Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II SISTEM CARDIOVASKULAR HIPERTENSI

Disusunoleh : KELOMPOK C1 Rika Triyana Puri(G1F009009) Rizky Ramdhania(G1F009010) Harisa Nida K (G1F009011) Resti Mahlifati A(G1F009012) Primawati Kusumaningrum(G1F009026) Gigih Aditya Pamungkas(G1F009027) Agung Muharam(G1F009028) Galih Priandani(G1F009029) Asisten : Ulya Rahmawati

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO

2012

1. JUDUL Sistem Cardiovaskular (Hipertensi)

2. DATA BASE PASIEN Nama Alamat Umur/BB/TB MRS KRS Diagnosa Riwayat Penyakit Keluhan : Ny. SR : Surabaya : 61 tahun/ 61kg/ 155cm : 14 Maret 2011 : 20 Maret 2011 : HT stage II terkontrol + Diabetes Mellitus + Hipokalemia : Hipertensi > 10 tahun, DM (+) sejak 4 tahun yang lalu, Jantung, HT (-) : Nyeri dada sebelah kiri sejak 2 jam SMRS, nyeri dada kiri tidak menjalar ke tangan/rahang, nyeri seperti ditekan benda berat saat istirahat, batuk berdahak bila dahak keluar batuk membaik, berobat ke dokter umum (bronkitis) berdebar (-), sering terbangun malam.

3. DATA KLINIK DAN LABORATORIUM DATA KLINIK 14 Maret 11 Tekanan Darah Nadi Respirasi Suhu (C ) Nyeri dada
o

Normal 15 Maret 11 130/80 16 Maret 11 140/80 17 Maret 11 130/80 18 Maret 11 120/80 120/80 120/80 19Maret 11

170/80

69 20 36,8 +

75 16 36,6 +

72 20 37

76 20 37

80

60-80 12-20

37

37 C

Sesak Batuk GCS

+ + 456

+ + 456

456

456

DATA LABORATORIUM 14 Ma ret 11 Pk 07. 50 WBC HB 8 10, 1 Plt Albumin GDA GD Puasa GD 2 jpp SGOT SGPT Kolesterol Trigliserid 22 19 165 146 138 27 24 231 186 25 26 115 339 497 4,1 107 89 150-450 3,8-5,4 g/dL 70-110 mg/dL < 126 < 140 5-34 IU/L 11-60 IU/L < 220 34-134 12,5 11,4 4,5-10,5 x103/L 11-18 g/gL 14 Maret 11 Pk 15.00 15 Maret 11 16 Maret 11 17 Mare t 11 19 Maret 11 Normal

a HDL LDL TP BUN Creatinin LED Ureum 27, 8 Asam Urat K 2,9 9 Na 148 ,6 Cl Ca Phospat PPT 112 9,7 3,8 13,2 12 APTT 38,1 28,5 Jantung Kontrol < 7 Kontrol < 2 111,8 94-104 mmol/L 8,1-10,4 mg/dL 2-5 mg/dL 144,5 143,8 136-144 mEq/L 3,3 8,3 3,07 3,39 3,4-5,7 3,8-5 mEq/L 13 1,6 38 156 8,3 21,5 1,6 15 26,6 1,6 41.5-67.3 < 130 6,6-8,7 5-23 mg/dL 0,6-1,1 mg/dL < 20

CK-MB LDH Troponin Urinalisis

5,2 350 (-)

2,7

< 24U/L 313-618

(-)

PH 8, leuko 500/L, nitrogen (+), protein 75 mg, glukosa normal, keton (-), UBG normal, Bil (-), erutrosit 250/L, color yellow

Sedimen

Sel erytrosit banyak, sel leukosit 8-10, sel epitel 8-10, bakteri (+), yeast (+)

