Institute
02
ELSDA
Institute
02
CATATAN AWAL TAHUN 2008
Menelusuri Kejahatan
Bisnis Kehutanan
ELSDA Institute, Jakarta
Penulis
1. Triana Ramdhani, S.E., Financial Analyst
2. Albert Hasudungan, S.E., Financial Analyst
3. Zainal Arifin, S.H., Legal Analyst
4. Grahat Nagara, S.H., Legal Analyst
Diterbitkan Oleh:
Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (ELSDA Institute)
Manggala Wanabakti Building IV/Room 509 A
Jl. Gatot Soebroto Jakarta Pusat, 10270, Indonesia
Telepon : +6221‐5711309/ 57902778
Fax : +6221‐5711309
ISBN
Hak Cipta © ELSDA Institute, 2008
Cetakan Pertama, Februari 2008
Hak cipta dilindungi Undang‐undang. Dilarang mengutip atau
menyebarkan sebagian atau keseluruhan isi buku tanpa izin tertulis
dari penerbit.
KATA PENGANTAR
Hutan adalah kekayaan rakyat Indonesia yang dikuasai oleh negara dan seharusnya
dipergunakan sebesar‐besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan negara telah mengeluarkan kebijakan dibidang kehutanan dan industri
kehutanan yang telah menghasilkan sebuah industri kehutanan dengan nilai milyaran
dollar. Ekspor komoditi berbasis kayu telah mencapai rata‐rata US$ 5 milyar per tahun atau
sekitar Rp.45 trilliun per tahun. Bisnis kehutanan juga menghasilkan Penerimaan Bukan
Pajak (PNBP) yang besar untuk Pemerintah Pusat. Perusahaan kehutanan harus membayar
kurang lebih US$13,5 per m3 untuk setiap kayu yang diambil dari hutan‐hutan alam dan
hutan tanaman yang dibiayai dari uang negara. Jika hutan telah memberikan kayu sebesar
60 juta m3 kayu setiap tahunnya kepada perusahaan kayu di Indonesia, Pemerintah Pusat
seharusnya telah menerima PNBP kehutanan senilai US$ 810 juta atau setara Rp.7,29
triliun setiap tahunnya. Dana kehutanan ini kemudian bisa digunakan untuk membangun
Indonesia khususnya daerah yang kaya dengan hutan.
Peran ekonomi kehutanan ini tidak diragukan lagi telah mengeluarkan bangsa
Indonesia dari masa‐masa yang sulit pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Bisnis hutan
telah mendatangkan devisa yang diperlukan pemerintah untuk mengimpor kebutuhan
pokok seperti beras dan menyelesaikan hutang PERTAMINA yang jika tidak ditanggulangi
dapat menhancurkan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan
oleh karena sumbangan devisa dari bisnis hutan ini akhirnya telah berhasil mengangkat
kualitas hidup sebagian besar bangsa Indonesia. Kemiskinan dan mahalnya harga‐harga
barang dapat distabilkan dengan devisa dari hutan. Hutan kembali berperan
menyelamatkan bangsa Indonesia pada saat krisis keuangan pada tahun 1997.
Perusahaan‐perusahaan pulp dan plywood dizinkan terus beroperasi dengan kapasitas
normalnya untuk menghasilkan devisa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
perokomian Indonesia. Walaupun untuk mencapai hal ini tidak sedikit biaya yang harus
dibayar oleh rakyat Indonesia. Hutang‐hutang perusahaan ini yang bernilai triliuan rupiah
dihapuskan oleh pemerintah dan menjadi beban APBN setiap tahunnya. Pemerintah
berhutang miliaran dollar untuk membiayai penghapusan hutang‐hutang tersebut yang
bunga serta cicilan hutangnya setiap tahun mencapai 30 persen dari total APBN.
Namun sayangnya, hutan yang dieksploitasi oleh industri kehutanan ini tidak
dikelola secara lestari dan gagal mengatasi kemiskinan diwilayah yang kaya dengan hutan.
Menurut Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan hutan rata‐rata sebesar 2 juta hektar per
tahun. Hutan yang rusak telah mencapai 59,2 juta hektar dari total 120 juta hektar
kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Status
Lahan Hutan Indonesia 2006). Selain menghadapi bencana karena kerusakan hutan, rakyat
Indonesia juga tidak menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh para perusahaan
dibidang kehutanan. Banyak perusahaan kehutanan yang selalu menyatakan rugi sehingga
tidak pernah membayar pajak dan bahkan pada saat krisis keuangan karena jatuhnya nilai
tukar rupiah terhadap nilai dollar Amerika Serikat, perusahaan‐perusahaan kayu yang
seharusnya menerima windfall profit dari tingginya nilai dollar secara beramai‐ramai
menyatakan rugi dan tidak mampu membayar hutangnya. Disamping tidak menerima
keuntungan dari kegiatan kehutanan diwilayahnya serta harus menghadapi bencana,
penduduk yang berada disekitar hutan juga sering menjadi korban penegakan hukum yang
tidak adil. Para penegak hukum Indonesia masih terpaku kepada memburu orang‐orang
yang dapat dibuktikan di pengadilan melakukan proses perusakan hutan. Sehingga
penyidikan yang mereka lakukan difokuskan lebih kepada adanya bukti kayu yang ditebang
secara ilegal dan orang yang menebang serta membawa kayu ilegal tersebut. Orang yang
memerintahkan (umumnya secara lisan) baik untuk melakukan penebangan,
pengangkutan, dan menadah kayu ilegal tersebut tidak pernah disentuh. Mereka yang
menikmati keuntungan ekonomi dari bisnis menggunakan kayu ilegal tidak pernah terjerat
hukum.
Catatan awal tahun ELSDA Institute ini memberikan hindsight kepada para
pembacanya tentang kenapa peran ekonomi kehutanan yang besar dalam membatu
bangsa Indonesia keluar dari berbagai krisis ekonomi sepanjang 40 tahun ini gagal
menyelesaiakan masalah yang fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian
hutan. ELSDA Institute melihat praktek akuntansi perusahaan kehutanan, program
ekonomi berbasis lingkungan, dan penegakan hukum dibidang kehutanan. Analisis atas
ketiga persoalan ini dapat memberikan informasi kepada pembacanya tentang tanggung
jawab perusahaan kehutanan untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap sumber kayu
yang dipergunakan, kewajiban pembayaran PNBP kehutanan, dan investasi dibidang
kehutanan dan social. Analisis ELSDA juga dapat membantu peningkatan efektivitas
penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan
atau pejabat kehutanan yang seharusnya mengawasi perusahaan ini.
Informasi dan analisis yang dilakukan ELSDA Institute ini sangat diperlukan untuk membuat
hutan menjadi sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan
seperti yang dicita‐citakan oleh pendiri bangsa ini.
Bambang Setiono
Research Fellow
Forest and Governance Program
Center for International Forestry Research (CIFOR)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
LAPORAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN 1
PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007
‐ Triana Ramdhani, S.E.
DEBT FOR NATURE SWAP TAMAN NASIONAL 13
DAN PELUANG KE DEPAN
‐ Albert Hasudungan, S.E.
HUTAN HANCUR KORUPSI TUMBUH SUBUR 21
‐ Muhamad Zainal Arifin, S.H.
MELIHAT UANG HARAM PERUSAK HUTAN 53
YANG KEBAL HUKUM
‐ Grahat Nagara, S.H.
CATATAN BADAN LAYANAN UMUM 2007 79
‐ Triana Ramdhani, S.E.
1
LAPORAN ANALISIS KEUANGAN
PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007
“Berbicara tentang perusahaan, laporan
keuangan merupakan informasi pengungkapan
secara rinci kondisi keuangan yang berasal dari
kegiatan operasional perusahaan. Maka sudah
seharusnya fakta yang ada di perusahaan
terungkap dalam laporan keuangan.”
