resiko trauma pada sistem saraf, pembuluh darah dan tendo. 1. Diafisis Untuk pemasangan pin pada bagian diafisis sangat penting bagi kita untuk menghindari terjadinya kerusakan pada tulang akibat rasa panas yang ditimbulkan pada saat memasukkan pin atau schanz screws. Untuk memasukkan pin atau schanz screws secara tepat, maka pin tersebut harus mencapai korteks pada bagian ujungnya tetapi tidak sampai menembus terlalu jauh. Dan untuk mencapai sasaran yang tepat maka kita bisa menggunakan ukuran atau dibantu dengan intraoperative x-ray. Jika pin yang dimasukkan tidak mencapai ujung korteks maka kemungkinan pin yang digunakan agak pendek atau pin yang dimasukkan menembus bagian lain. Dan dari

gambaran x-ray kontrol akan tampak empty hole pada bagian ujung korteks yang berarti skrup yang dimasukkan tidak mencapai ujung korteks. 2. Metafisis Untuk pemasangan pada bagian metafisis terdapat hal-hal penting yang harus diperhatikan pada saat akan memasukkan pin atau schanz screw yaitu : Tidak membuat trauma pada pembuluh darah dan nadi. Tidak meletakkan pin pada sendi. Menghindari fracture lines. Menggunakan self-drilling screws pada tulang metafisis. B. Frame construction a. Tampak gambaran ilustrasi penatalaksanaan fixator first untuk complex open fracture. b. Pada setiap fragment tulang, pin dipasang berdasarkan kondisi jaringan lunak. c. Hubungkan pin pada rangka atau bar yang memiliki dua pengait untuk mereposisi. d. Setelah direposisi, kedua bars dihubungkan dengan tube ketiga dan dilakukan tubeto-tube clamps. e. Tampak pada tulang fibula juga difiksasi untuk menjaga stabilisasi. PERAWATAN POST OPERATIVE (1,4,5,7) Perawatan Pin-track. Pin site dibersihkan tiap hari dengan menggunakan cairan hydrogen peroxide atau sabun antibakteri atau dengan larutan betadine. Pasien dilatih tiap 2-4 minggu sampai penyembuhan fraktur. Pin site dijaga agar tidak terjadi infeksi dan semua hubungan fiksator di cek untuk memastikan tetap saling berhubungan. Pada 4-6 minggu pertama hanya diberikan latihan keseimbangan berat badan. Pada pasien dengan trauma pada tumit yang tidak stabil, maka pin pada kaki dapat di pertahankan lebih lama sampai tumit dapat stabil kembali. Timing of procedure Intramedullary nailing atau pemasangan plat atau fiksasi interna dipertimbangkan aman jika dilaksanakan dalam dua minggu pertama setelah fiksasi eksterna, dimana perawatan pin-site baik tanpa tanda-tanda infeksi. Kemudian fiksasi eksterna dapat dilepaskan setelah 6-8 minggu dengan mempertimbangkan fracture healing. KOMPLIKASI (1,4,8) Terdapat beberapa potensi komplikasi dengan sepsis yang pada umumnya terjadi yaitu :

Pin Tract Infection. Tanpa adanya keahlian dalam teknik pemasangan pin dan perawatan yang baik, maka hal ini merupakan komplikasi yang pada umumnya paling banyak terjadi sekitar 30 %. Dimulai dari proses radang yang berasal dari luka sampai terjadi infeksi superfisial yang dapat menyebabkan terjadinya osteomyelitis hingga memerlukan pemberian antibiotik. Gangguan Neurovaskular . Seorang ahli bedah harus mengetahui daerah safe zone dan danger zone sebelum memasang pin. Nervus radialis pada bagian distal tangan dan pada bagian proksimal dari telapak tangan, dan arteri tibialis anterior serta nervus peroneus pada kaki merupakan tempat yang paling sering terkena. Vessel penetration , trombosis, arterivenous fistula, dan aneurysma sering ditemukan. Refraktur. Kemungkinan besar dapat terjadi pada saat mengeluarkan pin. Seperti pada metode open reduction dapat menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan apabila terdapat infeksi pada pin tract.

Hiperthropy Prostat Jinak, Benign Prostat Hiperthropy


Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah

Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) kebanyakan dialami pada dekade ke-5 kehidupan pria dan dapat menyebabkan gangguan yang sangat berarti bagi kualitas hidup penderitanya. Telah didemonstrasikan secara histopatologi bahwa evidens kejadian PPJ ditemukan pada 50 % pria setelah berumur 50 tahun. Dan pada umur 80 tahun, hampir 90%. 6,10,11 Pembesaran Prostat akan memberikan gejala-gejala klinik berupa gejala obstruktif yang terjadi akibat penyempitan uretra karena desakan prostat yang membesar yang selanjutnya dinamakan Benign Prostatic Obstruction (BPO) dan peningkatan tonus otot polos prostat yang diperantarai oleh alfa1-adrenergik reseptor dinamakan sebagai Bladder Outlet Obstruction (BOO). Dan gejala iritasi akibat pengosongan yang tidak sempurna saat berkemih atau pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada buli-buli sehingga sering berkontraksi sebelum penuh. 24 Pada pembesaran prostat tejadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Normalnya rasio stroma berbanding epitel adalah 2:1, sedangkan pada pembesaran prostat rasio meningkat menjadi 5:1. Jumlah komponen otot polos yang mengalami hipertrofi memperkuat suatu teori bahwa BOO pada pembesaran prostat merupakan suatu proses dinamik akibat dari peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis dengan meningkatnya aktifitas alfa1 adrenoreseptor. Inilah yang menyebabkan tidak adanya korelasi antara besar prostat dan derajat obstruksi. 3,25

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih disebut trabekula. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedang yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini terjadi pada fase kompensasi otot dinding buli-buli. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sepenuhnya. Jika terjadi retensi kronik dan kelemahan otot detrussor akan menambah gejala-gejala pada LUTS (IPSS (Internationale Prostate Symptom Score). 21 1. IPSS (INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE) IPSS merupakan perangkat yang sering digunakan untuk mengevaluasi LUTS dan merupakan kuantifikasi daripada gejala-gejala LUTS akibat pembesaran prostat, dan merupakan pemeriksaan yang mutlak harus dilakukan untuk mengetetahui kemungkinan adanya PPJ disamping penyakit-penyakit lain yang memperlihatkan gejala LUTS. 13 Beberapa peneliti membuat skor gejala-gejala LUTS in misalnya : Boyarski et al (1977) kemudian diikuti oleh Madsen dan Iversen (1983), Fowler et al (1988) dan dua skor lagi yaitu American Urological Association (1991) dan kelompok urologis Danish ( Hald et al) : 1. Skor Boyarski : memiliki 9 pertanyaan, memiliki skor sekitar 0 3. dalam beberapa pertanyaan nilai 0 mewakili tidak adanya keluhan tapi pada pertanyaan yang lain gejala yng muncul kurang lebih sampai 20%. Tingkat keparahan keluhan dapat disamakan dengan frekuensinya misalnya grade 2 buat hesitensy atau dikenal dengan frequent (muncul lebih dari 50%, tapi tidak selalu, dan dapat bertahan lebih dari 1 menit) 2. Skor Madsen-Iversen skor : terdiri dari 9 symptom tapi terdapat 2 yang berbeda dari skor Boyarski. Titik berat dari skor ini adalah beratnya symptom. Skala dari symptom ini bervariasi, sebagai contoh hesitensy memiliki 2 skor yaitu 0 dan 3, mengingat bladder emptying memiliki 5 skor 0 4. 3. Skor Fowler : skor ini terdiri dari 5 symptom, dimana tiap symptom rata-rata skala 5 point. Titik berat dari skor ini adalah kualitas hidup. Beberapa pertanyaan ditanyakan dengan cara yang sedikit berbeda misalnya frekunsi diketahui dengan pertanyaan berikut ini seberapa sering anda harus kencing lagi dalam jangka waktu yang pendek setelah kencing, disuria ditanyakan dengan pertanyaan perasaan seperti terbakar setelah kencing. Skor ini dibuat oleh bagian internis tetapi follow up dilakukan oleh ahli urologis sehingga harus didiskusikan antara kedua bagian tersebut. 4. Skor Danish : terdiri dari 12 symptom dan memperkenalkan faktor bother. Untuk

tiap symptom pasien ditanya seberapa jauh symptom ini menggangu mereka. Tiap symptom ini berkisar 0 3 yang merupakan faktor yang mengganggu. Gejala-gejala yang muncul dipilih karena diketahui merupakan gejala dari PPJ. 5. Skor AUA : terdiri dari 7 gejala nilai 0-5. Skor AUA turunan dari skor Fowler dan mempunyai beberapa pertanyaan mengenai kualitas hidup. Gejala-gejala dari AUA dipilih secara seksama berdasarkan pemeriksaan terhadap koofisien gejala yang saling berhubungan dari penelitian-penelitian pendahulu sebelumnya serta didapatkan 17 gejala, dan hubungan antara setiap gejala ini dan dua pertanyaan umum mengenai beratnya gangguan yang disebabkan oleh keseluruhan gejala urinarius. 9 Dari sekian skor ini yang dianggap paling akurat adalah AUA (American Urological Association) yang oleh WHO (1991) diadopsi dan kemudian dinamakan International Prostate Symptom Score (IPSS). Selain kuantifikasi dari gejala LUTS ditambahkan juga kualitas hidup (Quality of Life = QOL). Sebagai tambahan bagian Urologi Jakarta FKUI selain menggunakan IPSS juga menggunakan Skor Madsen dan Iversen. 25 Adapun validasi atau akurasi dari IPSS ini tergantung pada 2 hal yaitu : Validasi secara langsung melalui pertanyaan yang ditanyakan oleh dokter atau pertanyaan yang diisi oleh pasien. Dengan cara ini validasi merujuk pada pertanyaan yang terstruktur, sehingga bagi pasien tidak membingungkan. Aspek kedua dari validasi adalah pemilihan pertanyaan yang sesuai. Tidak semua skor symptom yang telah dipublikasikan telah divalidasi dari sudut pandang metodologi. Semuanya tidak tersusun secara mendasar melalui evaluasi objektif dari gejala yang dipilih dengan seksama berdasarkan skor khusus. Pemilihan pertanyaan yang sesuai tergantung dari pemahaman terhadap gejala urodinamik dan efek dari gejala tersebut setelah intervensi pengobatan. Sehingga validasi pemilihan gejala didapatkan dari korelasi gejala perindividu dan temuan-temuan urodinamik, secara bersamaan dinilai dengan pencatatan ulang gejala-gejala yang muncul dan parameter-parameter urodinamik setelah pengobatan. 25 Kedua, berdasarkan tingkat pemahaman dan tingkat pendidikan (intelektualitas) pasien. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat korelasi IPSS yang didapatkan dengan besarnya prostat atau volume prostat berdasarkan rectal grading, TRUS atau MRI. Jadi nilai IPSS ini terlalu subjektif. Adapula beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai IPSS yaitu bila ditemukan adanya sistitis atau infeksi saluran kemih. 25 2. RECTAL GRADING Pemeriksaan Colok Dubur atau Digital Rectal Examination selanjutnya akan digunakan kata DRE. Dari pemeriksaan ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur

volume prostat dengan DRE cenderung memberikan hasil lebih di bawah daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. 6 Yang paling menentukan dalam mendiagnosa PPJ ialah dengan menggunakan DRE karena gejala-gejala LUTS saja banyak penyakit-penyakit ditemukan pada daerah tersebut yang juga memberikan gejala LUTS seperti striktur urethra, bladder neck contracture, batu, neurogenic bladder, dan lain-lain 28 Syarat yang paling penting dalam melakukan DRE untuk menentukan besarnya prostat ialah dengan bimanual dan buli-buli yang telah dikosongkan. Untuk mencegah perkiraan ukuran prostat yang berlebihan disamping adanya kelainan-kelainan lain intravesical dan dalam rongga panggul. 9 Demikian pula bilamana pada fibrotik prostat, dimana jaringan fibrotik lebih dominan menyebabkan prostat mengkerut akan memberi IPSS yang tinggi sementara hasil DRE dan volume TRUS yang kecil. 10 Didalam penilaian pembesaran prostat ada yang membagi tiga grading, R.E. Tan telah melakukan penelitian derajat grading rectal, dengan berat prostat setelah prostatektomi di Indonesia sehingga gambaran ini diharapkan dapat digunakan secara umum di Indonesia. 9 Pembesaran ini dibagi atas tiga : 9 - Derajat I: batas atas mudah dicapai. Protrusi dari prostat ke dalam rectum dan pembesaran ke arah latetal - Derajat II : batas atas susah dicapai dengan palpasi jari. Penonjolan prostat yang jelas kedalam rectum dan mengukur batas pembesarannya pada sisi lateral. - Derajat III : batas atas tidak dapat dicapai dengan menggunakan palpasi. Kebanyakan prostat yang sangat besar ini dapat dirasakan di atas pubis. Diketahui batas protusi ke dalam rectum dan pembesaran pada sisi lateral. 9 Besar prostat setelah operasi sebagai berikut : 9 Derajat I : pembesaran prostat memiliki berat berkisar antara 8 sampai 30 gram Derajat II : pembesaran prostat memiliki berat berkisar 30 sampai 50 gram Derajat III : pembesaran prostat memiliki berat lebih dari 50 gram Peneliti lain membagi atas 4 grading Klasifikasi dari prostat grading Rectal Grading : berdasarkan protrusi dari pembesaran kelenjar prostat Derajat I : 1 2 cm, batas atas mudah dicapai. Derajat II : 2 3 cm, batas atas dapat dicapai. Derajat III : 3 4 cm, batas atas dapat dicapai ketika daerah suprapubik ditekan dengan

tangan kiri. Derajat IV : > 4 cm, batas sulit dicapai walaupun dengan penekanan pada daerah suprapubik. 13,21 Menurut peneliti yang membagi dalam 4 grading ini besarnya prostat berdasarkan jaringan prostat yang diangkat. Grading: Bergman,Turner Barnes, Hadley,Turner, Belt Weight of tissue removed Weight of tissue removed 1 - About 20 gm - 10 25 gm 2 - About 40 gm - 26 50 gm 3 - About 70 gm - 51 100 gm 4 - More than 120 gm - More than 100 gm Tetap tidak ada paralelisma besarnya prostat dengan clinical grading yang berdasarkan urine sisa ataupun dengan hebatnya gejala-gejala LUTS. 10 3. UROFLOWMETRI Adapun pemeriksaan lain yang dapat menentukan indikasi operasi yaitu pemeriksaan uroflowmetri dimana dapat diketahuinya kekuatan pancaran kencing Urine flow menurun pada populasi laki-laki usia tua. Laki-laki normal usia 60 tahun tidak akan sama aliran urinenya dibanding dengan laki-laki normal usia 20 tahun. Pada laki-laki sebelum usia 45 Q max : 18ml/dtk sampai usia 55 tahun : 15 ml/dtk dan usia lebih dari 65 tahun : 13 ml/dtk. Penilaian dari rata-rata volume dari Q max : - > 15 ml/dtk : non obstruksi - 10 15 ml/dtk : borderline - < 10 ml/dtk : obstruktif. 10,21 Pemeriksaan ini tidak termasuk dalam penelitian kami. 4. TRANSRECTAL ULTRASONOGRAPHY (TRUS) Sesuai dengan rekomendasi dari International Consensus Committee WHO (1993) di Paris. TRUS ini hanya termasuk optional test untuk mengukur besarnya prostat yang dapat dipakai menentukan teknik operasi yang akan dilakukan apakah open prostatektomi atau TUR-P disamping itu juga digunakan sebagai penuntun untuk melakukan biopsi pada daerah yang dicurigai adanya malignancy/keganasan yang memberikan gambaran hypoechoic. 14,27 TRUS memberikan gambaran volume prostat yang lebih akurat dibandingkan dengan

DRE. Pada sebagian kasus, ketepatan pengukuran volume prostat dengan TRUS berhubungan dengan gejala2 LUTS. 23 Untuk mendapatkan volume prostat secara akurat, harus dibuat pengukuran secara akurat dalam 3 dimensi; anterior-posterior; coronal; dan sagital. Berat prostat dalam gram, kurang lebih sama dengan volumenya karena berat berat jenis prostat adalah antara 1 1,05 Dua cara yang umum dipakai untuk mengukur prostat : 1. Kalau prostat dianggap berbentuk spheris, maka volumenya adalah 4/3 r3, dimana r adalah diameter (radius), karena spheris maka ketiga nilai r nya adalah sama. 2. Pengukuran perkiraan volume (ini lebih umum dan akurat), dalam menggunakan rumus untuk bangun ellipsoid, karena jika dilihat secara 3 dimensi, prostat bentuknya lebih mirip ellipsoid. Rumus volumenya = 0,52 x d1 x d2 x d3,dimana nilai d mewakili diameternya, diameter adalah axial dan sagital yang didapat dari sisi terpanjang dan sisi terlebar pada saat pengukuran kelenjar prostat. 27 Maka dalam menghitung volume TRUS digunakan rumus d1 x d2 x d3 x /6 d1 x d2 x d3 x 0,52/6 = 0,52 Alternative lainnya, perkiraaan dapat dicapai dalam menggunakan serial scanning prostat dimulai dari basis ke apexnya. Volume prostat ini mungkin mewakili keseluruhan prostat, juga termasuk zona transisi, tergantung dimana dimensi markernya ditempatkan selama pengukuran dalam TRUS. Rumus yang sama dapat dipakai untuk mengukur residual urine dan volume buli-buli jika dianggap bentuknya adalah kuboid dalam penilaian konstatanya adalah 0,7, sehingga rumus pengukurannya adalah 0,7 x d1 x d2 x d3 dengan akurasi berkisar 80 85 %. Ukuran buli-buli dan urine sisa adalah dua parameter penting yang merupakan indikasi cepat dan derajat kesembuhan post operasi dan remisi gejala prostat. 27 Dalam penelitian ini, kita hanya mencoba untuk mencari sampai sejauh mana korelasi antara volume prostat baik menurut TRUS maupun berdasarkan DRE dengan kuantitas gejala-gejala LUTS (IPSS). 13

Batu Ureter Bilateral, Ureterolithiasis Bilateral


Posted on 15 May 2011 by ArtikelBedah

Batu saluran kemih merupakan salah satu masalah dibidang urologi yang angka kejadiannya di Indonesia masih cukup tinggi, salah satunya adalah batu ureter yang menimbulkan gejala kolik yang menyiksa penderita yang bila mengenai kedua ureter dapat mengakibatkan sumbatan total saluran kemih sehingga terjadi hidronefrosis dengan segala akibatnya. (1,4,9,10,11) Ada 3 faktor yang mempengaruhi pembentukan batu yaitu : 1. Teori inti (nucleus) kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urine yang sudah mengalami supersaturasi 2. Teori matrix : matrix organic yang berasal dari serum atau protein urine memberikan kemungkinan pengendapan kristal. 3. Teori inhibitor kristalisasi : Beberapa substansi dalam urine menghambat terjadinya kristalisasi, konsentrasi yang rendah atau absennya substansi ini menunjukkan terjadinya kristalisasi. (6) Adanya batu pada ureter akan menyebabkan obstruksi yang bila mengenai kedua ureter akan berpengaruh pada ginjal menyebabkan terjadinya hidronefrosis sampai gagal ginjal.(4,10) Batu ureter berasal dari ginjal oleh gaya gravitasi peristaltic ureter, batu bisa masuk dan turun ke ureter. Batu ini dapat menyebabkan sumbatan komplit pada ureter. Oleh karena adanya penyempitan pada 3 tempat pada ureter yaitu pada uretero pelvic junction, persilangan antara arteri dan vena iliaca dan uretero vesical junction, maka biasanya batu ureter tersangkut pada daerah tersebut. (1,9,10) Obstruksi ureter bilateral dapat menyebabkan peninggian tekanan intra ureter 50 70 mmHg sehingga mengakibatkan aliran balik ureter ke forniks ginjal, pielo kanalikuli, pielo limfatik dan pielo venous. (1,3) Prinsip dasar dalam urologi untuk menangani obstruksi akut total bilateral adalah membebaskan obstruksi untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. 1. 1. Anatomi Kaliks, pelvis renis dan ureter merupakan struktur yang serupa. Pelvis dan ureter terdiri dari 3 lapis : Fibrosa superficialis, muskularis media, dan mukosa dalam. Otot-otot dari pelvis renis dan kaliks identik dengan ureter meskipun kurang berkembang bila dibandingkan ureter. Terdapat lapisan-lapisan otot longitudinal superficial dan profunda yang tegas dengan lapisan otot sirkuler ditengahnya. Dijelaskan bahwa pada hubungan antara kaliks mayor dan minor, lapisan otot sirkuler meningkat dan memberikan aliran sphincter parsial.(5)

Ureter memanjang dari pelvis renis hingga kandung kemih dan bervariasi panjangnya dari 24 34 cm. panjang ureter kanan 1 cm lebih pendek dari ureter kiri. Ureter menyerupai kurva bentuk S yang secara relative lurus pada bagian tengahnya. Tatkala ureter meninggalkan pelvis renis dan menuju ke medial dari m. Psoas, lateral dari proc. Transversus spinosus dan tepat pertengahan jalan kandung kemih, ia melintas di belakan funiculus spermaticus (atau ovarium). Bagian distal dari area ini ureter tidak melekat erat pada peritoneum, yang mana merupakan hal penting dalam pembedahan. (5) tiga titik penyempitan fisiologis pada ureter adalah uretero pelvic junction, persilangan pada arteri iliaca dan uretero vesical junction, (gambar 1). Ateri iliaca membagi ureter ke dalam 2 serabut fungsional : serabut proksimal ( 10 mm ) dan yang di distal serabutnya lebih pendek dan kecil ( 4 6 mm ). (5) Suplai Darah Ureter Suplai darah ureter berasal dari banyak cabang, antara lain cabang A. Renalis untuk 1/3 atas ureter dan pelvis renis, cabang dari aorta, A. Illiaca, A. Mesenterika inferior, A. Hipogastrika profunda dan arteri-arteri ovarium/spermatica untuk 1/3 tengah ureter dan cabang vesical pada 1/3 bawah ureter terdapat anastomosis bebas dari pembuluhpembuluh ini pada tunica adventitia ureter dan pelvis renis dan sampai menembus arteriol, pembuluh-pembuluh darah ini ber-anastomose secara bebas dengan otot-otot longitudinal dan mukosa prekapiler. Anastomose ini mensuplai ureter melalui beberapa arteri saja, itu sebabnya bila ini terputus tidak menyebabkan iskemik ureter secara bermakna. Vena-vena pada sub mukosa dan yang ke adventitia mengalirkan darah ke vesical, vaginal, uterus, spermatica, iliaca, lumbal dan pembuluh darah renal. (5) Aliran Lymphe Aliran limphe bersama arteri dan beberapa anastomosis mengalirkan limphe ke 3 daerah limphonodus : hipogastrica, iliaca, lumbal atau pre aorta. (5) Sistem Persarafan Inervasi ureter adalah autonom dengan sel-sel ganglion terbatas pada adventitia. Dengan kata lain fungsi ureter baik, inervasi tidak terganggu selama adventitia tetap intak, kecuali jika adventitia mengalami atrofi ureter dan dilatasi innervasi pre ganglionik berasal dari renal, vesica inferior, hipogastric, aorta, spermatica, mesenterica inferior, pleksus vaginalis dari coeliaca dan ganglion sacralis superior. Nyeri alih pada kolik ureter kadang-kadang disebabkan N. Illiohypogastrica ( L.1 atau T12 dan L1 ), N. Illioinguinal ( T12 dan L1 ) dan cabang spermatica externa dari N. Genito femoralis. (1,2,5) 1. 2. Patologi Uropati obstruktif dengan akibat hidronefrosis merupakan hasil akhir dari penyakit urologi, yang mana diketahui berakhirnya obstruksi ureteral komplit pada akhirnya

merusak fungsi ginjal. Mekanismenya diduga dari peningkatan tekanan ureteral dan penurunan aliran darah ginjal yang menyebabkan atrofi seluler dan nekrosis.(13) Obstruksi ureter total bilateral menyebabkan pelvis renis berdilatasi secara progresif dalam beberapa minggu pertama berat ginjal meningkat seiring dengan oedemnya walaupun jaringan parenkim ginjal mengalami atrofi. Jadi merupakan oedem peri renal dan peri ureteral, setelah 4-8 minggu ada penurunan berat karena atrofi jaringan lebih banyak terjadi dibanding dengan oedem intra renal. (10) Obstruksi ureter total bilateral menyebabkan dilatasi bagian proksimal dengan perubahan morfologi dan fungsi pada ureter proksimal dan pelvis renis, menyebabkan aliran balik urine ke proksimal ke pielo kanalikuli, pielo limfatik, pielo venous dan forniks ginjal. (3,12,13) Selama beberapa hari pertama obstruksi terjadi pendataran papilla dengan dilatasi nefron distal, tubulus proksimal tampak berdilatasi sementara selama beberapa hari pertama dan kemudian secara perlahan-lahan mengalami atrofi. Pada hari ke-4 terjadi dilatasi. Pada hari ke-7 obstruksi, tubulus kollektivus mengalami atrofi dan nekrosis. Pada hari ke-14 obstruksi, terjadi dilatasi progresif pada tubulus kollektivus, tubulus distal dan atrofi tubulus proksimal, sel-sel epitel terlihat. Pada hari ke-28 obstruksi terjadi penurunan 50 % dari ketebalan medulla dengan atrofi dan dilatasi lanjut pada tubular distal dan kollektivus, korteks menjadi lebih tipis dengan atrofi tubulus proksimal. Setelah 8 minggu obstruksi, ketebalan parenkim 1 cm yang mengandung jaringan ikat dan sisa-sisa glomerulus berbentuk oval kecil. (3,12,13) Obstruksi traktus urinarius menyebabkan dilatasi proksimal dengan perubahan fungsional dan morfologis pada tubulus proksimal dan pelvis renis. (3) Perubahan patologis pada ginjal yang mengalami obstruksi total berhubungan dengan perubahan yang terlihat, perubahan-perubahan histologis meliputi atrofi, mulai pada 7 hari pertama pada nefron distal, pada hari ke 14, atrofi terlihat pada daerah kortikal, adanya cetakan protein TammHossfall pada ruang bowman glomerulus merupakan patognomonik khas untuk obstruksi. (3) Pada obstruksi ureter akut total 1 minggu, terjadi reabsorbsi pielo limfatik ke dalam limfatik hilus, ke dalam interstitial sel dan terjadi udem parenkim ginjal dan peri ureter. Pada obstruksi lanjut, terjadi rebsorbsi urine dari pelvis renis pada hidronefrosis masuk kedalam system vena. Banyak peneliti membuktikan berbagai senyawa yang disuntikkan ke dalam pelvis renis dengan obstruksi total keluar melalui pembuluh limfe dan vena. (3) Pada obstruksi ureter akut total, menyebabkan peninggian tekanan di proksimal obstruksi sehingga terjadi ekstravasasi urin melalui forniks ginjal ke ruang peri renal

membentuk urinoma yang mana pada urinoma retroperitoneal mengalami proses ekstravasasi, urin masuk kedalam rongga peritoneum membentuk ascites. (3) Pada hidronefrosis cairan keluar dari pelvis renis dengan cara : ekstravasasi ke ruang peritoneal, aliran balik pielovenous dan aliran balik pielo limfatik. (3) Urinoma memberi respon yang baik terhadap drainase urin pada obstruksi ureter akut total dan dapat hilang spontan pada drainase urine adekuat. 1. 3. Patofisiologi Pada obstruksi ureter akut total, gangguan fungsi ginjal ditentukan oleh lamanya obstruksi. Pada tikus percobaan dengan obstruksi ureter total selama 4 jam GFR 52 %, selama 12 jam GFR 23 %, selama 24 jam GFR % dan selama 48 jam GFR %. Aliran darah ginjal dan tekanan ureter menunggi karena vasodilatasi preglomerulus pada 1,5 jam obstruksi. Pada obstruksi 1,5 5 jam aliran darah ginjal menurun dan tekanan ureter terus meninggi akibat dari peninggian resistensi post glomerulus. Pada fase 5 18 jam, aliran darah ginjal dan tekanan ureter menurun akibat dari vasokonstriksi preglomerulus dan fungsi tubulus terganggu. (3) Pada ginjal normal volume aliran limfe sama dengan out put urin. Surgam dkk melaporkan, volume cairan limfe ginjal normal 0,5 1 ml/menit. Murphy dkk (1958) menemukan peningkatan volume cairan limfe pada obstruksi ureter akut total. Drainase limfatik ginjal melalui pembuluh limfe hilus dan kapsula ginjal. Obstruksi ureter dan pembuluh limfe menyebabkan kerusakan ginjal yang berat dengan nekrosis dan destruksi dalam beberapa hari. (3) Menurut Resznyak dkk (1960), yang merumuskan bahwa pemeliharaan fungsi ginjal pada hidronefrosis menyebabkan aliran balik urin pielolimfatik. Reabsorbsi urin dari pelvis ginjal kedalam aliran limfatik menyebabkan terjadinya penggantian filtrasi glomerulus. Dan merumuskan bahwa penetrasi urin ke dalam ruang interstitial, menyebabkan pelepasan histamine, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler dan dengan eksudasi cairan kaya protein ke dalam ruang interstitial dan limfatik, terjadi udem parenkim ginjal, hilus dan kapsul. (3) Naber dan Madsen (1973) melaporkan bahwa, pada hidronefrosis akut terjadi reabsorbsi urin kedalam limfe hilus. Jumlah urin yang keluar melalui pelvis ginjal pada hidronefrosis akut adalah 0,06 ml/menit, pada hidronefrosis kronik selama 6 34 hari jumlah urin keluar dari pelvis ginjal adalah 0,04 ml/menit. Pada obstruksi ureter yang berlangsung selama 7 hari, akan terjadi reabsorbsi pielolimfatik ke dalam limfe hilus dan tingkat filtrasi glomerulus pada obstruksi ureter total adalah 1,74 ml/menit dan setelah 34 hari obstruksi ureter komplit filtrasi glomerulus 0,4 ml/menit. (3)

Pada binatang percobaan setelah pembebasan obstruksi ureter total selama 2 minggu fungsi ginjal kembali normal, setelah obstruksi total selama 3 minggu fungsi ginjal kirakira 50 %. Setelah obstruksi total selama 4 minggu fungsi ginjal kira-kira 30 % dan setelah pembebasan obstruksi ureter selama 6 8 minggu binatang percobaan tidak dapat hidup.(3) 1. Jika kedua ginjal mengalami hidronefrosis, stimulus yang kuat tetap dilanjutkan untuk menggunakan kedua ginjal untuk mempertahankan fungsi maksimal ini juga terjadi pada hidronefrosis yang soliter, konsekuensinya pengembalian fungsi dari ginjal ini setelah perbaikan obstruksi dapat membaik. (9) 2. Studi eksperimental telah menunjukkan waktu penyembuhan pada penderita obstruksi komplit sekitar 4 minggu. Fungsi dapat membaik kembali setelah obstruksi 56 atau 69 hari namun demikian kehilangan fungsi yang irreversible biasanya terjadi pada 7 hari pertama ini terjadi karena dilatasi dan nekrosis tubular proksimal yang berkembang secara progresif dari waktu ke waktu. (9) Dilaporkan seorang penderita setelah mengalami obstruksi ureter akut total selama 69 hari, ginjal dapat berfungsi kembali. (3) Setelah obstruksi ureter dihilangkan terjadi diuresis hebat dengan produksi urin meningkat 3 5 kali dari normal, natriuresis akibat gangguan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. (3) Diuresis post obstruksi jarang terjadi, biasanya setelah obstruksi ureter akut bilateral atau obstruksi unilateral pada ginjal soliter. Diuresis post obstruksi bersifat sementara fisiologis dan sembuh sendiri dengan ekskresi natrium dan air yang berlebihan. Diuresis berlangsung beberapa jam sampai 4 hari, tetapi dapat berlangsung lebih lama jika terapi koreksi cairan tidak adekuat, tetapi cairan biasanya 50 60 % dari jumlah produksi urin dengan memakai cairan NaCl fisiologis atau Ringer Laktat. (3) 1. 4. Diagnosis I. Gambaran Klinik Keluhan utama adalah berupa nyeri yang menjalar dan hilang timbul, juga dapat berupa nyeri yang menetap di daerah costo vertebra. Nyeri ini dapat menjalar dari daerah pinggang sampai ke testis atau labium majus ipsi lateral. Sesuai penjalaran dari nyeri ini dapat memperkirakan letak batu, jika batu berada di ureter bagian atas penjalaran dari nyeri biasanya ke testis dan jika di ureter bagian tengah nyeri biasanya terdapat di bagian bawah, bila batu berada di ureter bagian bawah, penjalaran nyeri biasanya ke skrotum atau ke vulva. (1) Jika nyeri menjalar ke penis biasanya menunjukkan batu sedang melalui uretero vesical junction ke buli-buli. (1)

Perut kembung, mual, dan muntah karena system persarafan sama, ginjal lambung dan kolon yang letaknya berdekatan serta ditutupi oleh peritoneum sehingga peradangan pada ginjal dan usus dapat menimbulkan tanda-tanda peritonitis. (1) Anemia, gross hematuri dan penurunan berat badan dapat dialami penderita. Pemeriksaan Fisis Bila sudah terjadi hidronefrosis, ginjal yang membesar dapat teraba sebagai massa di pinggir dengan konsistensi lunak sampai kenyal. (1,7,9,10) Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan tanda-tanda spesifik, kecuali bila telah terjadi hidronefrosis, maka ginjal yang membesar akan dapat teraba sebagai massa di pinggang dengan konsistensi lunak sampai kenyal. (1,7,9,10) II. Pemeriksaan Penunjang II.1. Laboratorium Anemia dapat ditemukan secara sekunder pada infeksi sekunder atau pada hidronefrosis bilateral lanjut ( stadium uremia ), leukositosis biasanya ditemukan pada infeksi stadium akut. Pada stadium kronik bila ada peningkatan jumlah leukosit, maka peningkatan itu hanya sedikit. protein dalam jumlah besar biasanya tidak ditemukan pada uropathy obstruksi(9,10) Hematuri mikroskopik biasanya ditemukan sering kali terjadi oleh trauma epitel traktus urinarius oleh kausa obstruksi batu (1,3,7,9) Pada obstruksi akut total bilateral terjadi gangguan morfologi dan gangguan fungsi normal yang bermanifestasi pada peningkatan level kreatinin dan nitrogen urea serum, makin lama obstruksi berlangsung, makin meninggi kreatinin serum (1,3,10,13,15) Elektrolit serum terganggu hiponatremi oleh karena gangguan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan pada biopsy ginjal ditemukan protein tamm Horsfal dalam rongga bowman glomerulus yang bersifat patognomonis pada obstruksi traktus urinarius. Pada kaadan hidronefrosis bilateral yang nyata aliran urin yang melalui tubulus ginjal dapat dilihat, dengan demikian urea direabsorsi signifikan tapi kreatinin tidak. Zat kimia dapat menunjukan rasio ureum kreatinin yaitu sekitar 10:1 (3,9) II.2. Radiologi 1. Pada foto polos abdomen menunjukan adanya pembesaran ginjal, klasifikasi ureter atau ginjal, bayangan batu radio opak atau perselubungan pada kasus-kasus bukan batu.

