Anda di halaman 1dari 16

REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH1

Oleh Miftah Thoha2

Semenjak pemerintah Presiden Suharto berakhir, terbitlah harapan untuk melakukan perbaikan birokrasi pemerintah. Setelah diamati selama empat tahun ini perjalanan perbaikan itu berjalan ditempat. Dua tahun pemerintahan Presiden Habibie yang dianggap tidak ligitimate itu barangkali belum sempat melakukan perbaikan yang berarti. Akan tetapi selama pemerintah Presiden Abdurahman Wakhid yang dipilih secara demokratis oleh wakil rakyat, perbaikan itu juga belum bisa dikatakan memberikan papan bagi birokrasi pemerintah untuk menciptakan sistem yang mantap. Selama satu tahun di bawah Presiden Gus Dur tidak ada kemajuan yang berarti, bahkan menciptakan kondisi birokrasi pemerintah yang semakin mengkhawatirkan. Demikian pula semenjak Presiden Megawati mengambil over kepemimpinan Presiden sebelumnya Gus Dur, perbaikan atau reformasi birokrasi iru tidak ada gejala perbaikan. Kelembagaan birokrasi pemerintah semakin transparan dalam melakukan korupsi, dan akontabilitas publik menjadi pertanyaan besar untuk saat ini. Kedudukan birokrasi terhadap partai politik semenjak Presiden Suharto tidak lagi bisa dikatakan netral. Walaupun selama pemerintahan orde baru Golkar yang menguasai Pemerintah saat itu bukan partai politik. Akan tetapi birokrasi pemerintah jelas tidak bisa netral dari kekuatan politik. Semua posisi dan jabatan birokrasi terkooptasi dan memihak kepada Golkar. Cara seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jaman pemerintahan Presiden Soekarno yang memberikan akses kepada tiga partai politik Naskom untuk mengkapling birokrasi departemen pemerintah. Situasi dan kedudukan birokrasi pemerintah dua pemerintahan orde lama dan orde baru itu tidak bisa dipisahkan dari kondisi yang diwariskan oleh hasil pemilu 1955 yang dikatakan demokratis itu. Empat partai besar pemenang pemilu 1955 mencoba menduduki departemen pemerintah untuk mengusai resources bagi partainya masing-masing. Dari semangat dan keinginan seperti ini membuat birokrasi pemerintah terkotak-kotak sebagai kapling partai politik. Partai politik membangun blok (building block) di birokrasi pemerintah untuk kepentingan partainya. Netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik sulit bisa dihindari.

1 2

Seminar Good Goverance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002 Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM, Yogyakarta 1

Sekarang, selama pemerintahan Megawati nampaknya akan mengulangulang cara-cara lama yang memupuskan harapan untuk melakukan reformasi birokrasi. Dahulu semenjak membentuk kabinet yang pertama kali setelah Gus Dur dipilih, di Departemen Kehutanan ribut tentang pengangkatan Sesjen dari orang satu partai dengan menterinya. Demikian pula di beberapa depertemen dan di kantor Menteri Negara seperti Diknas, BUMN dan lai-lainnya, diangkat beberapa eselon satu yang satu nafas politiknya dengan menterinya. Sekarang hal semacam itu tidak bisa lagi dihindari. Birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai semakin kuat untuk menguasai birokrasi pemerintah. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan tetapi kebutuhnan menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang netral, profesional, dan mantap tidak bisa juga dihindari. Keduanya merupakan kebutuhan yang esensial yang mestinya disadari oleh Presiden. Kelembagaan birokrasi pemerintah mestinya memperoleh perhatian yang pertama sebelum semuanya diperbaiki. Selain kehadiran sistem politik yang berlainan dan keadaan krisis ekonomi dan anggaran yang belum nampak perbaikannya, maka faktor lain adalah rendahnya akontabiliyas publik yang dilakukan oleh kelembagan birokrasi pemerintah. Keadaan seperti ini, bisa dipergunakan sebagai salah satu strategi perubahan atau reformasi birokrasi pemerintah. Strategi ini bisa diawali dengan perubahan kelembagaan birokrasi pemerintah. Lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya. Pengamatan saya bahwa tidak adanya akontabilitas publik, tidak adanya transparansi dan kurang adanya pertanggung jawaban selama pemerintahan yang lalu yang dilakukan oleh pemerintah terhadap tindakan publik, karena pendekatan kekuasaan sangat sentral.