Triana Ramdani, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 2 2008
PENDAHULUAN
Sangat ironis, perkembangan industri kehutanan yang begitu
menguntungkan tidak sejalan dengan pengelolaan lingkungan yang
sustainable. Setelah mengeruk hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam
hutan, perusahaan‐perusahaan kayu begitu saja membiarkan hutan menjadi
gundul dan tidak bermanfaat sama sekali.
3
Heli Restiati, “Mengintip Kejahatan Lingkungan
lewat Laporan Keuangan Perusahaan”, Biru Voice Tahun I (1),
1 November, 2007.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 4 2008
ATURAN IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Aturan mengenai penyusunan laporan keuangan perusahaan yang
bergerak di bidang kehutanan ditetapkan pada PSAK 32. Namun, sangat
disayangkan karena aturan yang ditetapkan tidak dapat dikatakan cukup
mewakili atas kegiatan dan keadaan perusahaan. Padahal sesuai dengan
pengertiannya yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah ringkasan dari
seluruh aktivitas perusahaan dalam kurun waktu satu periode.
Selain itu aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup
aturan untuk perusahaan HPH saja, tidak untuk perusahaan pulp and paper.
Sementara perusahaan pulp and paper justru yang lebih berbahaya terhadap
pengelolaan lingkungan karena banyak menggunakan zat‐zat kimia yang bisa
merusak lingkungan. Tingkat produksi perusahaan HPH juga dapat tergantung
dari kebutuhan industri pulp and paper.
KONTRIBUSI ELSDA
Untuk melihat performa dari suatu perusahaan adalah dengan
menganalisis laporan keuangannya. Analisis yang digunakan pun bisa
bermacam‐macam tergantung dari kebutuhan si analisnya. Misalnya, untuk
mengidentifikasi penyimpangan yang dilakukan perusahaan dalam pemenuhan
bahan bakunya, yang harus dilakukan adalah menganalisis struktur Harga
Pokok Penjualan (HPP), kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan kapasitas
produksinya.
Atas keprihatinan terhadap kondisi di atas, ELSDA mencoba menyusun
beberapa indikator keuangan yang bisa menjelaskan penyimpangan tersebut.
Dimana meskipun tetap untuk sebagian unsur menggunakan asumsi, paling
tidak bisa diketahui gambaran dari kegiatan perusahaan sebenarnya yang tidak
terungkap dalam laporan keuangan.
Jumlah Arus Kas perusahaan yang dialirkan ke luar bisnis perusahaan
di bidang SDA akan memberikan indikasi minimnya komitmen perusahaan
kepada upaya pelestarian SDA dan kesinambungan usahanya. Jika sebagian
besar arus kas perusahaan yang diperoleh dari bisnis SDA disalurkan ke pihak
afiliasi dan pihak ketiga di bidang non SDA terkait, kemampuan perusahaan
untuk melakukan rehabilitasi dan regenerasi SDA akan sangat kecil.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 6 2008
Laba Perusahaan bisa dilihat dari struktur labanya, apakah perusahaan
benar‐benar konsisten dengan usahanya atau tidak. Jika laba usahanya minus
sedangkan laba bersih tinggi, maka konsistensi perusahaan terhadap usahanya
patut dipertanyakan. Perolehan laba yang tidak normal atau bahkan
perusahaan rugi terus tapi jalan terus, patut menjadi pertanyaan apa
sebenarnya fokus dari kegiatan utamanya di bidang pemanfaatan sumber daya
alam, khususnya kehutanan.
Saat ini dari delapan perusahaan kehutanan yang Tbk, baru dua
perusahaan yang dianalisis oleh ELSDA. Yakni PT XYZ dan ABC. Keduanya
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Berikut kesimpulan dari
analisis yang dilakukan dengan menggunakan indikator keuangan umum
ELSDA pada kedua perusahaan itu:
JUMLAH DAN SUMBER PEMAKAIAN BAHAN BAKU
Dilihat dari komitmen yang ditetapkan perusahaan untuk concern
dalam pembangunan HTI sebagai salah satu sumber bahan bakunya, berarti
menunjukkan adanya kepatuhan terhadap pengelolaan sumber daya alam
yang berkelanjutan. Akan tetapi setelah melihat laporan keuangannya
ternyata kedua perusahaan tersebut tidak melaksanakan komitmennya
untuk membangun HTI.
Tabel 1.Penambahan HTI dan HTI dalam Pengembangan
Sayangnya, data‐data pendukung untuk menganalisis kapasitas HTI,
kapasitas HPH, dan Dokumentasi Pembelian yang dibutuhkan belum
tersedia dalam kedua laporan keuangan perusahaan itu. Sehingga analisis
jumlah dan sumber bahan baku belum mampu mendeteksi indikasi
ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan.
Tabel 2. Pemakaian Kayu Bulat
Keterangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ Tidak dibahas karena tidak diketahui unsur
Pemakaian Kayu (Rp) 854,97 M (HPH) HPH dan HTI atas kayu yang dipergunakan.
363,13 M (HTI)
Pemakaian Kayu (m3) 1.983.694 (HPH)
842.532 (HTI)
PT ABC
Pemakaian Kayu (Rp) 192,6 M 204,8 M 196,6 M 263,3 M
Pemakaian Kayu (m3) 446.922 475.375 456.253 611.046
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 8 2008
Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007
dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006.
JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN PERUSAK LINGKUNGAN
Untuk indikator ini tidak dilakukan analisis, karena indikator ini
hanya untuk perusahaan pulp and paper.
JUMLAH PEMBAYARAN PAJAK DAN PNBP
Informasi mengenai jumlah DR dan PSDH yang sebenarnya harus
dibayar juga tidak bisa diketahui dengan pasti karena informasi jumlah
sumber bahan bakunya sendiri tidak dikatahui. Sehingga tidak bisa
diklarifikasi kebenarannya. Dan upaya untuk tidak membayar DR/PSDH pun
bisa dilakukan. Hal itu akan menimbulkan kerugian negara yang tidak
sedikit.
ARUS KAS KELUAR
Dari analisis arus kas keluar ini dapat diketahui dengan jelas
concern perusahaan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan. Yaitu dengan membandingkan berapa kas yang dialokasikan
untuk pembangunan hutan dan kas yang dialokasikan ke pos lain.
9
Tabel 3. Arus Kas untuk Hutan
Ketarangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ
Arus Kas untuk HTI (Rp) 11,59 M 4,69 M 5,36 M 1,62 M
Mutasi Kas Keluar (m3) 2.195,13 M 1.409,11 M 1.127,25 M 847,73 M
Persentase Kas untuk HTI 0,53 0,33 0,47 0,19
terhadap Total Kas Keluar (%)
PT ABC
Arus Kas untuk HTI (Rp) 1,7 M ‐ 12,1 M 18,3 M
Mutasi Kas Keluar (m3) 783,1 M 872,8 M 874,0 M 1.154,4 M
Persentase Kas untuk HTI 0,24 0,00 1,39 1,59
terhadap Total Kas Keluar (%)
Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007
dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006.
LABA PERUSAHAAN
Indikator terakhir yang akan dibahas adalah mengenai performa
laba perusahaan yang akan menginformasikan kualitas going concern suatu
perusahaan. Berikut data yang diambil dari laporan keuangan PT XYZ dan PT
ABC:
Tabel 4. Performa Laba/Rugi PT XYZ dan PT ABC
Untuk PT ABC, meskipun dua dari empat periode yang dianalisis
mengalami kerugian, hal itu dianggap masih dalam tahap wajar. Begitu pun
untuk perolehan Laba Bersihnya, perusahaan masih berada dalam tahap
kewajaran. Namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk
mengetahui secara rinci transaksi keuangan yang terjadi di dalamnya.
11
KENDALA DALAM ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN KEHUTANAN
1. Aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup aturan untuk
perusahaan HPH saja, sedangkan untuk perusahaan pulp and paper tidak
diatur.