2. Bila fungsi ginjal masih baik dapat dilakukan pemeriksaan IVP yang biasanya terlihat pelebaran dari ureter di proksimal batu 3. Bila kedua fungsi ginjal jelek tidak boleh dilakukan IVP, tetapi dilakukan RPG, jika ginjal terdorong ke kranial, ke kaudal atau kelateral maka pergeseran ini akan terlihat pada foto antero posterior sedangkan pergeseran anterior akan terlihat pada foto lateral (15,17) 1. Ultra sonografi (USG) Pemeriksaan dengan USG ini hanya untuk menentukan hidronefrosis atau hidroureter, tetapi tidak untuk menentukan letak obstruksi, dapat mendeteksi causa obstruksi seperti tumor peritoneal dan abses dan dapat juga digunakan sebagai monitor pada tindakan nefrostomi percutaneus
(13,15)

1. Isotop Scanning Dengan adanya obstruksi, radio isotop renogram dapat memperlihatkan penurunan fase vasculer dan sekresi yang disebabkan oleh retensi urine dalam pelvis renis (10) 1. CT Scan Untuk teknik yang lebih baik dan lebih teliti dengan memakai kontras untuk menentukan tempat obstruksi dan mendeteksi massa retroperitoneal atau intra abdominal, sebagai penyebab obstruksi ureter dapat digunakan pada proses tindakan drainase percutanius dan biopsi untuk prognosis (13,15) 1. MRI Dengan pemeriksaan ini suatu organ dapat divisualisasikan dalam tiga dimensi tanpa kontraks dapat menggambarkan pembuluh darah ginjal secara luas dan ada atau tidaknya kerusakan parenkim ginjal, sensitifitasnya lebih tinggi dan lebih jelas lagi bila memakai kontraks

PENATALAKSANAAN Bila terjadi batu ureter bilateral maka akan terjadi obstruksi total akut bilateral sehingga dapat terjadi kerusakan kedua ginjal yang hebat, untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka harus dilakukan penanganan yang segera oleh karena dapat mengakibatkan kerusakan parekim ginjal dan gangguan fungsi ginjal. Bila obstruksi disertai dengan infeksi maka dapat terjadi sepsis yang akan memperberat gangguan fungsi ginjal sehingga akan mengancam jiwa penderita. (3,14,21) Oleh karena itu harus segera ditangani dengan cara drainase urine untuk memperlancar aliran urine, sehingga dapat mengurangi tingkat komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup (22)

Tindakan drainase urine seperti kateterisasi ureter retrograd, nefrostomi terbuka dan nefrostomi perkutaneus, juga disertai pemberian antibiotik yang sesuai dengan tes kepekaan. Dengan tindakan draiunase urine, dapat memperbaiki fungsi ginjal dan gangguan keseimbangan elektrolit yang memungkinkan dilakukan tindakan pembnedahan definitif. (19,21) Tindakan drainase yang dapat dilakukan antara lain : (1) Kateterisasi ureter retrograd (2) Nefrostomi terbuka (3) Nefrostomi perkutaneus Ad. 1. Kateterisasi ureter retrograde (16,19) Pemasangan kateter ureter retrograde mempunyai kekurangan dan menurut laporan oleh Happelen dkk (1979), angka keberhasilan mencapai 80-85% kasus, laporan oleh Khan (1975), mendapatkan angka keberhasilan sangat rendah disebabkan oleh distorsi dasar buli-buli oleh tumor dan orifisium ureter menjadi tidak jelas. (19) Drainase urine dengan kateterisasi ureter retrograde biasanya dilakukan pada penderita kausa metastase tumor dan pasase urine kurang adekuat jika dibandingkan dengan nefrostomi terbuka dan nefrostomi perkutaneus. (15) Ad. 2 Nefrostomi terbuka Cara diversi urine yang sudah lama tetapi masih dipakai sampai sekarang dan masih efektif dalam mengatasi kasus obstruksi seperti kasus obstruksi ureter akut bilateral. Tindakan nefrostomi adalah suatu tindakan darurat dan sementara. Jadi sebelumnya harus dipikirkan tindakan definitif selanjutnya. Nefrostomi terbuka memberikan drainase urine lebih baik pada dilatasi sistem pelvic dibandingkan nefrostomi perkutaneus. (14,19,20) Teknik Operasi Dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk menjamin lancarnya urine keluar dengan demikian dapat mengatasi urine yang tersumbat. Sayatan kulit pada ICS XI-XII seperti lumbotomi panjang kira-kira 10-15 cm. diperdalam sampai kapsula gerota pada ginjal. Ada dua macam teknik operasi terbuka :

1. Bila korteks masih tebal, ginjal dibebaskan sampai terlihat pervis renalis. Pada pervis dibuat insisi 1-1,5 cm, klem bengkok dimasukkan melalui insisi ke arah kaliks medius, inferior sampai menembus keluar ginjal. Kemudian kateter Foley kateter F 20 dijepit dengan klem sampai pielum, isi balon 5 cc. tutup pelvis dengan benang jahit simpel yang bisa diserap. 2. Bila korteks sangat tipis, insisi pada korteks kira-kira 1-1,5 cm, pasang kateter Foley kateter F 22 dengan klem sampai pielum, isi balon 5 cc. di ginjal difiksasi dengan benang dapat diserap. Pada dinding abdomen difiksasi dengan benang sutra nomor 1. perhatikan warna urine yang keluar dan catat jumlahnya. Luka operasi dijahit lapis demi lapis dengan drain isap satu buah. Batu dalam kaliks dan pielum yang mudah dikeluarkan diambil, yang sulit dibiarkan ditunda untuk tindakan operasi elektif, sebab nefrostomi adalah tindakan cepat dan urine mengalir keluar dan lancar. Ad. 3. Nefrostomi perkutaneus Penanganan penderita dengan obstruksi batu ureter akut total bilateral dengan nefrostomi perkutaneus merupakan suatu tindakan yang cukup baik, dengan tindakan komplikasi dan mortalitas rendah tetapi harus memperhitungkan potensi untuk meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita (17,21) Berat kerusakan parenkim ginjal, asal penyakit primer dan potensi penawaran lanjut menentukan harapan hidup penderita, oleh karena itu semua cara diagnosis harus dilakukan untuk mengidentifikasi alas penyakit. (17,21) Nefrostomi perkutaneus telah mengalami perkembangan sejak 15 tahun terakhir, metode yang sering digunakan adalah memakai percutaneus nephostomy tube (PNT) dengan menggunakan fluoroskopi dan ultrasonografi yang memungkinkan penempatan drain tubetepat dalam pelvis ginjal. Nefrostomi perkutaneus juga dapat digunakan untuk memasukkan kontras pielografi antegrad, pengambilan batu ginjal ureter perkutaneus, nefroskopi, dan biopsy serta penempatan balon intraureter. (10,17,21) Cara perkutaneus dilakukan pada ginjal yang teraba dari luar, korteks tipis dan dilakukan pada orang yang tidak terlalu gemuk. Dapat dilakukan dengan anestesi umum, regional dan lokal. Teknik Operasi Penderita tengkurap atau miring, dilakukan punksi ke arah ginjal dengan jarum 22 tepat pada pelvis ginjal, aspirasi nurine dan masukkan kontras sebanyak urine yang diaspirasi.(17,18,22)

Setelah sistem pelviokalisis terlihat jelas dengan fluoroskopi, dilakukan punksi ke arah ginjal dengan mandarin pada garis aksillaris posterior di bawah arkus kosta XII, keluarkan mandrin dan masukkan kawat penuntun (guide wire) ke dalam pembungkus (sheath) jarum punksi. Lakukan dilatasi dengan jarum dari Diamond, masukkan kateter Foley kateter F 20 dengan tuntunan kanula tepat pada pielum, isi balon 5 cc (17,18,,22) Komplikasi Yang Dapat Terjadi 1. Perdarahan yang tak terkontrol 2. Kateter bergeser atau terlepas karena fiksasi yang tidak kuat atau tertarik 3. Infeksi, pada infeksi traktus urinarius bagian atas, pynefrosis atau batu ginjal. OPERASI TERBUKA PADA RUMAH SAKIT DENGAN FASILITAS STANDAR TERBATAS : Bila telah dilakukan drainase urine dan bila keadaan penderita membaik maka selanjutnya dilakukan usaha pengeluaran batu ureter dengan mengutamakan fungsi ginjal yang lebih baik. (4) Pada operasi terbuka uretero tomi dilakukan untuk mengeluarkan batu ureter dengan beberapa pendekatan yang berbeda termasuk pendekatan modifikasi dorsal lumbal atau insisi ginjal anterior untuk batu yang berada pada ureter proksimal, batu-batu yang berada pada bagian tenga ureter dapat ditangani dengan insisi Mc burney atau gibson, sedangkan batu-batu pada bagian distal ureter dapat dikeluarkan melalui insisi pfannestil atau garis tengah bagian bawah. Untuk pasien tertentu yang memerlukan perhatian bisa dilakukan s secara transvesikal atau transvaginal untuk mengeluarkan batu kalkuli ureter(4,8) PENATALAKSANAAN BATU URETER BILATERAL PADA RUMAH SAKIT YANG MEMPUNYAI FASILITAS LENGKAP BEDAH UROLOGI : Pada rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap seperti ESWL (Extra Corporeal Shock Litotripsi), ureteroscopi, flouroscopi, dan ultra Shock Litotriptor serta alat-alat bantu bedah urologi minimal invasif lainnya, sangat membantu dengan tingkat keamanan yang baik pada penanganan batu saluran kemih (7,8) Batu ureter pada bagian proksimal dapat ditangani dengan menggunakan flouroscopi sebagai penuntun saat dilakukan ekstraksi batu, batu kecil yang terjebak pada bagian tengah dan atas ureter dapat dilakukan dengan endoscopi dengan menggunakan kateter double balon stone dan ureteroscop secara lebih aman (4,8) Batu besar pada pelvis renis atau ureter proksimal telah dapat diatasi dengan menggunakan ureteroscopy dan ultrasonic litotripsi untuk menghancurkan batu, batubatu dengan diameter 5-8 mili meter biasanya dapat melewati ureter distal sehingga

terjebak pada ureterovesical junction lokasi ini sangat ideal untuk manipulasi transureteral(4,8) ESWL merupakan cara yang infasif yang paling tidak infasif untuk penanganan batu ureter. Hal ini dapat juga digunakan untuk mengatasi batu letak proksimal dan tengah ureter, sedangkan batu pada distal ureter dengan menggunakan teknik stone basketing atau ureteroscopy (4,8) Bila batu menetap pada suatu tempat dan tidak bergerak kearah distal dalam waktu 6 minggu dan refrakter terhadap ESWL maka sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka(4,7,8) URETOROSCOPY Digunakan untuk pengangkatan batu ureter dan ginjal secara endoscopy terutama batu ureter bagian proksimal yang melekat pada ureter atas atau yang gagal dengan ESWL dengan keberhasilan rata-rata 57-99%. Untuk mengeluarkan batu yang besar setelah dilatasi ureter beberapa batu dapat dikeluarkan dengan utuh tanpa litotripsi intra ureter, uretroscopy di pasang sejajar dengan kawat panduan sampai kebatu kemudian dilakukan dilatasi ureter, setelah batu terlihat keranjang batu dipasang dan batu dipegang dengan kawat keranjang batu, sewaktu batu sudah terperangkat ke dalam kawat kemudian ditarik keluar bersama ureteroscopy diikuti dengan endoscopy agar batu tidak merusak dinding ureter lalu batu dikeluarkan. Ureteroscopny kemudian dipasang kembali untuk menilai apakah terdapat trauma lain atau terjadinya ekstrafasasi. Internal stent kemudian dipasang diatas kawat panduan dan dibiarkan selama minimal 24 jam. Jika batu menempel pada dinding ureter keranjang tidak boleh ditarik keluar, karena ureter dapat rusak, dilakukan intraureter lithotripsi untuk memecahkan batu sehingga aman untuk dikeluarkan, jika tidak terjadi trauma ureter stent dapat ditinggalkan untuk beberapa saat dan jika terdapat ekstrafasasi urin stent dibiarkan selama 2 3 minggu, jika terdapat ekstravasasi selama prosedur berlangsung harus dikerjakan kontras follow up(17,18) PENATALAKSANAAN PASCA PENANGANAN Pembebasan obstrnuksi ureter berakibat hilangnya cairan dan elektrolit dalam jumlah besar 3-5 kali lipat dari normal, sehingga penting melakukan pengukuran secara cermat produksi jumlah cairan dan elektrolit melalui nefrostomi dan drain sebagai pegangan dalam pemberian cairan dan elektrolit post obstruksi. Tetapi cairan diberikan 50-60%

dari produksi urine dengan memakai NaCl fisiologi atau Ringer Laktat Antibiotik diberikan sesuai test kepekaan dengan memperhatikan faal ginjal (3,8,9,22) Perawatan kateter nefrostomi diperhatikan dengan baik supaya agar tidak terjadi atau tertarik. Setelah keadaan umum penderita, tensi dan nadi baik, serta tidak febris, segera dibuat foto pielografi antegrad dengan memasukkan kontras melalui kateter nefrostomi untuk melihat letak obstruksi dan menentukan tindakan definitif yang akan dilakukan(15,19) Nefrostomi bersifat sementara pada abstruksi ureter segera setelah keadaan penderita memungkinkan (fungsi ginjal optimla, tidak ada febris), dilakukan tindakan definitif untuk menghilangkan obstruksi (19,22) Bila penyebabnya adalah batu dilakukan pengambilan batu pada ginjal yang fungsinya lebih baik. Bila ada pus, dan setelah beberapa hari pus mereda, urine jernih dan fungsi ginjal baik, radiologik parenkim ginjal masih tebal, dilakukan pengambilan batu atau pembedahan untuk menghilangkan obstruksi dengan pengambilan batu, pyelolitotomi, uretyerokutaneustomi, dan ureteroneosistostomi. (23,24,25) RINGKASAN Obstruksi batu ureter birateral dapat menyebabkan obstruksi total akut bilateral sehingga dapat terjadi hidronefrosis sehingga terjadi aliran balik prokskimal melalui rupture forniks, pielokanlikuli, pielolimfatik, pielovenous. Obstruksi batu ureter bilateral harus segera ditangani untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut. Penanganan utama adalah dilakukan drainase urine sesegera mungkin dengan kateterisasi ureter retrograde, nefrostomi terbuka, nefrostomi perkutaneus. Bila peralatan tidak lengkap batu yang ada dilakukan ureterotomi sedangkan bila peralatan lengkap dapat dilakukan ESWL, endoscopy dan ureterocopy. Perawatan pasca operasi harus diperhatikan karena sering terjadi diuresis yang berakibat hilangnya cairan dan elektrolit 3-5 kali lipat dari normal.

Batu Ureter
Posted on 10 February 2011 by ArtikelBedah

BATU URETER Sifat-sifat batu ureter : -. Batu ureter berasal dari ginjal -. Batu masuk ureter karena adanya gravitasi dan gerakan peristaltic -. Batu jarang menyebabkan obstruksi total Gambaran klinik : -. Kolik : Sakit dengan intensitas meningkat disertai dengan fase istirahat Disebabkan oleh hiperperistaltik dan migrasi Batu di proksimal, kolik sampai ke testis Batu dekat kandung kemih, kolik di kandung kemih/vulva -. Dull pain, sakit kontinius akibat : Obstruksi Regangan kapsul ginjal -. Refleks gastrointestinal -. Gross hematuri (1/3 kasus) -. Bila ada infeksi, terjadi urgensi dan frekuensi. Diagnosa -. Sedimen urine : ada banyak lekosit, eritrosit dan bakteri -. Ureum kreatinin darah meningkat terutama bila ada sumbatan bilateral Radiologi -. IVP : bisa didapatkan jenis batu radiopaque dan lokasi batu -. RPG : Dilakukan bila jenis batu radiolusen, bila ureum kreatinin meningkat, atau bila dengan IVP tidak informatif. Diagnosa banding -. Batu kandung empedu -. Tumor ureter -. Appendicits akut terutama bila batu letaknya di kanan Penatalaksanaan : -. Konservatif Bila batu berukuran < 5 mm maka 80 % batu dapat keluar spontan dengan jalan minum yang banyak (3 L/24 jam) dan olah raga atau loncat-loncat. -. Pembedahan bila dengan konservatif gagal atau batu berukuran > 5 mm -. Minimal invasif yaitu dengan menggunakan URS + lithotripsy

Karsinoma Prostat, Keganasan


Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah

Keganasan prostat merupakan keganasan yang terbanyak diantara keganasan sistem urogenitalia pria. Biasanya ditemukan pada usia di atas 50 tahun. Belum data yang jelas mengenai insidens di Indonesia, sedangkan di negara barat menurut hasil otopsi ditemukan sekitar 30 % pada pria usia 70 80 tahun dan sekitar 75 % pada usia di atas 80 tahun. Tetapi hanya 10 % dari mereka itu yang berkembang sampai stadium klinik.(1,4,5,6 ) Etiologi Penyebab pasti karsinoma prostat belum diketahui. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab adalah : faktor genetik, pengaruh hormonal, diet, lingkungan dan infeksi. Bangsa Afro-Amerika misalnya lebih banyak menderita penyakit ini dibandingkan dengan bangsa kulit putih. Dalam suatu penelitian diperoleh data bahwa bangsa Asia ( China dan Jepang ) lebih sedikit menderita penyakit ini. Namun, penelitian itu juga membuktikan bahwa mereka yang pindah ke Amerika mendapatkan kemungkinan menderita penyakit lebih besar daripada mereka yang tetap tinggal di negara asalnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan dan kebiasaan hidup sehari hari juga berperan dalam patogenesis penyakit ini. (1,5,7 ) Kemungkinan untuk menderita penyakit ini bertambah jika dalam keluarga terdapat riwayat menderita penyakit ini. Risiko ini akan meningkat menjadi dua kali jika saudara laki lakinya menderita penyakit ini. Kemungkinannya naik menjadi lima kali jika ayah dan saudaranya juga menderita. Hal itu menunjukkan adanya faktor yang melandasi terjadinya karsinoma prostat. (1) Diet diduga ada hubungannya dengan insidens karsinoma prostat. Beberapa diantaranya yang diduga meningkatkan risiko penyakit ini adalah lemak, susu yang berasal dari binatang, daging merah dan hati. Lain halnya dengan beberapa nutrisi lain diduga ada kaitannya dengan penurunan insidens karsinoma prostat, diantaranya adalah vitamin A, beta karoten, isoflavon atau fitoestrogen yang banyak terdapat pada kedelai, likofen ( antioksidan karotenoid ) yang banyak terdapat pada tomat, selenium ( terdapat pada ikan laut, daging, biji bijian ) dan vitamin E. Kebiasaan merokok berhubungan erat dengan timbulnya kanker prostat. (1,7 ) Patologi Pada tabel dibawah ini di paparkan tipe-tipe histopatologis berdasarkan asal dari sel. I. Epitelial A. Adenokarsinoma

B. Karsinoma sel transisional C. Karsinoma neuroendokrin II. Stroma A. Rhabdomiosarkoma (42 % dari sarkoma) B. Leiomiosarkoma (26% dari sarkoma) III. Sekunder A. Invasi langsung dari buli-buli : karsinoma sel transisional B. Invasi langsung dari adenokarsinoma kolon (jarang) C. Metastasis dari organ lain (paru-paru, melanoma) D. Limfoma (jarang) Sebagian besar hasil pemeriksaan histopatologis karsinoma prostat adalah adenokarsinoma yaitu lebih dari 95 %. Kurang lebih 75 % terdapat pada zona perifer prostat dan 15 20 % terdapat pada zona sentral dan zona transisional (5-10%).(1,5,7,8) Secara patologi gambaran karsinoma prostat meliputi hiperkromatik, pembesaran inti sel dengan nukleolus yang jelas. Rasio sitoplasma dan inti tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis. Diagnosis karsinoma prostat terutama sekali ditentukan oleh susunan arsitekturnya. Pada karsinoma prostat tidak lapisan sel sel basal tidak dijumpai sebagaimana dijumpai pada kelenjar yang normal atau pada pembesaran prostat jinak. (7). Karsinoma sel transisional pada prostat biasanya berasal dari invasi langsung buli-buli atau uretra. Biasanya berupa suatu fokus intraduktal atau intraasiner karsinoma sel transisional pada prostat. Jenis patologi lain yang disebut sebagai suatu prekursor karsinoma prostat adalah Prostatic Intraepithelial Neoplasma (PIN). Pertama kali dikemukakan tahun 1986 dengan sebutan Intraductal Dysplacia, yang dibagi atas mild, moderate dan severe dysplacia. Yang membedakannya dari karsinoma prostat adalah masih ditemukannya lapisan sel basal. PIN dibagi atas 2 kategori, high grade (HGPIN) yaitu PIN1 dan PIN2 dan low grade (LGPIN) yaitu PIN3.Gambaran histopatologi PIN1 tidak hanya menyerupai sel prostat normal. Beberapa ahli patologik melihat PIN3 jelas seperti selsel ganas, sehingga beberapa penulis menamakan PIN3 sebagai carcinoma in situ (CIS) atau intraductal carcinoma. Bila ditemukan HGPIN pada biopsi jarum halus maka biasanya 80% berhubungan dengan invasif karsinoma prostat. Jenis lesi lain yang dianggap sebagai suatu prekursor karsinoma prostat adalah Atypical Adenomatuous Hyperplasia. Yang terakhir ini dibedakan dari BPH adalah karena struktur selulernya (5,7).

Penyebaran Sel sel tumor dapat menembus kapsul prostat dan menginfiltrasi organ sekitarnya. Penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfe pada daerah pelvis menuju kelenjar limfe retroperitoneal dan penyebaran secara hematogen melalui vena vertebralis menuju tulang tulang pelvis, femur sebelah proksimal, vertebra lumbalis, kosta, paru, hepar dan otak. Metastasis ke tulang pada umumnya merupakan proses osteoblastik, meskipun kadang kadang bisa juga terjadi proses osteolitik. (1,5) Gambaran Klinik Seperti telah disebutkan sebelumnya, karsinoma prostat biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan histopatologik setelah prostatektomi, TUR, colok dubur. Oleh karena pada stadium permulaan karsinoma prostat biasanya tidak memberi gejala atau tanda klinik maka kebanyakan penderita baru datang pada stadium lanjut dengan keluhan obstruksi dan gejala iritatif yang merupakan tanda pertumbuhan lokal tumor yang mengenai uretra, bladder neck atau trigonum buli-buli atau tanda metastasis ke tulang atau organ lain, seperti gejala lesi medulaspinalis, nyeri pada tulang, fraktur patologik atau hematuria. Kadang metastasis ke tulang juga tidak memberi keluhan yang jelas. Keganasan prostat sering ditemukan secara kebetulan pada penderita yang diduga menderita hipertrofi prostat.(4) Gangguan defekasi dapat terjadi jika tumor telah menekan rektum. Bila telah terjadi ke tulang akan memberikan gejala nyeri tulang, fraktur pada tempat metastasis atau kelainan neurologis jika metastasis pada tulang vertebra. Bila sudah ada gejala nyeri tulang maka harus dilakukan foto X-ray dan bone scan. Gambaran radiologik tulang akibat metastase dari karsinoma prostat adalah bersifat sklerotik. (1,2) Colok dubur ( rectal toucher ) merupakan pemeriksaan yang sangat penting dilakukan pada karsinoma prostat. Pada DRE dapat ditemukan seperti adanya indurasi, nodulnodul,asimetris dan perabaan yang keras pada prostat. Sangat sulit menentukan karsinoma prostat pada stadium dini melalui pemeriksaan ini sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan ultrasonografi transrektal ( TRUS ). (1,5,7 ) Staging dan Grading Tingkat infiltrasi dan penyebaran tumor berdasarkan system TNM adalah sebagai berikut : (7) T Tumor Primer -Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai -T0 - Tidak dijumpai tumor primer -Tis Karsinoma in situ ( PIN ) - T1a 5 % jaringan yang direseksi mengandung sel-sel kanker, colok dubur normal

*T1b - > 5 % jaringan yang direseksi mengandung sel-sel kanker, colok dubur normal. *T1c - Peningkatan kadar PSA, colok dubur dan TRUS normal *T2a - Teraba tumor pada colok dubur atau terlihat pada TRUS hanya pada satu sisi, terbatas pada prostat *T3a - Ekstensi ekstrakapsuler pada satu atau dua sisi *T3b - Melibatkan vesikula seminalis *T4 - Tumor secara langsung meluas ke baldder neck, sfingter, rectum, muskulus levator atau dinding pelvik N Kelenjar limfe regional ( obturator, iliaka interna, iliaka externa, limfonodus presakral ) -Nx - Tidak dapat dinilai -N0 - Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional -N1 - Metastasis ke kelenjar limfe regional M Metastasis jauh -Mx - Tidak dapat dinilai -M0 - Tidak ada metastasis -M1a - Metastasis jauh kelenjar limfe nonregional -M1b - Metastasis jauh ke tulang -M1c - Metastasis jauh ke tempat lain Sistem grading yang paling umum digunakan adalah Gleason Skor. Sediaan dapat diperoleh dari hasil biopsi atau radikal prostatektomi. Sistem Gleason Skor ini berdasarkan pada derajat perubahan dari struktur arsitektur sel normal (bentuk, ukuran dan diferensiasi kelenjar). Gleason grading mulai dari 1 5 sedangkan Gleason Skor 2 10. Gleason Skor adalah hasil dari penjumlahan 2 Gleason grading yang didapatkan dari pola differensiasi sel yang diperiksa yaitu pola yang predominan (primer) dan pola predominan lain yang ditemukan (sekunder). (9) -Gleason grade 1 dan 2 : Struktur sel menyerupai struktur sel prostat normal -Gleason grade 3 : Pada tahap ini struktur kelenjar masih normal, sehingga di sebut diferensiasi baik. Tetapi pada tahap ini sudah banyak kelenjar yang menginvasi stroma (otot) -Gleason grade 4 : Tahap ini paling banyak ditemukan. Pada tahap ini mulai tampak disropsi dan hilangnya struktur kelenjar. -Gleason grade 5 : Tahap ini menggambarkan prognosis yang buruk buat penderita.s

truktur sel dan kelenjar di sini sangat bervariasi dan menyerupai keganasan pada tempat lain. (5,7,9) Gleason skor atau sums dikemukakan sbb: - Gleason skor terendah adalah 2 (1+1), dimana pola primer dan sekunder mempunyai nilai grading 1 - Gleason skor yang khas adalah 5 (2+3), dimana pola primer mempunyai Gleason grade 2 dan pola sekunder grade 3. Atau 6 (3+3), yang terakhir disebut sebagai pola murni. - Gleason skor 7 (4+3), dimana pola primer mempunyai Gleason grade 4 dan pola sekunder grade 3 - Akhirnya, nilai tertinggi Gleason skor adalah 10 (5+5).(9) Diagnosis Dugaan adanya suatu keganasan prostat biasanya timbul bila ditemukan kelainan konsistensi yaitu bagian prostat yang keras, nodul, ketidakrataan atau asimetri pada pemeriksaan colok dubur.Invasi ke vesika seminalis biasanya berasal dari invasi langsung dari tumor ke duktus ejakulatorius di dalam prostat dan dekat dasar prostat, maka pada DRE biasanya teraba seperti ada tanduk di sisi kiri dan kanan prostat. Tetapi diagnosis pasti hanya dengan pemeriksaan histopatologis. Cara lain untuk mendapatkan bahan pemeriksaan patologi sitologi yaitu dengan aspirasi jarum halus ( FNA ) atau dengan jarum Silvermann transrektal atau transperineal. Dengan ultrasonografi transrektal dan kombinasi pemeriksaan colok dubur diharapkan dapat menemukan keganasan lebih awal. (4,8) TRUS sangat berguna dalam melakukan biopsi dengan jarum halus dan untuk menilai ekspansi total dari tumor. Pada karsinoma prostat didapatkan gambaran lesi hipoechoic pada zona perifer. Kriteria ekspansi lokal secara sonografi adalah adanya ekstensi ekstrakapsuler berupa bulging dari kontur prostat atau angulasi dari batas lateral. Bila vesika seminalis sudah terkena maka akan tampak benjolan di daerah posterior pada dasar vesika seminalis atau gambaran echo yang asimetri seperti daerah hipoechoik pada prostat. Dengan TRUS juga dapat di hitung volume prostat dengan rumus /6 x antero posterior x transversal x sagital. Cara lain dalam diagnostik radiologi adalah Endorectal Magnetic Resonance Imaging (akurasi 51 92%), CT Scan dan MRI. Suatu kesalahan apabila kita hendak melihat ekspansi karsinoma prostat ke vesika seminalis dengan menggunakan CT/MRI karena ekspansi ke vesika seminalis adalah suatu fenomena mikroskopik. (5,7) Dalam penanganan dan diagnosis suatu keganasan prostat, dikenal dua penanda tumor yaitu fosfatase asam prostat ( prostate acid phosphatase = PAP ) dan antigen khas

prostat ( prostat specific antigen = PSA ). Suatu tumor marker yang ideal bila hanya mengekspresikan sel-sel tumor dan dapat dideteksi pada saat terjadi perubahan biologik. PSA tidak spesifik untuk karsinoma prostat, tetapi spesifik untuk organ prostat. PSA kadang juga meninggi pada hipertrofi prostat dan peninggian ini proporsional dengan berat jaringan prostat. Terjadi kenaikan titer PSA 0,33 ng/mL (Stone PL, in General Surgery Board Review) atau 0,12 ng/mL (Presti JL, in Smiths General Urology) setiap gram BPH. PSA dapat juga meningkat oleh adanya inflamasi, infark dan manipulasi prostat seperti sistoskopi, kateterisasi dan biopsi. Di samping untuk keperluan diagnosis, PSA dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan penyakit atau hasil pengobatan. (2,4,10,11) PSA merupakan protein yang dihasilkan oleh kelenjar prostat dan tidak dihasilkan oleh organ lain. Protein ini mempunyai peranan dalam proses liquifaksi cairan semen. Oleh karena wanita tidak mempunyai prostat maka kadar PSA ini tidak dapat dideteksi. PSA tidak masuk ke aliran darah karena dicegah oleh suatu lapisan membran basal. Kadar PSA dalam darah akan meningkat jika barier antara epitel prostat dan pembuluh darah mengalami kerusakan. Beberapa penyebab kerusakan yang sering yaitu kanker, infeksi bakteri dan infark prostat karena gangguan vaskularisasi. Trauma prostat seperti masase prostat dan ejakulasi juga dapat meningkatkan kadar PSA yang bersifat sementara. Hal lain yang dapat memberikan hasil positif palsu adalah sistoskopi, biopsi prostat atau kateterisasi. Tidak ada perubahan yang bermakna pada kadar PSA setelah pemeriksaan colok dubur. (12,13,14,15) Sebagian besar PSA terikat dengan alpha-1-antichymotrypsin ( ACT ) dan sejumlah kecil terdapat dalam bentuk bebas ( f- PSA ) atau terikat dengan alpha-2-macroglobulin ( AMG ). Cairan semen terutama mengandung f-PSA dengan jumlah sekitar 1 juta ng/mL. Dalam bentuk terikat dengan ACT, PSA tidak aktif namun masih tetap memiliki sifat imunoreaktif karena tidak seluruh epitop yang sesuai tertutup sedangkan dalam terikat dengan AMG, selain tidak aktif juga tidak bersifat imunoreaktif oleh karena seluruh epitopnya tertutupi dan tidak dapat terdeteksi.(7,14) Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa PSA tidak spesifik untuk karsinoma prostat tetapi merupakan suatu organ spesifik maka berbagai macam cara pemeriksaan ini akan meningkatkan spesifitas dan nilai positif dalam mendiagnosis suatu karsinoma prostat. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut al : 1. Free PSA (fPSA)