4. PATOFISIOLOGI PENYAKIT Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih dan diukur lebih dari satu kali kesempatan. Kedua sumber menyatakan yaitu Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII mengklasifikasikan tekanan darah untuk usia 18 tahun ke atas menjadi empat kelompok berdasarkan tekanan darah Sistolik/Diastolik yaitu tekanan darah normal (<120/<80), prehipertensi (120-139/80-89), hipertensi tingkat 1 (140-159/90-99), dan hipertensi tingkat 2 (160/100). Pasien yang tekanan darahnya berada dalam kategori prehipertensi memiliki risiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi dibanding dengan orang yang tekanan darahnya lebih. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi > 10 tahun.Terjadinya hipertensi dapat menyebabkan pasien juga mengalami hipokalemia sehingga pasien mengalami sesak dan penurunan kadar Hb. Untuk itu diperlukan intake O2 dari luar untuk mengobati rasa sesak yang dialami pasien dan meningkatkan kadar Hb agar kembali normal. Hipokalemia terjadi ketika total kalium tubuh mengalami defisit atau ketika kalium dalam serum berpindah ke kompartemen intraseluler. Deifisit kalium total tubuh dapat terjadi ketika intake makanan yang mengandung kalium kurang atau ketika terjadi gangguan ginjal dan kehilangan kalium di gastrointestinal. Intake kalium secara konsisten dan berkelanjutan sangat penting karena tubuh tidak memiliki fungsi penyimpanan kalium. Pada kadar tunak, eksresi kalium selalu diimbangi dengan intake kalium, yaitu sebanyak 90% yang dieksresikan ke ginjal, sementara 10% dieksresikan melalui feses. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mengkonsumsi makanan yang mengandung kalium. Pasien usia lanjut dengan penyakit kronik dan kemudian mengalami pembedahan dapat mengalami peningkatan resiko terjadinya hipokalemia karena kekurangan intake kalium atau kehilangan kalium akibat pembedahan.

Banyak obat-obatan yang dapat menyebabkan hipokalemia dengan berbagai macam mekanisme termasuk pergantian kalium intraseluler. Obat-obatan yang paling umum menginduksi terjadinya hipokalemia adalah obat-obat diuretik golongan thiazid dan diuretik kuat. Mekanisme obat-obat tersebut adalah dengan menghambat reabsorbsi natrium di ginjal, yang menyebabkan tranportasi natrium ke tubulus distal meningkat. Resiko yang sering timbul dari hipokalemia biasanya disebabkan karena

reabsorpsi natrium di tubulus ginjal secara selektif dan eksret kalium yang dapat menurunkan gradien konsentrasinya. Kedua, karena diuretik berpengaruh terhadap konstraksi volume, aldosteron disekresikan sehingga dapat mempromosikan eksresi kalium di ginjal. Jika suplemen kalium tidak diberikan pada pasie yang mengkonsumsi obat-obat golongan thiazid dan diuretik kuat dapat terjadi hipokalemia ringan sampai sedang (Dipiro, 1997). Peningkatan tekanan darah berkorelasi langsung dengan peningkatan kadar asam urat. Asam urat meningkat karena renal menghasilkan renin kemudian menghasilkan angiotensinogen dan angiotensinogen I menjadi angitensinogen II yang salah satunya mengakibatkan vasokonstriksi melalui penurunan enzim nitrit oksidase di endotel kapiler. Peningkatan asam urat pada manusia juga berhubungan dengan disfungsi endotel dan aktivitas renin sehingga terjadi hipertensi. Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat pasien dengan menghambat enzim xantin oksidase, yaitu enzim yang berperan untuk konversi hipoxantin menjadi xantin yang akan menjadi asam urat (Anonim,2010).

Hipertensi juga dapat menyebabkan komplikasi seperti diabetes melitus. Diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena

aged related insulin resistance atau aged related insulin inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age. (Rochmah W,2006) Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran (Martono H, 2007). Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua: Penurunan aktifitas fisik Peningkatan lemak Efek penuaan pada kerja insulin Obat-obatan Genetik Penyakit lain yang ada Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2 (Martono H, 2007). Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) (Martono H, 2007). 5. KOMPOSISI TERAPI a. terapi Farmakologi R/ Acarbose

S.3.d.d.1 tab
R/ Humulin 3x4 U R/ Glibenklamid S.1.d.d.1 tab R/ Captopril 25 mg

S.3.d.d.1 Tab R/ ASA 100 mg S.1.d.d.1 tab R/ Laxadin Syrup S.3.d.d.1 C R/ Simvastatin

R/ Infus PZ 14 tpm S.p.r.n R/ KSR 600 mg S.1.d.d R/ KCl 25 mEq S.p.r.n R/ O2 S.p.r.n Terapi O2 PZ+KCL Dosis 3 lpm 25 meq/24 jam dlm 500 PZ 14 tetes/menit 1x 100mg 3x 12,5 mg 0-0,25mg 3x1 C 1x600mg 30mg 3x4 U 3x50mg Rute Inf 14 15 16 17 18 19 20