2. Minimnya aturan mengenai pengungkapan atau disclosure atas kondisi
lingkungan atau yang berkaitan dengan kepentingan pengelolaan sumber
daya alam yang berkelanjutan menyulitkan untuk mengklarifikasi
kebenaran dari laporan keuangan yang disajikan.
3. Penghitungan kerugian negara atas terjadimya illegal logging yang masih
bias. Apakah negara dirugikan hanya berdasarkan DR dan PSDH yang tidak
dibayar, atau berdasarkan nilai tegakan pohon yang di tebang. Atau justru
berdasarkan keduanya ditambah dengan nilai kerusakan biodiversity dan
keuntungan yang diperoleh para cukong kayu.
REKOMENDASI
1. Perlu dilakukan upaya yang sungguh‐sungguh untuk menghentikan proses
penghancuran lingkungan dan SDA. Kebijakan pembangunan ekonomi
untuk mendorong lahirnya industri berbasis sumber daya alam perlu
dimonitor dan dikaji agar lebih berpihak kepada upaya‐upaya pelestarian
lingkungan dan sumber daya alam.
3. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sejumlah
instrumen pendeteksi (berupa data dan informasi serta laporan yang
tersedia di area publik) untuk dilakukan sejumlah analisis keuangan dan
analisis hukum, agar dapat mengidentifikasikan sejumlah indikator umum
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 12 2008
13
DEBT FOR NATURE SWAP
TAMAN NASIONAL
DAN PELUANG KE DEPAN
“…program Debt For Nature Swap dapat menjadi salah
satu solusi yang cukup baik dalam menangani
kerusakan hutan Indonesia, khususnya pada taman
nasional.”
Albert Hasudungan, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 14 2008
PENDAHULUAN
Debt swap merupakan mekanisme pengurangan utang yang secara
umum dapat diartikan sebagai pertukaran utang luar negeri dengan ekuitas
atau dana dalam mata uang lokal untuk pembiayaan proyek dan atau program
pemerintah (Ragimun, 2005). Salah satu komponen dari debt swap itu adalah
debt for nature swap, yaitu program pengalihan utang luar negeri untuk
digunakan ke dalam pendanaan dan kegiatan konservasi hutan. Saat ini
Indonesia mendapat skema penghapusan utang luar negeri, melalui debt for
nature swap (DNS) yang berasal dari negara Amerika serikat (AS) dan Jerman.
Total komitmen utang luar negeri yang dibebaskan oleh negara Amerika
serikat sebesar 19.6 juta dollar AS, sedangkan negara Jerman (melalui green
program) berkomitmen untuk menghapuskan utang luar negeri Indonesia
sebesar 12.5 juta euro. Program konservasi hutan dari skema pendanaan DNS
ini diadakan di taman nasional yang dipandang mengalami ancaman
deforestasi hutan, dan berada dalam kondisi membahayakan saat ini.
Mekanisme insentif yang diberikan pemerintah Jerman yaitu Indonesia
harus melakukan program konservasi hutan di taman nasional dahulu senilai
50 % dari komitmen utang luar negeri yang dilunaskan, baru pihak Jerman
akan membebaskan utang luar negeri demi program konservasi hutan di
taman nasional sebesar 12.5 juta euro. Untuk perjanjian dengan Amerika
serikat (AS), negara Indonesia mendapat pengalihan utang luar negeri sebesar
19.6 juta dollar AS dengan catatan bahwa utang luar negeri Indonesia dipotong
dahulu, kemudian negara Indonesia harus membayar secara bertahap 19.6
juta dollar AS untuk dana perlindungan hutan di taman nasional, yang masih
dibahas. Bagi NGO yang ingin menjadi pengawas penggunaan dana konservasi
hutan tersebut (board of commitee), harus menyumbangkan dana 20% dari
19.6 juta dollar tersebut per entitas tersebut.
Saat ini program konservasi hutan di taman nasional yang mulai
dilaksanakan di Indonesia adalah skema DNS Indonesia dengan pihak Jerman,
dengan nilai sebesar 12.5 juta euro. Program yang difokuskan oleh
departemen teknis terkait, Dephut, adalah mengkonservasi Taman Nasional
(TN) Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan. Paper ini
akan mengkaji secara singkat atas masalah debt for nature swap dan peran
ELSDA terhadap fenomena debt for nature swap di Indonesia.
15
ANALISIS SWOT TERHADAP DNS DAN HAL YANG
DILAKUKAN ELSDA
Pada bagian ini akan dibahas tentang analisis SWOT terkait dengan
mekanisme dana DNS di negara Indonesia, dan beberapa kendala yang
dihadapi terkait dengan debt for nature swap tersebut.
STRENGTH
Hal utama yang perlu digarisbawahi menjadi kekuatan Indonesia,
terkait dengan debt for nature swap, adalah luas hutan di Indonesia yang
besar. Menurut sumber data di Departemen Kehutanan, luas hutan
Indonesia mencapai 126.97 juta hektar di tahun 2005. Selain itu,
Departemen kehutanan juga memiliki 50 taman nasional di Indonesia yang
tersebar di seluruh Indonesia. Taman nasional yang dilindungi dari program
DNS pun cukup luas areal hutannya, seperti yang terlihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Nama Taman Nasional yang Dikonservasi
Nama Taman Nasional Luas Hutan
Taman Nasional Gunung Leuser 1,094,692 Ha
Taman Nasional Kerinci Seblat 1,389,509.87 Ha
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 365,000 Ha
Sumber : Departemen kehutanan‐RI, 2007
Jadi, hal tersebut merupakan faktor yang penting mengapa negara
donor yang sudah ada, yakni Jerman dan Amerika serikat, tertarik
bekerjasama dengan negara Indonesia dalam bentuk debt for nature Swap.
WEAKNESS
Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengelola
hutan nasional yang berkelanjutan adalah masih minim dan terbatasnya
dana anggaran nasional dari pemerintah Indonesia dalam rangka
melakukan upaya perlindungan hutan di Indonesia. Alasannya karena
besarnya beban pemerintah untuk menanggung seluruh pembayaran utang
luar negerinya tersebut. Ada pun jumlah dan persentase utang luar negeri
pemerintah Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 16 2008
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Utang Luar Negeri Pemerintah
Keterangan Luas Hutan
2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Utang LN (USD Milyar) 74.5 80.9 80.7 78.3 na
Persentase Terhadap PDB (%) 31.5 28.3 25.3 24.5 na
Sumber : Data APBN (2002 s/d 2006)‐Departemen Keuangan RI, diolah
Walaupun tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah utang luar
negeri Indonesia sudah mengalami trend yang menurun, namun
penurunannya tidak signifikan dibandingkan dengan sisa beban utang yang
masih harus ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Kalau kita lihat pula
dari persentasenya terhadap PDB, porsi utang terhadap PDB juga hanya
mengalami penurunan yang tidak signifikan dan menyisakan besarnya sisa
porsi utang LN terhadap PDB hingga mencapai 24.5% sampai di tahun 2005.
Data itu menyiratkan bahwa pembayaran utang luar negeri yang dilakukan
pemerintahpun masih terbatas dan dirasakan kurang signifikan
dibandingkan dengan jumlah utang luar negeri Indonesia, yang akumulasi
bunganya dapat membahayakan bagi anggaran keuangan negara di masa
mendatang. Jadi masih dibutuhkan sumber pembiayaan lain untuk
memperkecil utang luar negeri pemerintah, seperti upaya negara kreditor
yang menghapuskan utang luar negeri kita, sehingga kebijakan pengeluaran
pemerintah untuk membenahi hutan Indonesia bisa dilakukan secara
maksimal. Oleh karena itulah program DNS menjadi dapat menjadi salah
satu solusi yang cukup baik dalam menangani kerusakan hutan di
Indonesia, khususnya pada taman nasional.