Leverage Points Perubahan sistem politik dan kehadiran banyaknya partai politik merupakan faktor pengungkit (leverage points) yang harus dipertimbangkan dalam refomasi birokrasi pemerintah. Faktor pengungkit kedua adalah akontabilitas publik yang disertai dengan upaya mengubah sistem dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan baik politik maupun administrasi. Faktor pengungkit ketiga adalah krisis ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi kita menjadi terpuruk. Krisis ekonomi ini mestinya ditanggapi oleh suatu kebijakan penghematan, efisiensi dan integrasi atas semua progran pemerintah dan kegiatan pemerintah dan diperanginya korupsi. (a). Multi Partai Kehadiran partai politik yang banyak seperti sekarang ini, membuat sistem politik yang dianut sekarang ini berbeda dengan sistem politik pada jaman pemerintahan orde baru. Sistem politik sekarang, seperti kita ketahui bersama terdiri dari banyak partai politik, menyerupai tahun 50 an. Pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem politik multi partai ini diperkirakan tidak akan ada lagi single majority yang menguasai pemerintahan. Paling tidak akan terjadi pemerintahan koalisi atau gotongroyong di antara beberapa partai politik pemenang pemilu seperti sekarang ini. Oleh karena itu sistem seperti ini akan berpengaruh terhadap struktur dan kultur kelembagaan birokrasi pemerintah. Selama pemerintahan orde baru, yang berkuasa dalam pemerintahan adalah partai pemenang pemilu. Adapun pemenangnya dari pemilu ke pemilu tetap dimenangkan single majority Golkar. Oleh karena itu struktur dan kultur kelembagaan birokrasi pemerintahan dikuasai oleh Golkar. Semua posisi jabatan dalam organisasi departemen ditempati oleh kader-kader Golkar. Sehingga sulit dibedakan manakah yang birokrat tulen manapula yang birokrat partisan. Struktur organisasi departemen pemerintah sulit dibedakan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karier. Suasana seperti ini berlangsung cukup lama, sehingga mengakibatkan terbentuknya sikap, perilaku, sistem dan opini para pimpinan kita bahwa kelembagaan birokrasi pemerintah sudah selakayaknya mendukung kekuatan politik yang berkuasa. Lebih jauh dari itu para pemimpinnya lebih menyenangi kekuasaan katimbang melayani dan memperhatikan kepentingan rakyatnya.

Sekarang ini di bawah kepemimpinan Megawati Ketua Umum partai pemenang pemilu 1999, para pimpinan partai politik yang ikut menggotong royang kabinet Megawati menjabat menteri mau melestarikan atau mewarisi cara-cara Golkar sewaktu dahulu memerintah. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan non karier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik. Kalau sekarang kita akan mengubahnya, kondisi mental, sikap dan perilaku politik kita belum berubah, maka akan mengulang-ulang warisan dari pemerintahan yang lama. Jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita yang memungkinkan pertanggung jawaban publik bisa dijalankan, maka kondisi perubahan sistem politik ini hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat mapun daerah ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku orde baru yang single majority dan otoritarian menjadi sikap demokratis yang multi partai. Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan dibedakan secara jelas akses politik dalam birokrasi pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak mempergunakan back street dalam bermain politik di birokrasi pemerintah. Ingin menguasai birokrasi pemerintah dengan mengeser jabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang politiknya. Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Ketika keinginan memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi (Carino, 1994). Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang
4

