Anda di halaman 1dari 7

PERATURAN YANG MENDASARI HUKUM HUMANITER

ZAINUL ALIM B111 09419 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Hukum adalah kumpulan beberapa aturan yang dikodifikasi dan dibuat oleh beberapa anggota masyarakat dengan kebiasaan sosial dan suatu pahaman yang ideal mengenai sesuatu sebagai sumber pembentukannya. Dari definisi yang saya kemukakan di atas maka untuk membahas peraturan yang mendasari hukum humaniter haruslah dikaji mulai dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat mengenai tata cara peperangan hingga nanti pada konvensi-konvensi yang mendasarinya. Hukum humaniter pada realitasnya pun selalu mengalami perkembangan, yang di mana menurut hemat saya itu terjadi karena perkembangan teknologi -khususnya teknologi dalam berperang- dan semakin meluasnya wacana mengenai hak asasi manusia. Zaman Kuno Pictet mengemukakan bahwa dalam berbagai peradaban 3000 sampai dengan 1500 sebelum Masehi upaya dalam membuat aturan dalam berperang terus dikembangkan, dia menyebutkan beberapa diantaranya sebagai berikut: 1. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. 2. Kebudayaan Mesir kuno sebagaimana disebutkan dalam seven works of true mercy, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberi makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda. Seorang tamu bahkan musuhpun tak boleh diganggu. 3. Dalam kebuadayaan bangasa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan pada keadilan dan integrasi. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang

berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kotakota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. 4. Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undangundang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik. Sejarah membuktikan bahwa peperangan telah ada sejak awal dimulainya sebuah peradaban. Aturan-aturan mengenainya muncul ketika manusia dan masyarakatnya telah membentuk budaya dan berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya. Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu. Abad Modern Hukum humaniter memasuki perkembangan yang paling signifikan pada abad ke-19. Konvensi yang secara jelas mengatur mengenai hukum humaniter dapat dirinci sebagai berikut: Konvensi Den Hagg 1899. Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18 Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara

atas prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Ketiga konvensi yang dihasilkan adalah: 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; 3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia). 2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun juga dilarang. Konvensi Den Hagg 1907. Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut : 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata; 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; 4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulation; 5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan; 6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang; 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;

9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; 10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; 13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang disebut Hague Regulations 1907. Ketentuan-ketentuan Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent. Konvensi Jenewa 1864. Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari peperangan. Konvensi jenewa 1949. Konvensi ini tidak hanya mengatur perang yang bersifat internasional, tapi juga menatur perang yang bersifat non-internasional. Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu: 1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field. (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat). 2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea. (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam). 3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War. (Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang). 4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War. (Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang). Deklarasi Paris 16 April 1856. Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk

mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas, yaitu: a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus; b. Bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang; c. Barang-barang netral dibawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang; d. Supaya mengikat, blokde harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.

Deklarasi St. Petersburg 29 November-11 Desember 1868. Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu. Rancangan Peraturan Den Hagg tentang Perang di Udara 1923. Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki. Protokol Jenewa 19 Juni 1925 tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan MacamMacam Gas Lain dalam Peperangan. Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Protokol London 6 November 1936 tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.

Kritik Penulis Setelah memaparkan berbagai konvensi dan deklarasi mengenai hukum humaniter ada sesuatu yang sangat aneh ketika membeturkannya dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prinsipprinsip hukum humaniter itu sendiri. Bebarapa telaah kritis saya adalah sebagai berikut:

1. Perang yang sejatinya merupakan jalan terakhir dalam menyelesaikan suatu permasalahan antar negara/kelompok ternyata bersifat tidak manusiawi, karena peperangan tidak berbicara mengenai nilai-nilai -baik atau buruk- melainkan menyangkut masalah menang atau kalah. Sehingga tidak adapula yang dapat dijadikan tolak ukur benar atau salahnya sebuah peperangan karena tidak ada hukum yang mengatur kapan dan atas alasan apa suatu peperangan boleh dilakukan. 2. Jika kita melihat pada prinsip kesatriaan (chivalry), maka akan timbul permasalah baru, yaitu apakah yang menjadi tolak ukur kejujuran dalam sebuah strategi peperangan ? Mengingat strategi perang tidak diatur dalam hukum humaniter dan sudah seharusnya memang hal itu tidak ada kaitannya dengan hukum melainkan berkaitan dengan politik. 3. Prinsip pembedaan, prinsip ini mewajibkan adannya penggolongan antara warga sipil dengan pihak militer pada saat terjadinya peperangan. Namun yang menjadi kerancuan adalah ketika kita berbicara mengenai hak asasi manusia, maka apakah hak tersebut yang bersifat universal dapat hilang dengan berubahnya status atau profesi seseorang yang dalam hal ini sedang membela negaranya ? Permasalahan seperti ini tidak akan pernah bisa dijawab selama kita tetap berpegang teguh pada kesejatian hukum humaniter yang ada pada saat sekarang. Berbicara mengenai hukum yang dikodifikasi, tentu ada asas yang mendasarinya yang memiliki hirarki yang lebih tinggi. Hukum yang dibuat tersebut tidak boleh melanggar asas tersebut, jika tidak maka hukum tersebut haruslah batal demi hukum. Ketimpangan seperti ini sering terjadi ketika kita tidak mengerti mengenai konstruksi berpikir hukum.

DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf (Maret 06 22:06:35 2012) 2. http://pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf (Maret 06 22:10:25 2012) 3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17998/3/Chapter%20II.pdf (Maret 06 22:00:26 2012)

Anda mungkin juga menyukai