Kedua, hal yang masih menjadi kelemahan negara Indonesia adalah
implementasi perlindungan hutan Indonesia yang dilakukan pemerintah
terkait, khususnya Departemen kehutanan, masih kurang efektif dan
efisien. Menurut Departemen kehutanan, hutan di Indonesia masih
mengalami akumulasi deforestasi hingga mencapai 59 juta hektar pada
tahun 2007. Bila kita perhatikan kembali secara mendetail taman nasional
yang rusak di pulau Sumatra juga cukup besar. Berikut ini adalah data
kehancuran hutan yang diakumulasi sampai bulan juni tahun 2007 di tiga
taman nasional.
17
Tabel 3. Deforestasi Hutan di Beberapa Taman Nasional
Nama Taman Nasional Jumlah Kerusakan
Gunung Leuser 22,559 Ha
Kerinci Seblat 303, 776 Ha
Bukit Barisan Selatan 111,178 Ha
Sumber : Departemen Kehutanan, 2007, diolah
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa kerusakan taman
nasional Gunung leuser saja bisa mencapai 22,559 Ha. Kalau kita rinci lagi
ke bawah, kerusakan hutan yang paling besar terjadi pada taman nasional
Kerinci seblat hingga mencapai 303,776 Ha. Oleh karena itulah langkah
preventif yang efisien dan efektif untuk melindungi taman nasional
tersebut merupakan suatu permasalahan yang perlu diselesaikan oleh
pemerintah terkait secepatnya.
OPPORTUNITY
Namun di tengah kegetiran dari kelemahan tersebut, kita masih
dilegakan dengan peluang dan kesempatan yang ditawarkan oleh DNS yang
sudah diimplementasikan, yaitu DNS Jerman. Salah satu kesempatan yang
kita dapatkan adalah penghapusan utang luar negeri dua kali lipat dari
negara Jerman terhadap biaya/dana yang telah disepakati untuk konservasi
di tiga taman nasional tersebut.
THREAT
Hal yang menjadi perhatian penting bagi perlindungan hutan
adalah keefektifan atas implementasinya. Indikator kehancuran taman
nasional seperti tabel di atas, hendaknya memacu Departemen kehutanan
untuk meningkatkan kinerjanya dalam perlindungan hutan di taman
nasional. Ancaman utama yang dihadapi Indonesia atas DNS ini yaitu
apabila Departemen kehutanan tidak mampu menyelesaikan program
perlindungan hutan di taman nasional secara efektif dan tidak lulus audit
auditor independen, maka Indonesia tidak akan mendapat penghapusan
utang luar negeri dari negara Jerman tersebut.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa implementasi program
perlindungan yang tidak efektif dan efisien dapat membuat kerugian atas
anggaran dan keuangan negara. Kerugian tersebut antara lain adalah
potensi utang luar negeri yang hilang dan kerugian atas besarnya
pengeluaran anggaran nasional atas konsekuensi program perlindungan
hutan di taman nasional, yang tidak berhasil diimplementasikan secara
tepat dan benar oleh departemen teknis tersebut.
HAL YANG DILAKUKAN ELSDA
Pada bagian ini akan dibahas mengenai kegiatan, kendala dan prospek
terkait dengan DNS yang sudah dilaksanakan yaitu dengan pemerintah Jerman.
KEGIATAN YANG DILAKUKAN ELSDA
Banyak hal yang dilakukan oleh ELSDA Institute untuk berpartisipasi
dalam mensukseskan program perlindungan hutan dengan skema debt for
nature swap tersebut. Pertama, ELSDA Institute mencoba membuat paper
yang berkaitan dengan debt for nature swap. Kedua, ELSDA menjalin
hubungan dan mencari contact person yang mengurus debt for nature swap
yang sudah terlaksana, yakni dengan negara Jerman. Ketiga, ESLDA
melakukan berbagai tindakan rekonstruktif demi mensukseskan program
perlindungan hutan dengan skema pendanaan debt for nature swap
tersebut. Hal yang sudah dilakukan ELSDA Institute diantaranya adalah
menggagas forum diskusi BLU Taman Nasional dan Pengelolaan DNS yang
diadakan pada tanggal 3 Desember 2007.
KENDALA YANG DIHADAPI ELSDA INSTITUTE
Ada beberapa kendala baik yang pernah dihadapi maupun yang
akan dihadapi. Kendala yang paling sering ditemui tertkait dengan DNS ini
adalah menghubungi dan bertemu dengan staf dan pejabat terkait di
Departemen Kehutanan. Selain itu tantangan lain yang dihadapi ELSDA
adalah mengajak Departemen kehutanan supaya ELSDA bisa terlibat di
dalam menyukseskan program perlindungan hutan dengan skema DNS
tersebut.
19
PROSPEK DNS MENURUT PERSEPSI ELSDA
ELSDA memposisikan dirinya sebagai LSM yang berfokus pada ide
follow the money. Jadi hal yang ingin dibantu ELSDA terutama difokuskan
pada hal pengelolaan keuangan dari dana DNS Jerman tersebut, supaya
dapat membantu mensukseskan keberhasilan program perlindungan hutan
di taman nasional tersebut.
Salah satu rencana dan konsep yang ditawarkan oleh ELSDA adalah
ingin membantu mengelola keuangan dari DNS Jerman dengan tools Badan
Layanan Umum (BLU) ‐ Taman Nasional. Hal ini dilakukan agar upaya
pengelolaan keuangan untuk taman nasional ini dapat lebih profesional dan
bisa lulus audit auditor independen yang telah ditunjuk tersebut. Hal lain
yang menjadi cita‐cita ELSDA ke depan adalah membangun success story
pengelolaan DNS dari dana bantuan yang berasal dari pemerintah Jerman,
serta menciptakan laporan & indikator keuangan yang layak dari segi
pemeriksaan keuangan oleh auditor independen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ariadi, Kurniawan (2002), “Pemanfaatan Skema Debt Conversion Sebagai
Upaya Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah, Bappenas: Jakarta
Data Departemen Kehutanan, Berbagai Edisi
Data Departemen Keuangan, Berbagai Edisi
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 20 2008
21
HUTAN HANCUR
KORUPSI TUMBUH
“Penebangan liar di Indonesia merupakan
masalah yang sangat kompleks karena
melibatkan banyak aktor dengan berbagai
kepentingan dan jaringan, baik itu di pengusaha,
masyarakat, Departemen Kehutanan, pemerintah
daerah, kepolisian, maupun TNI. Hampir setiap
praktek illegal logging melibatkan aparat supaya
dapat berjalan mulus.”
Muhamad Zainal Arifin, Legal Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 22 2008
PENDAHULUAN
Secara umum, sumber daya hutan dan lahan Indonesia telah berada
pada titik kritis. Citra satelit menunjukkan 60 juta hektar hutan dalam kondisi
rusak parah.4 Departemen Kehutanan (2003) mencatat bahwa laju kerusakan
hutan (degradasi dan deforestasi) selama 12 tahun (1985‐1997) untuk Pulau
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai 1,6 juta ha per tahun. Pada
periode pengamatan tahun 1997‐2000, angka deforestasi hutan di Indonesia
meningkat 2,83 juta hektar. Sedangkan tahun 2000‐2005, angka deforestasi
hutan turun menjadi 1,08 juta hektar. Menurut Data Asian Development Bank,
rata‐rata kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan antara 600.000 hektar
sampai 1,3 juta hektar per tahun. Namun, ada juga penelitian lain yang
menyebutkan penggundulan hutan telah mencapai tingkat kecepatan 1,6‐2,0
juta hektar per tahun.5 Data yang lebih miris lagi disajikan EIA/Telapak yang
menyatakan kehancuran hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun terparah di
dunia.6
Selain dihadiahi oleh alam dengan rentetan bencana, pada tahun 2007
Indonesia diganjar sebagai negara penghancur hutan tecepat di dunia versi
Food and Agiculture Organization (FAO). Indonesia pun tercatat di Guinnes
4
Suripto, “Transnational Crime of Illegal Logging”,
Presentasi untuk Workshop EIA/Telapak, September 2006
5
Bambang Setiono dan Yunus Husein, “Memerangi
Kejahatan Kehutanan dengan Mendorong Prinsip Kehati‐
hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang
Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang”, CIFOR
Occasional Paper No. 44 (i), CIFOR, Bogor, 2005, hlm 5
6
EIA / Telapak, “Raksasa Dasamuka: Kejahatan
Kehutanan, Korupsi dan Ketidakadilan di Indonesia”, Maret
2007, hlm 2
23
World of Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia dengan
rata‐rata kerusakan hutan sebesar 1,871 juta hektar per tahun. Reward yang
diterima Indonesia tentu saja sangat ironis karena pada Desember 2007
Indonesia menjadi tuan rumah United Nation Framework Climate Change
Conference (UNFCCC) di Bali.