Yang dimaksud dengan fPSA adalah PSA yang tidak terikat dengan ACT. Setelah berkembangnya pemeriksaan immunoassay maka penelitian memperlihatkan bahwa free-to-total PSA ditemukan kadarnya lebih rendah pada pria dengan karsinoma prostat. Rasio fPSA da total PSA : < biopsi15 %, maka dicurigai suatu karsinoma > 25 %, kemungkinan hanya BPH 15-25 %, ragu-ragu 2. PSA Velocity (PSA-V) Pemeriksaan ini digunakan untuk memonitor perubahan kadar PSA dari waktu ke waktu. PSA-V didapatkan dengan rumus : i/2([PSA2-PSA1/waktu 1 dalam thn]+[PSA3-PSA2/waktu 2 dalam thn]) Bila ditemukan peningkatan PSA-V sebesar 0,75 ng/mL atau lebih pertahun maka kecenderungan untuk menderita karsinoma prostat juga meningkat. 3. PSA Density (PSAD) Diperkenalkan oleh Benson dkk pada tahun 1992, yaitu suatu konsep korelasi antara nilai PSA dan volume prostat. Konsep ini berdasarkan bahwa kebanyakan PSA dihasilkan pada zona transisional. PSAD didapatkan dengan total serum PSA dibagi volume prostat yang diperoleh dari pemeriksaan TRUS. Secara teoritis PSAD dapat antara suatu karsinoma prostat dan BPH pada penderita yang mempunyai kadar PSA antara 4-10 ng/mL. Seaman dkk (1994)melaporkan bahwa PSAD dapat mendeteksi suatu karsinoma dengan nilai cutoff 0,15. Beberapa peneliti menyarankan untuk melakukan biopsi bila nilai PSAD 0,1 atau 0,15. (7,12)

Prostat, Anatomi
Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah

Prostat merupakan organ kelenjar dari sistem reproduksi pria. Merupakan kelenjar yang terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan vesica urinaria, uretha, ureter, vas deferens dan vesica seminalis. Prostat terletak diatas diafragma panggul dan dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur. Fungsi utama prostat adalah menghasilkan cairan untuk semen, yang mengandung ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim pembeku dan profibrinolisin. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di urethra posterior untuk kemudian

dikeluarkan bersama cairan semen lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. MORFOLOGI DAN LOKALISASI Berat prostat normal orang dewasa berkisar antara 18 20 gram. Pada anak-anak beratnya sekitar 8 gram. Pada keadaan dimana terjadi pembesaran kelenjar prostat beratnya bisa mencapai 40 150 gram dan umumnya pada usia diatas 50 tahun. Ukuran prostat normal adalah tinggi 3 cm yang merupakan diameter vertikal, lebar 4 cm pada dasar transversal dan lebar anteroposterior 2,5 cm, dan dilewati oleh urethra pars prostatica. Prostat merupakan glandula fibromuskular yang mempunyai bentuk seperti piramid terbalik dengan basis (basis prostatae) menghadap ke arah collum vesicae. Basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ lain. Urethra masuk bagian tengah dari basis prostat.. Apex (apex prostatae) menghadap ke arah difragma urogenitale. Urethra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior. Facies anterior berbentuk konveks, facies posterior berbentuk agak konkaf dan dan dua buah facies infero-lateralis. Facies anterior berada 2,5 cm disebelah dorsal facies posterior symphysis osseum pubis. Celah yang terbentuk ini terisi oleh jaringan lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica (cavum Retzii) dan ligamentum puboprostaticum. Ligamentum puboprostaticum menghubungkan selubung fibrosa prostat dengan facies posterior os pubis. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi fascia pelvis. Facies posterior prostat menghadap ke arah rectum, berhubungan erat dengan permukaan anterior ampulla recti dan dipisahkan oleh septum rectovesicalis (fascia / ligamentum Denonvilliers). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis. Facies infero-lateralis difiksasi oleh serabut-serabut anterior m. pubocoocygeus (m. levator ani) pada saat serabut berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus ejaculatorius menembus bagian atas facies posterior prostat untuk bermuara pada urethra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus. Prostat dikelilingi oleh capsula prostatica yakni jaringan ikat pada permukaan prostat. Diluar capsula terdapat terdapat fascia prostatica, yang membungkus capsula prostatica, merupakan bagian dari lapisan viseral fascia pelvis, yang ke arah caudal melanjutkan diri menjadi fascia diaphragmatis urogenitalis superior dan difiksasi pada symphysis osseum pubis oleh ligamentum puboprostaticum mediale (ligamentum

pubovesicale). Selain difiksasi oleh ligamentum puboprostaticum mediale yang mengandung m. puboprostaticus, juga difiksasi oleh ligamentum puboprostaticum laterale pada arcus tendineus fascia pelvis. Pada sisi lateral prostat, diantara fascia prostatica dan capsula prostatica terdapat plexus venosus prostaticus. Plexus venosus prostaticus menerima vena dorsalis penis, meneruskan aliran darah venous kepada plexus venosus vesicalis dan selanjutnya bermuara ke dalam vena iliaca interna. Urethra berjalan vertical menembus bagian anterior prostat. Basis prostat mempunyai hubungan erat dengan collum vesicae, kecuali di bagian lateral. Celah yang terbentuk diantaranya terisi oleh plexus venosus vesicoprostaticus dan ductus ejaculatorius. STRUKTUR DAN ZONA ANATOMI Prostat terdiri atas kelenjar (50%) dan jaringan ikat fibromuscular (25% myofibril otot polos dan 25% jaringan ikat). Jaringan fibromuscular ini tertanam mengelilingi prostat dan berkontrasi selama proses ejakulasi untuk mengeluarkan sekresi prostat ke dalam urethra. Kelenjar prostat adalah modifikasi bagian dinding urethra. Ujung urethra terproyeksi ke bagian dalam garis tengah posterior, berjalan sepanjang urethra prostatika dan berakhir spinkter striata. Pada bagian ujung yang lain, sebuah celah terbentuk (sinus prostaticus), dimana seluruh kelenjar mengalir kesitu (Mc. Neal, 1972). Pada bagian pertengahan, urethra melengkung kira-kira 35o kearah anterior (lengkungan ini dapat bervariasi antara 0 90o). Sudut yang terbentuk dari lengkungan ini membagi urethra prostatika secara anatomi dan fungsional menjadi bagian proksimal (preprostat) dan distal (prostat) (Mc. Neal 1977, 1988). Pada bagian proximal, otot polos sirkuler menebal untuk membentuk spinkter urethra internum. Pada lengkungan urethra, seluruh bagian utama kelenjar prostat terbuka sampai ke urethra prostatika. Ujung urethra melebar dan menonjol dari dinding posterior disebut verumontanum. Celah orificium kecil dari utrikulum prostat ditemukan pada bagian apex dari verumontanum dan terlihat melalui sistoskopi. Utrikulum panjangnya 6 mm sisa mullerian terbentuk dari kantong kecil yang terproyeksi ke atas dan bawah prostat. Pada pria dengan kelamin ganda, bisa terbentuk suatu divertikulum panjang yang menonjol pada bagian posterior prostat. Pada bagian lain dari orificium utrikula, 2 pembukaan kecil pada duktus ejakulatorius bisa terlihat. Duktus ejakulatorius terbentuk dari persambungan vas deferens dengan vesikula seminalis dan masuk ke basis prostat yang bergabung dengan vesica urinaria. Secara umum kelenjar prostat berbentuk tubuloalveolar dengan sedikit percabangan dan sejajar dengan epitel kuboid atau kolumner. Penyebaran sel neuroendokrin, yang fungsinya tidak diketahui, ditemukan diantara sel sekretorius.

Dibawah sel epitel, sel basal terletak sejajar setiap asinus dan akan menjadi stem sel untuk epitel sekretorius. Setiap asinus terlindungi oleh otot polos yang tipis dan jaringan ikat. Jaringan kelenjar membentuk tiga buah gugusan konsentris, dibedakan oleh lokasi duktus masing-masing ke dalam urethra, perbedaan lesi patologinya dan pada beberapa kasus berdasarkan embryologinya, yaitu : Gugusan mucosal (zone transisional) Sekitar 5% dari volume prostat, yang terletak paling profunda dengan saluran keluarnya yang bermuara ke dalam urethra disebelah cranial dari colliculus seminalis. Benign Prostat Hypertrophy (BPH) umumnya muncul dari zone ini. BPH awalnya merupakan mikronodul kemudian berkembang membentuk makronodul disekitar tepi inferior dari urethra preprostatik tepat diatas verumontanum. Makronodul ini selanjutnya menekan jaringan normal sekitarnya pada posteroinferior zone perifer dengan membentuk kapsul palsu disekitar jaringan hyperplasia. Perkembangan zone transisi ini menghasilkan gambaran lobus pada sisi atas urethra, Lobus ini pada saatnya akan menekan urethra pars prostatic dan preprostatik untuk menimbulkan gejala. . Sekitar 20% dari adenocarsinoma terjadi pada zone ini. Gugusan submucosal (zone sentral) Terletak terletak dibagian intermedia, saluran keluarnya bermuara kedalam urethra setinggi colliculus seminalis. Duktus zone central timbul secara sirkumferensial disekeliling pembukaan duktus ejakulatorius. Zone ini mengandung 25% dari volume prostat dan membentuk kerucut disekeliling duktus ejakulatorius pada bagian dasar vesica urinaria. Zone ini memiliki karakteristik secara struktural dan imunohistokimia yang berbeda dari bagian prostat yang lain, dan diduga berasal dari sistem duktus Wolffian (umumnya mirip dengan epididimis, vas deferens dan vesica seminalis) dimana bagian prostat yang lain berasal dari sinus urogenital. Berdasarkan hal tersebut zone sentral jarang terkena penyakit, hanya 1 5% adenokarsinoma yang timbul pada lokasi ini sekalipun terinfiltrasi oleh sel kanker dari zone yang berdekatan. Gugusan utama (glandula prostatica propria / zone perifer) Bentuk besar sekitar 70% dari volume prostat dan membungkus kedua gugusan lainnya, kecuali bagian depan, dihubungkan satu sama lain oleh isthmus prostat (serabut otot polos) yang tidak bersifat kelenjar. Gugusan ini mempunyai saluran keluar yang bermuara ke dalam sinus prostaticus sepanjang tempat masuk urethra pars prostatika (post spinkter). Sekitar 70% kanker prostat timbul pada zone ini dan umumnya disebabkan oleh prostatitis kronik.

Lebih dari 1/3 massa prostat mengandung stroma fibromuskular anterior nonglandular. Bagian ini normalnya terbentang antara collum vesica urinaria sampai spinkter striata, meskipun kemungkinan bagian ini dapat digantikan oleh jaringan kelenjar pada pembesaran adenomatosa prostat. Bagian ini juga secara langsung bersambung dengan capsul prostat, fascia visceral anterior dan bagian anterior spinkter preprostatik yang terdiri dari elastin, kolagen dan otot polos, yang jarang diinvasi oleh karsinoma. Prostat terbagi dalam beberapa lobus. Secara klinis prostat membentuk tiga buah lobus, yaitu dua buah lobus lateralis dan sebuah lobus medius. Kedua lobus lateralis dibagi oleh sulcus sentralis yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan colok dubur dan dihubungkan satu sama lain disebelah ventral urethra oleh isthmus prostatae, yang tidak tampak dari luar. Lobus lateralis merupakan pembentuk massa prostat yang utama. Lobus medius, merupakan bagian yang berbentuk kerucut dari prostat dan terletak antara kedua ductus ejaculatorius dan urethra. Mempunyai ukuran ukuran yang bervariasi, terletak menonjol ke dalam urethra pars cranialis pada permukaan posterior, dan menyebabkan terbentuknya uvula vesicae. Hypertrophi lobus medius dapat menghalangi pengeluaran urine. Pembagian lobus ini tidak mempunyai hubungan dengan struktur histologik pada prostat normal, tetapi umumnya berhubungan dengan pembesaran patologik dari zone transisional bagian lateral dan kelenjar periurethral pada bagian sentral. VASKULARISASI DAN ALIRAN LYMPHE Arteri Ramus prostaticus dipercabangkan oleh arteria vesicalis inferior. Prostat seringkali juga mendapatkan suplai darah darah dari percabangan arteria rectalis superior. Apabila ada arteria rectalis media maka ada percabangannya yang mensuplai prostat. Ramus prostaticus memasuki prostat sepanjang garis posterolateral pada hubungan antara prostat dengan bagian bawah vesica urinaria sampai ke apex prostat. Ketika akan memasuki prostat arteri vesicalis inferior terbagi dalam dua cabang utama. . Arteri-arteri ini mendekati collum vesica urinaria pada posisi antara jam 1 sampai jam 5 dan posisi jam 7 sampai jam 11, dengan cabang paling besar pada bagian posterior. Selanjutnya memutar kearah caudal sejajar dengan urethra, untuk mensuplai urethra, kelenjar periurethral dan zone transisional. Begitupun pada pembesaran prostat yang jinak, arteri ini yang terutama menyediakan suplai darah untuk adenoma. Pada saat prostat direseksi atau dienukleasi, perdarahan yang paling penting biasanya ditemukan pada collum vesica urinaria, terutama pada posisi antara jam 4 dan jam 8. Arteri capsular merupakan cabang utama yang kedua dari arteri prostat. Arteri ini

memiliki beberapa cabang kecil yang berjalan pada bagian anterior untuk mempercabangkan ke dalam capsula prostat. Bagian terbesar dari arteri ini berjalan posterolateral ke prostat dengan nervus cavernosus (serabut neurovaskuler) dan berakhir pada diafragma pelvis. Cabang capsular menembus prostat pada sudut 90o dan mengikuti reticular band dari stroma untuk mensuplai jaringan kelenjar. Vena Pembuluh vena berjalan memasuki plexus venosus prostaticus disekitar sisi anterolateral prostat, sebelah posterior ligamentum arcauata pubic dan bagian bawah dari symphisis pubis, sebelah anterior dari vesica urinaria dan prostat. Aliran utama berasal dari vena dorsalis penis profunda. Plexus juga menerima ramus anterior vesicalis (plexus venosus vesicalis) dan prostatic (yang menghubungkan dengan plexus vesicalis dan vena pudenda interna) dan mengalirkan / bermuara kedalam vena vesicalis dan vena iliaca interna. Lymphe Pembuluh-pembuluh lymphe berjalan menuju ke lymphonodus iliacus internus. Ada juga yang menuju ke lymphonodus iliacus externus dan lymphonodus sacralis Pembuluh-pembuluh lymphe dari vas deferens berakhir pada lymphonodus iliacus externus, sedangkan yang berasal dari vesica seminalis mengalir ke lymphonodus iliacus internus dan externus. Pembuluh lymphe prostat terutama berakhir pada lymphonodus iliacus internus, lymphonodus sacralis dan lymphonodus obturator. Sebuah pembuluh lymphe dari permukaan posterior bersama-sama pembuluh lymphe vesicalis menuju ke lymphonodus iliacus extenus dan satu dari permukaan anterior mencapai lymphonodus iliakus internus dari gabungan pembuluh lymfe yang mengaliri urethra pars membranosa. INERVASI Prostat menerima serabut-serabut saraf sympathis dan parasympathis dari plexus nervosus prostaticus. Serabut-serabut parasympathis berasal dari medulla spinalis segmen sacralis. Inervasi sympathis dan parasympathis dari plexus pelvis berjalan sepanjang prostat sampai nervus cavernosa. Saraf mengikuti cabang dari arteri capsular untuk mempercabangkan pada bagian kelenjar dan stromal. Saraf parasympathis berakhir pada acinus dan merangsang sekresi, serabut sympathis menyebabkan kontraksi otot polos dari kapsul dan stroma. Penghambatan alfa-1 adrenergik mengurangi tonus stroma prostat dan tonus spinkter preprostatik dan meningkatkan laju aliran kencing pada orang dengan BPH (benign prostat hypertrophy), hal ini menjelaskan bahwa penyakit ini mempengaruhi stroma

dan epitel. Gabungan peptidergic dan nitric oxida yang dikandung neuron juga telah ditemukan pada prostat dan bisa menyebabkan relaksasi otot polos. Neuron afferen dari prostat berjalan sepanjang plexus pelvis sampai pelvis dan pusat spinal thoracolumbar. Suatu blok prostatik mungkin bisa didapatkan dengan menyuntikkan anestesi lokal ke dalam plexus pelvis.

Carsinoma Prostat
Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Karsinoma prostat adalah suatu kanker ganas yang tumbuh di dalam kelenjar prostat, tumbuh secara abnormal tak terkendali sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya dan merupakan yang terbanyak diantara keganasan sistem urogenitalia pada pria. Tumor ini menyerang pasien yang berumur di atas 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berusia 70-80 tahun dan 75% pada usia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang menyerang pria berusia di bawah 45 tahun.1 Kanker prostat merupakan tumor yang paling sering terjadi pada pria di Amerika Serikat. Sekitar 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Kanker prostat menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi pada populasi pria di Amerika. Secara khusus kanker prostat ternyata lebih banyak diderita oleh bangsa AfroAmerika yang berkulit hitam daripada bangsa kulit putih. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbandingan bahwa 1 dari 9 pada kulit hitam di Amerika Utara akan menderita kanker prostate, sedangkan pada kulit putih di Amerika Utara hanya 1 dari 11 orang akan mengidap kanker prostate. Sedangkan di Asia sendiri masih terhitung rendah. Di Indonesia data di bagian Sub bagian Urologi, Bagian bedah FKUI, selama periode 19951998 ditemukan data-data 17 kasus per tahun. Data dari 13 Fakultas Kedokteran Negeri di Indonesia kanker prostat termasuk dalam 10 penyakit keganasan tersering pada pria dan menduduki peringkat ke 2 setelah kanker buli-buli (kandung kemih).2 Kenaikan insidens kanker prostat dapat dihubungkan dengan peningkatan usia harapan hidup, perubahan pola makan khususnya kombinasi lemak dan modalitas diagnostik yang lebih baik. Sejak diperkenalkan pada akhir tahun 80-an, prostate spesifik antigen (PSA) merupakan salah satu alat bantu untuk diagnosis kanker prostat, dikombinasikan dengan pemeriksaan colok dubur dan biopsi prostat dengan bimbingan Transrectal Ultrasonography (TRUS). Biopsi prostat dilakukan apabila ditemukan kecurigaan kanker prostat pada pemeriksaan colok dubur yaitu adanya konsistensi prostat yang

keras, adanya nodul, atau pembesaran prostat yang tidak simetris. Biopsi juga akan dikerjakan bila ditemukan lesi hypoechoic atau hiperechoic pada pemeriksaan TRUS. Selain itu juga dikerjakan bila nilai PSA >10 ng/ml atau PSA density (PSAD) >0,15 pada penderita dengan nilai PSA antara 4 10 ng/ml walaupun tidak ada kecurigaan pada pemeriksaan colok dubur maupun pemeriksaan TRUS. Pengobatan kanker prostat bergantung pada stadium penyakit dengan terapi radikal baik secara operasi maupun radioterapi diindikasikan pada penderita dengan stadium awal (T1b-T2c, N0, M0). Prostatektomi radikal merupakan anjuran pertama pada penderita berusia <70 tahun tanpa adanya komorbiditas yang dapat menghalangi pelaksanaan operasi atau menambah morbiditas paska bedah. Pada penderita berusia >70 tahun atau menolak tindakan pembedahan dianjurkan pemberian radioterapi radikal. Sedangkan pada penderita dengan stadium 3 (T3, N0, M0) atau 4 (T4 atau N+, atau M+) diberikan terapi hormonal secara orchydectomi bilateral atau pemberian LHRH agonis beserta anti androgen. Pada penderita T3 tanpa penyebaran ke kelenjar getah bening atau metastasis, kombinasi radioterapi dan terapi hormonal selama 2 3 tahun masih bisa dipertimbangkan bila harapan hidup antara 5 10 tahun.2 ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI Anatomi protat terdiri atas kelenjar (50%) dan jaringan ikat fibromuskular (25% myofibril otot polos dan 25% jaringan ikat) membungkus urethra pars prostatica. Mempunyai bentuk seperti pyramid terbalik dengan basis (basis prostat) menghadap collum vesicae dan apex (apex prostat) yang menghadap ke arah diapragma urogenitale. Facies anterior berbentuk konveks, facies posterior agak konkaf dan dua buah facies infero-lateralis. Ukuran prostate adalah tinggi 3 cm, lebar 4 cm, dan lebar anteriorposterior sebesar 2,5 cm dan beratnya 20 gram. urethra berjalan vertical menembus bagian anterior prostat. Facies prostat mempunyai hubungan erat dengan collum vesicae, kecuali di bagian lateral. Celah yang terbentuk diantaranya terisi oleh plexus venosus vesico prostatikus dan ductus ejakulatorius.3 Prostat membentuk tiga buah lobi, yakni dua buah lobus lateralis dan sebuah lobus medius. Kedua lobus lateralis dihubungkan satu dengan yang lain disebelah ventral urethra oleh isthmus prostatae yang tidak tampak dari luar. Lobus medius mempunyai ukuran yang bervariasi, terletak menonjol kedalam urethra pars kranialis pada permukaan posterior dan menyebabkan terbentuknya uvula vesicae. Hipertrophi lobus medius dapat menghalangi pengeluaran urin.3 Dalam jaringan prostate, yang nampak alveoli kelenjar adalah banyak tubulus terminal kelenjar tubulo alveolar bercabang, irregular dan kecil-kecil. Alveoli ukurannya bermacam-macam, lumen lebar dan jelas irregular pada alveoli yang lebih besar dan

epitel berbeda-beda. Kelenjar terbenam dalam stroma fibromuskular yang nyata, untaian muscular polos berjalan dalam berbagai arah bersama-sama dengan serat-serat kolagen dan jala-jala elastin halus. Urethra pars prostatika nampak sebagai bentuk susunan bulan sabit dengan cekungan kecil sepanjang lumen, terlebih nyata pada resesus/lekuk urethra. Epitel umumnya epitel transisional, stroma fibromuskular prostate mengelilingi uretra. Kolikulus seminalis suatu taju stroma fibromuskular padat tanpa kelenjar, menonjol ke dalam lumen urethra, memberikan bentuk bulan sabit. Utrikulus prostatikus terletak dalam masa kolikulus seringkali ujung distal melebar, sebelum masuk kedalam urethra. Duktus ejakulatorius menembus prostate, berjalan disamping utrikulus dan akhirnya bermuara dalam urethra.4 Kelenjar prostate menyekresi cairan encer, seperti susu yang mengandung ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim pembeku dan profibrinolisin. Selama pengisian, sampai kelenjar prostate berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostate menambah lebih banyak lagi jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostate mungkin penting untuk suatu keberhasilan fertilisasi ovum.5 Mc Neal yang banyak menulis tentang anatomi prostate mengusulkan suatu konsep anatomi zonal berdasarkan dari gambaran anatomi dan histology prostate. Dasar pembagian zonal dari Mc Neal ini dijadikan dasar untuk menentukan letak dan asal keganasan dari prostate. Menurut Mc Neal prostate dibagi menjadi yang glandulair yaitu yang berada pada daerah luar yang disebut zona perifer (perifer zone) dan zona sentral yang kecil (central zone) yang keduanya kira-kira merupakan 95% dari seluruh kelenjar. Zona transisional (transitional zone) yang terletak periurethral sekitar verumontanum yang merupakan hanya 5% dari seluruh volume prostate dan tampaknya bagian ini yang dapat mengalami hyperplasia dan menimbulkan gejalagejala pembesaran prostate jinak sedang keganasan prostate 60 70% berasal dari zona perifer, 10 20% dari zona transisional dan 5 10% dari zona sentral.6 ETIOLOGI Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi ada beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terkena kanker prostat. Faktor predisposisi tesebut antara lain : Genetic, ras, usia, riwayat keluarga, diet tinggi lemak, polusi, hormonal dan aktivitas seksual.7 PATOGENESIS Munculnya kanker prostate secara laten pada usia tua banyak terjadi. Sepuluh persen pria usia enam puluh tahun mempunyai kanker prostate diam dan tidak bergejala, pertumbuhan dari kanker prostate asimptomatis yang kebetulan ditemukan lamban

sekali.Keganasan prostate 90% biasanya berupa Adenocarsinoma yang berasal dari kelenjar prostate yang menjadi hipotrofik pada usia decade kelima sampai ketujuh. Agaknya proses menjadi ganas sudah mulai pada jaringan prostate yang masih muda. Karsinoma prostate paling sering terjadi pada zona perifer (75%).8 Dengan berkembangnya tumor dapat terjadi perluasan langsung ke urethra, leher kandung kemih, dan vesikula seminalis. Karsinoma prostate dapat juga menyebar melalui jalur limfatik dan hematogen. Secara berturut tempat yang paling sering dari metastasis melalui jalur hematogen melalui v.vertebralis adalah ke tulang-tulang pelvis, vertebra lumbalis, femur, vertebra torasika, dan kosta. Metastasis ini lebih sering osteoklastik (menyerap tulang) daripada osteoblastik (membentuk tulang). Pada osteokalstik jaringan tulang diganti jaringan tumor oleh infiltrasi dan pertumbuhan tumor, sementara pada osteoblastik, tumornya justru merangsang sel-sel pembentuk tulang di sekitarnya untuk membentuk tulang ekstra yang jelas dapat dilihat pada foto roentgen.9 Penyebaran limfogen dapat ditemukan dikelenjar limfe di panggul kecil dan lewat samping pembuluh darah besar keatas lewat samping dinding perut belakang (kelenjar limfe retroperitoneal atas).agak jarang tumor ini menyebar ke sum-sum tulang dan visera, khususnya hati dan paru.8,9,10 Tingkat penyebaran karsinoma prostate yang lazim dipakai didasarkan pada system tingkat penyebaran American Urological Assosiation (AUA) dan TNM8 GAMBARAN KLINIK Karsinoma prostate stadium dini dan lanjut mungkin asimptomatik pada saat diagnosis, dan lebih dari 80 persen pasien menderita penyakit stadium C dan D pada saat diagnosis. Pada orang yang simptomatis, keluhan yang sering ditemui adalah disuria, kesulitan berkemih, mengedan jika ingin berkemih, peningkatan frekuensi berkemih, retensi urin total, nyeri punggung atau pinggang dan hematuria. Setiap laki-laki berusia diatas 40 tahun yang mengeluh disuria, sering berkemih atau kesulitan berkemih tanpa obstruksi uretrhra mekanis harus dicurigai menderita kanker prostate. Gejala lainnya berupa : - segera setelah berkemih, biasanya air kemih masih menetes-netes - perasaan tidak puas setelah berkemih - nyeri baik ketika berkemih maupun ejakulasi - inkontinensia uri - penurunan berat badan 6,7,8,9,10,11 DIAGNOSIS Diagnosis kanker prostate ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisis dan laboratorium.