menguasi, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian timbul dua bentuk alternatif solusi yang utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation, atau attempt at co-equality with the executiveCarino, 1994). Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal rakyat atau berasal dari public interest.(The political leadership bases its claim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some notion of the public interest). Supremasi mandat ini diligitimatisasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford, 1969). Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi ini, sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi seperti dikatakan di depan, suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai dari sejak penemuan administrasi negara sebagai suatu ilmu (Wilson, 1987). Pemikiran tentang supremasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Slogan klasik pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administraion begin). Slogan ini mengartikan bahwa birokrasi pemerintah sebagai mesin pelaksana kebijakan politik yang dibuat oleh pejabat politik (Wilson, 1941). Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy-making) dan pelaksanaan (implementation), antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi (Kirwan, 1987) Adapun bureaucratic sublation di dasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max Weber sendiri mengenalkan bahwa birokrasi yang real (sebagai lawan dari tipe ideal) itu mempunyai
5

kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Menurut Weber : The question is always who controls the existing bureaucratic machinery. And such control is possible only in a very limited degree to persons who are not technical specialists. Generally speaking, the trained permanent official is (more) likely to get his way in the long run than his nominal superior, the Cabinet minister, who is not specialist (1947) Pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen. Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis. Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equality with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan kekuatan yang a politic but highly politized . Birokrasi bukan merupakan partisan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional. (b).Akontabilitas Publik Tidak adanya akontabilitas publik merupakan merupakan salah satu pengungkit lain yang seharusnya dipergunakan sebagai faktor pendorong untuk melakukan perubahan atau reformasi kelembagaan birokrasi pemerintah, Menurut saya tidak adanya akontabilitas publik itu salah satu penyebabnya ialah penggunaan kekuasaan pemerintaha selama ini sangat eksessif. Oleh karena itu ada baiknya dijelaskan di sini pengalaman pemerintah dalam menggunakan kekuasaan selama ini. Dari dahulu kelembagaan pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Paradigma kekuasaan selalu bergulir dari waktu-ke waktu, bergerak antara lembaga eksekutif dan legislatif yang di dalamnya peran militer ikut mewarnai dari paradigma kekuasaan tersebut. Pelakupelakunya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan, yakni antara partai politik dan birokrasi pemerintah termasuk militer. Pada kurun waktu tertentu lokus kekuasaan berada pada lembaga eksekutif. Di sini pemerintah lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan katimbang
6

lembaga-lembaga yang ada. Sehingga dengan demikian penggunaan kekuasaan fokusnya diarahkan agar supaya sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara di satu tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik yang berada di lembaga legislatif memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan. Pemerintah bisa dijungkir- balikkan sesuai dengan mosi tidak percaya dari lembaga ini. Sekarang ini pemerintah bisa dikritik dan ditolak laporan pertanggungjawabannya, sehingga bisa diempeach. Stabilitas pemerintahan tidak tercapai, sementara itu profesionalisme baik di lembaga legsilatif dan eksekutif tidak juga bisa diwujudkan. Tarikmenarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan berada di kedua lembaga tersebut. Sementara itu rakyat tidak pernah merasa terwakili dalam permainan kekuasaan itu. Partai politik yang seharusnya sebagai wakil rakyat itu menghubungi dan mengenal rakyat ketika diadakan pemilu saja, seterusnya rakyat dilupakan dan hanya memperjuangkan kekuasaan ego partikular dan elite pimpinannya saja. Perkembangan kelembagaan pemerintahan yang cenderung menjadi instrumen kekuasaan dari para elite membuat rakyat senantisa berada pada posisi objek dan sasaran. Adapun subjek pelakunya adalah para penguasa yang memperoleh kekuasaan dari rakyat. Pertanggung jawaban publik menjadi amat rendah dan cenderung boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Dan pada akhir dari pemerintahan orde baru mulai dirasakan perlunya reformasi. Upaya melakukan reformasi itu melahirkan suatu keinginan untuk mencoba mengenalkan paradigma pemerintahan yang menyelenggarakan tata kepemerintahan yang baik, amanah dan demokratis. Pada awal reformasi kita mengenal paradigma pemerintahan madani, namun apapun istilah yang akan kita pakai, kita berkuajiban menghadirkan tata kepemerintahan yang amanah dan bertanggung jawab kepada publik.Tata kepemerintahan seperti itu ingin mengembalikan supremasi sipil yang transparan, akontable, bermoral amanah dan bertanggung jawab kepada publik. Dari praktika kekuasaan yang dijalankan selama ini oleh pemerintah sedikit banyak telah membuat transparansi dan pertangung jawab publik yang dilakukan oleh pemerintah menjadi mandul. Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksessif. Ada korelasi yang positif antara tingkatan hirarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi layer hirarki jabatan seseorang dalam birokrasi maka semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah layer hirarkinya semakin kecil (powerless). Adapun yang berada di luar layer-layer hirarki (beyond the hierarchy) adalah rakyat
7

yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kekuasaan birokrasi. Korelasi ini menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan pada hirarki atas sangat tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan di tinggkat bawah. Dengan kata lain sentralisasi kekuasaan yang berada di tingkat hirarki atas semakin memperlemah posisi pejabat di hirarki bawah dan tidak memberdayakan rakyat yang berada di luar hirarki. Sekaligus korelasi semacam ini mengartikan bahwa hirarki bawah dianggap kurang mampu mengatasi segala urusan, atau hirarki bawah tidak berani melakukan tindakan kalau tidak sepengetahuan hirarki atas. Itulah sebabnya responsi birokrasi terhadap pelayanan yang diberikan kepada rakyat tidak pernah ada, dan rakyat tidak berdaya menghadapi birokrasi pemrintah. Anggapan seperti inilah yang membuat birokrasi pemerintah sangat tergantung pada seseorang atau kelompok dan golongan yang amat berkuasa. Sekali lagi sentralisasi kekuasaan sangat kuat di birokrasi pemerintah. Rakyat yang mestinya memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah, karena konstelasi kekuasaan seperti itu maka situasinya di balik, rakyat melayani birokrat. Rakyat yang seharusnya dilayani dan diperjuangkan kepentingannya oleh elite partai politik berbalik rakyat melayani pimpinan partai politik dengan memberikan suara dalam pemilu. Penggunaan kekuasaan seperti itu lebih memberikan penekanan pada sisi power dilihat dari perspektif capacity to act (Hindess, 1996). Oleh karena penekanannya pada kemampuan untuk melakukan tindakan, maka kekuasaan dijadikan sebagai sarana dominasi (an instrument of domination). Birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan yang disandangnya, sehingga terbentang hubungan yang tidak imbang (unequal relation) antara birokrasi pemerintah yang berkuasa dengan rakyat yang dikuasai. Partai politik menggunakan rakyat untuk memenangkan pemilu dan menghantarkan elite pimpinannya menjadi pimpinan negara dan pemerintah, sementara itu setelah menang partai politik melupakan kepentingan rakyat dengan memperkaya dirinya sendiri. Konstelasi kekuasaan seperti ini yang membuat birokrasi pemerintah dan kekuatan politik lainnya tidak mempunyai akontabilitas dan pertanggung jawaban publik terutama kepada rakyat dan masyarakat pada umumnya. Adapun yang amat menonjol ialah diperkuatnya kuajiban untuk melakukan repsonsibilitas terhadap pejabat pada hirarki di atas, baik politik maupun birokrasi. Pejabat birokrasi diangkat oleh pejabat yang berkuasa pada hirarki tertinggi dalam departemennya. Oleh karena itu ada semacam kuajiban mutlak untuk tunduk dan bertanggungjawab pada
8