ASA Captopril Simvastatin Laxadin syrup KSR glibenklamid Humulin Akarbose

Po Po Po Po Po Po SC 15ac po ac

b. Terapi Non Farmakologi Semua pasien dengan hipertensi maupun prehipertensi dianjurkan untuk mengubah gaya hidup mereka. Selain untuk menurunkan tekanan darah, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berkembangnya penyakit tersebut. Diet sehat merupakan salah satu terapi yang dianjurkan untuk mengurangi berat badan secara bertahap bagi pasien hipertensi dengan berat badan berlebih atau obesitas. Penurunan berat badan sebanyak 10 kilogram secara signifikan dapat menurunkan tekanan darah pada

individu dengan hipertensi yang disertai obesitas. Obesitas erat kaitannya dengan sindroma metabolic yang merupakan precursor terjadinya resistensi insulin yang dapat berkembang menjadi DM tipe 2, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular lainnya. Diet untuk pasien hipertensi adalah diet yang kaya buah , sayur, susu rendah lemak, sementara asupan natrium yang dianjurkan oleh JNC7 adalah 2,4 g (100 mEq) per hari, serta penggunaan alcohol harus dihindari (Saseen and Carter, 2005). Aktivitas fisik seperti latihan aerobic minimal 30 menit secara teratur setiap hari dalam seminggu juga dianjurkan. Penelitian telah menunjukkan bahwa olahraga seperti jogging, berenang, berjalan dan bersepeda dapat menurunkan tekanan darah. Merokok juga merupakan faktor resiko dari kejadian hipertensi. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling secara teratur dan menyeluruh serta diberi penjelasan dan pengertian agar mereka berhenti dari merokoknya (Saseen and Carter, 2005).

6. PEMBAHASAN TERAPI YANG DIBERIKAN a. Tujuan Terapi Mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggi dengan cara-cara seminimal mungkin mengganggu kualitas hidup pasien. mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg sambil mengendalikan faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya. mencegah akibat-akibat defisiensi insulin yang akan segera timbul, yang meliputi hiperglikemia simptomatik (yaitu : polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan), ketoasidosis diabetika (KAD) dan sindroma hyperosmolar non-ketotic (SHNK) dan mencegahkan atau meminimalkan komplikasi-komplikasi penyakit yang berlangsung lama yang timbul akibat diabetes mellitus. untuk mencegah terjadinya hipokalemia, sehingga dalam pengobatan hipertensi ini diberikan terapi untuk menambah asupan kalium agar kembali normal. b. Terapi Farmakologi 1) ACARBOSE Acarbose adalah obat anti-diabetes digunakan untuk mengobati tipe 2 diabetes mellitus. Acarbose merupakan inhibitor glukosidase alfa, enzim pencernaan yang diperlukan untuk mencerna karbohidrat. Hal ini menurunkan kadar gula dalam darah. Acarbose kadang digunakan bersamaan dengan obat diabetes lainnya yang dikonsumsi secara oral (melalui mulut). Acarbose digunakan dalam pengobatan diabetes tipe 2 (non insulin-dependent). Sebagai tambahan pada terapi OHO sulfonilurea atau biguanida pada Diabetes mellitus yang tak dapat dikendalikan dengan diet dan obat-obat tersebut. Acarbose terutama sangat bermanfaat bagi pasien DM yang cenderung meningkat kadar gula darahnya segera setelah makan (hiperglikemia postprandial), pasien DM yang diterapi dengan insulin, umumnya akan menurun penggunaan insulinnya jika sudah

dikombinasi dengan acarbose.Obat-obat inhibitor alpha-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat diabetes lainnya, seperti OHO golongan sulfonilurea, metformin, atau insulin. Mekanisme kerjanya adalah Senyawa-senyawa inhibitor alpha-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim-enzim alpha glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida,pada dinding usus halus.Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada pasien diabetes. Senyawa inhibitor alpha-glukosidase juga menghambat enzim a-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Acarbose tidak merangsang sekresi insulin oleh sel-sel -Langerhans kelenjar pankreas.Oleh sebab itu tidak menyebabkan hipoglikemia, kecuali diberikan bersama-sama dengan OHO yang lain atau dengan insulin.Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl.Pasien yang mendapat terapi acarbose saja umumnya tidak akan meningkat berat badannya, bahkan akan sedikit menurun.Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin, atau insulin. Dosis yang dapat diberikan : Dosis awal: 50 mg melalui mulut (per oral), 3 kali sehari dengan makanan. Tingkatkan dosis dengan jarak 4-8 minggu, sesuai yang dibutuhkan. Dosis rumatan: 100 mg melalui mulut (per oral), 3 kali sehari dengan makanan. Dosis maksimum: 200 mg melalui mulut (per oral) , 3 kali sehari dengan makanan. Acarbose tidak diserap ke dalam darah, oleh sebab itu efek samping sistemiknya minimal.Efek samping yg sering terjadi, terutama gangguan lambung, lebih banyak gas, lebih sering flatus dan kadangkadang diare, yg akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih lama. Efek samping ini dapat berkurang dgn mengurangi konsumsi karbohidrat.Kadang-kadang dapat terjadi gatal-gatal dan bintikbintik merah pada kulit, sesak nafas, tenggorokan serasa tersumbat, pembengkakan pada bibir, lidah atau wajah.Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea atau dengan insulin, dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian sukrosa (gula pasir). 2) HUMULIN R Humulin R adalah insulin yang bersifat Kerja cepat (Shor Acting Time), bentuknya jernih dapat diberikan secara SC / IV mulai bereaksi 0.5 - 1 jam, puncak 2 - 4 jam, dan lamanya 6 - 8 jam. Humulin R