Sebelum melakukan pemeriksaan sebaiknya ditanyakan mengenai riwayat penyakit, riwayat penyakit kanker dalam keluarga dan gejala-gejala yang dialami, khususnya yang berhubungan dengan berkemih. Berdasarkan anamnesis tersebut barulah dianjurkan pemeriksaan yang akan dilakukan sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini. Berdasarkan dari ketentuan dari perhimpunan ahli kanker amerika, dua dari pemeriksaan tersebut, yaitu digital rectal examination (DRE) dan pemeriksaan prostate-antigen spesifik (PSA), dianjurkan untuk pasien lebih dari 45 tahun dan memiliki perkiraan masa hidup kurang dari 10 tahun, serta usia lebih dari 45 tahun yang termasuk dalam resiko tinggi.12 A. Digital Rectal Examination (DRE) Karena bentuk prostate berada didepan rectum, maka memudahkan kita untuk menyentuh prostate dengan memasukkan jari lewat rectum. Palpasi prostate merupakan pemeriksaan yang mudah , murah tapi terbaik untuk mendeteksi semua stadium penyakit selain stadium A. Adapun yang dapat dinilai dalam melakukan pemeriksaan ini tonus sfingther ani dan refleks BCR, menilai apakah ada massa dalam lumen rectum serta menilai keadaan prostate. DRE pada penderita kanker prostate akan menunjukkan adanya pembesaran prostate dengan konsistensi keras, padat, noduler, irregular, permukaan yang tidak rata, atau asimetris.10,11,12 B. Prostat Spesifik Antigen (PSA) test Peningkatan insidens kanker prostat yang pesat dalam dekade terakhir tidak lepas dari digunakannya PSA sebagai modalitas diagnostik. Walaupun tidak merupakan petanda tumor spesifik untuk keganasan prostat, bila nilai PSA >4 ng/ml, yaitu nilai yang dipakai sebagai batas normal, umumnya akan dilakukan biopsi prostat sekalipun tidak ditemukan kelainan pada colok dubur. Untuk keganasan prostate dikenal petanda tumor yaitu fosfatase asam prostate (prostate acid phosphatase = PAP) dan antigen khas prostate (prostate specific antigen = PSA) yang sensivitasnya tinggi dan spesifisitasnya tidak terlalu tinggi, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan PAP.8,12 Peningkatan kadar antigen spesifik prostate (PSA) dalam serum adalah pemeriksaan paling peka untuk mendeteksi kanker prostate secara dini. Kadar PSA mungkin meningkat pada penyakit local, sedangkan peningkatan kadar fosfatase asam biasanya mengisyaratkan kelainan ekstraprostate. Setelah diagnosis dan pengobatan, penilaian respon paling baik dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berkala PSA maupun fosfatase asam.9,10,12 C. Transrectal Ultrasound (TRUS) Transrectal ultrasound digunakan untuk mengetahui pertumbuhan prostate yang tidak

normal dan membantu dalam melakukan biopsy pada daerah prostate yang abnormal. Tindakan ini menggunakan gelombang suara untuk membentuk pencitraan dari prostate.TRUS selain dapat mengukur volume prostate, dapat juga mendeteksi kemungkinan adanya keganasan dengan memperlihatkan daerah hypoechoic, dan dapat pula melihat adanya bendungan vesika seminalis yang tampak merupakan gambaran kista disebelah bawah dari prostate.6,12 D. Transabdominal Ultrasound (TAUS) Prostate dapat pula diperiksa dengan USG transabdominal (TAUS), biasanya dilakukan dalam keadaan vesika urinaria penuh. TAUS dapat mendeteksi bagian prostate yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat besar obstruksi, selain tentu saja dapat mendeteksi apabila ada batu didalam vesika.6 E. Biopsy Pada biopsy jaringan sample diambil dan diperiksa dengan bantuan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya perubahan dari kanker. Hanya biopsy yang dapat menentukan kanker prostate dengan pasti. Sejumlah dokter biasanya mengambil sejumlah jaringan sample untuk dibiopsi. Namun perlu diketahui meskipun hasil biopsy negative namun kanker kemungkinan tetap ada. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat biopsy sample yang diambil bukanlah jaringan yang mengalami kanker. Pada kanker prostate yang mempunyai pembungkus tumornya memiliki grade dan stage tersendiri. Grade dan stage tersebut membantu dalam menentukan jenis terapi yang akan dilakukan.12 Score gleason diperuntukkan untuk kanker prostat berdasarkan gambaran mikroskopiknya. Score gleason sangat penting karena score gleason yang tinggi berhubungan dengan prognosis yang buruk. Hal ini disebabkan score gleason yang tinggi memberikan gambaran kanker yang pertumbuhannya cepat. Untuk menerapkan score gleason perlu dilakukan biopsy. Biopsi dilakukan dengan cara prostatectomy atau dengan cara memasukkan dengan needle kedalam kelenjar prostat melalui rectum. Score gleason berkisar antara 2 sampai 10. score gleason dengan nilai 2 menandakan prognosis yang baik sedangkan nilai 10 menandakan nilai 10. Score akhir merupakan kombinasi dari 2 penilaian yang berbeda dengan range 1 sampai 5. Score gleason berhubungan dengan beberapa gambaran berikut ini : Grade 1. kanker prostat yang menyerupai jaringan prostat normal. Kelenjarnya kecil, bentuknya baik dan terbungkus rapat. Grade 2. jaringan masih mempunyai kelenjar0kelenjar yang bentuknya baik, tapi lebih besar dan memiliki lebih banyak jaringan diantaranya. Grade 3. jaringan masih memiliki kelenjar yang masih dapat dikenali, tapi selnya lebih gelap. pada pembesaran yang lebih tinggi, beberapa dari sel-sel ini meninggalkan

kelenjar dan mulai menginvasi jaringan sekitarnya. Grade 4. jaringan hanya menyisakan sedikit kelenjar yang masih dapat dikenali. Sel sudah lebih banyak menginvasi jaringan disekitarnya. Grade 5. jaringan sudah tidak memiliki kelenjar yang dapat dikenali. Hanya terdapat lembaran-lembaran sel disepanjang jaringan yang berada disekelilingnya. Dilakukan pemeriksaan patologi terhadap spesimen biopsi dan berusaha memberikan penilaian terhadap dua bentuk yang paling berbeda. Hasil scoring tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan nilai akhir untuk score gleason. Contoh ; spesimen prostat yang dibiopsi memperlihatkan dua bentuk yang berbeda salah satunya diberi angka 2 dan yang lainnya diberi angka 3. maka hasil akhir dari score gelason adalah 5. Score gleason berguna dalam menegakkan prognosis dari kanker prostat. Bila digunakan dengan parameter lain, score gleason membantu dalam menentukan staging kanker prostat yang mana secara tidak langsung akan memberikan gambaran prognosis dari kanker prostat itu sendiri dan bermamfaat dalam penentuan terapi yang akan dilakukan.13 PENATALAKSANAAN DAN TERAPI I. Surveilance (observasi) Surveilance ditujukan untuk observasi dan pengawasan secara teratur tanpa terapi inmasif. Surveilance biasa digunakan pada stadium awal kanker prostate dengan pertumbuhan yang lambat yang biasa didapatkan pada usia lanjut. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien yang berisiko terhadap terapi bedah radio terapi maupun terapi hormonal. Terapi lain dapat mulai diberikan apabila sudah tumbuh gejala atau jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan kanker (misalnya : PSA yang meningkat cepat, Score Gleason yang tinggi pada biopsy dan lain-lain). Sebagian besar pasien yang mendapat tindakan surveilance biasanya menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan dari tumor, dan terapi biasanya dilakukan 3 tahun kemudian. Meskipun tindakan surveilance yang dilakukan dapat mencegah resiko pembedahan dan radiasi, namun resiko dari metastasis dapat meningkat. Pada pasien usia muda tindakan surveilance tidak ditujukan untuk mencegah dilakukannya terapi secara bersamaan, tapi bisa menjadi salah satu alasan untuk hal tersebut beberapa tahun kemudian, selama pengaruh terapi terhadap kualitas hidup dapat di cegah. Masalah-masalah kesehatan yang berkembang seiring dengan berkembang usia selama masa observasi juga menyulitkan untuk dilakukannya pembedahan dan radioterapi.14 II. Terapi Hormonal Terapi hormonal menggunakan pengobatan atau pembedahan untuk menghambat asupan Dihidro testosterone (DHT) pada sel kanker prostate, DHT adalah suatu

hormon yang dihasilkan di prostat dan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metastasis sel kanker prostate.14 Penghambatan DHT dapat menghentikan pertumbuhan kanker prostat bahkan menghambat metastasisnya. Namun, terapi hormon jarang menyembuhkan kanker prostat karena kanker yang berespon terhadap terapi hormonal biasanya menjadi resisten 1 sampai 2 tahun berikutnya. Sel hormonal biasa diberikan pada kanker prostat yang sudah mendapat terapi pembedahan atau radioterapi untuk mencegah timbulnya rekurensi.14,15 Tujuan dari terapi hormonal adalah menurunkan kadar testosteron atau untuk menghentikan kerja testosteron. Kanker prostate distimulasi oleh testosteron dan hormon-hormon pria lainnya (androgen). Pertama-tama kadar DHT yang rendah dalam darah menstimulasi hipotalamus untuk menghasilkan GnRH. GnRH kemudian menstimuli kelenjar hipofise untuk menghasilkan LH, yang selanjutnya LH menstimuli testis untuk menghasilkan testosteron. Pada akhirnya testosteron dari testis dan dihidro epiandrosteron dari kelenjar adrenal akan menstimuli prostat untuk menghasilkan DHT. Terapi hormonal dapat menurunkankadar DHT dengan cara mengganggu telur pembentukkan tersebut di atas.14,15 Berikut ini beberapa bentuk dari terapi hormonal. - Orchiektomy adalah suatu pembedahan yang bertujuan mengangkat testis. Karena testis yang dihasilkan testosterone, maka apabila testis diangkat maka stimulasi hormonal terhadap tumor akan terhenti. - Menggunakan Agonis dari LHRH, seperti leuprolide (lupron, viaduneligart), Gossereline (zoladex) atau Busereline (supra Fact), untuk menghentikan produksi testosterone. - Anti Androgen yang biasa digunakan adalah flutamide (eulexine) bisa lutamide (casodex), nilutamide dan asetat siproteron, yang menghambat kerja testosterone dan DHT pada pasien kanker prosta. - Obat lain yang digunakan untuk menghambat produksi androgen pada kelenjar adrenal adalah DHEA yang mengandung ketokenazol dan aminoglutethimide. Karena kelenjar adrenal hanya membentuk 5 % dari androgen seluruh tubuh, maka pengobatan ini umumnya dikombinasikan dengan pengobatan lain yang dapat menghambat 95 % dari produksi androgen di testis. Cara kombinasi ini biasa disebut TAB (Total Androgen Block) - Estrogen dalam bentuk dietil stilbesfron, dapat juga digunakan untuk menekan pembentukkan testosteron. Namun estrogen jarang digunakan karena efek sampingnya yang kuat. Efek samping adri cara pengobatan ini berbeda-beda.

- Orchiektomy dan Agonis LHRH dapat menimbulkan impotensi, rasa panas, dan hilangnya keinginan untuk berhubungan seks. Anti androgen dapat menyebabkan timbulnya mual, muntah, diare, dan pembesaran payudara. Beberapa diantara cara pengobatan tersebut dapat menyebabkan kelemahan tulang (medicine).14,15,16 III. Terapi Radiasi Radio terapi untuk kanker prostate terdiri dari terapi External-Beam radiasi dan Brachy terapi. a. Terapi External-Beam Radiasi Terapi External-Beam radiasi khususnya menggunakan ekseleration linear berenergi tinggi menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih lama pada pasien dengan penyakit local. Suatu tehnik yang biasa disebut dengan IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy) dapat digunakan untuk menunjang External-Beam radiasi yang disesuaikan dengan ukuran tumor, diberikan dengan dosis tinggi pada prostate dan vesikula seminalis dengan sedikit merusak kandung kemih dan rectum. Radioterapi ini biasanya diberiukan selama 6-7 minggu, 5 hari dalam seminggu. Dosis dapat ditingkatkan dengan menggunakan suatu cara tertentu, tetapi efeknya terhadap angka kelangsungan hidup tidak diketahui. Untuk pasien dengan penyakit-penyakit local (T3 T4) tambahan gocerelin (zoladex) agonis LhRH menunjukkan adanya peningkatan sebagaimana rata-rata angka kelangsungan hidup yang ada. Keuntungan dari radio terapi jenis ini adalah mudah pelaksanaannya dan masih tergolong aman. Kerugiannya adalah memiliki resiko menimbulkan rekurensi maupun pertumbuhan local, biaya dan resiko timbulnya komplikasi. Komplikasi umumnya disebabkan oleh radiasi yang mengenai jaringan yang normal seperti kandung kemih. Disamping itu efek samping lainnya adalah impotensi, inkontinensia, cystitis dan prostitis.14,15,17 b. Brachy terapi Brachy terapi untuk kanker prostat menggunakan Seeds yaitu suatu lempeng radioaktif yang kecil yang mengandung bahan radioaktif (seperti iodin-125 atau Paladium-103) yang ditanamkan pada tumor dengan bantuan transrectal ultrasound (TRUS). Jika Seeds yang ditanamkan tadi telah mencapai dosis homogen terhadap prostat maka memungkinkan dilakukannya radiotherapi. Keuntungan dari cara radiotherapi ini adalah mudah dalam penempatannya dan memiliki masa terapi yang singkat. Kerugiannya memiliki biaya yang besar, menimbulkan impotensi, rekurensi, inkontinensia (umumnya pada pasien yang telah menjalani reseksi prostat) dan pergeseran atau migrasi kekandung kemih atau sirkulasi, contohnya keparu-paru. Radioterapi umumnya diberikan pada kanker stadium dini dan biasanya juga pada

stadium lanjut untuk mencegah metastasis ketulang, radioterapi dapat dikombinasikan dengan terapi hormon pada penyakit dengan resiko sedang, dimana radioterapi saja tidak cukup untuk mengatasi kanker itu. Beberapa ahli onkologi mengkombinasikan external-beam radiasi dan brachy terapi untuk kelompok resiko sedang sampai tinggi. Pada salah satu penelitian ditemukan bahwa kombinasi terapi supresi androgen yang dikombinasikan dengan external-beam radiasi selama 6 bulan dapat memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien jika dibandingkan dengan radioterapi saja pada pasien kanker prostat yang terlokalisir. Dapat pula digunakan kombinasi dari externalbeam radiasi, brachy terapi dan terapi hormon. Umumnya radioterapi diberikan apabila kanker sudah sampai menekan medula spinalis atau kadangkala setelah dilakukan pembedahan seperti pada kanker yang ditemukan di vesikula semilunaris, limfonodus, diluar kapsul prostat atau daerah yang dibiopsi. Radioterapi biasa dibeikan pada pasien yang memiliki kendala medis sehingga susah untuk dilakukan pembedahan. Radioterapi juga terbukti lebih baik dalam mengobati kanker ang kecil jika dibandingkan dengan pembedahan. 14,15,17 IV. Operatif Tehnik operatif untuk penanganan kanker prostat terdiri atas dua cara : 1. Prostatectomy radikal prostatectomy radikal adalah suatu tehnik pembedahan dengan cara mengangkat seluruh prostat. Cara ini di indikasikan untuk kanker yang hanya mengenai prostat dan tidak menginvasi kapsula prostat, limfonodus dan organ lain disekitarnya. Terdapat tiga cara pelaksanaan radical prostatectomy yaitu radical retropubik prostatectomy dengan cara melakukan insisi abdomen. Sedangkan yang kedua yaitu radikal perineal prostatectomy,dengan melakukan prostatectomy yaitu : prostate yang terkena, vesikula seminalis dan ampula dari vasdeferens diangkat seluruhnya, sedangkan kandung kemih dibiarkan tetap berhubungan dengan membrane urethra untuk membiarkan terjadinya berkemih. Dan yang ketiga cara radikal suprapubik prostatectomy. Prostatectomy radikal dapat dikombinasikan dengan radioterapi pada kanker prostate yang letaknya hanya pada daerah prostate. Hal ini akan memberikan hasil yang baik karena kanker belum bermetastasis. Komplikasi dari cara ini antara lain inkontinensia urine dan impotensi.14,15,16,17 Radikal retro-pubik prostatectomy18 -Lakukan insisi dibagian midline bawah, kemudian lakukan limfadenectomy pelvik bilateral ekstra peritoneal. Keluarkan lemak retro-pubik dan cauter cabang superfisial

dari vena dorsalis penis. Lakukan insisi tumpul pada fascia endopelvic. Angkat semua serat otot yang tersisa (levator ani, pubococcygeus dan puborectalis) kebagian lateral dari prostat sampai fascia prostat dan vena dorsalis terlihat. Lakukan jahitan menggunakan benang vicryl 2,0 dibagian vena dorsalis dan anterior dari urethra. Buat jahitan kontrol dengan benang vicryl 2,0 sebanyak 8 jahitan di bagian proksimal dari vena dorsalis. -Pisahkan vena dorsalis menggunakan elektro cauter, buat defek pada fascia tersebut. Lakukan insisi V pada tepi fascia prostat, secara distal dan proksimal. -Buatlah sebuah manuver menggunakan gunting Satinsky, lakukan insisi pada neurovaskuler ke arah urethra dan kandung kemih. Pada keadaan ini fascia prostat bagian lateral yang berisi neurovaskuler di immobilisasi kearah posterior. Tempatkan jari telunjuk tangan kiri diantara immobilisasi fascia prostat dan kapsul prostat tepat dibagian postrior dari prostat. Manuver ini bertujuan untuk memisahkan fascia denonvilier adheren anterior dari bagian posterior prostat. Selanjutkan pindahkan ujung jari kiri ke arah kanan dari apical prostat sampai kearah fascia prostat di bagian yang kontra lateral tepat diatas neovaskuler kanan. Ujung jari kiri akan menembus prostat lateral kanan dengan membentuk sudut siku-siku terhadap pengapit -Pengapit neurovaskuler kanan dikeluarkan dari prostat secara kranial dan posterior. Pisahkan urethra yang membranius menggunakan elektrocauter. Biarkan elektrocauter tersebut sampai mancapai 45 derajat untuk mencapai puncak tersebut. Dalam hal ini serat-serat sisa yang masih sehat dari urethra eksternal rabdo spinkter yang membungkus bagian anterior dari apeks prostat selanjutnya dibagi dan diberikan pada urethra. Setelah urethra dipisah lakukan immobilisasi prostat dan lakukan ligasi vaskuler lateral menggunakan hemoklips. Pisahkan bagian anterior dari fascia denonvilier dan ampulla vasdeferens. Diseksi ampulla vasdeferens ke medial dan lakukan mobilisasi kearah distal. Lakukan diseksi tajam dan mobilisasi vesikel-vesikel yang kemungkinan bisa berkembang. Lakukan diseksi pada daerah nerovaskuler dan pleksus pelvik pada daerah lateral dari vesikel untuk mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. -Lakukan retraksi vesikel dan ampulla vasdeferens serta lakukan diseksi untuk membebaskannya dari kandung kemih menggunakan elektro cauter. Diseksi dilakukan dari ujung fascia viceralis kandung kemih yang tegak lurus dengan fascia denonfilier posterior.

-Angkat serat-serat sirkuler dari kandung kemih dan keluarkan spesimen-spesimen yang terdapat didalamnya. Lakukan hal itu dengan hati-hati sehingga tidak perlu dilakukan ekstensi leher kandung kemih. Lakukan jahitan menggunakan monocryl 3,0 untuk memperbaiki leher kandung kemih. Mulai jahitan pada arah jam tujuh dan lakukan sampai mukosa kandung kemih menyatuh dengan fascia parietal -Akhiri jahitan pada arah jam 5 dan lakukan jahitan pada daerah fascia viceralis kandung kemih tepat pada arah jam 5 dan jam 7. lakukan anastomose vesiko urethral direck menggunakan 6 jahitan (menggunakan monocryl 2,0). Radikal perineal prostatectomy19 -Pasien diposisikan pada posisi litotomi posisi tinggi. Bantal Lioy-Allen atau pijakan yellowfin digunakan untuk menopang kedua kaki. Suatu gel setebal 6 inci (misalnya jelly guling) ditempatkan dibawah sakrum. Diperlukan penanganan khusus agar kedua kaki tertopang dengan baik dan mencegah agar pinggul tidak bergerak. Adanya tambahan tekanan pada saat melakukan posisi tersebut akan menimbulkan neuropraxia sciatic atau memperlancar sirkulasi ke ekstremitas bawah dan abdomen bagian bawah. Rhabdomyolisis dapat terjadi namun jarang ditemukan dan biasanya berhubungan dengan waktu operasi yang lama dan kesalahan dalam memposisikan pasien. Resection trans urethral OConnor-Sullivan ditempatkan pada rectum dengan bantuan jari untuk memudahkan melakukan palpasi prostat dan dinding rectum selama operasi. Suatu traktor Lowsley ditempatkan sepanjang urethra sampai kekandung kemih, dan syapnya dibuka untuk memudahkan dalam memindahkan prostat ke lapangan operasi. -Buat insisi U dengan apex di mid perineum sedangkan ujung anteriornya berada digaris midline 1 cm di medial dari tubersitas ischiadikum. Klem alis digunakan untuk mengamankan reseksi trans urethral pada kulit. -Penulis menyatakan bahwa pendekatan extraspinkter young berlawanan dengan pendekatan subspinnkter Belt. Fossa ischiorectalis diperlebar pada salah satu sisi dari tendon sentral dan tendon sentral dipisahkan dengan menggunakan cauter. Diseksi dilanjutkan sampai ke jaringan fibrosa posterior bahkan sampai ke raphe bulbospongiosum. Apabila jaringan fibrosa dibuka maka akan tampak rectrourehtralis dibagian midline dan m. Levator ani dibagian lateral. Rectrourethralis dibuka untuk mengamankan rectum. Angkat jaringan fibrous menggunakan forceps untuk melihat rectrourethralis dan rectum, rectum diangkat sampai mendekati urethra tetap dibagian apex dari prostat. Apabila rectum dimobilisasi ke bagian posterior dari apex prostat,

gunting dengan berlawanan dari apex sampai mendapat apponeurosis (fascia) Denonvillien yang berwarna putih. Tractor Lowsley digunakan untuk menarik prostat kearah perineum dan membantu dalam identifikasi apex prostat. Apabila retrourethralis telah terbuka sempurna, rectum akan mendorong apponeurosis Denonvillier ke arah posterior sampai kedalam luka, tepat diproksimal vesika semilunalis. Jari dimasukkan kedalam sampai levator muskularis ani untuk membersihkan jaringan lemak peri prostat. Pada kasus-kasus eksisi besar monuver dilakukan untuk menentukan batas maksimal dari jaringan ekstra prostat yang erupakan batas operasi yang bersih. Pada kasus pembukaan saraf dibuat suatu bidang di bagian medial dari serat levator, lateral dari fascia pelvik lateralis jaringan penunjang dibagian posterolateral rostat disatukan dengan nervus cavernosum. Pembukaan fascia dan jaringan penunjang yang tipis tersebut dilakukan dari daerah anterolateral rektum. -Untuk tujuan tersebut biasanya digunakan retraktor perineal Tompson atau Bukwalter. Suatu retraktor tajam sebesar 2 inci ditempatkan di rektum dan 2 pisau bersudut ganda ditempatkan dibagian anterolateral.kriteia tentang pembukaan saraf berbeda-beda diantara setiap ahli bedah, namun pasien dengan volume yang rendah kankernya yang tidak terpalpasi dan score gleason kurang dari atau sama dengan 6 biasanya mendapat pembukaan saraf. Pembukaan saraf dibagian unilateral dilakukan apabila saraf-saraf dibagian kontralateral mendapat metastase dari kanker. Apponeorosis Denonvillier diinsisi secara transversal dari bagian medial salah satu vesikasemilunaris sampai kebatas medial vesika semilunaris lainnya. Pengguntungan dilakukan didaerah ini sampai ampulla dan vesika semilunalis terlihat. Salah satu vasdeferens di diseksi dan diangkat kira-kira 5 am dari prostat dan kemudian dilektkan dengan menggunakan bantuan alat ligasur. Vasdeferens lainnya mendapat perlakuan yang sama. Vesika semilunalis diangkat menggunakan forceps dan ditarik kearah medial. Apponeurosis Denonviller digunting kearah lateral untuk melihat bagian lateral. Pengguntingan dilakukan dibagian lateral dari vesika semilunaris sampai mencapai pembuluh darah dibagian tersebut. Pembuluh-pembuluh darah tersebut disatukan menggunakan ligasur. Leher posterior kandung kemih didorong kearah basis prostat menggunakan disector Kuthnner. -Pada kasus pembukaan saraf, appneorosis Denonvillier diinsisi dari lateral ke midline, tepat diatas medial vesika semilunaris yang ipsilateral kedaerah midline diatas dari apex, dan kembali lagi kedaerah medial dari vesika semilunaris yang kontralateral (berbentuk U terbalik). Dengan menggunakan seksi tajam fascia dan nervus

cavernosum dimobilisasi kearah lateral dari bagian lateral prostat. Dibentuk ruangan antara prostat dengan lapisan apponeurosis Denonvillier yang memiliki nervus cavernosum. Daerah tersebut dibentuk sekitar bagian lateral dari prostat mulai dari apex sampai vesika semilunaris. Percabangan dari nervus yang masuk keprostat dibagian apex dan basis dipisahkan untuk mencegah terjadinya trauma dibagan tersebut. Nervus cavernosum dimobilisasi kedaerah lateral menjauhi basis prostat, meninggalkan pediculus vaskuler dan basis prostat. Pediculus vaskuler dan basis prostat disatukan dengan ligasur, untuk mencegah terjadinya traksi trauma. Cari prostatovesikularis dan pisahkan dari daerah posterior dibagian lateral dan anterior dari ligamentum puboprostaticum. Penanganan ini bertujuan mencegh terjadinya trauma pada saraf ketika berlangsung pengangkatan prostat. Dibagian apex persarafan dipisahkan dari urethra. Urethra kemudian di diseksi secara sirkumferential dari jaringan apex prostat menggunakan disektor kuthner sampai ke prostat, naik sampai ke verumontanum. Tindakan ini dilanjutkan dengan membagi ligamentum puboprostatikum. Pada tindakan tanpa membuka persarafan, seluruh jaringan peri prostaticum diangkat dari prostat bertujuan untuk menentukan daerah reseksi tumor. Apponeurosis Denonvillier dan fascia endopelvik tidak diangkat, tetap berada dibagian posterior dan lateral prostat. Pediculus prostat disatukan dengan ligasur. Perhatikan pada saat mengembalikan apex prostat. Muskulus skeletal berada didekat apex prostat dipisahkan agar tidak bersentuhan dengan urethra bagian distal sampai ke apex. Selanjtnya lantai otot pelvik dipisahkan dari lantai pelvik kira-kira 1-2 cm jaraknya dan diletakkan diatas apex prostat untuk memastikan daerah disekitar apex sudah cukup adekuat. Penanganan ini bertujuan untuk mencegah bagian posterior prostat bergerak kearah apex dari protat. -Urethra dipisahkan dari prostat secara sirkumferential menggunkan disektor kuthner diantara urethra dan apex prostat. Pediculus apical dipisahkan menggunakan kauter, traktor lowsley diangkat, dan tambahn urethra di diseksi dari apex sampai ke verummontanum. Urethra selanjutnya dipotong. Ligamentum puboprostatikum dipisahkan menggunakan kauter beberapa milimeter kearah anterior dari bagian anterior prostat. Klem ring ditempatkan pada jaringan anterior, dengan salah satu ringnya masuk ke urethra untuk mencegah timbulnya traksi prostat kearah bawah yang dapat menyentuh bagian anterior dari leher kandung kemih. Bagian anterior dipisahkan dengan menggunakan kauter. Apabila terjadi perdarahan vena yang berasal dari vena dorsalis maka dilakukan ligasi dengan menggunakan benang absorben.

-Pada traksi prostat daerah diseksi antara leher kandung kemih dan basis prostat dibuka, terlihat urethra masuk sampai ke basis prostat. Urethra selanjutnya dikeluakan dari basis prostat dan dipotong, sisakan kira-kira 1 cm bagian urethr yang melekat dengan leher kandung kemih. -Daerah operasi diirigasi, dan lakukan kontrol perdarahan sebelum melakukan anastomose. Ujung urethra di anastomose dengan 2 benang monocryl 3,0 ditempatkan didaerah midline anterior sampai kedaerah posterior, kemudian diikat dengan tidak terlalu kencang untuk mencegah menurunnya diameter anastomose. Apabila daerah urethra sudah cukup adekuat lakukan urethrostomy sehingga urethra tidak beranastomose dengan leher kandung kemih. Apabila anastomose sudah sempurna, diinjeksi dengan cairan salin secara tegak lurus dari arah meatus dan kemudian anastomose dikencangkan dengan jahitan tambahan. Kateter ukuran 18F ditempatkan pada kandung kemih dan kemudian kandung kemih diirigasi untuk mengeluarkan sisasisa bekuan yang ada didalamnya. Pada Resection prostat trans Urethral, dengan pembesaran kelenjar atau kanker didekat leher kandung kemih maka leher kandung kemih tidak perlu diikat. Pada keadaan ini kandung kemih masuk kebagian anterior setelah ligamentum puboprostatikum dipotong. Leher kandung kemih dipisahkan dari prostat untuk membuat jarak yang aman dari orifisium urethra. Leher kandung kemih selanjutnya dijahit dengan kateter 18F tapi tidak sampai urothelium. Anastomose terhadap urothelium dilakukan pada jahitan anastomose yang lain. -Retraktor diangkat dan rectum diinspeksi untuk melihat ada tidaknya trauma atau adanya daerah yang menipis, bila ada dilakukan penanganan muskuluslevator ani dikembalikan keposisi midline menggunakan draine Jackson Pratt atau Penrose yang ditempatkan di rektum. Tendon sentral dikembalikan diposisinya, jaringan subkutan ditutup dan kemudian kulit ditutup menggunakan jahitan subkutikuler pada sisi kiri dan kanan. Selanjutnya Belladona maupun obat supposutoria dapat diberikan melalui rectum untuk mengurangi spasme pasca operasi. Kateter dibiarkan tapi tidak menekan daerah bawah abdomen dan pasien berada dalam masa pemulihan. Radikal suprapubik prostatectomy 20 A. pasien diletakkan diatas meja operasi pada posisi supine, dibawah pengaruh gravitasi, larutan sulfat neomycin 0,1 % dimasukkan sampai mencapai kapasitas kandung kemih, Kateter kemudian dilepas. Suatu lembaran kertas/tissue diletakkan dibawah pinggang untuk menopang pelpis dan memberikan paparan terhadap leher

kandung kemih dan prostat. Vasektomy bilateral tidak selalu dilakukan. Identifikasi orifisium urethra dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan injeksi satu ampul indigo carmine secara intravena. B. Insisi midline abdomen secara vertikal jarang dilakukan dibanding insisi secara transversal. Insisi ini dilakukan untuk mendapatkan paparan yang tepat dan memudahkan pada saat pembukaan dan penutupan daerah yang diinsisi. Dapat terjadi infeksi luka, insisi vertikal dilakukan pada daerah jaringan yang tipis, dibanding insisi transversa dan menyulitkan penyebaran infeksi ke dinding abdomen. -Insisi kulit dilakukan dari daerah umbilikus sampai ke pubis. Perdarahan subkutan terkoogulasi dengan alat elektrosurgical. Gunting Curved Mayo digunakan untuk membagi fascia rektus disepanjang daerah insisi. Daerah diantara otot rektus dibuka menggunakan hemostat dan daerah tersebut diangkat dari pubis sampai ke umbilikus. Dibawah permukaan setiap otot rektus harus dimobilisasi untuk mendapatkan retraksi lateral dari otot-otot tersebut. Dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perdarahan, satu sampai tiga pembuluh darah kecil dimasukkan kepermukaan posterior dan medial dari otot rektus yang selanjutnya dikauter sebelum dimasukkan retraktor Baltour. Retraktor Baltour digunakan untuk memegang otot rektus lateralis. Fascia prevesikalis diinsisi tepat dibelakang pubis, lemak perivesikel dan peritoneum dibersihkan menggunakan kapas steril sampai mencapai dinding anterior kandung kemih. A. Luka dibuat diantara kedua klem Allis untuk membuka kandung kemih. menjahit dinding kandung kemih pada setiap daerah yang mendapat cystotomy Larutan neomycin 0,1% dikeluarkan menggunakan section, dan dilakukan cystotomy tumpul untuk menopang leher kandung kemih. Cistotomy dibuat sepanjang mungkin agar tidak mengganggu pandangan ahli bedah terhadap trigonum dan vesika. Tidak ada keuntungan pada cystotomi yang kecil karena hanya akan menghasilkan lapangan pandang yang tidak memadai. B. Paparan interior kandung kemih dipertahankan dengansampai kefascia rektus lateralis menggunakan benang cromic 2.0. laparatomi diletakkan pada rongga kandung kemih, dinding posterior kandung kemih ditarik keatas menggunakan retraktor Deaver. Ahli bedah harus mendapat paparan trigonum dan leher vesika yang tepat. Setelah letak orifisium urethra telah ditentukn, insisi mukosa bentuk tapal kuda dibuat disekitar daerah lateral dan posterior dari leher kandung kemih. Jika insisi dimulai dari lobus media dan naik sampai kelobus lateral, pandangan ahli bedah tidak akan terhalangi oleh perdarahan dari insisi mukosa yang dilakukan. Insisi tersebut dilakukan untuk

meminimalkan kemungkinan trauma didaerah orifisium lateral selama operasi berlangsung. A. Enukleasi adenoma dilakukan dengan cara tumpul. Retraktor diangkat dari luka untuk mencegah sentuhan dengan tangan ahli bedah. Dengan mnggunakan indeks jari, urethra prostatikum dan adenoma didorong kearah anterior tepat didaerah proksimal dari spinkter urine eksterna. Ruangan diantara adenoma dan kapsula bedah dibuka, enukleasi dilakukan secepat mungkin. Lobus anterior, posterior dan lateralis dienukleasi untuk pertama kali, dan lobus median pada bagian akhir. Hal ini dilakukan untuk mengangkat semua lobus sebagai satu kesatuan. B. Perdarahan terjadi sewaktu adenoma diangkat. Hemostatis tidak dapat dimulai sampai adenektomi dilakukan dengan sempurna, selanjutnya pemanjangan daerah operasi akan memperbanyak kehilangan darah. Apabila enukleasi dilakukan dengan cepat maka akan memberikan hasil yang baik. Perlakuan yang tidak perlu pada kapsula prostat akan menimbulkan perdarahan. Adhesi diantara adenoma dan kapsula dapat dipisahkan dengan cara tajam. Daerah apeks prostat akan memberat pada akhirnya. Pada keadaan ini dapat dilakukan cara tumpul tapi seringkali pembagian cara tajam menggunakan gunting sangat dibutuhkan. Hal ini jarang dilakukan dengan pandangan langsung. Penanganan sebaiknya dilakukan dengan cara mengangkat membran urethra keatas sampai mencapai fossa prostat, apabila pengangkatan struktur tersebut dapat meningkatkan resiko inkontinensia paska operasi. Hemostatis dapat dicapai melalui paparan yang memadai didaerah operasi, ligasi penjahitan aliran darah arteri besar prostat dibagian posterior dari leher kandung kemih, dan membiarkan adanya traksi sementara pada daerah leher vesika untuk menghantikan perdarahan vena di fossa prostatika. Paparan pada leher kandung kemih dan fossa prostatika merupakan prioritas utama dalam menilai hemostatis. Kegagalan untuk menilai adanya kompel vesika oleh ahli bedah adalah dengan penempatan jahitan hemostatis atau traksi den waktu untuk menghentikan perdarahan. Paparan dengan memindahkan retraktor yang tebal dikeluarkan. Fossa prostatika ditutupi dengan kassa gulung untuk menstimulasi kontraksi dari kapsula surgical. Dengan tujuan untuk melipat bibir posterior dari kandung kemih. Retraktor Deaver ditempatkan didalam fossa prostatika tepat diatas dari balutan kassa gulung, dan dibagian posterior leher kandung kemih yang dilekatkan dengan klem Allis. Dengan melakukan traksi keatas dan posterior dari klem tersebut, sisi fossa prostatika dibagian posterior dari leher kandung kemih dapat terlihat dengan jelas. Paparan tambahan