pejabat atasan tersebut. Wakil rakyat di DPR diangkat oleh pimpinan partainya masing-masing. Mereka lupa bahwa rakyat mempunyai andil yang amat besar terhadap eksistensi kepemimpinan mereka dalam pemerintahan dengan membayar pajak, retribusi, dan pungutan-pungutan lainnya. Demikian juga jangan lupa mereka dijadikan pejabat, karena ada pemilu. Dan pemilu sangat ditentukan oleh suara rakyat, kalau rakyat tidak ikut mensukseskan pemilu jangankan jadi anggota Dewan jadi, jadi Presidenpun barangkali tidak. Penggunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah seperti yang diutarakan di atas selama ini, tidak jauh bedanya dengan aplikasi teori elite seperti yang dikenal dalam referensi kehidupan politik di negaranegara maju. Teori ini menekankan bahwa kekuasaan itu tidak hanya berada ditangan elite birokrasi pemerintah, akan tetapi juga pelaksanaan kekuasaan itu berada di tangan elite yang tidak bertanggungjawab. Itulah sebabnya birokrasi pemerintah tidak mempunyai akontabilitas terhadap rakyat ( Hunter, 1953; Mill, 1959) Pemahaman peranan rakyat terhadap eksistensi birokrasi pemerintah selama ini, kurang memperoleh perhatian dan penekanan dalam kehidupan birokrasi publik.Teori elite tidak hanya satu-satunya solusi dalam mencairkan power dalam birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah seharusnya bukannya takut kepada atasannya melainkan harus takut kepada rakyat yang mempercayainya. Kontrol masyarakat harus dijadikan perhatian bagi perbaikan kinerja birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah tidak lagi seperti yang dipostulatkan oleh para pakar politik selama ini sebagai satu-satunya pusat kekuasaan (the only power center). Dahulu mungkin benar, akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi menjelang abad 21 ini membuat situasi dan konstelasinya harus di balik. Pusat kekuasaan ada di tangan rakyat. Dengan demikian jika kegiatan birokrasi pemerintah tidak lagi cocok dengan keinginan rakyat, atau melanggar aspirasi rakyat, maka birokrasi harus mau mempertanggung jawabkan kepada rakyat. Jika akontabilitas ini benarbenar dikerjakan oleh birokrasi pemerintah, maka transparansi, keterbukaan, kejujuran dan amanah akan diperlihatkan oleh kinerja birokrasi pemerintah. Upaya untuk mengubah pemusatan kekuasaan yang ada di tangan elite birokrasi pemerintah itu, sehingga akontabilitas publik bisa dilakukan ialah dengan membiasakan melakukan desentralisasi kekuasaan, disertai dengan check dan balance. Pemusatan kekuasaan (sentralisasi) perlu
9

segera dikendorkan dengan mengalihkan kepada upaya desentralisasi. Isue masa depan adalah isue desentralisasi. Memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk bisa berperan serta dalam melakukan kegitankegiatan pemerintahan yang pada gilirannya akan mengurangi penyimpangan, korupsi, dan tindakan-tindakan kesewenangan dari birokrasi pemerintah sangat diseyogyakan di waktu-waktu yang akan datang.. Pentingnya desentralisasi kekuasaan birokrasi pemerintah itu, selain untuk mengembalikan kekuasaan (empowerment) kepada rakyat, juga karena didorong oleh adanya keterbatasan yang dialami oleh birokrasi pemerintah sendiri. Tidak semua perkara bisa dikerjakan oleh negara atau birokrasi pemerintah. Semua urusan yang selama ini selalu bersarwa negara itu sudah tidak pada tempatnya lagi. Keterbatasan pemerintah untuk menggali sumber pendapatan (revenues), perpajakan, dan perbelanjaan anggaran telah menghimpit semua program-program pemerintah. Keterbatasan pemerintah untuk memanfaatkan sumbersumber daya baik alam, tenaga kerja maupun keuangan tidak bisa lagi dipertahankan. Pengakuan terhadap keterbatasan inilah yang menentukan terhadap upaya-upaya desentralisasi kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan merupakan upaya untuk menegakkan demokrasi dalam pemerintahan. Pemerintahan yang demokratis melahirkan para pemilih yang demokratis pula. Pemilih demokratis yang berupa rakyat ini di beberapa negara yang mengikuti sistem demokrasi telah menjadi suatu kekuatan ancaman untuk meminta pertanggung jawaban publik harus segera dilaksanakan. Mereka menuntut uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintah dipergunakan secara jelas untuk kemanfaatan rakyat. Semenjak tahun 1970 tekanan fiskal kepada pemerintah semakin kuat. Pemilih demokratis ini ingin mengetahui aliran penggunakan dan pemanfaatan fiskal itu. Demikian pula pemilih demokratis ini tidak lagi bertoleran terhadap segala macam pemborosan, inkomptensi dan kecerobohan yang dilakukan oleh instansi publik (Marc Robinson, Media Indonesia, 8 Juli 2002). ( c ). Krisis Ekonomi Selain faktor pengungkit di bidang politik dan akontabilitas publik, maka pengungkit berikutnya ialah krisis ekonomi yang melanda bangsa ini semenjak lima tahun yang lalu. Krisis ini belum banyak perbaikan yang bisa dirasakan. Krisis ini seharusnya dihadapi dengan kebijakan
10