digunakan untuk pengobatan DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula darahnya dapat dikendalikan dengan diet dan antidiabetik oral, DM dengan berat badan yang menurun cepat, DM dengan komplikasi akut, DM paskabedah pankreas, ketoasidosis dan koma hiperosmolar, DM dengan kehamilan. Mekanisme kerja humulin R adalah Insulin menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik.Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya membantu transpor glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh. Efek samping terapi insulin yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia. Keadaan ini dapat terjadi akibat :

Dosis insulin yang berlebihan Saat pemberian yang tidak tepat Penggunaan glukosa yang berlebihan, misalnya olahraga anaerobic berlebihan Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis

Parameter monitoring :

Kadar glukosa darah puasa : 80120mg/dl Kadar hemoglobin A1c : <100mg/dl Gejala hipoglikemia

3) GLIBERCLAMIDE Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan kedua sulfonilurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Glibenklamid memiliki durasi aksi yang panjang dan cukup diberikan sekali sehari. Dosis yang diberikan dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per hari, setelah itu dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari. Mekanisme kerjanya yaitu merangsang

sekresi insulin dari sel-sel -Langerhans; menurunkan keluaran glukosa dari hati; meningkatkan sensitivitas sel-sel sasaran perifer terhadap insulin Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung. Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan. 4) CAPTOPRIL Golongan: anti hipertensi ACE-Inhibitor. Indikasi: pengobatan hipertensi pada pasien CHF yang tidak merespon atau tidak terkontrol dengan terapi konvensional, diebetic nephropathy. Mekanisme kerja: Dalam kerjanya, kaptopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi

aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta meretensi kalium. vasodilatasi secara langsung akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi peningkatan kerja jantung. Vasodilatasi yang timbul tidak menimbulkan reflek takikardia. Di ginjal ACE inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada arteriol eferen disbanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada nefropati diabetic dan sindrom nefrotik. Dan juga untuk memperlambat progesivitas nefropati diabetic. Dosis : hipertensi oral 1-2 dd mg, bila perlu setelah 2-3 dd 50 mg, dekompensasi 3 dd 6,25-12,5 mg, berangsur-angsur dinaikan sampai 3dd 25-50 mg, setelah infark jantung ; semula 6,25mg, berangsur-angsur dinaikan sampai 2-3 dd 50mg. Efek samping : hilangnya rasa, batuk kering dan exanthema. Alasan pemilihan obat: hipertensi dapat mennyebabkan kerusakan nefron ginjal. oleh karena itu diperlukan obat yang dapat menurunkan tekanan darah sehingga bisa memperlambat kerusakan ginjal. kaptopril adalah obat gol ACEI yang memiliki efek hipotensive kuat dan memiliki efek positif terhadap lipid darah serta mengurangi resitensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes,

dislipidemia dan obesitas serta sering digunakan untuk mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan nefropati DM. penggunaan diuretic golongan tiazid spt HCT dapat menimbulkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi insulin. Pada diuretic kuat dan diuretic hemat kalium dapat menyebabkan