dilakukan menggunaklan retraktor Ribbon atau Deaver pada daerah dinding kandung kemih yang merupakan tempat jahitan yang dilakukan. Gambar jahitan delapan ditempatkan pada leher vesikal posterior dari arah jam 4 jam 8. kesalahan yang sering dijumpai adalah letak jahitan yang tidak berada didaerah lateral yang cukup aman untuk arteri prostat yang besar. Jahitan sebaiknya lebih didalam dari daerah fossa prostatika leher kandung kemih. Setelah mengamankan perdarahan arteri dan vena besar, balutan dikeluarkan dari fossa prostatika. Meskipun terdapat robekan pada kapsula, tapi sebaiknya tidak dilakukan penjahitan, ligasi maupun membekukan perdarahan didaerah tersebut. Perdarahan dari daerah kapsula biasanya berasal dari vena dan dapat dikendalikan menggunakan traksi jangka pendek. Fossa prostatika sebaiknya diinspeksi untuk memastikan bahwa adenoma telah diangkat. Integritas orifisium urethra diperbaiki untuk menentukan bahwa tidak terdapat hubungan antara jahitan hemostatik yang ditempatkan didaerah posterior dari leher kandung kemih. A. Kateter French Folley No.24 disertai balon 30ml dimasukkan kedalam kandung kemih pasien. Kateter balon dikembangkan sehingga tidak terjadi traksi yang dapat menggeser kateter balon tersebut sampai ke fossa prostatika. Biasanya jaringan seberat 1 ml air/gr dikeluarkan untuk menjaga agar pengembangan balon tetap adekuat. Kateter balon ditarik berlawanan dengan leher vesikal untuk menekan fossa prostatika. Traksi tersebut dipertahankan menggunakan klem Kelly yang diletakkan bersilangan dengan kateter pada saat akan dikeluarkan melalui meatus urethra. Drain penrose dimasukkan sepanjang daerah hemostat dan menggunakan sedikit tahanan yang terkadang membutuhkan bantuan. Drainase supra pubik dilakukan menggunakan kateter French Mallecot No.26 atau 28. luka dibuat didasar kandung kemih, dan tube suprapubik ditarik kearah retrograd pada saat terbuka. Jahitan menggunakan chromic 2.0 dilakukan untuk mengikat tube pada titik keluarnya dikandung kemih. Posisi akhir tube sebaiknya tidak menimbulkan iritasi pada daerah trigonum dan spasme kandung kemih. A. Dengan tujuan untuk menyembuhkan luka dan mengurangi terjadionya infeksi, kandung kemih sebaiknya ditutup yang akan mempertahankan urine tetap berada disaluran kemih. Hal ini baik dilakukan untuk memisahkan ketiga lapisan kandung kemih menggunakan benang cromic yang baik. Lapisan mukosa ditutup menggunakan jahitan benang chromic 5.0. penutupan yang baik pada sudutnya dapat dicapai dengan mulai jahitan 5.0 pada setiap sudut cystotomi. Hal ini akan memudahkan ahli bedah

melakukan kerjanya dibagian tengah dari penutupan mukosa dan mencegah terjadinya dog ear pada setiap sudutnya. Suatu jahitan dengan benang chromic 4.0 dilakukan untuk menutup lapisan otot. Ketiga lapisan tersebut digabungkan dengan otot dan serosa serta ditutup dengan jahitan Lembert menggunakan benang chromic 3.0 untuk menutup seluruh daerah yang dijahit.kekuatan penutupan kandung kemih ditentukan oleh irigasi tuiba suprapubik menggunakan salin normal. Penutupan dilakukan dengan ketat dan mengurangi daerah yang terbuka dengan menggunakan chromic 3.0 secara terputus-putus. Irigasi kandung kemih juga dilakukan untuk mengeluarkan bekuan darah yang terdapat selama penutupan kandung kemih jika hemostatik tidak adekuat. B. Setelah kandung kemih ditutup, luka diinspeksi untuk melihat ada tidaknya perdarahan pada dinding kandung kemih, daerah perivesikalis ataupun pada otot rektus. Luka umumnya diirigasi secara steril, saline normal yang hangat, dan sulfet neomycin 0,1 %. Dengan tujuan agar lebih efektif, larutan neomicyn diletakkan didaerah luka dan dibiarkan selama 60 detik. Draine penrose diletakkan didaerah perivesikalis. Pisahkan daerah insisi pada setiap insisi midline untuk mendapatkan tempat keluar dari tube suprapubik dan draine. Penrose dilekatkan pada kulit menggunakan jahitan benang nonabsorben 3.0. Otot rektus diikat dengan 3-4 jahitan benang chromic 3.0. lapisan tersebut ditutup tidak untuk menguatkan insisi tapi untuk mengeluarjkan jaringan yang mati. Jahitan nonabsorban dibutuhkan untuk menutup fascia rektus. Hal ini akan menguatkan penutupan dan disertai dengan bahan penjahit (misalnya neurolon maupun prolene), pembentukan batu pada luka yang secara teoritis akan menimbulkan komplikasi. Penutupan menggunakan jahitan interuptus jenis Tom Jones dengan neurolone 0 untuk menutup fascia rektus, jahitan subkutan ditutup dengan cutgut plain 3.0 secara interuptus, dan kulit dengan benang nilon 3.0 secara interuptus. 2. Transurethral Resection of the Prostate (TUR-P) TUR-P merupakan suatu cara pembedahan pada kanker prostate apabila terjadi sumbatan pada urethra yang disebabkan oleh pembesaran prostate. TUR-P biasanya dilakukan pada penyakit-penyakit yang tergolong ringan. Sebagian prostat diangkat menggunakan suatu alat yang dimasukkan kedalam urethra. alat tersebut atau yang biasa dikenal cystoscope dimasukkan kedalam penis dan berfungsi untuk menghilangkan sumbatan pada urethra tersebut. Tindakan ini biasanya dilakukan pada stadium awal untuk mengangkat jaringan yang menghambat aliran urine. Pada stadium metastasis dimana kanker telah menyebar seluruh prostat penganmgkatan testis

(Orchiectomy) dilakukan untuk menurunkan kadar testosteron dan mengendalikan pertumbuhan kanker.21 V. Kemoterapi Kemoterapi adalah cara pengobatan terakhir yang digunakan untuk mengatasi kanker prostate. Kemoterapi belum dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup. Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa tindakan kemoterapi yang dilakukan bersama cara pengobatan lainnya terbukti belum dapat meningkatkan kelangsungan hidup. Kemoterapi sangat toxic dan memiliki banyak efek samping.22 KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari pemberian terapi baik dengan menggunakan radiasi maupun pembedahan berupa : - Gangguan ereksi (impotensi) - Perdarahan post operasi - Anastomosi striktur pada perineal prostatectomy - Urocutaneus fistula (perineal prostatectomy) - Hernia perineal (Perineal prostatectomy).dll17,18,19,20,23 PROGNOSIS Harapan hidup untuk penderita kanker prostat berhubungan dengan stadium penyakit : Stadium A 87 %, Stadium B 81%, Stadium C 64%, stadium D 30%.1,22

Cholelithiasis, Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu


Posted on 16 February 2011 by ArtikelBedah

Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait: 1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu) 2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus) 3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri)

Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi batu empedu turut terbagi atas: 1. Patofisiologi batu kolesterol 2. Patofisiologi batu berpigmen A. Patofisiologi Batu Kolesterol Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan: 1. Supersaturasi kolesterol empedu. 2. Hipomotilitas kantung empedu. 3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol. 4. Hipersekresi mukus di kantung empedu 1. Supersaturasi Kolesterol Empedu Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol

empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5). Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal). Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu. Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: a. Hipersekresi kolesterol. b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu. c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid a. Hipersekresi kolesterol.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh: i. peningkatan uptake kolesterol hepatik ii. peningkatan sintesis kolesterol iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol pembentukan kristal kolesterol. b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu. Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni: i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik. ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik. iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik. Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik

yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu. c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid 95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda. 2. Hipomotilitas kantung empedu Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat. a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus). b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan

serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu. 3 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek

untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu. 4 Hipersekresi mukus di kantung empedu Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini. B. Patofisiologi batu berpigmen Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda. 1. Patofisiologi batu berpigmen hitam Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase- endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam. 2. Patofisiologi batu berpigmen coklat Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau

parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensismendukung pembentukan batu berpigmen. Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketigatiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut: i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat. ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan

asam palmitik). iii. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat. Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik. Patofisiologi Batu Intra Hepatal ( Hepatolithiasis ): Terbentuk batu empedu dalam saluran empedu intrahepatal Perubahan empedu karena infeksi Hidrolisis bil.glukoronidase oleh aktivitas -dekloronidasebilirubin bebas Dekonyugasi bilirubin dan kalsium Ca. bilirubinat insoluble mikrokalculi Infeksi berulang mikrokalkuli nidus kristalisasi batu empedu Penanganan Intrahepatal Stone : Evakuasi batu dengan scoop atau forcep melalui ductus choledokus dan dilanjutkan irigrasi laruran NaCl koledokotomi luas dan dilakukan irigasi dengan NaCl dan pasang T-Tube Reseksi hepar

Kombinasi litotomi transhepatik dan koledokotomi Transhepatik litotomi EPIDEMIOLOGI 1. Female wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1. 2. Fat Lebih sering pada orang banyak yang gemuk. 3. Forty Bertambah dengan tambahnya usia. 4. Fertile Lebih banyak pada multipara. 5. Food orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu. 6. Flatulen Sering memberi gejala-gejala saluran cerna. DIAGNOSIS Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap: 1. Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu. 2. Tahap asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu sehingga tidak memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu empedu biasanya muncul bersama dengan keluhan gastroitestinal lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu menyebabkan nyeri abdomen kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta adanya gas dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan makanan berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana irritable bowel syndrome atau refluks gastroesofageal merupakan penyebab utamanya. 3. Tahap Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat diperkirakan. Nyeri terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan dirasakan sampai ke daerah ujung scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung meningkat selama beberapa jam sebelum mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau perubahan posisi. Nyeri mungkin juga bersamaan dengan mual dan muntah, muncul biasanya setelah makan ( Kolik pasca Prandial) 4. Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus biliar sehingga menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan mengalami inflamasi progresif. Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan 3 faktor:

a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu. b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya. c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut. Manifestasi Klinis Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang dapat timbul: 1. Nyeri (60%). Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena makanan berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kolesistits dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita menarik napas dalam (MURPHYS SIGN). 2. Demam. Timbul peradangan. Sering disertai menggigil. 3. Ikterus. Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus hepatikus / koledokus). 4. Trias Charcot, if ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus. 5. Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : Teraba Vesica felea. 6. Pruritus. Kulit Gatal-gatal. Laboratorium Pada ikterus obstruksi terjadi: Bilirubin direk dan total , Kolesterol , Alkali fosfatase 2-3 kali, Gama glukuronil transferase , Bilirubinuria ( Ada bilirubin dalam Urine, urine seperti teh ), Tinja akolis ( Tinja berwarna keputihan seperti dempul) Pencitraan 1. Ultrasonografi 2. Kolesistografi oral 3. Pemeriksaan Khusus pada ikterus obatruksi : - Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC) - Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)

- Computerized tomography scanning (CT-Scan) Penatalaksanaan. Batu kantong empedu : Kolesistektemi (ICOPIM 5.511) Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM 5.513) + antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g i v + aminoglikosida 60 mg i v (1x) atau sefalosporin generasi III 1 g i. v. (1x), kombinasi dengan metronodazol 0,5 gr i.v. (drip dalam 30 menit) Disertai keradangan (kolesistitis / kolangitis) + antibiotika kombinasi terapi

: tripel antibiotika - ampisilin 31 g/hari i.v. - aminoglikosida 36 mg/hari i.v. - metronidazol 3x 0,5 g i.v. (drip dlm 30 mnt) atau - antibiotika ganda : sefalosporin gen.III 31 g/hari i.v. + metronidazol 31 g/hari i.v

Gastro Esofageal Refluks Disease (GERD)


Posted on 14 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Penyakit Gastroesofageal refluks (Gastroesophageal refluks disease/GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks cairan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas yang dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus maupun ekstra esophagus, dari ringan sampai berat. GEJALA KLINIS. Keluhan rasa terbakar dan nyeri dada di bagian tengah, yang kemudian disusul dengan timbulnya rasa seperti muntah dengan mulut masam (regurgitasi). Rasa terbakar tersebut dirasakan terutama pada waktu makan, dan dirasakan sepanjang hari. Selain keluhan tersebut juga timbul rasa panas dan pedih di ulu hati, mual, bahkan sering disusul dengan muntah. Walaupun demikian ada tiga keluhan utama yang sering

diajukan pada panderita, yaitu : rasa panas dan pedih di dada bagian tengah, regurgitasi, dan disfagia. Penyebab dari keluhan tersebut di atas adalah sebagai akibat dari gangguan motilitas di esophagus, dan di lambung. Gangguan motilitas di esophagus biasanya terjadi karena tonus sfingter bagian distal esophagus menurun. Sedangkan gangguan motilitas di lambung karena berkurangnya peristaltik terutama di antrum dan pylorus sehingga waktu pengosongan lambung menurun. Sfingter esophagus bagian distal berperanan penting sebagai mekanisme anti refluks pada kardia. Jadi, berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian distal, maka peristaltik di kardia akan terganggu atau lambat membuka, sehingga makanan / minuman terasa lambat turunnya, bahkan dapat menyebabkan timbulnya refluks. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya tonus esophagus bagian distal adalah : makan yang berlemak, merokok, obat obatan diantaranya : antikholinergik, aminofilin, benzodiazepine, nitrate. Pada penderita dengan keluhan GER, tidak hanya terjadi sebagai akibat berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian distal, tetapi juga disertai berkurangnya peristaltik di antrum dan pylorus, sehingga waktu pengosongan lambung menjadi lambat. Faktor esophagus dan lambung mempunyai peran penting dalam terjadinya GER. Oleh karena itu selain timbulnya keluhan rasa terbakar atau rasa panas dan pedih di dada bagian tengah terutama waktu makan atau minum, juga timbul keluhan lain yaitu merasa panas dan pedih di hati, mual, muntah, mulut terasa masam atau pahit, dan merasa cepat kenyang. Kadang kadang GER dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif. Oleh karena itu kondisi demikian terdapat pada esophagus yang sensitif mekanik. Yang jelas bahwa esophagus hanya sensitif pada satu faktor saja, yaitu pengaruh asam atau rangsangan mekanik. PATOGENESIS Ada 4 faktor yang berperanan untuk terjadinya GER dan esofagitis refluks : 1. Anti-Refluks Barrier Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada

atau sangat rendah (<3 mmHg). Peran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES menyebabkan refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor faktor yang menurunkan tonus LES yaitu adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat obatan (antikolinergik, beta-adrenergik, theofilin, opiat, dan lain lain), faktor hormonal. Pada pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasuskasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan yang berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Hubungan antara hernia hiatus dan GER masih controversial, meskipun 5060% penderita dengan hiatus hernia menunjukkan tanda esofagitis secara endoskopik, sekitar 90 % esofagitis disertai dengan hiatus hernia. Ini menunjukkan bahwa hiatus hernia merupakan faktor penunjang terjadinya GER karena kantong hernia mengganggu fungsi LES, terutama pada waktu mengejan. Dewasa ini LES terbukti memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GER. Namun harus diingat bahwa refluks bisa saja terjadi pada tekanan SED yang normal. Ini yang dinamakan Inappropriate, atau Transient Sphincter Relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses telan. - Hernia hiatus LES inkompeten Erosif GERD - Hiatus hernia TLESRs lebih sering terjadi. Faktor hormonal (cholecystokinin, secretin) dapat menurunkan tekanan LES seperti yang terjadi setelah makan hidangan yang berlemak. Pada kehamilan dan pada penderita yang menggunakan pil KB yang mengandung progesteron/-estrogen, tekanan LES juga turun. 2. Isi lambung dan pengosongannya GER lebih sering terjadi sewaktu habis makan daripada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi. 3. Daya perusak bahan refluks Asam pepsin dan mungkin juga asam empedu/lysolecithin yang ada dalam bahan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esophagus. 4. Esophageal Clearing Bahan refluks dialirkan kembali ke lambung oleh kontraksi peristaltik esophagus dan pengaruh gaya gravitasi. Proses membersihkan esophagus dari asam (esophageal acid

clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula mula peristaltik esophagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esophagus, kemudian air liur yang dibentuk sebanyak 0,5 ml/menit menetralkan asam yang masih tersisa. Pemeriksaan penunjang 1. Kontras media barium Pada pemeriksaan ini diberikan kontras media barium. Perlu diamati secara fluroskopi jalannya barium di dalam esofagus perlu diperhatikan peristaltik terutama di bagian distal (sfingter esofagus bagian distal = SED). Bila ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka dapat dinyatakan adanya GER. Kelainan struktur dari esophagus tersebut sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi. Sebaliknya bila ditemukan ada dugaan kelainan motilitas, sebaiknya dilakukan manometri esofagus, selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan endoskopi. 2. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi untuk menentukan ada tidaknya kelainan di esophagus, misalnya esofagitis, tukak esophagus, akhalasia, striktura, tumor esophagus, varises di esophagus. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan Gold Standart untuk diagnosis GER dengan ditemukannya mucosal break di esophagus. ABC Ket: A. esophagus normal; B. esophagus dengan erosive refluks esofagitis; C. eosinofil esofagitis. Klasifikasi Los-Angeles 3. Pengukuran pH 24 jam dan tekanan esophagus. Pengukuran pH dari esophagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk GER. Pemeriksaan distribusi normal pH di dalam esophagus telah menunjukkan bahwa pH esophagus jarang turun di bawah 4 atau naik di atas 7. Cara lain adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esophagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama rekaman penderita dapat memberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esophagus / gangguan motorik esophagus. 4. Manometri esophagus Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jjika pada pasien pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata di dapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal. Manometri esophagus dilakukan dengan kateter yang

berisi air, melalui sisstem mikrokapiler pneumohidrolik dengan kelenturan rendah, yang secara progresif ditarik dai esophagus. Terapi Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan lesi esophagus, mengurangi/menghilangkan terjadinya refluks, menetralisir bahan refluks, memperbaiki tekanan LES, mempercepat pembersihan esophagus, menghilangkan keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. Ada 2 macam pengobatan GERD, yaitu: Konservatif : Terapi medikamentosa dan perubahan pola makan. Operatif : Terapi pembedahan 1. Pengelolaan konservatif. Setelah makan jangan cepat berbaring, Hindari mengangkat barang berat, Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang, Penderita yang gemuk, perlu diturunkan berat badan, Biasakan tidur dengan lambung yang tidak diisi penuh, Tempat tidur di bagian kepala ditinggikan, Sebelum tidur jangan makan terlalu kenyang, Hindari makanan berlemak, Kurangi atau hentikan minum kopi, alkohol, coklat, Jangan merokok. Terapi medikamentosa. Antasida Untuk menghilangkan rasa nyeri dan menetralisir asam lambung. Antasida kurang memuaskan karena waktu kerjanya singkat dan tidak dapat diandalkan untuk menetralisir sekresi asam tengah malam. Ada resiko terjadinya sekresi asam yang melambung kembali (rebound acid secretion), dan menimbulkan efek samping diare atau konstipasi. Terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis:41 sendok makan sehari. Antagonis Reseptor H2 Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian : - Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg - Ranitidin : 4 x 150 mg - Famotidin : 2 x 20 mg - Nizatidin : 2 x 150 mg Penghambat Pompa Proton (PPI)

- Drug of choice dalam pengobatan GERD - Bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. - Sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2. - Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh : * omeprazole : 2 x 20 mg * pantoprazole : 2 x 40 mg * lanzoprazole : 2 x 30 mg * esomeprazole : 2 x 40 mg Obat obat prokinetik Obat prokinetik mempunyai sifat memperbaiki motilitas dan mempercepat peristaltik saluran makan, di samping meninggikan tekanan LES. - Betanechol : mempunyai sifat menigkatkan tonus LES, dan kontraksi lambung. Tetapi pada stasis lambung tidak mempercepat pengosongan lambung, bahkan dapat menyebabkan kejang abdomen meningkatkan frekuensi buang air kecil karena mengurangi kapasitas kendung kemih dan menambah peristaltik ureter. - Metoclopramid : merupakan senyawa golongan benzamid. Mekanismenya di saluran cerna yaitu untuk potensiasi efek kolinergik, memberi efek langsung pada otot polos, dan menghambat dopamin. Secara farmakodinamik, obat ini memperkuat tonus LES dan meningkatkan amplitude kontraksi esofagus. Di lambung, memperbaiki koordinasi kontraksi antrum dan duodenum, sehingga mempercepat pengosongan lambung. Dosis : 3 x 10 mg - Domperidon : adalah derivate benzimidazol, dan merupakan antagonis dopamin perifer yang merangsang motilitas saluran makan serta mempunyai khasiat anti muntah. Obat ini berkhasiat untuk pengobatan refluks gastroesofageal, sindroma dyspepsia, gastroparesis, anoreksia nervosa. Pemberian domperidon akan meningkatkan tonus LES. Di samping itu akan meningkatkan koordinasi antroduodenal, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktilitas serta menghambat relaksasi lambung, sehingga pengosongan lambung lebih dipercepat. Efek samping domperidon lebih rendah daripada metoclopramid karena tidak memperngaruhi reseptor saraf pusat. Dosis : 3 x 10 20 mg sehari - Cisapride : merupakan derivate benzinamid, dan tergolong obat prokinetik baru yang memperbaiki gangguan motilitas seluruh saluran makan. Jadi obat ini mempunyai spektrum luas. Dosis : 3 x 10 mg sehari Sukralfat (aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai

buffer terhadap HCL di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena diberikan secara topikal (sitoprotektif). Dosis : 4 x 1 gram KEUNTUNGAN KERUGIAN STEP DOWN Gejala cepat hilang Potensial Over Treatment Kegagalan Therapi Rendah Mengurangi biaya Biaya awal tinggi STEP UP Mencegah Over Threatmen Ada Keluhan Potensial Biaya awal rendah 2. Terapi pembedahan Indikasi: 1. Terapi medis gagal. 2. Adanya pembentukan striktur yang masih dini atau pembentukan cincin Schatzki merupakan pernyataan adanya refluks jangka panjang dan mengharuskan suatu prosedur antirefluks. 3. Adanya metaplasia kolumnar pada esophagus distal, atau esophagus Barrett, mencerminkan keadaan premalignan dengan dugaan etiologi akibat GERD yang mungkin juga mengharuskan terapi operatif. Fundoplikasi baik melalui laparotomi atau torakotomi kini merupakan cara yang banyak digunakan sampai sekarang karena memberikan hasil yang lebih baik lebih kurang 85% dan angka kekambuhan refluks kecil (<10%), terdiri atas: Mobilisasi esophagus untuk menempatkannya kembali ke dalam abdomen. Memfiksasi dinding lambung sekitar esophagus distal (duplikasi). Menyempitkan hiatus esophagus. Abdomen di eksplorasi melalui insisi di garis tengah, mobilisasi lobus kiri hati dengan memotong lig. Triangularis, lig.gastrohepatik untuk mobilisasi lengkap esofagus distal dan melihat hiatus esofagus. Ligasi pembuluh darah gastrik yang pendek biasanya harus dihindari, karena terjadi peningkatan insidensi splenektomisekunder karena cedera iatrogenik akibat prosedur ini. Selanjutnya dilakukan traksi lambung secara berhati hati dan mobilisasi esophagus secara tumpul dilakukan dari atas ligamentum gastrohepatik yang dipotong dalam suatu bidang anterior dari ligamentum akuata medial. Sebuah drain Penrose harus digunakan untuk mempertahankan retraksi dan reduksi persambungan gastroesofagus ke dalam rongga abdomen.

Pada saat tersebut diseksi harus menemukan krura hiatus esofagus dan memungkinkan mobilisasi posterior fundus lambung. Selanjutnya dilakukan pemasangan dilator Maloney ukuran 40 42 sebelum aproksimasi krura dilakukan sampai hanya ujung jari telunjuk ahli bedah dapat dimasukkan bersama dilator ke dalam reparasi hiatus. Tangan kanan ahli bedah digunakan untuk memasukkan fundus lambung ke belakang esophagus sampai dapat diraih oleh klem Babcock. Aproksimasi selubung fundus dilakukan dengan jahitan gastrik seromuskuler sutera 2-0 sepanjang kira kira 4 cm. Jahitan yang paling kaudal juga harus mengenai permukaan medial persmabungan esofagogstrik ke jahitan terbawah dari selubung fundus harus menghalangi migrasi lambung distal ke sefalad dan mencegah terbentuknya kantung lambung suprafundus. Saraf fagus harus dikenali, dilindungi, dan biasanya dimasukkan ke dalam selubung fundus. Setelah selesainya fundoplikasi, dilator dilepas dan diganti dengan selang nasogastrik untuk mendapatkan dekompresi pascaoperasi yang terus menerus. Fundoplikasi juga harus memungkinkan dimasukkannya jari ahli bedah ke dalam selubung untuk menjamin bahwa selubung tidak terlalu sempit dan tidak bertindak sebagai obstruksi esophagus iatrogenik. Fundoplikasi melalui pendekatan transtorakalis mengikuti cara yang sama sepert pendekatan abdominal kecuali bahwa selubung fundus diselesaikan sebelum reparas krura. Pertimbangan utama dilakukannya pendekatan torakalis adalah ditujukan pada pasien dengan esofagus distal yang imotil atau esofagus yang pendek. Diagnosis Banding Angina pektoris : suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi mmiokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher atau punggung. Angina pektolris di jadikan diagnosis banding karena GER dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang kadang kadang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif. Komplikasi Barret esophagus

Merupakan penyakit GERD stadium akhir. Kondisi ini ditemukan pada 7 sampai 10 persen pasien dengan GERD. Gangguan parah fungsi korpus esofagus, da npeningkatan jelas pemaparan asam esovagus. Penyulit tipikal pada pasien Barrets adalah ulseerasi pada segmen yang dilapisi epitel kolumnar, pembentukan striktur, dan displasia kanker.

Kemoterapi Tumor Ganas


Posted on 14 February 2011 by ArtikelBedah

Kemoterapi adalah suatu cara pengobatan dengan menggunakan obat dari bahan kimia yang mempunyai khasiat khusus terhadap sel tumor dan mengakibatkan kerusakan atau kematian sel tumor. Obat-obat kimia ini dikenal dengan sebutan sitostatika. Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang penting untuk mengobati penykit keganasan, bahkan dapat merupakan yang terpenting untuk beberapa jenis keganasan tertentu seperti pada leukemia akut atau limfoma. Sitostatikum dapat diberikan sendiri-sendiri, namun biasanya hasilnya terbatas, tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal biasanya sitostatikum diberikan dalam kombinasi dua atau lebih. Mengingat obat0obat ini sangat toksis, maka penggunaannya harus hati-hati dengan senatiasa melakukan pengawasan atas setiap perubahan klinik maupun laboratorik penderita yang mendapatkan pengobatan ini. Oleh karena itu sebaiknya penggunaannya dilakukan oleh orang ahli dalam bidang ini. Umumnya kemoterapi diberikan bersama dengan cara pengobatan lain seperti operasi, radioterapi, dan imunoterapi. Dengan demikian pengobatab penyakit keganasan haruslah ditangani oleh statu tim yang terdiri atas para ahli dibidangnya masing-masing dengan koordinasi antar tim yang baik. Sejarah Perkembangan Kemoterapi Kanker Secara umum perkembangan kemoterapi kanker dibagi atas beberapa periode, yaitu period sebelum tahun 1960, period diantara tahun 1960, dan tahun 1970, serta period sesudah tahun 1970. Perid sebelum tahuin 1960 adalah penemuan dan pengembangan beberapa sitostatikum serta penggunaannya secara sendiri-sendiri yang umumnya atas dasar yang sifatnya empiris. Paada period ini banyak dilakukan penelitian obat baru mengani kriteria kliniknya seperti hasil pengobatan, toksisitas, penampilan, kadar optimum yang dapat diberikan dan khasiatnya terhadap beberapa jenis kanker. Penerapan pada klinik mulai memberikan hasil pengobatan yang menjanjikan harapan khususnya terhaadap leukimia dan linfoma, akan tetapi terhaadap tumor padat hasilnya belum memuaskan. Pada dekade berikutnya pengetahuan tentang kinetika sel, khususnya sel tumor,

berkembang pesat dan mulai diterapkan dalam menyusun strategi pengobatan dengan sitostatikum. Demikian pula penerapan konsep-konsep farmakokinetik pada kemoterapi klinik. Dalam period ini pula mulai dikembangkan pemakaian sitostaika kombinasi serta penilaian atas ahsil pengobatan kombiansi m,elalui suatu percoabaan klinik (clinical trial) yang rinci. Hasil pengobatan leukimia dan linfoma mengalami kemajuan, demikian pula terhaadap beberapa jenis tumor padat. Setelah itu sejak tahun 1970-an hingga sekarang, perkembangan kemoterapi kanker semakin pesat dengan beberapa penemuan obat baru. Dalam period ini beberapa hal perlu dicata adalah perkembangan konsep pengobatan dengan sitostatika dosis tinggi serta pengobatan multidiplin, dengan makin bainya kerjaasama antara beberapa disiplin seperti ahli bedah, ahli terapi sinar, ahli kemoterapi, serta ahli peneliti laboratorium, dan lain-lain. Tetapi disamping kemajuan besar yang telah dicapai timbul masalah toksisitas jangka panjang obat-obat anti kanker tersebut, terlebih bila digabung dengan radiasi. Demikian pula kemungkinan timbulnya kanker baru akibat pemakaian sitostatika jangka panjang. Pengaruh Kemoterapi pada Kinetika Sel Kemoterapi direncanakan atas dasar berbagai perbedaan yang dijumpai antar sel-sel normal dan sel tumor, khususnya mengenai reaksinya terhadap obat-obat anti-kanker yang diberikan sendiri-sendiri ataupun dalam kombinasi. Perbedaan tersebut diantaranya hdala perbedaan dalam sifat biologik, biokimia, reaksi farmakokinetik, dan sifat proliferatif kedua jenis sel tersebut. Pada umumnya sel berproliferasi menurut kecepatan yang tetap dan terus mengulangi satu siklus proses biokimia tertentu yang berakhir dengan pembelahan sel. Dengan demikian secara teoritik setiap sel yang berploriferasi, sehingga populasi sel akan meningkat dengan kelipatan dua. Sebagai persiapan untuk satu silklus proliferasi, sel akan melakukan sntesis biokimia yang memerlukan satu jangka waktu tertentu dengan menghasilkan DNA baru. Period trsebut disebut period sntesis DNA (S) yang pada akhirnya nanti sel akan mengalami mitosis (M). Period di antara kedua kejadian tersebut adalah period kekosongan pra-sintesis (presynthetic gap) : G1 dan period kekosongan pasca sinetis (post-synthetic gap) : G2 . Ddalm kenyataan tidak seluruh sel melakukan proses proliferasi ini. Namur sebagian beristirahat sampai saatnya dimobiliasi lagi. Masa ini disebut sebagai masa tidur (dormant period)

