Anda di halaman 1dari 2

Belajar Toleransi Gaya Anak-anak

Penulis : Retno Manuhoro Kaki-kaki kecil menapaki anak tangga pagoda yang ada di kompleks Wihara Buddhagaya Watu Gong, Semarang, Jawa Tengah. Para pemilik kaki itu adalah balita siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Sekolah Kucica Ungaran, Kabupaten Semarang yang datang mengunjungi wihara untuk pembelajaran di luar kelas dengan muatan multikultural. Lalu, kedua puluh anak itu mengelilingi pagoda dan hampir serempak mulut mereka ternganga menyaksikan beberapa patung yang berukuran raksasa. Wah lihat, itu ada patung yang gendong anak juga, gumam Fayla (4) salah seorang siswa. Edi Santosa (52), pemandu dari wihara yang mendampingi anak-anak berkeliling lantas menjelaskan patung-patung yang kesemuanya adalah patung Dewi Kwan Im. Nah, Kwan Im itu adalah Dewi Welas Asih yang merupakan simbol sayang sesama manusia, sama seperti anak-anak juga harus sayang teman-temannya, kata Edi. Tur kecil mengenal tempat peribadatan dilakukan oleh sekolah ini sebagai salah satu cara untuk mengajarkan sikap menghargai keberagaman di masyarakat. Sejak dini baiknya anak-anak dikenalkan bahwa hidup ini tidak harus seragam, tapi tetap harus menghargai sesama, kata Deasy Irawati (36), Kepala PAUD Sekolah Kucica Ungaran. Pelajaran toleransi dan menahan diri juga tampak dari sikap anak-anak yang mau menaati aturan wihara, saat mereka memasuki bangunan ruang ibadah yang disebut Dhamasala. Mereka sabar dan tertib menunggu di luar, karena di depan altar seorang bikhuni sedang memanjatkan doa. Penjelasan tentang kehidupan peribadatan di dalam wihara dijelaskan dengan runtut oleh Edi, diselingi celotehan khas anak-anak yang selalu ingin tahu. Kenapa patungnya tidur selimutan? tanya Arya (3). Dengan sabar, Edi menjelaskan patung sleeping Buddha yang ada sisi kiri belakang pagoda, berdampingan dengan pohon Sala yang berbunga unik.

Belajar Toleransi Gaya Anak-anak


Penulis : Retno Manuhoro Kaki-kaki kecil menapaki anak tangga pagoda yang ada di kompleks Wihara Buddhagaya Watu Gong, Semarang, Jawa Tengah. Para pemilik kaki itu adalah balita siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Sekolah Kucica Ungaran, Kabupaten Semarang yang datang mengunjungi wihara untuk pembelajaran di luar kelas dengan muatan multikultural. Lalu, kedua puluh anak itu mengelilingi pagoda dan hampir serempak mulut mereka ternganga menyaksikan beberapa patung yang berukuran raksasa. Wah lihat, itu ada patung yang gendong anak juga, gumam Fayla (4) salah seorang siswa. Edi Santosa (52), pemandu dari wihara yang mendampingi anak-anak berkeliling lantas menjelaskan patung-patung yang kesemuanya adalah patung Dewi Kwan Im. Nah, Kwan Im itu adalah Dewi Welas Asih yang merupakan simbol sayang sesama manusia, sama seperti anak-anak juga harus sayang teman-temannya, kata Edi. Tur kecil mengenal tempat peribadatan dilakukan oleh sekolah ini sebagai salah satu cara untuk mengajarkan sikap menghargai keberagaman di masyarakat. Sejak dini baiknya anak-anak dikenalkan bahwa hidup ini tidak harus seragam, tapi tetap harus menghargai sesama, kata Deasy Irawati (36), Kepala PAUD Sekolah Kucica Ungaran. Pelajaran toleransi dan menahan diri juga tampak dari sikap anak-anak yang mau menaati aturan wihara, saat mereka memasuki bangunan ruang ibadah yang disebut Dhamasala. Mereka sabar dan tertib menunggu di luar, karena di depan altar seorang bikhuni sedang memanjatkan doa. Penjelasan tentang kehidupan peribadatan di dalam wihara dijelaskan dengan runtut oleh Edi, diselingi celotehan khas anak-anak yang selalu ingin tahu. Kenapa patungnya tidur selimutan? tanya Arya (3). Dengan sabar, Edi menjelaskan patung sleeping Buddha yang ada sisi kiri belakang pagoda, berdampingan dengan pohon Sala yang berbunga unik.

Anda mungkin juga menyukai