hiperkalsiuria,sehingga penggunaan kombinasi obat ini dgn ACE inhibitor sebaiknya dihindari.Pemakaian beta bloker pada pasien DM yang mendapat insulin atau obat hipoglikemik oral sebaiknya dihindari karena dapat menutupi gejala hipoglikemia. 5) ASA ASA digunakan sebagai antiplatelet yang digunakan secara PO dengan dosis 160 mg x 1/hari setelah makan selama MRS. ASA bekerja dengan mengagregasi platelet hingga kadarnya kembali normal. ASA bekerja secara sinergis dengan clopidogrel sebagai obat antiplatelet. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain mual dan dispepsia. 6) Laxadine Dosis : Dewasa : 1-2 sendok makan, Anak-anak : dosis dewasa ( Diminum sekali sehari malam hari menjelang tidur 1 sendok makan = 15 ml). Indikasi: Diberikan pada keadaan konstipasi yang memerlukan Perbaikan peristaltik. Mekanisme Laxadine emulsi merupakan pencahar yang tidak mengiritasi mukosa usus. Bekerja dengan cara merangsang peristaltik usus besar, menghambat reabsorpsi air dan melicinkan jalannya faese. Efek samping : Reaksi alergi kuli rash dan pruritus, perasaan terbakar, kolik, kehilangan cairan dan elektrolit, diare, mual dan muntah. Pemilihan obat pencahar digunakan untuk orang hipertensi karena pada. 7) Infuse PZ + KCl Infus PZ pada terapi ini merupakan sebagai sumber air dan elektrolit sebagai pengganti cairan-cairan tubuh. Infuse PZ mengandung natrium klorida 0,9% injeksi yang diindikasikan juga untuk digunakan sebagai solusi priming dalam prosedur hemodialisis dan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi. Infuse PZ diberikan 21 tetes /menit yang ditambahkan dengan KCl. KCl pada terapi ini berfungsi sebagai asupan kalium karena pasien didiagnosis hipokalemia. Alasan KCl ditambahkan pada infuse PZ adalah karena pada saat masuk rumah sakit pasien merasa sesak sehingga tidak memungkinkan untuk intake obat secara peroral. Reaksi yang mungkin terjadi dari terapi ini karena larutan atau teknik administrasi, termasuk respon demam, infeksi pada tempat injeksi, trombosis vena atau flebitis memanjang dari tempat injeksi, ekstravasasi, dan hipervolemia (McEvoy, 2007). 8) KSR

KSR atau Kalium Sustained Release adalah suplemen kalium yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan hipokalemia. Penggunaannya secara bergantian dengan KCl yang ditambahkan pada infuse PZ dan di intake satu kali sehari secara per oral. Resiko hiperkalemia dari obat ini dapat meningkat seiring penggunaannya bersama obat-obat ACE inhibitor dan diuretic hemat kalium. Maka dari itu perlu dilakukan monitoring obat-obatan tersebut selama masih digunakan pada pasien hipertensi ini. 9)

7. MONITORING Infus PZ : monitoring dilakukan untuk menghindari hipernatremia. KCl : monitoring tekanan darah dan volume cairan tubuh karena dapat menyebabkan hipotensi dan dehidrasi HCT : timbang BB pasien setiap hari, monitoring kalium, natrium, kalsium, magnesium, pH darah, ABGs, asam urat, monitoring nitrogen nonprotein ginjal, BUN, kreatinin, fungsi hati, monitoring kadar gula dalam darah dan urin ASA : monitoring Hb Simvastatin : monitoring kadar kolesterol, trigliserida, LDL, HDL 8. KIE Jangan konsumsi obat lain tanpa seizin dokter atau apoteker. Konsumsi obat sesuai dosis dan aturan pakai yang diberikan dokter Monitor kadar glukosa darah sebagaimana yang dianjurkan oleh dokter Jika Anda merasakan gejala-gejala hipoglikemia (pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunangkunang), pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, segera hubungi dokter. Jika Anda sudah pernah mengalami hipoglikemia, selalu bawa sekantung kecil gula jika Anda bepergian. Segera makan gula begitu Anda mendapat serangan hipoglikemia. Jika Anda sudah pernah mengalami hipoglikemia, selalu bawa sekantung kecil gula jika Anda bepergian. Segera makan gula begitu Anda mendapat serangan hipoglikemia

DAFTAR PUSTAKA Anonim., 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, DepKes RI. Anonim., 2006, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, PT. InfoMaster lisensi dari CMPMedica. Tjay, T. H., Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, edisi 5, cetakan ke I, PT. Elex Mania Komputindo Gramedia, Jakarta. Wilhiam, Skach,MD, dkk., 1996, Penuntun Terapi Medis (Hannd Book Of Medical Treatment), edisi 18, EGC, Jakarta. Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, hal 47-74, 83-90, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dipiro, Josep T, 1997 Pharmacotherapy Pathophysiologic Approach, Appleton and Lange, 185-214 Tierney,L.M., and Stephen, J, 2004 Current Medical Diagnosis Treatment, Lange Medical Book 2004. (page 459-483)

Anda mungkin juga menyukai