Dengan demikian satu siklus proliferasi melalui beberapa tahap tertentu dan dalam period tertentu pula. Berdasarkan adanya tahapan-tahapan ini yang masing-masing dapat dipengaruhi obat, maka obat-obat sitostatikum dibagi menurut kekhususan efeknya terhadap sel, terutama yang sedang berproliferasi sebagai berikut : Golongan I : terdiri dari obat-obat spesifik. Obat golongan ini dapat merusak sel dalam keadaan apapun baik yang sedang berproliferasi maupun yang sedang istirahat. Dapat dimengerti seperti pada leukemia akut bahwa obat ini dapat merusak sel-sel leukemia dan juga dapat merusak sel stem hemopoetik yang normal. Oleh karena itu untuk tumor dengan populasi sel yang jauh lebih banayk dari populasi sel stem, obat golongan ini kurang memnuhi syarat karena membahayakan. Sebaliknya untuk tumor dengan populasi sel sedikit (masih terlokalisasi atau masih dini), obat ini dapat memberikan hasil yang lebih baik. Contoh obat golongan ini adalah sebagian obat alkilasi seperti nitrogen mustard, Klorambucil, dan lainnya. Golongan II : terdiri dari obat spesifik untuk tahapan tertentu (phase spesific). Obta golongan ini merusak sel pada tahapan tertentu dari siklus proliferasi dan sedikit mengganggu sel stem. Sebagai contoh adalah vinkristin yang hanya merusak sel pada saat mitosis dan antimetabolit yang merusak sel pada masa sintesis DNA. Obat-obat ini umumnya dipakai secara berulang menurut interval tertentu, agar semua sel tumor yang sedang berproliferasi bersama-sama memasuki satu tahap tertentu yang sensitif terhadap sitostatikum yang sama atau berlainan (misalnya pada masa S), sehingga penghancuran sel dapat terjadi secara maksimal. Golongan III : terdiri dari obat yang spesifik untuk siklus sel (cycle specific). Obat ini bekerja khusus terhadap sel yang sedang berproliferasi tanpa menghiraukan tahapan siklusnya, tetapi umumnya tidak atau sedikit efektif terhadap sel di luar siklus seperti sel stem. Umumnya obat golongan ini baik dipakai dengan dosis lethal yang maksimum sekaligus. Bagaimanakah hasil kemoterapi terhadap sel tumor ? Sebagai contoh penggunaan kemoterapi dalam klinik adalah pengamatan hasil pengobatan leukemia akut. Pada saat diagnosis, umumnya sel leukemia telah mencapai jumlah yang besar. Untuk dapat dideteksi secra klinik, jumlah sel leukemia harus melampaui suatu amabang populasi sel (dalam contoh : 1012 sel). Pemberian kemoterapi (induksi remisi) bertujuan menekan populasi sel leukemia secara bertahap

sampai di bawah ambang populasi tadi, bahkan bila mungkin jauh dibawahnya, sehingga tidak dapat dideteksi lagi secara klinik. Keadaaan ini dikatakan remisi dan diusahakan mempertahankan remisi sampai jangka waktu tertentu, misalnya 2 tahun. Dengan memberikan kemoterapi pemeliharaan maintenance) sambil memberikan kesempatan kepada tubuh untuk memperkuat sistem imunitasnya melawan sel ganas yang populasinya sudah ditekan oleh sitostatika. Bila hal ini dapat dicapai, maka sel tumor dapat dihilangkan sama sekali dari tubuh dan kanker dapat diembuhkan. Namun adakalanya sel ganas tumbuh lagi karena memiliki daya resitensi terhadap obat sehingga melampaui ambang populasi sel dan secara klinik dapat dideteksi lagi. Keadaan ini dikenal sebagai relaps atau kambuh. Kemoterapi dalam Klinik Tujuan kemoterapi ditinjau dari segi klinik dapat dikelompokkan sebagai berikut : A. Bertujuan menyembuhkan (kuratif) dengan jalan : 1. Pembasmian sel tumor 2. Pembasmian sisa tumor, umumnya setelah operasi 3. Pembasmian metastasis 4. Mendapatkan efek sinergistik dengan cara pengobatan lain. B. Hanya sebagai paliasi, ini dapat dicapai dengan : 1. Pembasmian sebagian sel tumor atau menghambat pertumbuhan tumor 2. Menghilangkan keluhan yang ditimbulkan tumor. C. Sebagai pencegahan : 1. Mencegah timbulnya metastasis 9anak sebar) 2. Secara teoritik mencegah timbulnya kanker pada populasi yang mempunyai risiko tinggi terhadap beberapa jenis kanker tertentu ataupun untuk mencegah timbulnya tumor lagi. Penyembuhan kanker hanya dengan sitostatikum telah dilaporkan pada penderita limfoma Burkitt dan karsinoma trofoblastik. Sejumlah anak dengan leukimia akut telah dapat hidup lebih dari 10 tahun tanpa penyakit tersebut. Kemoterapi sebagai adjuvant telah menambah angka kesembuhan secara dramatis seperti pada tumor Wilms dan rhabdomiosarkoma. Kadang-kadang kemoterapi memberikan hasil yang menggembirakan pada penderita neuroblastoma, yang terkenal ganas, atau beberapa kanker testis dan kanker ovarium. Demikian pula terhadap beberapa jenis limfoma malignum, walaupun masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Tampaknya penyembuhan sangat mungkin dicapai, terutama pada stadium dini, apabila digunakan kemoterapi kombinasi ataupun kemoterapi tambahan (adjuvant) bersama dengan

operasi dan radiasi. Kemampuan potensial kemoterapi sebagai usaha ppencegahan masih memerlukan penelitian seksama lebih lanjut. Misalnya pemberian kemoterapi kepada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita leukemia, seperti sindrom Down, radiasi yang terlalu banyak atau saudara kembar penderita leukemia atau kelainan bawaan lain. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Sitostatikum Faktor yang dapat mempengaruhi respon tumor terhadap pengobatan dengan sitostatikum cukup banyak, diantaranya secara singkat dapat disebutkan disini adalh : Aktivitas obat anti tumor, kombinasi obat yang digunakan, kepekaan tumor terhadap obat, resistensi sel tumor terhadap obat, gambaran histopatologik tumor, kinetika sel tumor, imunitas penderita, keadaan umum penderita, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, toksisiats obat, metabolisme obat dalam tubuh, adanya tempat-tempat dalam tubuh sebagai suaka sel tumor karena tidak dapat dicapai obat, dosis yang dipergunakan serta protokol pengobatan. Tempat Bekerjanya Obat Anti Kanker Umumnya obat anti kanker yang dipilih adalh yang dapat membunuh sel yangs edang berproliferasi. Dua hal yang sangat penting dan khas pada sel dalam siklus proliferasi adalah reaksi biokimia selama fase replikasi kromosom dan sitokinesis selama mitosis. Oleh karena iti tidak mengherankan bila obat anti-kanker merusak sel dengan jalan mengganggu sintesis DNA atau pembelahan sel (mitosis). Dengan demikian sasaran obat tersebut pada garis besarnya dapat dibagi atas sintesis RNA dari DNA (transkripsi) dan sintesis protein dari messenger-RNA (translasi). Obat Alkilasi (Alkylating Agent) Dasar reaksi kimia obat golongan ini adalah alkilasi atom hidrogen dalam molekul DNA dengan gugus alkil (R-CH2). Karena bagian aktif obat alkilasi bersifat elektrofilik, maka reaksi berlangsung pada sisi yang memiliki densitas elektron tinggi. Akibat alkilasi ini pasangan DNA tidak dapat melakukan replikasi. Obat alkilasi dibagi atas beberapa kategori adalah : - Nitrogen mustard, contohnya: mekloretamin, klorambusil dan siklofosfamida - Metan-sulfonat, contohnya: busulfan (mileran) - Imino-etilen, contohnya: thio-TEPA, trietilen melamin (TEM) - Epoksida, contohnya: bensokinon.

Efek samping obat ini diantaranya adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, kadangkadang rambut rontok. Khusus siklofosfamida dapat menimbulkan sistitis hemoragika dan kemandulan. Obat AntiMetabolit Struktur obat golongan ini mirip metabolit normal yang diperlukan sel, sehingga digunakan sebagai substrat oleh enzim metabolit yang disamainya. Antimetabolit dapat berikatan erat dengan enzim sehingga mengurangi atau menghambat aktivitasnya. Dapat pula antimetabolit ini diubah menjadi bahan yang kemudian bergabung dengan makromolekul membentuk makromolekul yang tidak berfungsi. Beberapa contoh antimetabolit adalah sebagai berikut : - Metotreksat, dikenal sebagai anti folat karena mempunyai struktur mirip asam folat dan bekerja menghambat enzim asam folat reduktase, sehingga mengganggu perubahan asam folat menjadi tetrahidrofolat, yang diperlukan sebagai kofaktor sintesis purin dan pirimidin. Dengan demikian menghambat sintesis DNA dan berakhir dengan kematian sel. Efek samping obat ini aadalah mual, depresi sumsum tulang, megaloblastosis, stomatitis, hepatitis dan kadan kadang diare. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan asam folinik. - 6 Merkaptopurin, merupakan salah satu analog purin. Di dalam tubuh diaktifkan menjadi 6-MP ribonukleotida yang mengganggu beberapa tahapan proses metabolisme purin. Analog purin yang bekerjanya lebih kurang sama adalah asatioprin dan 6tioguanin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang dan lainlain. - Analog pirimidin, obat golongan ini yang paling sering dipakai adalah 5-fluorourasil dan turunannya yang bekerja menghambat sintesis timidilat, suatu bahan penting untuk sintesis DNA dan sitosin arabinosida yang dapat bergabung langsung dengan DNA sehingga menghambat replikasi ataupun melalui kompetisi dengan substrat yang diperlukan pada polimerase DNA. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang. Antibiotika Obat golongan ini banyak diisolasi dari mikro-organisme yang umumnya hidup di tanah, terutama jenis aktinomisetes. Cara kerjanya adalah dengan membentuk kompleks dengan DNA untuk menghambat produksi RNA. Contohnya adalah aktinomisin-D, mitomisin-C, daunorubisin dan adriamisin, mitramisin, bleomisin. Efek samping obat golongan ini adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, stomatitis,

rambut rontok; khusus daunorubisin dan adriamisin dapat menyebabkan kardiomiopati yang irreversible pada dosis kumulatif tertentu. Bila terjadi ekstravasasi, dapat menimbulkan nekrosis setempat. Alkaloida Vinka Obat golongan ini menghambat sintesis dan penyusunan bahan baku RNA ribosom melalui efek terhadap sistem polimerase RNA yang bergantung kepada DNA dengan mengikat subunit protein mikrotubul yang diantaranya penting untuk pembentukan benang mitosis (spindle) dan replikasi kromosom sehingga agaknya obat golongan ini secara aktif membunuh sel dalam fase replikasi DNA atau mitosis, dengan berhentinya metafase pembelahan sel. Contoh obat ini adalah vinkristin dan vinblastin. Efek samping samping obat ini adalah : mual, muntah, stomatitis, rambut rontok, neuropati, depresi sumsum tulang. Bila terjadi ekstravasi, menyebabkan nekrosis setempat. Steroid Hormon ini telah terkenal mempunyai pengaruh fisiologik yang besar bagi manusia. Terhadap sel limfoid, sel leukemia serta sel limfomata, hormon ini menghambat mitosis, menyebabkan piknosis dan limfositoreksis. Sebenarnya mekanisme kerjanya yang pasti masih belum jelas. Data penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemungkinan ada pengaruh sitolitik langsung sebagai refleksi sifat steroid yang dapat terikat pada membran sel dan mengubah permeabilitasnya. Salah satu contoh yang banyak dipakai adalah prednison dan prednisolon untuk induksi remisi leukemia akaut atau limfoma malignum. Beberapa Jenis Obat Lain Hidroksiurea: obat ini menghambat sintesis DNA dengan jalan menekan aktivitas enzim reduktase ribonukleosida, karena itu menghambat reduksi ribonukleotida menjadi deoksiribonukleosida, karena itu menghambat reduksi ribonukleotida menjadi deoksiribonukleotida. Secara umum dikatakan bahwa obat ini menghambat kuat pergerakan sel dari fase G1 (tidak sensitif terhadap obat) ke dalam fase S (sensitif terhadap obat) dan hal ini merupakan faktor penting dalam perencanaan pengobatan kombinasi. Nitrosourea: bekerja sebagai bahan alkilasi namun juga akibat reaksi isosianat yang dihasilkan dengan protein sel. Hal yang penting adalah bahwa obat ini dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

L-asparaginase: suatu enzim yang diketahui mengkatalisis hidrolisis L-asparagin menjadi asam L-aspartat sehingga kadar L-asparagin dalam darah merendah. Keadaan ini menghambat beberapa jenis sel neoplasma (seperti sel leukemia limfoblastik) yang memerlukan L-asparagin karena tidak dapat mensitesis sendiri. Akibatnya sintesis protein serta DNA dan RNA dihambat. Prokarbasin: walaupun reaksi biologik obat ini menyerupai obat alkilasi, namun mekanisme kerja metilhidrasin ini masih belum jelas. Penelitian memperlihatkan bahwa obat ini dapat merusak kromatid dan menekan mitosis serta menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Tampaknya pecahan obat ini yang merupakan bahan aktifnya. Untuk lebih jelasnya di bawah ini digambarkan secara skematis mekanisme kerja obat anti-kanker pada tingkat seluler. Kemoterapi Kombinasi Banyak bukti telah banyak dilaporkan bahwa obat-obat sitostatikum dalam berbagai kombinasi telah menunjukkan efek yang baik dan menggembirakan pada pengobatan penyakit keganasan pada manusia. Salah satu contoh yang nyata adalah pengobatan leukemia. Hampir semua anak dengan leukemia limfoblastik akut dan beberapa jenis leukemia lain berhasil mencapai remisi dengan pengobatan kombinasi beberapa obat sitostatikum. Demikian pula dengan beberapa jenis tumor seperti penyakit Hodgkin, tumor Wilms, rabdomiosarkoma dan lain-lain. Dasar biologik kemoterapi kombinasi dapat dibagi atas sekurang-kurangnya lima kategori, adalah : 1. Menghambat biosintesis DNA pada beberapa tahapan reaksi enzimatik secara serempak oleh beberapa obat, 2. Menghambat dua jalan reaksi metabolik yang berbeda dan masing -masing diperlukan untuk pembentukan DNA, 3. Menghambat perbaikan sel yang rusak oleh satu obat akibat efek toksik obat lainnya, 4. Meningkatkan kerentanan sel tumor oleh satu obat agar peka terhadap efek merusak obat lainnya, 5. Beberapa obat bersama-sama berkhasiat mematikan populasi sel tumor secara maksimal. Namun kenyataannya sulit untuk memilih obat sama yang dapat bekerja sinergik, sebagai penambah satu terhadap lainnya atau justru malahan saling menghambat bila digunakan dalam kombinasi. Tujuan kemoterapi kombinasi adalah meningkatkan efek anti-tumor secara keseluruhan dan maksimal tanpa menambah efek toksik masing -masing obat. Ini dapat dicapai dengan memilih obat yang bila dipakai sendiri-sendiri memperlihatkan khasiat

anti-neoplastik nyata, tetapi mempunyai mekanisme kerja biokimiawi pada tingkat seluler yang berbeda serta menyebabkan toksisitas yang berbeda pula. Untuk keberhasilan pengobatan secara maksimal, usaha penelitian mengenai kinetika sel tumor serta khasiat maupun cara kerja obat termasuk dosis dan cara pemberiannya, perlu terus ditingkatkan.

Kanker Payudara, Tumor, Kemoterapi


Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan kanker dengan insidens tertinggi No.2 di Indonesia dan terdapat kecenderungan dari tahun ke tahun insidens ini meningkat; seperti halnya di negara barat. Angka kejadian kanker payudara di Amerika Serikat 92/100.000 wanita pertahun dengan mortalitas yang cukup tinggi 27/100.000 atau 18% dari kematian yang dijumpai pada wanita. Di Indonesia berdasarkan Pathological Based Registration kanker payudara mempunyai insidens relatif 11,5%. Diperkirakan di Indonesia mempunyai insidens minimal 20.000 kasus baru pertahun; dengan kenyataan bahwa lebih dari 50% kasus masih berada dalam stadium lanjut. Disisi lain kemajuan iptekdok serta ilmu dasar biomolekuler, sangat berkembang dan tentunya mempengaruhi tata cara penanganan kanker payudara itu sendiri mulai dari deteksi dini, diagnostik dan terapi serta rehabilitasi dan follow up. Dalam upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan, Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) telah mempunyai Protokol Penanganan Kanker Payudara (tahun 1990). Protokol ini dimaksudkan pula untuk dapat : Menyamakan persepsi penanganan dari semua dokter yang berkecimpung dalam kanker payudara atau dari Pusat Pendidikan Onkologi. Bertukar informasi dalam bahasa yang sama. Digunakan untuk penelitian dalam aspek keberhasilan terapi. Mengukur mutu pelayanan. Kemajuan iptekdok yang cepat seperti dijelaskan diatas, membuat PERABOI perlu mengantisipasi keadaan ini dengan sebaik-baiknya melalui revisi Protokol Kanker Payudara 1988, 2003 dengan Protokol Kanker Payudara PERABOI 2008. KLASIFIKASI HISTOLOGI WHO / JAPANESE BREAST CANCER SOCIETY ( apakah perlu?)

Untuk kanker payudara dipakai klasifikasi histologi berdasarkan : WHO Histological classification of breast tumors. Japanese Breast Cancer Society (1984) Histological classification of breast tumors. Malignant ( Carcinoma ) 1. Non invasive carcinoma a) Non invasive ductal carcinoma b) Lobular carcinoma in situ 2. Invasive carcinoma a) Invasive ductal carcinoma a1. Papillobular carcinoma a2. Solid-tubular carcinoma a3. Scirrhous carcinoma b) Special types b1. Mucinous carcinoma b2. Medullary carcinoma b3. Invasive lobular carcinoma b4. Adenoid cystic carcinoma b5. Squamous ceel carcinoma b6. Spindel cell carcinoma b7. Apocrine carcinoma b8. Carcinoma with cartilaginous and or osseous metaplasia b9. Tubular carcinoma b10. Secretory carcinoma b11. Others c). Pagets disease. Tipe Histopatologi In situ carcinoma NOS ( no otherwise specified ) Intraductal Pagets disease and intraductal Invasive Carcinomas NOS

Ductal Inflammatory Medulary , NOS Medullary with lymphoid stroma Mucinous Papillary ( predominantly micropapillary pattern ) Tubular Lobular Pagets disease and infiltrating Undifferentiated Squamous cell Adenoid cystic Secretory Cribriform G : gradasi histologis Seluruh kanker payudara kecuali tipe medulare harus dibuat gradasi histologisnya. Sistim gradasi histologis yang direkomendasikan adalah menurut The Nottingham combined histologic grade ( menurut Elston-Ellis yang merupakan modifikasi dari Bloom-Richardson ). Gradasinya adalah menurut sebagai berikut : GX : Grading tidak dapat dinilai. G1 : Low grade (rendah). G2 : Intermediate grade (sedang). G3 : High grade (tinggi). KLASIFIKASI STADIUM TNM ( UICC / AJCC ) 2003 Stadium kanker payudara ditentukan berdasarkan TNM system dari UICC/AJCC tahun 2003 adalah sebagai berikut : T = ukuran tumor primer Ukuran T secara klinis , radiologis dan mikroskopis adalah sama. Nilai T dalam cm, nilai paling kecil dibulatkan ke angka 0,1 cm.

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai. T0 : Tidak terdapat tumor primer. Tis : Karsinoma in situ. -Tis(DCIS) : Ductal carcinoma in situ. -Tis (LCIS) : Lobular carcinoma in situ. -Tis (Paget) : Penyakit Paget pada puting tanpa adanya tumor. Catatan : Penyakit Paget dengan adanya tumor dikelompokkan sesuai dengan ukuran tumornya. *T1 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya 2 cm atau kurang. -T1mic : Adanya mikroinvasi ukuran 0,1 cm atau kurang. -T1a : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,1 cm sampai 0,5 cm. -T1b : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,5 cm sampai 1 cm. -T1c : Tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm sampai 2 cm. *T2 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya lebih dari 2 cm sampai 5 cm. *T3 : Tumor dengan ukuran diameter terbesar lebih dari 5 cm. *T4 : Ukuran tumor berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada atau kulit. Catatan : Dinding dada adalah termasuk iga, otot interkostalis, dan serratus anterior tapi tidak termasuk otot pektoralis. -T4a : Ekstensi ke dinding dada (tidak termasuk otot pektoralis). -T4b : Edema ( termasuk peau dorange ), ulserasi, nodul satelit pada kulit yang terbatas pada 1 payudara. -T4c : Mencakup kedua hal diatas. -T4d : Mastitis karsinomatosa. N = Kelenjar getah bening regional. Klinis : *Nx : Kgb regional tidak bisa dinilai ( telah diangkat sebelumnya ). *N0 : Tidak terdapat metastasis kgb. *N1 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral yang mobil. *N2 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral terfiksir, berkonglomerasi, atau adanya pembesaran kgb mamaria interna ipsilateral ( klinis* ) tanpa adanya metastasis ke kgb aksila.

-N2a : Metastasis pada kgb aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke struktur lain. -N2b : Metastasis hanya pada kgb mamaria interna ipsilateral secara klinis * dan tidak terdapat metastasis pada kgb aksila. *N3 : Metastasis pada kgb infraklavikular ipsilateral dengan atau tanpa metastasis kgb aksila atau klinis terdapat metastasis pada kgb mamaria interna ipsilateral klinis dan metastasis pada kgb aksila ; atau metastasis pada kgb supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa metastasis pada kgb aksila / mamaria interna. -N3a : Metastasis ke kgb infraklavikular ipsilateral. -N3b : Metastasis ke kgb mamaria interna dan kgb aksila. -N3c : Metastasis ke kgb supraklavikula. Catatan : * Terdeteksi secara klinis : terdeteksi dengan pemeriksaan fisik atau secara imaging (diluar limfoscintigrafi). Patologi (pN) a pNx : Kgb regional tidak bisa dinilai (telah diangkat sebelumnya atau tidak diangkat) pN0 : Tidak terdapat metastasis ke kgb secara patologi ,tanpa pemeriksaan tambahan untuk isolated tumor cells ( ITC ). Catatan : ITC adalah sel tumor tunggal atau kelompok sel kecil dengan ukuran tidak lebih dari 0,2 mm yang biasanya hanya terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia (IHC) atay metode molekular lainnya tapi masih dalam pewarnaan H&E. ITC tidak selalu menunjukkan adanya aktifitas keganasan seperti proliferasi atau reaksi stromal. pN0(i-) : Tidak terdapat metastsis kgb secara histologis , IHC negatif. pN0(i+) : Tidak terdpt metastasis kgb secara histologis, IHC positif, tidak terdapat kelompok IHC yang lebih dari 0,2 mm. pN0(mol-) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular negatif ( RT-PCR) b. pN0(mol +): Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular positif (RT-PCR). Catatan : a: klasifikasi berdasarkan diseksi kgb aksila dengan atau tanpa pemeriksaan sentinel

node. Klasifikasi berdasarkan hanya pada diseksi sentinel node tanpa diseksi kgb aksila ditandai dengan (sn) untuk sentinel node, contohnya : pN0(i+) (sn). b: RT-PCR : reverse transcriptase / polymerase chain reaction. *pN1 : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan atau kgb mamaria interna (klinis negatif*) secara mikroskopis yang terdeteksi dengan sentinel node diseksi. -pN1mic : Mikrometastasis (lebih dari 0,2 mm sampai 2,0 mm). -pN1a : Metastasis pada kgb aksila 1 3 buah. -pN1b : Metastasis pada kgb mamaria interna (klinis negatif*) secara mikroskopis terdeteksi melalui diseksi sentinel node. -pN1c : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan kgb mamaria interna secara mikroskopis melalui diseksi sentinel node dan secara klinis negatif (jika terdapat lebih dari 3 buah kgb aksila yang positif, maka kgb mamaria interna diklasifikasikan sebagai pN3b untuk menunjukkan peningkatan besarnya tumor). *pN2 : Metastasis pada 4-9 kgb aksila atau secara klinis terdapat pembesaran kgb mamaria interna tanpa adanya metastasis kgb aksila. -pN2a : Metastasis pada 4-9 kgb aksila (paling kurang terdapat 1 deposit tumor lebih dari 2,0 mm). -pN2b : Metastasis pada kgb mamaria interna secara klinis tanpa metastasis kgb aksila. *pN3 : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila ; atau infraklavikula atau metastasis kgb mamaria interna (klinis) pada 1 atau lebih kgb aksila yang positif ; atau pada metastasis kgb aksila yang positif lebih dari 3 dengan metastasis mikroskopis kgb mamaria interna negatif ; atau pada kgb supraklavikula. -pN3a : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila (paling kurang satu deposit tumor lebih dari 2,0 mm), atau metastasis pada kgb infraklavikula. -pN3b : Metastasis kgb mamaria interna ipsilateral (klinis) dan metastasis pada kgb aksila 1 atau lebih; atau metastasis pada kgb aksila 3 buah dengan terdapat metastasis mikroskopis pada kgb mamaria interna yang terdeteksi dengan diseksi sentinel node yang secara klinis negatif -pN3c : Metastasis pada kgb supraklavikula ipsilateral. Catatan :* tidak terdeteksi secara klinis / klinis negatif : adalah tidak terdeteksi dengan pencitraan (kecuali limfoscintigrafi) atau dengan pemeriksaan fisik. M : metastasis jauh.

Mx : Metastasis jauh belum dapat dinilai. M0 : Tidak terdapat metastasis jauh. M1 : Terdapat metastasis jauh. Grup stadium : Stadium 0 : - Tis - N0 - M0 Stadium I :- T1* - N0 - M0 Stadium IIA :- T0 - N1 - M0 - T1* - N1 - M0 - T2 - N0 - M0 Stadium IIB : - T2 - N1 - M0 - T3 - N0 - M0 Stadium IIIA : - T0 - N2 - M0 - T1 - N2 - M0 - T2 - N2 - M0 - T3 - N1 - M0 - T3 - N2 - M0 Stadium IIIB : - T4 - N0 - M0 - T4 - N1 - M0 - T4 - N2 - M0 Stadium IIIc :- TiapT - N3 - M0 tadium IV : - TiapT - Tiap N- M1 Catatan : * T1: termasuk T1 mic Kesimpulan perubahan pada TNM 2002 :

1. Mikrometastasis dibedakan antara isolated tumor cells berdasarkan ukuran dan histologi aktifitas keganasan. 2. Memasukkan penilaian sentinel node dan pewarnaan imunohistokimia atau pemeriksaan molekular. 3. Klasifikasi mayor pada status kgb tergantung pada jumlah kgb aksila yang positif dengan pewarnaan H & E atau imunohistokimia. 4. Klasifikasi metastasis pada kgb infraklavikula ditambahkan sebagai N3. 5. Penilaian metastasis pada kgb mamaria interna berdasarkan ada atau tidaknya metastasis pada kgb aksila. Kgb mamaria interna positif secara mikroskopis yang terdeteksi melalui sentinel node dengan menggunakan limfoscintigrafi tapi pada pemeriksaan pencitraan dan klinis negatif diklasifikasikan sebagai N1. Metastasis secara makroskopis pada kgb mamaria interna yang terdeteksi secara pencitraan (kecuali limfoskintigrafi) atau melalui pemeriksaan fisik dikelompokkan sebagai N2 jika tidak terdapat metastasis pada kgb aksila, namun jika terdapat metastasis kgb aksila maka dikelompokkan sebagai N3. 6. Metastasis pada kgb supraklavikula dikelompokkan sebagai N3. Stadium klinik (cTNM) harus dicantumkan pada setiap diagnosa KPD atau suspect KPD. pTNM harus dicantumkan pada setiap hasil pemeriksaan KPD yang disertai dengan cTNM PROSEDUR DIAGNOSTIK A. Pemeriksaan Klinis 1. Anamnesis : a. Keluhan di payudara atau ketiak dan riwayat penyakitnya. Benjolan Kecepatan tumbuh Rasa sakit Nipple discharge Nipple retraksi dan sejak kapan Krusta pada areola Kelainan kulit: dimpling, peau dorange, ulserasi, venektasi Perubahan warna kulit Benjolan ketiak Edema lengan b. Keluhan ditempat lain berhubungan dengan metastasis, al :

Nyeri tulang (vertebra, femur) Rasa penuh di ulu hati Batuk Sesak Sakit kepala hebat, dll c. Faktor-faktor risiko Usia penderita Usia melahirkan anak pertama Punya anak atau tidak Riwayat menyusukan Riwayat menstruasi menstruasi pertama pada usia berapa keteraturan siklus menstruasi menopause pada usia berapa Riwayat pemakaian obat hormonal Riwayat keluarga sehubungan dengan kanker payudara atau kanker lain. Riwayat pernah operasi tumor payudara atau tumor ginekologik Riwayat radiasi dinding dada 2. Pemeriksaan fisik a. Status generalis, cantumkan performance status. b. Status lokalis : - Payudara kanan dan kiri harus diperiksa. - Masa tumor : lokasi ukuran konsistensi permukaan bentuk dan batas tumor jumlah tumor terfiksasi atau tidak ke jaringan sekitar payudara, kulit, m.pektoralis dan dinding dada - perubahan kulit : kemerahan, dimpling, edema, nodul satelit peau dorange, ulserasi - nipple : tertarik erosi

krusta discharge - status kelenjar getah bening. KGB aksila : Jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir satu sama lain atau jaringan sekitar KGB infra klavikula : idem KGB supra klavikula : idem - pemeriksaan pada daerah yang dicurigai metastasis : Lokasi organ (paru, tulang, hepar, otak) B. Pemeriksaan Radiodiagnostik / Imaging : 1. Diharuskan (recommended) Mamografi dengan atau tanpa USG untuk tumor 3 cm. Foto Toraks. USG Abdomen (hepar). 2. Optional (atas indikasi) Bone scanning atau dan bone survey (bilamana sitologi + atau klinis sangat mencurigai pada lesi > 5 cm). CT scan C. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy sitologi Merupakan bagian dari Triple Diagnostic ( Pemeriksaan klinis, mamografi dan Aspirasi biopsy sitologi). Pada kasus yang tidak confirmed, bisa dilakukan core biopsy) Dilakukan pada lesi yang secara klinis dan radiologik curiga ganas Catatan : belum merupakan Gold Standard. Bila mampu, dianjurkan untuk diperiksa TRIPLE DIAGNOSTIC ( dihilangkan) D. Pemeriksaan Histopatologi (Gold Standard Diagnostic). Pemeriksaan histopatologi dilakukan apabila Triple Diagnostic tidak bisa ditegakkan, dengan potong beku dan/atau blok parafin. Bahan pemeriksaan histopatologi diambil melalui : Core Biopsy. Biopsi Eksisional untuk tumor ukuran <3 cm. Biopsi Insisional untuk tumor :

o operable ukuran >3 cm sebelum operasi definitif o inoperabel Spesimen mastektomi disertai dengan pemeriksaan KGB Pemeriksaan imunohistokimia : ER, PR, c-erb B-2 (HER-2 neu) ( direkomendasikan) E. Laboratorium : Pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis SKRINING Metoda : SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri) Pemeriksaan Fisik Mamografi * SADARI : Dilaksanakan pada wanita mulai usia subur, setiap 1 minggu setelah hari pertama menstruasi terakhir * Pemeriksaan Fisik : Oleh dokter secara lege artis. * Mamografi : Pada wanita diatas 35 tahun 50 tahun : setiap 2 tahun Pada wanita diatas 50 tahun : setiap 1 tahun. Catatan: Pada daerah yang tidak ada mamografi/ USG, untuk deteksi dini dilakukan dengan SADARI dan pemeriksaan fisik saja. PROSEDUR TERAPI A. Modalitas terapi Operasi Radiasi Kemoterapi Hormonal terapi Molecular targeting therapy (biology therapy) Operasi : Jenis operasi untuk terapi

BCS (Breast Conserving Surgery) Simpel mastektomi Radikal mastektomi modifikasi Radikal mastektomi Radiasi : Primer ? adjuvan paliatif Kemoterapi : Harus kombinasi Kombinasi yang dipakai CMF CAF, CEF Taxane + Doxorubicin Capecitabin Hormonal : Ablative : bilateral ovarektomi Additive : Tamoxifen Optional : Aromatase inhibitor GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) , dsb. B.Terapi Ad. 1 Kanker payudara stadium 0 Dilakukan : BCS Mastektomi simple Terapi definitif pada T0 tergantung pada pemeriksaan blok parafin, lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan imaging.

Indikasi BCS o T < 3 cm. o Pasien menginginkan mempertahankan payudaranya. Syarat BCS o Keinginan penderita setelah dilakukan informed consent. o Penderita dapat melakukan kontrol rutin setelah pengobatan. o Tumor tidak terletak sentral. o Perbandingan ukuran tumor dan volume payudara cukup baik untuk kosmetik pasca BCS. o Mamografi tidak memperlihatkan mikrokalsifikasi/tanda keganasan lain yang difus (luas). o Tumor tidak multipel. o Belum pernah terapi radiasi di dada. o Tidak menderita penyakit LE atau penyakit kolagen. o Terdapat sarana radioterapi yang memadai. Ad. 2 Kanker payudara stadium dini / operabel : Dilakukan : - BCS (harus memenuhi syarat di atas) - Mastektomi radikal - Mastektomi radikal modifikasi Terapi adjuvan : o Dibedakan pada keadaan : Node (-) atau Node (+) o Pemberiannya tergantung dari : - Node (+)/(-) - ER , PR, HER2 - Usia o Dapat berupa : - radiasi - kemoterapi - hormonal terapi KHEMOTERAPI DAN HORMONAL AJUVAN ( St. Gallen, 2005) Diberikan berdasar risiko ( rendah, sedang dan tinggi) serta respons terhadap terapi hormon (ER, PR) serta HER2.