Meski banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual
yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa
bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging. Hal ini
diperparah lagi dengan pernyataan dari Departemen Kehutanan yang lebih
membela pelaku pengrusakan hutan yang berijin dibanding menjaga hutan.
Tindak pidana kehutanan hanya dianggap sebagai pelanggaran administrasi
belaka.
7
Bambang Setiono dan Yunus Husein, op.cit, hlm 1
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 24 2008
Sawit” di Kaltim yang melibatkan mantan Gubernur Kaltim, Mantan KaKanwil,
Mantan Kepala Dinas Kehutanan, Dirjen Dephut dan pengusaha Martias. Itu
pun dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor. Kasus lain yang berpeluang
divonis bersalah dengan menggunakan UU Anti Korupsi yakni kasus DL Sitorus.
Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni
korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan Kasasi, Hakim Mahkamah
Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Di samping itu, pada tahun 2007 aparat penegak hukum juga
mengacukan hasil analisis PPATK yang terkait dengan kasus illegal logging,
pencucian uang dan korupsi. Padahal di dalam beberapa analisis PPATK
menggambarkan secara gamblang proses suap yang dilakukan pengusaha
terhadap aparat.
GAMBARAN UMUM PENEGAKAN HUKUM
KEJAHATAN KEHUTANAN
Tak seperti tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan pelaksanaan
operasi hutan lestari, pada tahun 2007 pemerintah tidak mencanangkan
operasi pemberantasan illegal logging secara besar‐besaran. Akibatnya, jumlah
kasus illegal logging yang dijerat dengan menggunakan UU kehutanan semakin
menurun. Dari data yang dihimpun Direktur Penyidikan dan Perlindungan
Hutan Departemen Kehutanan, menyatakan bahwa jumlah kasus tahun 2006
berjumlah 1.329 dan pada tahun 2007 (sampai dengan September 2007) turun
drastis menjadi 204 kasus.
Tabel 1. Data Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan Kehutanan yang Ditangani
PPNS Kehutanan
Tahun Jml Jml Pe‐ Penyi‐ SP3 P21 Per‐ Vo
TSK Kasus nyeli‐ dikan sidangan nis
dikan
2005 879 732 112 217 6 119 40 217
2006 1.409 1.329 367 320 23 236 84 247
25
KERUGIAN NEGARA AKIBAT ILLEGAL LOGGING
Tidak ada data resmi dari Departemen Kehutanan tentang kerusakan
hutan tahun 2007. Data kerusakan hutan terdekat yang dikeluarkan Dephut
yakni data pada tahun 2000‐2005 sebesar 1,08 juta hektar per tahun.
Sedangkan rata‐rata potensi produksi hutan per hektar pada tahun 2007
sebesar 37,78 m3.8 Jika kita menggunakan data kerusakan hutan per tahun
sebesar 1,08 juta hektar dan dikalikan dengan potensi hutan 37,78 m3 per
hektar, maka ada sekitar 40,802 juta m3 kayu yang ditebang dari bumi
Indonesia.
Jumlah produksi kayu di atas tentu saja jauh di atas produksi kayu yang
dihimpun Dephut. Rencana Kerja Tahunan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) Hutan Alam yang dilansir perusahaan untuk tahun 2007
sebesar 9,379 juta m3. Sampai laporan ini dibuat, Dephut belum mengeluarkan
realisasi produksi kayu baik itu berasal dari Hutan Alam, Hutan Tanaman
maupun ijin lainnya tahun 2007. Untuk mengisi kekosongan data 2007, kita
menggunakan rata‐rata realisasi produksi kayu terdekat yakni antara 2001‐
2005. Rata‐rata produksi kayu per tahun untuk Ijin Pemanfaatan Kayu sebesar
1,741 juta m3, Hutan Tanaman 8,190 juta m3 dan Hutan Rakyat sebesar 0,304
juta m3. Dengan menggunakan asumsi data RKT tahun 2007 dan rata‐rata
realisasi produksi kayu tahunan, maka kita dapat memperkirakan jumlah
produksi legal kayu untuk tahun 2007 sebesar 19,614 juta m3.
8
Angka ini diperoleh dari Rencana Kerja Tahun 2007
IUPHHK Hutan Alam yakni sebesar 9.379.064 m3 dengan
mencakup areal hutan seluas 248.234 hektar.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 26 2008
Hal ini berarti ada sekitar kayu 21,188 juta m3 yang diindikasikan
berasal dari illegal logging dan tidak tercatat oleh Dephut. Kalau kita
menggunakan harga kayu sebesar US$ 105,82 per m3 (US$ 1 = Rp 9.309,51)9,
maka nilai kerugian negara dari nilai kayu sebesar Rp 20,873 triliun. Kerugian
tersebut belum dihitung dari nilai penyimpanan karbon, air, lingkungan dan
nilai hutan non kayu yang jumlahnya bisa mencapai US$ 1283 sampai dengan
US$ 1416 per hektar.10
MONITORING KASUS KORUPSI BIDANG
KEHUTANAN
KASUS DL SITORUS
Pada bulan Februari 2007, nasib terdakwa tindak pidana kehutanan
Darianus Lumbuk Sitorus atau yang dikenal dengan DL Sitorus berubah
drastis. Setelah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutusnya bebas,
melalui putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) akhirnya menjebloskannya
kembali ke penjara. Ia diganjar penjara 8 tahun dan dipidana denda sebesar
Rp 5 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan.
Sedangkan pada dakwaan ketiga, terdakwa dijerat pasal 6 ayat 1 jo
pasal 18 ayat 2 PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan pasal
50 ayat 3 huruf a jo pasal 78 ayat 2 UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Majelis hakim yang diketuai oleh Andriani Nurdin menunda
sidang hingga Jumat, 28 Juli 2006, untuk membacakan putusan.
JPU menuntut DL Sitorus hukuman 12 tahun penjara, dan hukuman
tambahan berupa denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan
serta mengganti uang kerugian negara sebesar Rp323,655 miliar. Perbuatan
terdakwa, menurut JPU, telah merugikan negara cq Departemen Kehutanan
sebesar Rp323,655 miliar yang terdiri atas hilangnya tegalan di 47 ribu
hektar hutan produksi negara sebesar Rp44,655 miliar, hilangnya
pemasukan dana reboisasi dan pengelolaan sumber daya alam yang
seharusnya masuk ke Departemen Kehutanan sebesar Rp207 miliar dan
Rp72 miliar.
untuk Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Register 40
Padang Lawas Sumatera Utara.
KASUS TEDDY ANTONI
Pada April 2007, Teddy Antoni (39), Direktur Utama PT ATN,
pembalak 13.000 m3 kayu di Kepulauan Mentawai, Sumbar yang dinilai
merugikan negara Rp7,3 miliar, divonis bebas. Majelis hakim dengan Ketua,
Nurhaida Betty Aritonang, SH, di PN Padang menyatakan Teddy wajar
divonis bebas dari tuntutan berlapis, karena persidangan membuktikan
kejahatan yang didakwakan terhadapnya tidak memenuhi unsur pidana.