penghematan, efisiensi dan rasionalitas semua kebijakan, program kerja dan kegiatan dari lembaga birokrasi pemerintah ini. Kenyataan sehari-hari penghematan ini jauh dari harapan. Di jajaran pemerintah pusat kelembagaan birokrasi pemerintah susunannya masih menunjukkan lembaga yang besar dan tidak efisien. Banyak jenis organisasi lembaga pemerintah yang menangani tugas dan fungsi yang sama, dan didukung oleh para pejabat yang besar yang pada gilirannya membelanjakan anggaran belanja pemerintah yang cukup besar. Kebiasaan pergi ke luar negari yang dilakukan para pejabat baik eksekutif maupun legislatif (untuk studi banding-katanya) dalam suasana negara yang krisis anggaran merupakan contoh tidak adanya empati terhadap krisis. Susunan kelembagaan yang besar tidak hanya terda[at di dalam organisasi pemerintah pusast di pemerintah daerahpun terjadi. Sekarang ini lebih dari 400 eselon II di pemda. Inipun terus diturutinya keinginan untuk memekarkan, melebarkan dan membentuk pemda baru yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh terjadap jumlah anggaran pemerintah untuk membiayai lembaga baru dari pemekaran pemerintah daerah. Apakah krisis anggaran, krisis ekonomi itu memang tidak disadari atau memang kita ini sudah kebal terhadap penghematan. Adanya hanya bagaimana menghamburkan, menghabiskan dan mengkorupsi harta milik rakyat dan pemerintah ini. Oleh karena itu reformasi birokrasi pemerintah harus mencerminkan adanya prinsip efisiensi dalam setiap aktivitas penyusunan tatanan kelembagaan, penetapan program dan kegiatannya. Organisasi Lembaga pemerintah Non Departemen dan lembaga Kementerian Negara atau Departemen yang perlu dipertegas perbedaannya baik tugas, fungsi dan wewenangnya. Lembaga Kementeraian Negara atau Departemen mestinya merupakan lembaga kabinet yang berdimensi politik. Lembaga ini merupakan akses partai politik untuk meminpin pemerintahan. Lembaga ini dipimpin oleh Menteri sebagai pejabat politik pembantu Presiden (sistem Presidensiel) yang mestinya berasal dari kekuatan politik atau partai politik yang berkoalisi (atau gotong royong) dengan partai pemenang pemilu yang menjadi Preiden atau Perdana Menteri. Adapun lembaga pemerintah non departemen (LPND) atau executing agency merupakan lembaga pemerintah yang tidak diberi label departemen atau kementerian di bawah kendali langsung Presiden. Lembaga ini merupakan lembaga profesional yang dipimpin oleh orang atau ahli yang profesional di bidangnya. Lembaga ini bukan lembaga politik seperti kementerian atau departemen. Oleh karena itu lembaga ini sehrausnya tidak boleh dipimpin oleh orang-orang politik, akan tetapi dipimpin