1. Risiko rendah adalah kelenjar negatif dan semua keadaan dibawah : - pT 2 cm dan Grade1 dan tidak ada invasi vaskular peritumoral vaskular dan tanpa overekspresi atau amplifikasi HER2 dan usia 35 tahun . 2. Risiko sedang adalah Kelenjar negatif dan salah satu dari keadaan berikut : - pT>2 cm atau Grade 2-3 atau invai vaskular peritumoral atau overekspresi atau amplifikasi HER2 atau usia < 35 tahun Kelenjar positif ( 1- 3 nodus) tanpa overekspresi atau amplifikasi HER2 3. Risiko tinggi adalah Kelenjar positif ( 1 -3 nodus) dengan overekspresi atau amplifikasi HER2, Kelenjar positif ( 4 atau lebih kelenjar terkena metastasis) TERAPI AJUVAN pada Tumor dengan respons terhadap terapi hormonal ( ER dan/atau PR positif) Risiko rendah : terapi hormon atau tidak diberi sama sekali Risiko sedang : terapi hormon saja Atau khemoterapi dilanjutkan terapi hormon Risiko tinggi :khemoterapi dilanjutkan terapi hormon Tumor dengan respons terapi hormonal tidak jelas ( tidak diperiksa) Risiko rendah : terapi hormon atau tidak diberi sama sekali Risiko sedang : khemoterapi dilanjutkan terapi hormon Risiko tinggi : khemoterapi dilanjutkan terapi hormon Tumor tidak ada respons terhadap terapi hormonal (ER dan PR negatif) Risiko rendah : tidak diberi terapi ajuvan Risiko sedang : Khemoterapi Risiko tinggi : khemoterapi Radioterapi ajuvan Acuan pemberian radiasi sbb : Pada dasarnya diberikan radiasi lokoregional (payudara dan aksila beserta

supraklavikula, kecuali : - Pada keadaan T < = T2 bila cN = 0 dan pN , maka tidak dilakukan radiasi pada KGB aksila supraklavikula. - Pada keadaan tumor dimedial/sentral diberikan tambahan radiasi pada mamaria interna. Dosis lokoregional profilaksis adalah 50Gy,booster dilakukan sbb : - Pada potensial terjadi residif ditambahkan 10Gy (misalnya tepi sayatan dekat tumor atau post BCS) - Pada terdapat masa tumor atau residu post op (mikroskopik atau makroskopik) maka diberikan boster dengan dosis 20Gy kecuali pada aksila 15 Gy Catatan: 1. Radioterapi, baik pada BCT maupun mastektomi, selalu diberikan sesudah khemoterapi ajuvan 2. Radioterapi bisa diberikan bersama- sama khemoterapi apabila menggunakan regimen CMF 3. Pemberian radioterapi bersama-sama antracyclin atau taxan tidak dianjurkan pada saat yang sama 4. Tamoksifen dan radioterapi bisa diberikan bersama-sama. * Khemoterapi Khemoterapi : Kombinasi CAF (CEF) , CMF, AC Khemoterapi adjuvant : 6 siklus Khemoterapi paliatif : 12 siklus Khemoterapi neoadjuvant : - 3 siklus pra terapi primer ditambah - 3 siklus pasca terapi primer Kombinasi CAF Dosis C : Cyclophosfamide 500 mg/m2 hari 1 A : Adriamycin = Doxorubin 50 mg/m2 hari 1 F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2 hari 1 Interval : 3 minggu Kombinasi CEF Dosis C : Cyclophospamide 500 mg/ m2 hari 1 E : Epirubicin 50 mg/m2 hari 1

F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/ m2 hari 1 Interval : 3 minggu Kombinasi CMF Dosis C : Cyclophospamide 100 mg/m2 hari 1 s/d 14 M : Metotrexate 40 mg/ m2 IV hari 1 & 8 F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2 IV hari 1 & 8 Interval : 4 minggu Kombinasi AC Dosis A : Adriamicin C : Cyclophospamide Optional : Kombinasi Taxan + Doxorubicin Capecitabine Gemcitabine Hormonal terapi : Macam terapi hormonal 1. Additive : pemberian tamoxifen 2. Ablative : bilateral oophorectomi (ovarektomi bilateral) Dasar pemberian : 1.Pemeriksaan Reseptor ER + PR + ; ER + PR ; ER - PR + 2. Status hormonal Additive : Apabila ER - PR + ER + PR (menopause tanpa pemeriksaan ER & PR) ER - PR + Ablasi : Apabila tanpa pemeriksaan reseptor premenopause menopause 1-5 tahun dengan efek estrogen (+) perjalanan penyakit slow growing & intermediated growing Ad.3 Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut)

Ad.3.1 Operable Locally advanced Simple mastektomi/mrm + Khemoterapi ajuvan + radioterapi + hormonal terapi Ad.3.2 Inoperable Locally advanced Kemoterapi neo ajuvan + operasi + kemoterapi + radiasi + hormonal terapi, atau Radiasi + kemoterapi + hormonal terapi, atau Radiasi + operasi + kemoterapi + hormonal terapi Ad.4 Kanker payudara lanjut metastase jauh Prinsip : Sifat terapi palliatif Terapi sistemik merupakan terapi primer (Kemoterapi dan hormonal terapi) Terapi lokoregional (radiasi & bedah) apabila diperlukan REHABILITASI DAN FOLLOW UP : A. Rehabilitasi : Pra operatif - latihan pernafasan - latihan batuk efektif Pasca operatif hari 1-2 - latihan lingkup gerak sendi untuk siku pergelangan tangan dan jari lengan daerah yang dioperasi. - untuk sisi sehat latihan lingkup gerak sendi lengan secara penuh. - untuk lengan atas bagian operasi latihan esometrik. - latihan relaksasi otot leher dan toraks. - aktif mobilisasi. hari 3-5 - latihan lingkup gerak sendi untuk bahu sisi operasi (bertahap). - latihan relaksasi. - aktif dalam sehari-hari dimana sisi operasi tidak dibebani. hari 6 dan seterusnya

- bebas gerakan. - edukasi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dan usaha untuk mencegah/menghilangkan timbulnya lymphedema. B. Follow up : kontrol tiap 2 bulan tahun 1 dan 2 kontrol tiap 3 bulan tahun 3 s/d 5 kontrol tiap 6 bulan setelah tahun 5 Pemeriksaan fisik : tiap kali kontrol Thorax foto : tiap 6 bulan Lab, marker (opsional) Mamografi kontra lateral : tiap tahun atau ada indikasi pasca mastektomi tiap 6 bulan pada BCT USG Abdomen/lever : tiap 6 bulan atau ada indikasi Bone scaning : tiap 2 tahun atau ada indikasi

Hernia Inguinalis Lateralis Strangulata


Posted on 13 March 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN
Hernia adalah proptusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan.1,2,3 Klasifikasi hernia sebagai berikut : 1. Berdasarkan terjadinya : a. Hernia congenital Hernia yang terdapat pada waktu lahir yang paling sering hernia inguinal dan umblikalis b. Hernia akuisita

Hernia yang disebabkan oleh kelemahan dinding abdomen yang disebabkan oleh faktor predisposisi seperti: batuk kronik, konstipasi, hipertrofi prostat, kegemukan, mengangkat berat. 2. Menurut letaknya a. Hernia Diafragma b. Hernia Inguinal : 1. Hernia inguinalis medialis 2. Hernia inguinalis lateralis 3. Hernia femoralis c. Hernia Umbilikal 3. Menurut sifatnya a. Hernia Reponibel Isi hernia dapat keluar masuk usus, keluar jika berdiri atau mengejan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. b. Hernia Irreponibel Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritonium kantong hernia. c. Hernia Inkarserata Isi kantong tertangkap tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibatnya yang berupa gangguan pasage. Dapat juga diartikan hernia irreponible yang sudah disertai dengan gejala ileus yaitu tidak dapat flatus. Jadi pada keadaan ini terjadi obstruksi jalan makan. d. Hernia Strangulata Hernia irreponible dengan gangguan vaskularisasi mulai dari bendungan sampai nekrosis. 4. Hernia menurut terlihat atau tidaknya a. Hernia Externa

Hernia yang menonjol keluar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. b. Hernia Interna Tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lubang dalam rongga perut seperti foramen winslow, ressesus retrosekalis atau defek dapatan pada mesinterium. Umpamanya setelah anastomosis usus.4

INSIDEN
Hernia yang sering terjadi adalah hernia inguinalis insidensnya 130/100.000 per tahun, 27% pada laki-laki dan 3% pada wanita. Dari semua hernia, 25% adalah hernia inguinalis. Dari semua hernia inguinalis 95% adalah hernia inguinlais lateralis.5,6

ANATOMI
Keberhasilan mengoperasi hernia inguinalis membutuhkan pengetahuan tentang anatomi dinding abdomen, kanalis inguinalis, dan kanalis femoralis. Lapisan dinding abdomen dari luar ke dalam adalah kulit, fasia camper, fasia scarpa, aponeurosis dan otot obligus externus, aponeurosis dan otot obligus internus, fasia transversalis, lemak preperitoneal, dan peritoneum. Kanalis inguinalis Kanalis Inguinalis panjangnya sekitar 1,5 inch (4cm) pada orang dewasa dan terbentuk dari annulus inguinalis internus, suatu lubang pada fascia transversa berjalan turun dan medial sampai annulus inguinalis externus yang merupakan lubang pada aponeurosis m. obliqus abdominis externus. Kanalis inguinalis terletak sejajar dan tepat di atas ligamentum inguinale. Pada neonatus annulus inguinalis internus hampir tepat posterior terhadap annulus inguinalis externus, sehingga kanalis inguinalis sangat pendek pada usia ini. Kemudian, sebagai akibat pertumbuhan, annulus inguinalis internus bergerak ke lateral. ANULUS INGUINALIS INTERNUS Merupakan suatu lubang berbentuk oval pada fascia transversalis, terletak sekitar inch (1,3 cm) di atas ligamentum inguinale, pertengahan antara SIAS dan symphisis pubis. Disebelah medial annulus inguinalis internus terdapat av. Epigastrica inferior,

yang berjalan ke atas dari av. Iliaca externa. Pinggir annulus merupakan origo fascia spermatica interna(atau pembungkus bagian dalam ligamentum rotundum uteri). ANULUS INGUINALIS EXTERNUS Merupakan suatu lubang berbentuk segitiga pada aponeurosis m.obliquus abdominis externus dan dasarnya dibentuk oleh crista pubica. Pinggir annulus inguinalis externus, yang disebut juga crura, merupakan origo fascia spermatica externa. DINDING CANALIS INGUINALIS Seluruh panjang dinding anterior canalis inguinalis dibentuk oleh aponeurosis m. obliquus abdominis externus. Dinding anterior ini diperkuat di 1/3 lateral oleh serabutserabut m. obliquus abdominis internus. Oleh karena itu dinding ini paling kuat, dimana ia terletak berhadapan dengan bagian dinding posterior yang paling lemah, yaitu annulus inguinalis internus. Seluruh panjang dinding posterior canalis inguinalis dibentuk oleh fascia transversalis. Dinding posterior ini diperkuat di 1/3 medial oleh conjoint tendon, yang merupakan gabungan tendon insertion m.obliqus abdominis internus dan m. transverses abdominis yang melekat pada crista pubica dan linea pectinea. Oleh karena itu, dinding ini paling kuat dimana ia berhadapan dengan bagian dinding anterior yang paling lemah, yaitu annulus inguinalis externus. Dinding inferior dibentuk oleh aponeurosis m.obliquus abdominis externus yang ujung inferiornya melipat, yaitu ligamentum inguinale dan pada ujung medialnya, ligamentum lacunare. Dinding superior dibentuk oleh serabut-serabut terbawah m. obliquus abdominis internus yang melengkung dan m. transverses abdominis. ISI CANALIS INGUINALIS 1. Funiculus Spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur yang melalui canalis inguinalis dan berjalan menuju ke dan dari testis. Funiculus spermaticus diliputi oleh tiga lapisan konsentrik fascia yang berasal dari lapisan-lapisan dinding anterior abdomen. Funiculus spermaticus mulai pada annulus inguinalis internus yang terletak lateral terhadap a. Epigastrica inferior dan berakhir pada testis. Struktur-struktur yang berada di dalam funikulus spermaticus antara lain :

Vas Deferens. Merupakan struktur yang menyerupai tali. Yang dapat diraba antara jari dan ibu jari pada bagian atas scrotum. Vas deferens merupakan saluran dengan dinding otot yang tebal, yang mengangkut spermatozoa dari epididymis ke urethra. Arteria testicularis. Merupakan cabang aorta abdominalis (setinggi vertebra Lumbal II). Arteri ini panjang dan kecil berjalan turun pada dinding posterior abdomen. Arteri ini melalui canalis ingunalis dan memperdarahi testis dan epididymis. Vena Testicularis. Suatu plexus vena yang luas yang disebut plexus

pampiniformis, yang meninggalkan dinding posterior testis. Waktu plexus berjalan naik, ukurannya berkurang sehingga di sekitar annulus inguinalis internusdibentuk suatu vena testicularis. Vena ini berjalan keatas pada dinding posterior abdomen dan mengalirkan darahnya ke v. Renalis kiri pada sisi kiri dank e v. Cava inferior pada sisi kanan. Pembuluh limfe. Pembuluh limfe testis berjalan ke atas melalui canalis inguinalis dan berjalan ke atas melaui dinding posterior abdomen untuk mencapai nodi lymphatici lumbales yang terletak setinggi vertebra lumbalis dan di samping aorta. Arteria cremasterica yang kecil, suatu cabang a. Epigastrica inferior, yang memvaskularisasi fascia cremasterica. Arteria kecil yang menuju ke vasdeferens, suatu cabang a. Vesicalis inferior dan juga terdapat r. Genitalis n. Genitofemorali yang mempersarafi m. Cremaster. 2. Nervus Ilioinguinalis. Berada di bagian atas dari funiculus spermaticus, yang merupakan cabang dari plexus lumbalis dan mempersarafi kulit daerah inguinal dan scrotum atau labium majus. 3. Pada wanita struktur yang melalui canalis inguinalis dari rongga abdomen adalah ligamentum rotundum uteri dan beberapa pembuluh limfe disamping juga n. ilioinguinalis. VASCULARISASI 1. Arteria Epigastrica Inferior

Arteria epigastrica inferior merupakan cabang a. Iliaca externa tepat di atas ligamentum inguinale. Ia berjalan ke atas dan medial sepanjang pinggir medial anulus inguinalis internus. Arteri ini menembus fascia transversa untuk masuk ke vagina m. Rectus abdominis. Arteri ini berjalan ke atas di belakang m. Rectus abdominis, memvaskularisasi bagian bawah tengah dinding anterior abdomen dan beranastomosis dengan a. Epigastrica superior. 2. Arteria Circumflexa Ilium Profunda Merupakan cabang dari a. Ilica externa tepat di atas lingamentum inguinale. Arteri ini berjalan ke atas dan lateral menuju SIAS dan kemudian terus turun melanjutkan diri sepanjang crista iliaca. Arteri ini memvaskularisasi bagian lateral bawah dinding abdomen. INERVASI 1. Nervus Ilioinguinalis Nervus ini berpusat pada medulla spinalis L1, berada di sebelah ventral dari M. Quadratus lumborum, berjalan sejajar dengan n. Iliohypogastricus (di sebelah caudalnya), menembus aponeurosis m. Transversus abdominis, berada di antara m. Transversus abdominis dan m. Obliquus internus abdominis, menembus otot ini dan berada diantara m. Obliquus internus abdominis dan m. Obliquus eksternus abdominis. Selanjutnya mengikuti funiculus spermaticus berjalan di dalam canalis inguinalis dan melanyani kulit pada regio femoris di bagian proksimal dan medial, radix penis serta scrotum bagian ventral sebagai rami scrotales anteriores pada pria dan pada wanita mempersarafi mons pubis dan labium majus sebagai rami labiales anteriores. Saraf ini mempercabangkan serabut motoris untuk m. Obliquus internus abodominis dan m. Transversus abdominis. Nervus ilioinguinalis kadang-kadang bersatu dengan n. Iliohypogastricus 2. Nervus Iliohypogastricus Saraf ini berpusat pada medulla spinalis segmen thoracalis XII L1, berjalan di sebelah ventral m. Quadratus lumborum, menembus aponeurosis m. Transversus abdominis di bagian posterior di sebelah cranialis crista iliaca. Ketika berada di antara m. Transversus abdominis dan m. Obliquus internus abdominis saraf ini mempercabangkan ramus cutaneus lateralis dan ramus cutaneus anterior. Selanjutnya ramus cutaneus anterior berjalan menembus m. Obliquus internus abdominis, menembus aponeurosis m. Obliquus externus abdominis kurang lebih 2 cm di sebelah

cranial anulus inguinalis externus, melayani kulit pada regio pubica. Saraf ini memberi cabang motoris untuk m. Obliquus internus abdominis. 3. Ramus genitalis n. Genitofemoralis. Nervus genitofemoralis berpusat pada medulla spinalis L1-2, berjalan ke caudal, menembus m. Psoas major setinggi vertebra lumbalis , ditutupi oleh fascia transversa abdominis dan peritonium, dan di sebelah ventral dari m. Psoas major saraf ini bercabang menjadi dua ramus yaitu ramus genitalis (n. Spermaticus externus) dan ramus femoralis (n. Lumboinguinalis). N. spermaticus externus berjalan ke distal, di sebelah medial dari nervus lumboinguinalis, masuk ke dalam anulus inguinalis internus, berjalan melalui canalis inguinalis dan berada di bagian dorsal funiculus spermaticus (pada wanita mengikuti ligamentum teres uteri). Saraf ini mempersarafi m. Cremaster dan kulit scrotum.3,7,8,9,10

ETIOLOGI
Etiologi hernia inguinalis dapat kongenital atau didapat. Herniasi dari canalis inguinalis disebabkan oleh terjadinya obliterasi inkomplit dari prosesus vaginalis. Penyebab lain herniasi adalah peninggian tekanan intra abdomen, pasien-pasien dengan gangguan connective tissue seperti pada sindrom Ehlers-Danlons.7,9,10

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik dapat asimptomatik sampai gejala peritonitis pada hernia strangulata. Rasa tidak nyaman dan adanya benjolan pada selangkangan atau kemaluan. Benjolan tersebut bisa mengecil atau menghilang pada waktu tidur dan bila menangis, mengejan atau mengangkat benda berat atau bila posisi berdiri bisa timbul kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri dan kolik. Bila benjolan tidak tampak, pasien dapat disuruh mengejan dengan menutup mulut dalam posisi berdiri bila ada hernia maka akan tampak benjolan. 6,10

DIAGNOSIS
Diagnosis gold standar pada hernia adalah anamnesa dan pemeriksaan klinis yang teliti, sangat jarang membutuhkan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan hernia seharusnya pasien pada posisi berdiri agar kantong hernia terisi. Melalui scrotum jari telunjuk

dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum dan pasien melakukan valsalva manuver. Ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien diminta mengejan dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan: Bila massa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adalah hernia inguinalis medialis. 3,5,9

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1. HIDROCELE : dibedakan dengan transluminasi tes yang jelas 2. 3. 4. 5. Varicocele : teraba seperti cacing ANEURISMA FEMORAL : teraba pulsasi dan terdengar bruit LIPOMA : ditemukan secara insendential saat operasi hernia PEMBESARAN KELENJAR INGUINAL : biasanya multipel dan berada dibawah ligamentum inguinale 2,8

PENANGANAN
Pengobatan hernia adalah operasi. Operasi elektif dilakukan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi seperti inkaserasi dan strangulasi. Pengobatan non operatif direkomendasikan hanya pada hernia yang asimptomatik. Prinsip utama operasi hernia adalah herniotomy : membuka dan memotong kantong hernia, herniorraphy : memperbaiki dinding posterior abdomen kanalis inguinalis. Herniotomy Insisi 1-2 cm di atas ligamentum inguinale dan aponeurosis obligus eksterna dibuka sepanjang canalis inguinalis eksterna. Kantong hernia dipisahkan dari musculus cremaster secara hati-hati sampai ke kanalis inguinalis internus, kantong hernia dibuka, lihat isinya dan kembalikan ke kavum abdomen kemudian kantong hernia dipotong. Pada anak-anak cukup hanya melakukan herniotomy dan tidak memerlukan herniorrhaphy. Herniorrhaphy Dinding posterior di perkuat dengan menggunakan jahitan atau non-absorbable mesh dengan tehnik yang berbeda-beda. Meskipun tehnik operasi dapat bermacam-macam tehnik bassini dan shouldice paling banyak digunakan. Tehnik operasi Liechtenstein dengan menggunakan mesh diatas defek mempunyai angka rekurensi yang rendah.9

KOMPLIKASI OPERASI HERNIA


Komplikasi pada luka operasi dapat berupa hematoma yang dapat dicegah dengan hemostasis yang baik, infeksi dapat dicegah dengan pemberian antibiotik, komplikasi pada testis berupa iskemi dan atrofi pada testis insidensnya 1 % setelah operasi hernia. Iskemi pada testis biasanya nampak 4 hari setelah operasi berupa bengkak dan nyeri pada testis. Komplikasi pada saraf iliohypogastrik,ilioinguinal dan geniofemoral dapat terjadi akibat tarikan atau terpotong dengan gejala berupa nyeri menetap. Kematian sangat jarang pada operasi hernia tapi kematian pada operasi hernia strangulata dengan reseksi usus cukup signifikan.9.10

HERNIA STRANGULATA
Hernia strangulata merupakan hal yang serius dan dapat mengancam jiwa dimana isinya dapat mengalami iskemi dan kematian. Masuknya usus dalam kantong hernia dan terjadinya cekikan pada cincin hernia mengakibatkan kongesti pada vena sehingga terjadi edema pada usus dengan meningkatnya tekanan sehingga suplai arteri juga tersumbat menyebabkan gangren pada usus. Pasien dengan hernia strangulata akan nampak toksik, dehidrasi, dan demam. Pada abdomen terdapat tanda-tanda obstruksi yaitu peningkatan peristaltik, abdomen yang distensi dan muntah. Pada hernia tampak tegang, tidak dapat dimasukkan, warna kulit kemerahan atau kebiruan, dan tidak ada bunyi peristaltik pada hernia. Pada keadaan ini perlu dilakukan tindakan yang cepat yaitu resusitasi cairan dan elektrolit serta memasang pipa nasogastrik. Penderita diberikan antibiotik segera setelah itu dilakukan operasi untuk melepaskan cekikan dan menilai viabilitas usus, usus yang gangren dibuang dan yang viabel dilakukan anastomis end to end dan dimasukkan kedalam kavum abdomen. Kematian pada hernia strangulata berhubungan dengan lamanya strangulasi dan umur pasien. Semakin lama terjadinya strangulata semakin meningkatnya kerusakan yang terjadi oleh karena itu hernia strangulata merupakan bedah emergency. Hernia inkaserata tanpa tanda-tanda strangulasi baik pada pemeriksaan fisis maupun laboratorium sebaiknya dicoba dikembalikan, jika berhasil operasi dapat ditunda 1 atau 2 hari kemudian. Pemakaian prostetik mesh pada hernia strangulata sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan resiko terjadinya translokasi bakteri dan infeksi pada luka.8,9,10

Hemorroid
Posted on 18 February 2011 by ArtikelBedah

DEFINISI Hemorrhoid adanya prolapsus bantalan anus (Anal Cushion) Dilatasi satu/ lebih segmen vena dalam pleksus hemoroidalis Nama lain : wasir, ambein, pila, piles Pria > wanita (2:1) Terutama usia >50 tahun Posisi primer: jam 3, 7 dan 11. Kanalis analis berasal dari proktoderm Panjang sekitar 3 cm Membentuk sudut ke dorsal dgn rektum. Batas atas : garis anorektal (garis mukokutan, linea pektinata, linea dentata) Terdapat kripta anus dan muara kelenjar Kolumna Morgagni : lipatan longitudinal mukosa di atas linea dentata. Garis Hilton : lekukan antar sfingter sirkuler . Anal cushion: vascular submucosa, connective tissue, Treitz / Park muscle Teori Hemorrhoid Teori Varikosse (Jaman Hippocrates) Dilatasi vena Peninggian tekanan vena Kelemahan dinding vena Obstruksi venous dinding rectum, spasme spincter Teori Hiperplasia Vascular Histologis tidak ditemukan Teori Sliding Anal Cushion Adanya sliding dari bantalan anus Mekanisme dasar terjadinya Hemorrhoid adalah Pembendungan hipertropi bantalan anus interna Kegagalan pengosongan vena Bantalan anus Mobile Terperangkapnya bantalan anus oleh sfingter ani KLASIFIKASI 1. Hemorrhoid Interna Diatas Linea Dentata. 2. Hemorrhoid Eksterna Dibawah Linea Dentata. GRADING HEMORRHOID INTERNA Grade I : Perdarahan merah segar tanpa nyeri waktu defekasi, tidak terdapat prolap. Anoskopi hemorrhoid membesar dan menonjol. Grade II: Hemorrhoid menonjol melalui kanalis analis saat mengedan ringan namun dapat masuk kembali secara spontan.

Grade III: Hemorrhoid menonjol saat mengedan dan harus didorong masuk secara manual Grade IV: Hemorrhoid menonjol keluar dan tidak dapat didorong masuk kembali PRINSIP PENANGANAN 1. Kelainan Anorektal yang sering dijumpai dan bisa ditemukan bersama-sama kelainan anorektal yang maligna. 2. Anal cushion merupakan struktur anatomis fungsional tidak membutuhkan penanganan kecuali bila sudah timbul gejala-gejala 3. Strategi penanganan sangat tergantung dari banyaknya jaringan yang prolapsus melewati anal verge. 4. Saat menunggu perbaikan gejala biasanya terjadi setelah 6 minggu penanganan tambahan untuk memperbaiki gejala-gejala. PENANGANAN. A. Penanganan Non Invasive. 1. Pencegahan (Prevention) Hindari konstipasi kronik, Hindari makanan pedas, Diet Bulk Laxatives , Hindari mengedan saat defeksi, Jangan memakai pencahar. 2. Medikamentosa Menghentikan perdarahan, gatal, nyeri. Memperbaiki defekasi : suplemen fiber dan pelunak feces (stool softener). B. Penanganan Invasive. I. Minimal Invasive (Instrumentasi) 1. Skleroterapi 2. Rubber band ligation 3. Cryosurgery 4. Infra Red Coagulation 5. Stapled II. Operative Penanganan Irreducible Prolapsed Hemoroid Prolaps Anal Cushion Fungsi sudah tidak efektif untuk mempertahankan kontinensia kerusakan fungsi motoris. Therapi Pembedahan ( Hemmoroidectomy ) : 1. Open Hemmoroidectomy ( Milligan Morgan ) 2. Submukosa Hemmoroidectomy ( Parks )

3. Close Hemmoroidectomy ( Ferguson ) 4. Whitehead 5. Langenback Ferguson (Close Hemoroidectomy) Penanganan nyeri pasca operasi Pasca operasi hemoroidektomi sangat nyeri. Metode penanganan nyeri pasca operasi: Berikan anastesi yang baik, Analgesi yang adekwat, Bulk laxative dan sitz bath, Gunakan diatermi Penanganan perdarahan pasca operasi Ditemukan sekitar 3,3% 6,7% Jarang ditemukan kurang dari 24 jam pasca operasi Perdarahan sekunder pada hari ke 7 14 pasca operasi terjadi sepsis pedikel hemoroid atau terjadi robekan luka operasi saat defekasi Penanganan : Adrenalin anal pack,Baloon catheter tamponade, Injeksi adrenalin 1 : 10.000 submukosa

Karsinoma Kolorektal, Colorectal Carsinoma


Posted on 18 February 2011 by ArtikelBedah

FAKTOR FAKTOR RISIKO 1. Usia > 50 thn 2. Riwayat penyakit-penyakit premalignan (Kolitis Ulseratif, Crohns Disease, Poliposis Familial, polip juvenil, semua jenis polip asli, Lynch Syndrome / Gardner Syndrome). 3. Familial colon cancer 4. Sebelumnya sudah ada karsinoma kolon 5. Infeksi kolon yang berlangsung lama (10-20 tahun) 6. Pemakan lemak hewani / kurang konsumsi makanan berserat tinggi Etiologi Penyebab dan patogenesis yang pasti sampai sekarang belum jelas Beberapa faktor dianggap berperan dalam terjadinya karsinoma kolorektal : a. Polyp-cancer sequence b. Inflamatory bowel disease : i. Risiko terjadinya karsinoma kolorektal meningkat > 40% pada pasien dengan colitis ulseratif.

ii. Pasien dengan Crohns disease memiliki risiko tinggi terjadinya karsinoma kolorektal pada populasi umum c. Faktor genetik : i. Insiden meningkat pada turunan pertama penderita karsinoma kolorektal ii. FAP (familial adenomatous polyposis) terjadi transimisi genetik iii. HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal carcinoma) 2 tipe : 1) Lynch syndrome I (site-specific nonpolyposis colorectal carcinoma) : Autosomal dominant inheritance Predominance of proximal colon cancer Increased synchronous colon cancer Early age of onset (average age is 44 years) Increased risk of metachronous cancer 2) Lynch syndrome II (cancer family syndrome) adalah Lynch syndrome I ditambah dengan gejala-gejala : Incresed incidence of other carcinomas, including endometrium, ovary, breast, stomach, and lymphoma Incresed incidence of mucinous or poorly differentiated carcinomas Increased incidence of skin cancer 3) Tumor suppressor genes APC gene pada kromosom 5 dan p53 gene pada kromosom 17 iv. Faktor diet Lemak,Serat, Kalsium, Alkohol insiden kanker tinggi. TERDAPAT 3 KELOMPOK KARSINOMA KOLOREKTAL BERDASARKAN PERKEMBANGANNYA YAITU : 1. Kelompok yang diturunkan (inherited colorectal cancer) < 10 %. Dilahirkan sudah dengan mutasi germline (germline mutation) pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatic (somatic mutation) pada allele yang lain. Contohnya adalah Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC). HNPCC terdapat pada sekitar 5 % kanker kolorektal. 2. Kelompok sporadic (sporadic colorectal cancer) 70 %. Kelompok sporadic membutuhkan 2 mutasi somatic, satu pada masing-masing allele-nya. 3. Kelompok familial (familial colorectal cancer) 20 %. Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited syndromes di atas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35 % terjadi pada usia muda. Meskipun kelompok familial dari kanker kolorektal dapat terjadi karena kebetulan saja, akan

tetapi factor lingkungan, penetrant mutation yang lemah atau currently germline mutation dapat berperan. TERDAPAT 2 MODEL PERJALANAN PERKEMBANGAN KARSINOMA KOLOREKTAL (KARSINOGENESIS) YAITU : 1. LOH (Loss of Heterozygocity) Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor yang meliputi gen APC (adenomatous polyposis coli gene), gen DCC (deleted in colorectal carcinoma gene) dan p53 serta aktivasi onkogen yaitu K-ras proto-oncogene. Contoh model ini adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. 2. RER (Replication Error). Model RER karena ada mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan hPMS2. Contoh model ini adalah perkembangan HNPCC menjadi kanker kolorektal. Pada bentuk sporadic, 80 % berkembang lewat model LOH dan 20 % berkembang lewat model RER. MAKROSKOPIS Terdapat 3 tipe makroskopis karsinoma kolon dan rektum : 1. Tipe Polopoid / Vegetative / Fungating Tumbuh menonjol ke lumen usus dan berbentuk bunga kol. Sering ditemukan disekum dan kolon asendens 2. Tipe Skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi gejala stenosis dan obstruksi. Ditemukan terutama di kolon desendens, sigmoid dan rektum 3. Tipe Ulseratif terjadi nekrosis sentralis. Ditemukan terutama pada Rektum. TIPE HISTOLOGIS Adenokarsinoma Adenokarsinoma tanpa komponen musinosum, Adenokarsinoma dengan komponen musinosus < 50% Adenokarsinoma musinosum ( komponen musinosum > 50%) Signet ring sel adenocarcinoma Squamous cell carcinoma Adeno-squamous carcinoma Karsinosarkoma Undifferentiated carcinoma METASTASIS Karsinoma kolorektal mulai berkembang pada mukosa dan tumbuh menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah cephalad dan caudad Invasi tumor cenderung sirkuler dari pada logitudinal dan cenderung kearah cephalad daripada caudad Di daerah kolon, penyebaran caudal tidak pernah melebihi 5-6 cm sedangkan pada

rektum, penyebaran kearah anal jarang melebihi 2 cm. Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan atau organ sekitarnya Penyebaran limfogen ke kljr parakolika, mesenterikal & para aortal Penyebaran hematogen terutama ke hepar sedangkan bila tumor pada 1/3 distal rektum dapat menyebar ke paru-paru Ada 5 mekanisme penyebaran sel tumor yaitu : Lymfogen, Hematogen, Menembus dinding usus (intramural dissemination), Implantasi selama pembedahan (intraoperative spreading), Melalui rongga peritoneal Langsung Sirkuler melingkari dinding kolon terutama kolon kiri ( kaliber kecil), sehingga terjadi anular-konstrikting dinding kolon penyempitan lumen buntu. Longitudinal melalui limfe submukosa < 5 cm dari tepi tumor. Menembus dinding kolon dan menginfiltrasi organ terdekat. Tranversal/Longitudinal/radial penyebaran ke proksimal maupun ke distal. Penting untuk reseksi reseksi 2-5 cm kea rah distal tumor. Hematogen Melalui v. Porta ke hepar tumbuh di hepar. Bisa melalui v.lumbalis dan v. vertebralis menuju ke paru. Organ yang paling sering metastasis adalah Hepar melalui aliran v. porta, Paru melalui aliran v. Cava, Tulang vertebra dll. Melalui Pleksus venosus vertebralis. Limfogen. Penyebaran bias terjadi pada tumor yang terlokalisir namun terjadi penyebaran limfogen level jauh. Adanya blockade aliran limfatik ke segala arah, baik proksimal, distal, maupun lateral melalui arcade marginal. Penyebaran limfogen dapat melalui limfonodi epicolic, paracolica, intermediate dan paraaortic (mesenteric). Paling sering metastase ke limf. Paraaortic melalui limf.regional sesuai perjalanan artei/vena Ok limfonodus harus diangkat saat operasi. Gravitasi/Transperitoneal. Bila tumor menembus lapisan serosa karena pengaruh gaya gravitasi, sesuai dengan posisi tersering tubuh. Serabut Saraf Terjadi bila sel tumor invasi ke spatium perineural. GEJALA KLINIK Gejala klinik tergantung dari lokasi, ukuran dan ekstensi tumor Gejala dan tanda karsinoma kolorektal tidak ada, umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat

penyebaran. Gambaran klinis kolon kiri berbeda dengan kanan. Karsinoma kolon kiri, sering berbentuk skirus, lumen kolon kiri relatif lebih kecil dari kanan dan konsistensi feses semi solid (padat) sehingga lebih banyak menimbulkan gejala obstruksi. Karsinoma kolon kanan, jarang menimbulkan gejala obstruksi karena lumen kolon kanan relatif lebih besar dari kiri dan konsistensi feses semi fluid (cair). Karsinoma kolon kiri dan rektum, sering menyebabkan perubahan pola defekasi (change in bowel habit) seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmus. Makin kedistal letak tumor feses makin menipis atau berbentuk seperti kotoran kambing atau lebih cair pada karsinoma disertai darah dan lendir.Tenesmus merupakan gejala yang didapat rectum. Bila obstruksi, penderita flatus terasa lega diperut.