Terkait pembebasan Teddy, JPU, Jopi Noveli, SH, menyatakan pikir‐pikir
atau menyerahkan kebijakan selanjutnya pada Kepala Kejaksaan Tinggi
Sumbar.
29
Sebelumnya Jaksa penuntut Umum, Jopi Noveli, SH dan Wiily Ade
Chaidir,SH, menuntut terdakwa selama enam tahun penjara, denda Rp300
juta dan subsider enam bulan kurungan, karena melanggar pasal 2 ayat 1 jo
pasal 18 ayat 1 huruf b UU No 31 tahun 1999 tentang korupsi. Terdakwa
juga dijerat pasal No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke ‐ KUHP, karena
dugaan kejahatan dilakukan secara bersama dengan dua koperasi Mina
Awera dan KSU Simantorai dalam izin pemanfaatan kayu (IPK) di Sipora
Kepulauan Mentawai.
Dakwaan sebelumnya, Teddy Antoni, dinilai bekerjasama dengan
Zulkarnain ‐ Ketua KUD Mina Awera dan M Parulian Samalinggai (DPO),
menggarap kayu jenis meranti, kruing, mencimin, balam di luar lahan atas
IPK yang dimilikinya. Dalam mengelola kayu tersebut Teddy menyediakan 5
unit buldozer, dan wheel loader, eskavator, motor grader dan dump truck
masing‐masing satu unit serta peralatan lainnya untuk KSU Simarotorai.
Pengoperasian alat barat itu tidak memiliki izin Dirjen/Derektur Bina
pengembangan Hutan Tanaman yang seharusnya sesuai Kepmenhut No
428/kpts‐11/2003.
Guna melancarkan operasinya Teddy Antoni, juga menyediakan
empat unit chainsaw atas nama Jailani untuk Koperasi Mina Awera dan lima
operator ATN. Selain itu, Teddy juga menyediakan enam unit kendaraan
roda empat serta mengontrak dua unit kapal. Teddy diadili ke PN Padang,
mulai 20 Desember 2005. Terdakwa dalam sidang putusan itu, didamping
penasehat hukumnya Suherman, SH dan Azimar SH. Dalam kasus ilegal
Logging itu, diperiksa 27 orang saksi.
KASUS SEJUTA HEKTAR KELAPA SAWIT DI KALTIM
Kasus sejuta hektar kelapa sawit di Kaltim melibatkan 5
Tersangka/Terdakwa yakni :
1. Suwarna AF (Gubenur Kaltim)
2. Martias (President Surya Dumai Grup)
3. Uuh Aliyuddin (Ka Kanwil Dephutbun Kaltim)
4. Robian (Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim)
5. Waskito Suryodibroto (Dirjen PHP Dephutbun)
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 30 2008
Kasus Posisi
dilksanakan Tata Batas Areal. Hal ini melanggar pasal 5 ayat (1) dan (2)
Kep Menhutbun No 538/1999
WASKITO menerbitkan Persetujuan Prinsip IPK kpd perusahaan2 SDG
dgn membuat surat kepada Ka Kanwil Dephutbun Kaltim dgn
tembusan Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan kaltim untuk
menerbitkan IPK.
Atas dasar Persetujuan Prinsip IPK dari Dirjen PHP tersebut, SUWARNA
menerbitkan Surat Persetujuan Sementara Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Perkebunan (HPH TP, Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan
Lahan dan Pemanfaatan Kayu kpd PT yg tergabung dlm SDG. Surat
tersebut disertai dgn instruksi kepada Kakanwil untuk segera
menerbitkan IPK.
Berdasar HPHTP, Ijin Prinsip Dirjen PHP dan Persetujuan Prinsip
Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan kayu, UUH ALIYUDDIN, Ka Kanwil
Dephutbun Kaltim selaku pejabat teknis menerbitkan 14 IPK (1999‐
2000) kepada PT yg tergabung dlm SDG.
Pada saat IPK yg diterbitkan oleh UUH ALIYUDIN akan habis masa
berlakuknya, TONY CANDRA selaku Kepala Perwakilan Divisi Kaltim
SDG di Samarinda, atas perintah MARTIAS mengajukan Dispensasi
Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH kpd Gub Kaltim (SUWARNA)
SUWARNA menerbitkan Dispensasi Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH
kepada perusahaan yg tergabung dlm SDG.
Brdasarkan IPK yg telah diterbitkan oleh UUH ALIYUDIN yg tidak sesuai
dgn ketentuan dan adanya Dispensasi dari SUWARNA, ROBIAN selaku
Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim menerbitkan 14 SK
IPK/Perpanjangan IPK kepada PT yg tergabung dlm SDG.
Dengan SK IPK dan SK Perpanjangan IPK tersebut, PT yang tergabung
dalam SDG melakukan eksploitasi kayu tanpa ada keseriuasan
membangun kebun kelapa sawit pada areal seluas kurang lebih 53.600
Ha, dgn jumlah nilai tebangan sekitar Rp. 386.221.139.830,‐. Dikatakan
tidak serius karena pada kenyataannya sampai Juni 2006 hanya 2.170
Ha yang dibangun dari luas 53.600 Ha yang ditebang. Hal ini karena
tidak adanya pengawasan dari Gubernur dan pihak Kanwil Dephutbun
Kaltim serta Kadishut Kaltim.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 32 2008
Dakwaan terhadap Suwarna AF
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu,
penuntut umum KPK mendakwa Suwarna telah merugikan keuangan
negara sebesar Rp 346,8 miliar. Menurut penuntut umum, kerugian
tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan Suwarna dalam kurun waktu
sejak Agustus 1999 sampai Desember 2002. Perbuatan Suwarna yang dinilai
penuntut KPK melanggar mulai dari pemberian rekomendasi areal
perkebunan sawit, memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu
(IPK), hingga memberikan persetujuan prinsip pembukaan lahan dan
pemanfaatan kayu. Suwarna juga dianggap telah menyalahi aturan ketika
memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi)
kepada perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang
dikendalikan Martias alias Pung Kian Hwa tanpa mengindahkan peraturan
teknis bidang kehutanan.
Dalam dakwaan subsidairnya, Suwarna dianggap menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya dengan
serangkaian perbuatan yang memberikan ijin kepada Surya Dumai Group
untuk pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Perbuatan ini diancam
Pasal 3 jo Pasal 18 UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64
ayat (1) KUHP.
33
Tuntutan terhadap Suwarna AF
Tuntutan digelar pada tanggal 2 Maret 2007. Penuntut Umum KPK
menuntut Gubernur Kalimantan Timur Mayjend (Purn) Suwarna Abdul
Fatah 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 6 bulan.
Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP.
Putusan
Walaupun terbukti melakukan tindak pidana korupsi, majelis hakim
menilai perbuatan Suwarna tidak memenuhi unsur‐unsur Pasal 2 ayat (1)
UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dakwaan primair JPU. Majelis hakim
justru berpendapat dakwaan subsidair yakni Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
yang terbukti.
Selain itu, majelis juga menyatakan kebijakan‐kebijakan yang dibuat
Suwarna terbukti secara nyata telah menguntungkan orang lain yakni
Martias alias Pung Kian Hwa yang tidak lain adalah pimpinan Surya Dumai
Grup.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 36 2008
KASUS BUPATI PELALAWAN RIAU
KASUS ADELIN LIS
Kasus Posisi
PT KNDI pada tanggal 30 September 1999 berhak atas hutan di
Kecamatan Muara Batang Gadis, Madina, seluas 58.590 hektare dengan SK
Menhut Nomor 805/Kpts‐VI/1999. Adelin Lis, salah satu "raja hutan" dari
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 38 2008
Pada tanggal 20 Juni 2007 lalu, Adelin Lis selaku direktur keuangan
PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan. Adelin Lis
dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR / PSDH. Di samping
itu, ia telah melakukan kegiatan pembalakan jauh diluar jumlah RKT yang
notabene dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Hakim
Arman Byrin, Robinson Tarigan, Jarasmen Purba, Ahmad Ismedi, dan
Dolman Sinaga.