11

pegawai pemerintah (PNS) yang profesional dan ahli dibidangnya yang menjadi tugas pokok dari lembaga tersebut. Perbedaan dan kejelasan dari kedua lembaga tersebut amat diperlukan, karena nantinya tidak akan terjadi saling tumpang tindih yang cenderung tidak efisien dan efektif. Lembaga kementerian memberikan masukan kebijakan kepada Presiden dari alur pemikiran atau aspek politik, sedangkan lembaga pemerintah non kementerian memberikan masukan kebijakan dari aspek keahlian, profesionalisme dan kajian yang berdimensi akademis keilmuan. Dengan demikian seorang Presiden diharapkan dapat menerima masukan kebijkan baik dari aspek politik maupun akademis keilmuan sesuai dengan bidang profesionalisme lembaga tersebut. Wawasan kebijakan Presiden akan luas, komprehensif, altruistik dan tidak subjektif hanya menekankan pada aspek politik saja apalagi aspek politik dari partainya sendiri. Reformasi Kelembagaan Birokrasi Pemerintah. Memahami konsep pemikiran seperti diuraikan di atas, maka upaya untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah dapat dikemukakan sebagai berikut: (1). Setiap lembaga departemen pemerintah baik dipusat dan di daerah yang dipimpin oleh pejabat politik harus dibedakan antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi. Lembaga pemerintah bisa dibedakan antara lembaga Departemen yang dipimpin Menteri sebagai pejabat politik, dan lembaga Non Departemen yang dipimpin oleh bukan Menteri dan bukan pejabat politik. Seharusnya pejabat yang memimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) adalah pejabat profesional dari birokrasi karier, bukan dijabat oleh pejabat politik dan dirangkap oleh Menteri seperti sekarang warisan kelembagaan pemerintahan Orde Baru. Pejabat politik adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat langsuang maupun tidak, atau di approved oleh wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian posisinya adalah sebagai wakil rakyat dalam menganbil kebijakan publik dan mengontrol birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi adalah pejabat yang diangkat untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut. Jika mekanisme kontrol dan pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan antara kedua jabatan itu maka pertangung jawaban publik tidak mungkin tidak mesti bisa dilaksanakan. (2). Desentralisasi kewenangan baik desentralisasi politik maupun administrasi perlu dilakukan di dalam kelembagaan pemerintah ini.
12

Dengan desentralisasi diharapkan akontabilitas publik bisa dilakukan, yang pada gilirannya diharapkan pula kontrol rakyat semakin efektif dan korupsi, kolusi dan kerabat isme bisa dihilangkan dalam birokrasi pemerintahan ini. (3). Perampingan susunan kelembagaan birokrasi pemerintah perlu segera ditindaklanjuti. Kekembaran tugas dan fungsi antara beberapa lembaga birokrasi perlu segera di analisis dan dihilangkan kekembaran itu. Lembaga kementerian (departemen) dan lembaga non kementerian (departemen) yang menunjukkan kekembaran tugas dan fungsi perlu segera dianalisis dan dan dipecahkan dengan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi baik dalam masa krisis seperti sekarang ini maupun di masa-masa non krisis. Jumlah eselonisasi di pemda juga dipikirkan lebih ramping lagi Demikianlah pokok-pokok pemikiran saya dalam kesempatan pertemuan pagi ini. Reformasi kelembagaan birokrasi pemerintah bisa dijalankan dengan memperhatikan tiga faktor pengungkit yang saya sebutkan di atas. Jabatan dan akses politik perlu disediakan dalam kelembagaan birokrasi pemerintah agar jelas hubungan anatara jabatan politik dan birokrasi karier. Pertanggung jaawaban publik bisa dijalankan dalam pemerintahan ini jika kekuasaan itu tidak memusat di salah satu pusat kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan merupakan salah satu cara untuk mengurangi pemusatan kekuasaan itu. Desentralisasi kekuasaan sekaligus merupakan upaya untuk secara konsisten melakukan demokrasi yang benar dalam pemerintahan. Pada tatanan kepemerintahan yang demokratis ini, peranan rakyat menjadi penting dalam melangsungkan pemerintahan dan dalam melaksanakan kontrol sehingga bisa menjamin lurusnya kepemerintahan. Kekuasan yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga menyulitkan lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya keterbukaan dikalangan instansi dan pejabat pemerintah, mengakibatkan akses melakukan kontrol rakyat menjadi buntu dan mampet. Selain itu reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah perlu segera ditata ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik dan birokrasi karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa didorong dengan melakukan desentralisasi kekuasaan, transparansi, reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah. Struktur kelembagaan pemerintah warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan perubahan strategis nasional kita di era reformasi ini. Selain itu dengan memperhatikan prinsip efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dan rasionalitas maka
13