Gambaran klinik tumor sekum dan kolon asendens tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum, penurunan berat badan dan anemia merupakan gejala umum. Karena itu penderita sering datang dalam keadaan umum jelek. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM Nyeri perut samar-samar gas pain cramps Nyeri pada stadium lanjut Diare coklat/ hitam Darah segar pada kotoran Darah segar pada kotoran Anemi Tinja kaliber kecil Tidak puas setelah berak Perubahan kebiasaan berak, Nyeri sewaktu berak dan berak Benjolan perut sisi kanan butuh pencahar sering Tanda sumbatan Diameter Besar Diameter Lebih Kecil Besar Tipe tumor Lunak, rapuh, ulseratif,polipoid Sirkuler dan sirous Infiltrative,polipoid Konsistensi feses>cair Lunak, cairan sedikit Padat cairan minimal Asal dari Midgut Hindgut Hindgut Fungsi sebagai Absorbsi Penyimpanan/Storage Defekasi Klinis sering Kolitis, jarang obstruksi Obstruksi Proktitis Darah dlm Tinja Mikroskospis Mikro/makro Makroskospis Terdapat 2 manifestasi Komplikasi Klinis: Akut(Emergensi) Komplikasi terjadi bila Obstruksi, Perforasi, Perdarahan. Semakin distal letak tumor semakin besar resiko terjadi komplikasi karena kaliber kolon kiri lenih sempit dan cairan lebih sedikit dari kolon kanan. Kronik (Elektif) Tergantung dari lokasi, ekstensi dan stadium tumor. Pembagian lokalisasi tumor kolon: Kolon kanan mulai sekum sampai 1/3 tengah kolon transversum, kolon kiri dimulai 1/3 kolon transversum sampai sigmoid, dan rectum. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan Daerah Rektum i. Colok Dubur Harus dilakukan pada setiap kelainan kolorektal atau abdomen Mendeteksi tumor sejauh kurang lebih 10 cm dari anal verge Tumor konsistensi keras, permukaan rata, mudah berdarah Harus dinilai ukuran tumor, terfiksasi / tidak, ulserasi / tidak. Dengan pemeriksaan colok dubur yang baik dan benar, dapat mendiagnosis hampir 40 % tumor-tumor kolorektal ii. Proktosigmoidoskopi Rigid dapat menentukan dengan tepat lokasi tumor iii. Endorectal Ultrasound (Eus) dapat menentukan dalamnya invasi tumor ke dinding usus. b) Kolonoskopi disertai biopsi Untuk melihat tumor daerah kolon Mendiagnosis hampir 100% karsinoma kolorektal c) Barium Enema kontras ganda - Gambaran malignansi pada foto kolon dapat berupa : - Arrest (Stopping), Stenosis, Filling Defect (Napking Ring deformitas Apple core lesion, Shoulder sign), Deviasi - Mendiagnosis hampir 90 % karsinoma kolorektal. d) Laboratorium (Darah rutin, CEA, LFT) CEA( Carcino Embrionic Antigen) N,3 unit diambil dari urine / feses. Kadar < 10 ng/ml Stadium Dini.Kadar > 10 ng/ml Stadium Lanjut. Tumor marker: Carbohydrate antigen 19-9 (CA 199) >100 U/ml (normal < 40 U/ ml). Formula {CA 19-9 + (CEA x 40)} pada PSC akurasi diagnosis sekitar 86 % Follow up setelah operasi 4 minggu, 3-6 bulan. CEA dapat kembali < 3 (-), tapi dapat residif telah metastase. e) USG / CT Scan abdomen (evaluasi hepar dan abdomen terhadap metastasis) KolonoskopyBila Radiologis tidak ada Kelainan, tapi curiga malignitas STAGING / STADIUM a) Dukes Classification of Colorectal Cancer Henry Dukes tahun 1932 Stadium A : tumor terbatas pada lapisan mukosa Stadium B1 : tumor invasi pada lapisan mukosa muskularis Stadium B2 : tumor invasi pada lapisan propria muskularis Stadium C1 : Tumor B1 metastase ke KGB dekat tumor primer

Stadium C2 : Tumor B2 metastase ke KGB yang jauh Stadium D : Metastase jauh b) Astler-Coler Modification Staging CLASSIFICATION DUKES-1954 tumor terbatas pada lapisan mukosa ASTLER-COLER-1954 Limited to mucosa, negative lymph nodes Extension into muscularis propria, lymph tumor invasi pd lap. Mukosa muskularis nodes(-) Extension through entire bowel wall, tumor invasi lap. Propria muskularis lymphnode (-) Extension into adjacent organs, lymph nodes (-) Positive nodes lesion limited to muscularis B1 + KGB dekat tumor primer (Lokal) propria Positive nodes lesion through entire bowel B2 + KGB yg jauh (Regional) wall Positive nodes invasion of adjacent organs Lokal tumor remaining + metastase regional 5 Years Survival 100 % 65-75 % 60-70 % 55-65 % 40-55 % 25-35 % 02% median survival 6-12 hrs D2 metastase jauh Distant metastatic disease c) Sistem TNM (The American College of Surgeons Commission on Cancer) The American College of Surgeons Commission on Cancer DERAJAT KEGANASAN TUMOR Derajat keganasan ditentukan berdasarkan differensiasi tumor dalam membentuk struktur kelenjar. Grade I sel tumor membentuk struktur kelenjar > 95 % dari masa tumor Grade II sel tumor berstruktur kelenjar 50 % 95 % dari masa tumor Grade III sel tumor berstruktur kelenjar 5 % 50 %, adenoCa musinosum dan signet ring cell ca. Grade IV sel tumor berstruktur kelenjar < 5 % PENANGANAN A) Kolon Kanan - Tumor pada kolon kanan dilakukan Hemikolektomi Kanan disertai dengan ligasi arteri ileokolika, arteri kolika dekstra dan arteri kolika media pada point of origin, dan ileum distal sepanjang 10 cm untuk mengangkat semua station kelenjar limfe terutama hilar station pada arteri kolika media

A B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1

b) Kolon Kiri Untuk tumor pada kolon desendens, sigmoid dilakukan Hemikolektomi Kiri disertai dengan ligasi arteri mesenterika inferior pada point of origin c) Kolon Sigmoid Sigmoid kolektomi atau Reseksi anterior d) Rektum Untuk penanganan karsinoma rektum dikenal RULE OF THIRD yaitu : a) Tumor dg jarak > 12 cm dari anal verge (1/3 proksimal) Reseksi anterior b) Tumor dg jarak < 12 cm dari anal verge, T1, terjangkau, derajat diferensiasi baik Dilakukan eksisi local c) Tumor dengan jarak 6 12 cm dari anal verge (1/3 Tengah): Stadium I : Reseksi Anterior Rendah + TME (Total Mesorectal Excisison) Stadium II/III: Terapi kombinasi multiple (MCT)+Reseksi Anterior Rendah+TME d) Tumor dengan jarak < 6 cm dari anus (1/3 Distal): Stadium I, derajat diferensiasi baik Reseksi Abdominoperineal (APR) + TME Stadium II / III : MCT + APR + TME THERAPI KURATIF Prosedur lebih radikal, tumor diangkat secara en block bersama pedikel vascular dan struktur limfatik, batas reseksi usus harus adekuat, 10 cm di proksimal tumor , 5 cm di distal tumor. THERAPI PALIATIF Untuk karsinoma kolon / rectum yang inoperable : Kolostomi pada bagian proksimal dari tumor Pintasan ileo-kolostomi TERAPI ADJUVANT a) Radiasi Diberikan pada karsinoma rekti b) Kemoterapi PENYULIT Obstruksi. - Obstruksi kolon kiri sering tanda pertama karsinoma kolon - Kolon bisa sangat dilatasi terutama sekum dan kolon asendens tipe Close Loop Obstruction / Dileptic Obstruction Perforasi. - Perforasi terjadi disekitar tumor karena sentral nekrosis dan dipercepat oleh obstruksi yang menyebabkan tekanan dalam rongga kolon makin meninggi tipe Perforasi Dileptik - Mengakibatkan peritonitis bila tidak cepat ditolong akan fatal

Prognosis. Dinilai berdasarkan 5-year survival rate. Prognosis ditentukan berdasarkan : Staging Derajat histopatologi Derajat diferensiasi Ada tidaknya invasi vaskuler atau perineural Ada tidaknya obstruksi atau perforasi Aneuploidi sel-sel tumor Mucin-producing dan signet cell tumors (intercytoplasmic mucin) Peningkatan kadar CEA TUMOR GANAS ANUS 1. Karsinoma Planoseluler Anus Tumor ganas yang paling sering ditemukan pada daerah anus Awalnya merupakan benjolan yang mudah digerakan lama kelamaan infiltrasi kedinding anorektum. Metastasis ke kelenjar limfe inguinal Therapi Bedah. Eksisi lokal bila tumor lokal dan kecil Operasi radikal bila tumor invasi tanpa penyebaran diluar daerah lokoregional 2. Karsinoma Basoseluler Anus Jarang ditemukan, biasanya dipinggir anus Sifatnya sama dengan ulkus rodensia pada muka Metastasis hampir tidak pernah ada Therapi Bedah Eksisi lokal PROTOKOL KEMOTERAPI PADA KARSINOMA KOLOREKTAL MAYO 1. 5Fluorouracil (5-FU) : 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu jam sesudah leukovorin (LV). 2. Leukovorin (LV) : 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari berturut-turut. Frekuensi : Ulang setiap 4 sampai 5 minggu. DE GRAMONT

1. Leukovorin : 200 mg/m2 infus 2 jam diikuti 2. 5-Fluorouracil (5-FU) : 400 mg/m2 IV bolus diikuti 3. 5-Fluorouracil (5-FU) : 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam 4. Frekuensi : hari 1 + 2, ulang setiap 21 hari. CAPECITABINE Sebagai Monoterapi : 8 Siklus Nama Obat Dosis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 2500 Capecitabine mg/m2 Dibagi 2/hari, 30 setelah makan Istirahat CAPECITABINE Dikombinasikan dengan Oxaliplatin : 8 Siklus Nama Obat Capecitabine Oxaliplatin Dosis 2500 mg/m2 130 mg/m2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Dibagi 2/hari, 30 setelah makan Istirahat Istirahat

CAPECITABINE Dikombinasikan dengan Irinotecan : 8 Siklus Nama Obat Capecitabine Irinotecan Dosis 2500 mg/m2 250 mg/m2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Dibagi 2/hari, 30 setelah makan Istirahat Istirahat

REKOMENDASI 1. Stadium I / Dukes A : tidak diberikan kemoterapi. 2. Stadium IIA / Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi. 3. Stadium IIB / Dukes B2 : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl. 4. Stadium III / Dukes C : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl. 5. Stadium IV / Metastasis : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl + Oxaliplatin a/ Irinotecan selama 6 bulan. INDIKASI KHEMOTERAPI : Untuk menyembuhkan kanker, Memperpanjang hidup & remisi, Mppanjang interval bebas kanker, Menghentikan progresi kanker, Paliasi symptom, Mengecilkan volume kanker, Menghilangkan gejala para neoplasma. KONTRA INDIKASI KHEMOTERAPI : 1. Kontra indikasi absolute Penyakit stadium terminal, Hamil trisemester pertama, kecuali akan digugurkan,

Septicemia, Koma. 2. Kontra indikasi relative Usia lanjut, Status penampilan yang sangat jelek, Ada gangguan fungsi organ vital yang berat, Seperti : hati, ginjal, jantung, sumsum tulang. Dementia, Penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur, Penderita tidak kooperatif, Tumor resisten terhadap obat, Tidak ada fasilitas penunjang yang memadai. PEMANTAUAN KHEMOTERAPI : Sebelum khemoterapi nilai dahulu harus bagaimana status penderita: 1. Fisik penderita terutama status penampilan dan toksisitas 2. Radiologi terutama keadaan paru 3 Laboratorium terutama Hb, Leukosit dan Trombosit. A. TOKSISITAS KHEMOTERAPI : Sebelum khemoterapi periksa darah, fungsi hati, fungsi ginjal dan sebagainya. Khemotherapi diberikan if: Hb 10 mg% ; WBC 4.000 /m3 ; PLT 100.000 /m3. B. KOMPLIKASI KHEMOTERAPI : 1. Segera ( Shock, Arrhythmia, Nyeri pada tempat suntikan) 2. Dini ( Mual / muntah, Panas, Reaksi hipersensitif. 3. Lambat (beberapa hari) ( Stomatitis, Diarrhoe, Alopecia, Depresi ss. tlg 4. Lambat (beberapa bulan) ( Hiperpigmentasi kulit, Lesi Organ : Adriamycin hati, Bleomycin,Busulfan paru, Methotrexate hati, Gangguan kapasitas reproduksi (Amenorhoea,Penurunan knstrasi sperma), Gangguan endocrine ( Feminisasi, Virilisasi), Efek karsinogen. Follow Up. a) Pemeriksaan fisis tidak terlalu bagus untuk menentukan rekurensi dini dari tumor. b) Kolonoskopi sebaiknya dilakukan 1 tahun setelah operasi untuk mendeteksi adanya polyp baru : Jika ditemukan polyp baru polyp dikeluarkan kemudian kolonoskopi diulang setiap tahun Jika polyp baru ( ) kolonoskopi diulang setiap 3 5 tahun c) CEA (Carcino Embryonic Antigen) Tumor marker sensitif untuk mendeteksi rekurensi karsinoma kolorektal Diulang setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama Diulang setiap 6 bulan setelah 2 tahun pertama d) Bila CEA meningkat indikasi untuk melakukan pemeriksaan chest radiography dan CT scan abdomen e) Kemoterapi dan radioterapi merupakan terapi paliatif untuk karsinoma kolorektal

nonresectable yang rekuren METASTASIS COLORECTAL CANCER: Colorectal cancer Hepar Synchronus metastase 15 25 % Metachronus metastase 20 % Survival rate 31 %, 8%, 2% saat 1, 3 dan 5 tahun Soliter metastase lebih baik dari multipel Unilateral lebih baik bilateral Synchronus metastase lebih agresif

Ileus Obstruksi
Posted on 18 February 2011 by ArtikelBedah

PENDAHULUAN Ileus obstruksi gangguan pasase isi usus akibat sumbatan sehingga terjadi penumpukan cairan dan udara di bagian proksimal dari sumbatan tersebut ANATOMI Mikroskopis : Tunika mukosa absorbsi vili >> jejenum Tela submukosa pblh drh halus, pemblh limfe, neuroplexus Meissner. Tunika terdapat Tunika muskularis plexus Stratum longitudinal saraf & str. sirkuler, & diantaranya limfe serosa myentericus (Auerbach) saluran

Makroskopis : Usus halus pylorus sampai valva ileocaecalis Duodenum p 20-30 cm, l 3-5 cm Jejenum & Ileum 20 kaki (5 m), bervariasi besar karena kontraksi & relaksasi 10 kaki (2,5 m) Ketebalan dinding usus semakin ke distal semakin berkurang sedangkan lebarnya semakin ke distal semakin mengecil obstruksi lebih mudah tjd pada ileum distalis dibanding jejenum proksimal. Vaskularisasi : Hubungan kolateral p.darah arteri : a. kolika media < a.mesenterika superior dengan a. kolika sinistra < a.Mesenterika inferior. Antara pangkal a.mesenterika inferior melalui lengkung pembuluh (arcus Rioland)

P.darah vena : v.mesenterika superior bergabung dengan v.lienalis & v.mesenterika inferior v.porta. ETIOLOGI Lesi Ekstrinsik Adhesi (lesi ekstrinsik tersering, tunggal/multipel, setempat/luas, kongenital / akuisita), Hernia inkarserata (h.inguinalis, femoralis, umbilikalis, ventralis, insisional), Volvulus, Massa ekstraintestinalis abses, pseudokista, neoplasma, hematom. Lesi intrinsic Striktura neoplastik, inflammatory bowel disease, endometriosis peradangan akibat radiasi, divertikulitis. Atresia & stenosis usus, kegagalan rekanalisasi pada waktu janin usia 6-7 mgg, ggg aliran drh lokal pd sbgn ddg usus akibat desakan, invaginasi,volvulus, jepitan/perforasi usus semasa janin. Obstruksi Menutup Invaginasi atau intususepsi ( Anak idiopatik,umumnya ileocaecal, Dewasa polip atau lesi intraluminal). Neoplasma intrinsic, Gallstone ileus. Sumbatan lainnya : fekalith, cacing askaris, barium, bezoar. INSIDENS 20 % tindakan bedah pd kondisi abdomen yg akut ileus obstruktif Penyebab obstruksi tersering adhesi, disusul hernia dan neoplasma Penyebab tersering pada anak : hernia Penyebab tersering pd usia lebih tua : Ca colorectal & divertikulitis coli. Angka kematian : 10 % PATOFISIOLOGI Obstruksi Sederhana/Simple. - tidak disertai terjepitnya p.darah, akumulasi cairan & gas dlm jumlah besar pd lumen usus. - Obstruksi : mula-mula absorbsi , sekresi N 24-48 jam sekresi, absorbsi (-), edema,eksudasi cairan ke cav peritoneum, kehilangan cairan & elektrolit. CO2 dpt cepat berdifusi keluar dr lumen usus, sedang N2 tetap tinggal kontributor utama distensi usus. Obstruksi strangulata - mencakup volvulus,hernia,invaginasi & adhesi. - gangguan peredaran darah iskemia, nekrosis, ganggren - eksudasi plasma dr lap serosa cav.peritoneum

- Iskemikerusakan sawar ddg ususbakteri usus cav peritoneum. Closed-loop obstruction - Obstruksi terjadi pd 2 tempat, Penyebab : adhesi,volvulus. KLASIFIKASI OBSTRUSI INTESTINAL A. Berdasarkan Penyebab 1. Mekanik ileus paralitik = ileus adinamikparalise saluran mknan 2. Non Mekanik ileus obstruksi = ileus dinamik B. Mekanisme Obstruksi 1. Obstruksi Pada Lumen Usus(Intra Luminer) Polipoid tumor, intususepsi, gallstone ileus,fekolit, bezoar 2. Kelainan Pada Dinding Bayi : atresia , stenosis, duplikasi Usus(Intramural)Biasanya Dewasa : neoplasma, radang, Crohn disease, post Kongenital radiasi, sambungan usus 3. Kelainan Di Luar Usus (Ekstramural) Adhesi, hernia, neoplasma, abses C. LOKASI a. Obstruksi Di Atas Pilorus. Gejala adalah muntah (rasa asam lambung), sering nyeri. Distensi abdomen kurang b. Obstruksi Di Bawah Pilorus Sampai Ileocaecal Junction. Muntah faeculent (feses), warna kuning seperti tinja, 1. Ileus Obstruksi Letak Tinggimenurut letaknya dibedakan nyeri perut jarangperut lebih distensi. menjadi : Sekum anorektal>> disebabkan oleh tumor 2. Ileus Obstruksi Letak Rendah ganas D. GRADASI 1. Obstruksi Partial ( Incomplete) Sebagian makanan dan udara masih bisa lewat Seluruh isi usus tidak dapat lewat menumpuk pada bagian proksimal sumbatan, Belum terjadi 2. Obstruksi Complete/Total(Simple ) gangguan vaskularisasi Gangguan pasase isi usus disertai dengan adanya 3. Obstruksi Strangulasi gangguan vaskularisasi DIAGNOSA Gejala & Tanda - Colic kejang usus, nyeri tekan, defans muskuler , metallic sound. Jika nyeri abdomen terlokalisir,parah, menetap dan tanpa remisi Curiga obstruksi strangulasi, Muntah, Obstipasi dan tidak ada flatus, Distensi usus - RT : massa tumor atau intususepsi, ampula kolaps obs proksimal, darah makroskopik lesi intrinsik

Gambaran Laboratorium - nitrogen urea darah (BUN), Hct, BJ urin. - kadar Na, K, Cl dlm serum. -Alkalosis Bikarbonat serum & pH arteri -Leukosit Normal, Obstruksi mekanik sederhana 15.000-20.000/mm3 Obstruksi strangulata 30.000- 50.000/mm3 Gambaran Radiologi - Pem.sinar X posisi tegak gelung usus terdistensi dgn bts udara-cairan dgn pola anak tangga ( Step Ladder ) - Obstruksi mekanik sederhana # gas yg terlihat pd colon. - Obstruksi colon dgn valva ileocalis kompetendistensi gas dlm colon merupakan gbrn penting. - Bila valva ileocalis inkompetenada distensi usus halus maupun colon. - Obstruksi strangulatadistensi gas pd usus jauh lbh sdkt dibanding pd obstruksi sederhana & bisa terbatas pd gelung tunggaltanda biji kopi (coffee bean) atau pseudotumor. - Pemeriksaan Barium enema u/ mengetahui tipe & lokasi obstruksi. - Enteroskopi Management : Ada beberapa pertanyaan 1. Apakah ada obstruksi ? 2. Setinggi apa obstruksi ? 3. Penyebab ? 4. Dehydrasi ? 5. Strangulasi ? 6. Penanganan? 1. Cardinal features of bowel obstruction are Pain, Vomiting, Constipation, Distension. 2. Simptom a. Pain, Kolik, Ileum paralytik tidak sakit. b.Vomiting : - Cepat pada obstruksi tinggi, Lambat pada obstruksi rendah - muntah empedu diatas lig Traitz - muntah fecal usus halus & colon c. Constipation :Cepat pada obstruction colon tergantung apakah total / partial. d. Distensi : Cepat pada obstruksi colon, tidak ada pada obstruksi tinggi

3. Penyebab ? Riwayat sebelumnya ( Pernah operasi abdomen adhesi, Hernia, Berak darah atau lendir gangguan pada BAB Ca atau radang. 4. Dehydrasi ? (Tahicardia, Hypotensi, Kulit kering, Mulut kering, Turgor kulit jelek, Ketiak sudah tidak berkeringat, Urine sedikit,pekat). 5. Strangulasi ada : shock, demam, defans musculer, nyeri seluruh abdm. 6. Prinsip Penanganan : A. Anamnesa Keluhan Yang Khas Nyeri perut, Mual muntah, Perut kembung, Tidak dapat flatus & BAB. B. Pemeriksaan Fisik. Keadaan umum tampak lemah dan gelisah. Bila strangulasi demam, dehidrasi, bibir kering, turgor menurun, hipotensi, takikardi dan syok septik. Abdomen : Inspeksi : Distensi, darm kontur dan peristaltik usus terutama pada penderita kurus Palpasi : Perut distensi, tegang, kadang-kadang nyeri Perkusi : Nyeri dan terdengar suara timpani. Auskultasi : Bising usus meninggi (metalic sound), Bila obstruksi berlangsung lama dan strangulasi bising usus menghilang. Scar, Hernia, Darm contour, darm steifung, Peristaltik meningkat, metalic sound Gurgling. RT: Spingter ani, Mukosa, Ampula Hand schoen, Massa Tu. C. Penunjang, Lab darah rutin, elektrolit, fungsi ginjal, dll Radiologi BNO 3 Posisi Gambaran STEP LADDER (anak tangga). D. Resusitasi. - IVFD RL/Nacl. - Pemberian Antibiotik. - Pasang Nasogastric Tube (Sonde Lambung ) Puasakan Pasien. - Pasang Kateter Pantau Produksi urine, tanda-tanda dehidrasi. - Awasi tanda vital. TERAPI Terapi konservatif Terapi operatif ~ Lisis pita lekat atau reposisi hernia ~ Pintas usus

~ Reseksi dgn anastomosis end to end, end to side, side to side. ~ Diversi stoma dgn/ tanpa reseksi. KOLOSTOMI adalah pengalihan feses tidak melalui anus. Macam-macam Kolostomi Menurut letak - Cecostomy - Colostomy transversum - Colostomi sigmoid Menurut bentuk - Double Barel - Double Lup - Simple Colostomy Menurut lama - Temporer Colostomy - Permanen Colostomy INDIKASI 1. Ada obstruksi bagian distal ( Rectosigmoid & colon kiri, Radang / Chrons disease, Colitis ulserosa, Trauma ). 2. Ada volvulus ( Volvulus sigmoid ). 3. Kelainan congenital (Hisphrung). KOMPLIKASI Perdarahan, Gangren, Retraksi, Prolaps, Hernia, Abses

Cholangitis
Posted on 16 February 2011 by ArtikelBedah

ETIOLOGI Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan hambatan aliran empedu. Penyebab Kholangitis tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan oleh infeksi, stasis empedu, striktur dan parasit (recurrent pyogenic cholangitis). Etiologi Kholangitis: Choledocholithiasis

Striktur sistem bilier Neoplasma pada sistem bilier Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi CBD (Common Bile Duct) Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis Pankreatitis kronis Pseudokista atau tumor pankreas Stenosis ampulla Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi Diverticulum Duodenum Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier.

PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu CBD , striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik CBD. Dengan demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa

bila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis supurativa. Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :
1. Kholangitis dengan cholecystitis Tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi, edema mukosa CBD, atau hepatitis. 2. Acute Non Suppurative Cholangitis : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial. 3. cute suppurative cholangitis: CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namun tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis. 4. Obstructive Acute Suppurative Cholangitis : Terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250 mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai influs bakteri ke sistem limfatik dan vena hepatika.

Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah Umur, Febris, Lekositosis, Syok Septik, Kultur darah (+), Gangguan sistem phagositosis, Immunosuppresi, Adanya Neoplasma hepar, Obstruksi intrahepatal multiple, Penyakit hepar kronis, Abses hepar.

Bakteriologi
Tabel: Bakteriologi Kholangitis Akut
EMPEDU Cholecystitis (%) Escherichia coli 31 Cholangitis (%) 26 Keduanya(%) 44 Darah(%) 26

Enterococcus

18

11

13

Klebsiella spp Pseudomonas.spp Enterobacter sppStaphylococcus Bacteriodes spp Clostridium.spp

15 6 2 0.3 3 2

12 5 5 3 4 4

11 5 4 3 4 3

14 9 1 9 2 0.3

Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.


Umur > 60 tahun Febris > 37.30 C Bilirubin Total > mol/L8.6 Lekositosis > 14.000/mm3 Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu Kanulasi bilier atau prosedur by pass Diabetes mellitus Hyperamylasemia Obesitas

DIAGNOSIS:
Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan ditemukannya Charcots Triad yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah : Febris > 38 C Nyeri abdomen Ikterus : 87 90 % : 40 % : 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan Reynolds Pentad yang ditandai oleh Charcots triad ditambah dengan Mental confusion / Lethargy dan syok. Perubahan tersebut disebabkan oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi. Penunjang

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :


Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80% Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 % Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90% C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan Dapat diemukan CBD yang berdilatasi. Kemungkinan disertai dengan batu CBD. Batu CBD. Tumor sistem bilier atau pankreas Batu pada sistem bilier intrahepatal Adanya atrofi pada hepar Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)

USG hepatobilier dan pankreas :


CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :

MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat, yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.

Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang dilakukan bersamasama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde Choalngio Pancreatography) ataupun PTC (Percutanues Transhepatic Cholangiography).

Cholescintigraphy dengan HIDA :

Menunjukkan Liver uptake Non visualisasi kandung empedu, CBD, & usus halus karena obstruksi total.

PENATALAKSANAAN :
Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi, maka langkah awal adalah sebagai berikut :

Perbaikan keadaan umum :


Pasien dipuasakan Dekompressi dengan NGT (Naso Gastric Tube) Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi Dilakukan koreksi kelainan elektrolit Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami perbaikan, sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi definitifnya. Namun, bila pasien datang dengan shock dan hipoperfusi jaringan yang berat maka diperlukan :

Invasive monitoring Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik, Meperidine atau Fentanyl dapat diberikan.

Bila terapi medikamentosa tidak berhasil, maka tindakan dekompresi emergensi segera dilakukan dengan cara :

Pembedahan terbuka, Drainase secara endoskopik, Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan pada umumnya yang dilakukan adalah : Cholecystectomy + Eksplorasi CBD +/- Drainase T-tube , +/choledocho- enterostomy Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai berikut :

Terapi konservatif tanpa drainase angka mortalitas antara 40-100 %. Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka mortalitas antara 2 13 % dan morbiditasnya adalah 12 21 %.

Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 13 %, dan morbiditas 4 24 %. Terapi invasif minimal dengan teknik Percutaneus Transhepatic Cholangiography Drainage (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu 0.05 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 80 %.

Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %, namun jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi 59 %. Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan 46 %. Tabel. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .
Jenis Antibiotik - Aminoglikosida penicillin

- Penicillin spektrum luas


Cholecystitis Akuta

- Cephalosporin generasi III


Penicillin spektrum luas

Aminoglikosida penicillin Cephalosporin generasi ke-tiga Imipenem-cilastatin


Kholangitis Akuta :

Cephalosporin generasi ke-dua


Cephalosporin generasi ke-dua

Prophylaxis :

Penicillin spektrum luas

Cephalosporin generasi III (Cefotaxime, Ceftriaxone, & Ceftizoxine) merupakan antibiotik spektrum luas yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci & bakteri anaerob seperti Bacteroides yang sering ditemukan dalam cairan empedu dan

menyebabkan pembentukan batu pada sistem bilier. Ceftriaxone merupakan pilihan terbaik, beberapa keuntungan: 1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi. 2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari. 3. Dual Excretion yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan. 4. Aktifitas bakterisidal cukup luas. 5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya & beban kerja staf rumah sakit. 6. Efek samping yang rendah. 7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis. Bila bilirubin yang > 5.0 mg/dl, Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal yang menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia bakteri gram negatif. Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil di atasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap antibiotika, bakteri gram negatif, dan jamur.

Luka dan Penanganannya


Posted on 3 February 2011 by ArtikelBedah

PENGERTIAN Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan yang secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Adapun efek dari timbulnya luka sebagai berikut: 1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah

4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel Jenis-jenis luka dan proses terjadinya: 1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi) 2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. 3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. 4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil. 5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. 6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar. 7. Luka Bakar (Combustio) Derajat Kontaminasi terhadap luka sebagai berikut: 1. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%. 2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%. 3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% 17%. 4. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi : Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada

lapisan epidermis kulit. Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi : 1. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. 2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen. TAHAP-TAHAP PENYEMBUHAN LUKA Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan proses peradangan, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase : 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema

jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis. Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4. 2. Fase Proliferatif Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet. 3. Fase Maturasi Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.

Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA 1. Usia Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan 2. Infeksi Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka. 3. Hipovolemia Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. 4. Hematoma Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. 5. Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus). 6. Iskemia Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. 7. Diabetes Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

8. Pengobatan Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular. PERAWATAN LUKA Dressing/Pembalutan Tujuan : 1. memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka 2. absorbsi drainase 3. menekan dan imobilisasi luka 4. mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis 5. mencegah luka dari kontaminasi bakteri 6. meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing 7. memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien ALAT DAN BAHAN BALUTAN UNTUK LUKA Bahan untuk Membersihkan Luka Alkohol 70% Aqueous and tincture of chlorhexidine gluconate (Hibitane) Aqueous and tincture of benzalkonium chloride (Zephiran Cloride) Hydrogen Peroxide Natrium Cloride 0.9% Bahan untuk Menutup Luka Verband dengan berbagai ukuran Bahan untuk mempertahankan balutan Adhesive tapes Bandages and binders KOMPLIKASI DARI LUKA a. Hematoma (Hemorrhage) Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah pembedahan. b. Infeksi (Wounds Sepsis) Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah sakit.

Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 48 jam, denyut nadi dan temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri. Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain : Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh : terkumpulnya pus (bakteri, jaringan nekrotik, Sel Darah Putih). Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik. c. Dehiscence dan Eviscerasi Dehiscence adalah rusaknya luka bedah Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari dalam luka d. Keloid Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.

Anda mungkin juga menyukai