Jaksa
Harli Siregar SH, Halila SH, Tomo Sitepu, dan Agus Wirawan SH
Tersangka Lainnya
Dakwaan
Jaksa menyatakan, Adelin bersama dengan Direktur Utama PT KNDI
Oscar Sipayung dan Direktur Operasional PT KNDI Washington Pane
merambah hutan di kawasan hutan Sikuang‐ Sungai Natal Kab Madina yang
berada di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan sejak
39
Saksi
Tuntutan
Jaksa menuntut Adelin Lis hukuman pidana 10 tahun di Pengadilan
Negeri Medan. Adelin juga dituntut denda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan
kurungan dan uang ganti rugi sebesar Rp 119 milyar dan US$ 2,9 juta. Uang
pengganti ini ditanggung renteng bersama empat terdakwa lainnya, yaitu
Oscar Sipayung (Direktur Utama PT KNDI), Washington Pane (Direktur
Perencanaan dan Produksi PT KNDI), Budi Ismoyo (Kadis Kehutanan Kab
Madina periode 2006), dan Sucipto (mantan Kadis Kehutanan Madina
periode 2002).
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 40 2008
Putusan: Bebas dari segala dakwaan
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bukti yang diajukan
jaksa kurang lengkap. Tidak ada foto atau video yang membuktikan
kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor
yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai tidak kuat.
Bagaimana saksi bisa membuktikan kerusakan hutan hanya dengan
penelitian lapangan selama satu hari, yang seharusnya dilakukan selama
dua bulan, untuk area seluas 58 ribu hektare milik keluarga Adelin Lis?
Karena itu, hakim pun meloloskan Adelin dari jerat pasal perusakan hutan.
Dalam putusan, majelis juga menyatakan bahwa izin HPH PT KNDI
masih sah hingga sekarang. Mereka berpegang pada surat sakti Menhut
M.S. Kaban kepada Kapolda Sumatera Utara bertanggal 21 April 2006 dan
Kapolri Jenderal Sutanto bertanggal 7 Juni 2006. Inti surat Menhut ke
Kapoldasu yang sempat menjadi polemik itu, antara lain, menyebutkan, PT
Mujur Timber, PT Inanta Timber, dan PT Keangnam Development
merupakan perusahaan swasta PMDN yang memiliki IUPHHK/HPH. Kaban
juga minta Kapoldasu memproses kasus tersebut secara objektif. Kapoldasu
juga diminta dapat membedakan pelanggaran administratif dan
pelanggaran pidana.
41
PROBLEM PENGGUNAAN UU ANTI KORUPSI DALAM
MENJERAT PELAKU ILLEGAL LOGGING
PEMBELOKAN KORUPSI KE PELANGGARAN ADMINISTRASI
Di dalam kasus Adelin Lis, Hakim menilai bukti yang diajukan jaksa
kurang kuat. Tidak ada foto atau video yang membuktikan kerusakan hutan
yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa
dinilai tidak kuat. Karena itu penebangan hutan besar‐besaran hanya
merupakan pelanggaran administrasi, bukan pidana.
Padahal pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan
bahwa pemilik ijin pemanfaatan hutan yang melakukan kerusakan hutan
dikenai sanksi pidana, bukan sekedar sanksi administrasi. Seseorang yang
mempunyai ijin, tetapi melakukan penebangan tanpa mempertimbangkan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 42 2008
Di samping itu, pembelokan kasus korupsi Adelin Lis ke dalam
ranah pelanggaran administrasi membuat persepsi tentang korupsi semakin
kabur dan tidak jelas. Orang yang melakukan manipulasi Dana Reboisasi
(DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dianggap hanya melakukan
pelanggaran administratif belaka.
Pertama, melakukan mark down terhadap terhadap ketentuan tarif
DR‐PSDH. Perusahaan Adelin Lis membayarkan DR‐PSDH jenis kayu
golongan tinggi dengan menggunakan tarif kayu golongan rendah. PT
Inanta Timber dan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) yang
merupakan bagian dari Mujur Timber Group milik Adelin Lis kerap kali
melakukan modus tersebut. Dengan modus ini negara dirugikan miliaran
rupiah.
Melihat modus di atas, perusahaan milik Adelin Lis bukan sekedar
melakukan pelanggaran administrasi belaka, tetapi lebih dari itu ada unsur
kesengajaan untuk memanipulasi pembayaran DR/PSDH yang dapat
merugikan keuangan negara. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum karena melanggar peraturan
perundang‐undangan. Dari sisi keuntungan, modus manipulasi DR/PSDH
tentu saja dapat memperkaya Adelin Lis dan kroninya.
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG MASIH BIAS
Putusan Pengadilan Tipikor tingkat pertama mengenai Kasus kelapa
sawit sejuta hektar di Kaltim dan Putusan Kasus Adelin Lis memberikan
pelajaran berharga terkait perhitungan kerugian negara. Di dalam kedua
kasus tersebut, hakim secara mentah‐mentah menolak perhitungan
kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP. Perdebatan tentang kerugian
negara apakah hanya dihitung dari potensi tegakan, kerusakan lingkungan
dan DR/PSDH masih belum ada kesepahaman.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 44 2008
Di dalam kasus kelapa sawit sejuta hektar di Kaltim, Penuntut KPK
dengan menggunakan perhitungan BPKP menaksir Suwarna telah
memperkaya Martias sebesar Rp 5,16 miliar atau korporasi sebesar Rp578
miliar yang berasal dari penjualan kayu perusahaan‐perusahaan yang
bernaung di bawah Surya Dumai Group (SDG), atau setidak‐tidaknya
sebesar Rp346 miliar. Tiga versi yang mengungkapkan kerugian negara
menunjukkan bahwa penuntut umum kurang yakin terhadap perhitungan
BPKP. Padahal dalam perhitungan tersebut hanya dihitung potensi tegakan
tidak termasuk nilai kerusakan.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor : 18/PID.B/TPK/2006 /PN.JKT.PST tanggal 22 Maret
2007 Jo. Putusan Pengadilan putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor :
03/PID/TPK/2007/PT.DKI tanggal 26 Juni 2007 dalam perkara atas nama H.
SUWARNA ABDUL FATAH dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
21/PID.B/TPK/2006/PN.JKT.PST tanggal 03 Mei 2007 dalam perkara atas
nama MARTIAS ALIAS PUNG KIAN HWA jumlah kerugian negara sebesar Rp.
5.167.723.032 (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua
puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah).
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor: 02/PID.B/TPK/2007/PN.JKT.PST tertanggal 16 Juli
2007 atas nama Ir. UUH ALIYUDIN, MM (Mantan Kakanwil Dephutbun
Kaltim) dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor : 03/PID.B/TPK/2007/PN.JKT. PST tertanggal 16
Juli 2007 atas nama Ir. H. ROBIAN, MSi (Mantan Plt. Kakanwil Dephutbun
Kaltim dan Kadis Kehutanan Propinsi Kaltim), jumlah kerugian negara
sebesar Rp. 186.579.088.185 (seratus delapan puluh enam milyar lima ratus
tujuh puluh sembilan juta delapan puluh delapan ribu seratus delapan
puluh lima rupiah).