perampingan susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu dipikirkan. Selain itu efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan kelembagaan pemerintahan perlu dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran lembaga yang tugas dan fungsinya sama. Sekian, terima kasih atas perhatiannya.

Daftar Pustaka Ashkenas, Ron; Ulrich Dave; Jick, Todd; Kerr, Steve, 1995, The Boundaryless Organization, breaking the chains of organizational structure, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, CA Carino, Ledivina V., 1994, Bureaucracy for Democracy, the dynamics of executive bureaucracy interaction during governmental transitions, College of Public Administration, University of the Philippines. Champy, James, 1997, Reengineering Management, Harper Collins Publisher, Inc., New York, NY Champy, James, A., 1997, Preparing for Organization of the Future, dalam Frances Hesselbein et all (edts.), The Organization of the Future, Jossey Bass, Inc. San Francisco, CA.
14

Gruber, Judith E., 1987, Controlling Bureaucracies, dilemmas in Democratic Governance, University of California Press, Berkeley, CA Gutmann, Amy, dan Thompson, Dennis, 1996, Democracy and the disagereement, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, MA Held, David, 1995, Democracy and the Global Order, from the modern state to cosmopolitan governance, Stanford University Press, Stanford,CA. Hill, Larry B.(Edt.) 1992,The State of Public Bureaucracy, ME Sharpe, Inc., Armonk, New York Hunter, F. (1953), Community Power Structure, University of North Carolina, Chapel Hill, NC. Kirwan, Kent A., Woodrow Wilson and the Study of Publcic Administration- Respond to Van Riper, in Administration and Society, 18 (1987) 389-401. Lucas, Henry C.,Jr, 1996, The T-Form Organization, using technology to design organizations for the 21st century,Jossey-Bass Publisher,San Francisco, CA Mainzer, Lewis C. 1973, Political Bureaucracy, Scott,Foresman and Co., Glenview. Illinois Mills, C Wright, (1959), The Power Elite, Oxford University Press, New York, NY. Redford Emmette S., 1969, Democrcay in the Administrative State, Oxford University Press, New York, Robinson, Marc, Revolusi Akuntabilitas Baru di Pemerintahan, Media Indonesia, 8 Juli 2002. Sarji, Ahmad, 1996, Civil Service Reforms, toward Malaysias Vision 2020, Pelanduk Publications, Kelana Jaya, Selangor Darul Ehsan, Malaysia.

15

Thoha, Miftah, 1995, Harminisasi Hubungan Pusat dan Daerah alam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam buku Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi, Batang Gadis, Pusdiklat Depdikbud, Jakarta Thoha, Miftah, 1999, Demokrasi Dalam Birokrasi Pemerintah Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta Thoha, Miftah, 1999, Membangun Kembali Birokrasi Pemerintah, dalam harian umum, Republika, 8 November 1999 Thoha, Miftah, 2000, Bulog dan Setneg, dalam Harian Umum, Republika, 24, April 2000. Weber, Max, 1947, The Theory of Social and Economic Organization (translated by Talcott Parsons), The Free Press, New York Wilson, Woodrow, 1887, The study of Public Administration in Political Science Quarterly, 2 June 1887, 197-222

16

Anda mungkin juga menyukai