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor: 08/PID.B/TPK/2007/PN. JKT.PST tertanggal 19
September 2007 atas nama Ir. WASKITO SURYODIBROTO, MM, jumlah
45
PENEGAK HUKUM TIDAK MENGOPTIMALKAN
ANALISA PPATK
Sampai 16 April 2007, ada sekitar 263 Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM) terkait dengan korupsi dan 5 LTKM terkait dengan
illegal logging. Dari sejumlah LTKM tersebut, sampai akhir tahun 2007
PPATK berhasil menyelesaikan analisis sebanyak 231 untuk korupsi dan 4
analisis untuk illegal logging. Namun ironisnya, dari sejumlah analisis
PPATK, tidak ada satu kasus pun kasus illegal logging yang terkait dengan
pencucian uang dan korupsi diteruskan ke proses peradilan.
Tabel 3. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah LTKM Setiap
Tahun
Penyelundupan 0 4 0 0 0 4
Tidak Teridentifikasi / 0 6 8 6 5 25
dll
Padahal dalam beberapa analisis PPATK, menguraikan alur transaksi
dari pengusaha kayu yang diduga terkait illegal logging kepada pejabat
pemerintah dan aparat kepolisian (Lihat Lampiran). Ada setidaknya 6 hasil
analisis PPATK yang terkait dengan illegal logging, korupsi dan pencucian
uang yang belum dipecahkan oleh aparat penegak hukum. Transaksi dari
pengusaha ke aparat pemerintah dalam jumlah yang begitu besar
merupakan transaksi yang mencurigakan. Jika aparat pemerintah tidak
melaporkan terjadinya pemberian kepada KPK, maka pemberian tersebut
dikategorikan gratifikasi.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
W P S dn, B hd
J H T P T E , L td
E C S dn, B hd
S IN G A P O R E
M A L A Y S IA
In c o m in g T r a n s fe r
U S D 1 1 ,2 ju ta In c o m in g T r a n s fe r
U S D 0 ,5 ju ta
P e m in d a h b u k u a n T ra n s fe r d a n a
(P e n g u s a h a k a y u )
S M R
K A L T IM
dana F R /D N
JA K A R T A
K A S P E M D A
S e to r d a n a S e to r d a n a
M R & Y P W R S
( P o lis i) (T N I)
H W M M & F M
( K a d is h u t) (P N S )
P age 1
Di samping itu, DN dan WST juga menarik dan langsung
menyetorkan dana kepada oknum Polisi (MR dan YPW), oknum PNS (MM
dan FM), oknum TNI (RS) dan Oknum Pejabat Dishut (HW) sebesar
USD128,4 ribu (Rp1,146 milliar). Oknum MR yang pada waktu menjabat
sebagai Kanitserse tidak melakukan penindakan terhadap perusahaan milik
FR. Padahal perusahaan milik FR diduga melakukan illegal logging.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 48 2008
Tabel 4. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah
Analisis Setiap Tahun
Hasil analisis PPATK menjadi bukti nyata bahwa kejahatan illegal
logging dapat dilacak dengan menggunakan aliran arus uang. Seorang
pengusaha kayu yang mentransfer dalam jumlah besar kepada pejabat
pemerintah dan kepolisian dapat diindikasikan bahwa dalam bisnisnya telah
menerima kayu illegal dan terlibat praktek illegal logging.
49
Tidak optimalnya pemberantasan illegal logging dengan menggunakan
UU Anti Korupsi disebabkan karena aparat penegak hukum yang korup. Tarif
setoran tiap bulan untuk tiap‐tiap pejabat memang bervariasi. Misalnya aparat
level bawah dan menengah seperti Danlanal menerima Rp 30‐50 juta, pejabat
Polairud Rp 20 juta, Dinas Kehutanan Rp 10 juta, Kapolresta Rp 50 juta, Polsek
KP3 Rp 10 juta.11 Untuk pangkat yang lebih tinggi mungkin memasang tarif
yang lebih besar.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
1. Nilai kerugian negara dari nilai kayu akibat illegal logging pada tahun
2007 sebesar Rp 20,873 triliun. Ironisnya, penyelesaian kasus illegal
logging yang menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
masih sangat minim.
2. Simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan
menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang
kehutanan. Dengan kesimpangsiuran kerugian negara akan
mengakibatkan banyak terdakwa yang terlepas dari hukuman penjara
dan pengembalian keuangan negara.
3. Di dalam pengungkapan kasus illegal logging yang terkait korupsi,
aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis
PPATK. Padahal ada sekitar 6 analisis PPATK yang menggambarkan
proses suap diantara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan
aparat pemerintah. Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK
disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah
jika hal ini dilanjutkan di peradilan.
4. Di dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi
ke pelanggaran administrasi. Banyak pelaku kejahatan kehutanan yang
berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan
hanya pelanggaran administrasi belaka. Menanggapi trik tersebut,
aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus
11
Kesaksian Vivin dalam persidangan terdakwa
Pontjodiono di Pengadilan Negeri Cirebon tahun 2006.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 50 2008
REKOMENDASI
51
LAMPIRAN‐LAMPIRAN
K asus 3
A nHa kWT H M
( M e n a n tu T H )
S e to r d a n a S e to r d a n a
TH
P engusaha kayu
D ib a n tu
PO LR I a n a k d a n m e n a n tu SEKADAN
SETOR SANGGAU
R p . 2 5 m ily a r P O N T IA N A K
P E R IO D E
D U A K O N T A IN E R
KAYU
SEPTEM BER
0 4 -J J U L I 0 5
T A R IK T U N A I
BANK X
Page 1
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 52 2008
K asus 4
SKSHH
(P e ru s a h a a n k a y u ) A spal
P T. H JP
P e ja b a t
D is h u t
K E R U G A IN
NEG ARA 35M
(P e ru s a h a a n k a y u ) P engusaha kayu
CV. PG (U T , Y T , R A R , W ,
AS, AR, AG, C,
MK)
P engusaha kayu
(A R B ) P E M A S O K
R p . 1 0 , 7 m ily a r P e r io d e
F e b 0 3 -A g s t 0 5
T A R IK T U N A I
2 R ek. B ank X
Page 1
53
MELIHAT UANG HARAM
PERUSAK HUTAN
YANG KEBAL HUKUM
“Satu saja pelaku illegal logging tertangkap, atau
satu saja delik korupsi seorang pejabat
diindikasikan, dengan rezim anti pencucian uang
seluruh jaringan kejahatan kehutanan tersebut
akan terbongkar. Selama proses transaksi
keuangan antara para pelaku masih
menggunakan sistem keuangan, maka selama itu
pula alur harta para pelaku tersebut menjadi
jejak yang tidak dapat dibantah.”
Grahat Nagara, Legal Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 54 2008
PENDAHULUAN
Menjelaskan Kerusakan Hutan dengan Menelusuri Uang
Semua pihak setuju hutan di Indonesia telah rusak. Terlepas apakah
penyebab utamanya maupun luasannya masih diperdebatkan, yang pasti
hutan telah rusak. Orang boleh berargumen mengenai istilah penghancuran,
atau kerusakan hutan, atau deforestasi. Tapi, jumlah kerusakan hutan yang kini
banyak muncul sebagai asesoris tulisan‐tulisan yang mengupas mengenai
hutan, memang sangat mengejutkan. Telapak/EIA menggunakan istilah
kehancuran hutan hingga 2,8 juta hektar per tahun. Menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan kehancuran hutan terparah.
ELSDA berpendapat, bahwa kerusakan hutan ini tidaklah tanpa sebab,
bukan hanya sekadar karena mekanisme alam, atau meminjam istilah
Bambang Setiono dari CIFOR dalam sebuah Pelatihan Penegakkan Hukum
Kejahatan Kehutanan, bahwa hutan tidaklah hilang ditiup angin.
terjadi di Indonesia. Disebut mekanisme, karena ia berlaku secara sistematis
dan terorganisir.
TABEL 1. Data Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan Kehutanan yang Ditangani PPNS
Kehutanan
ini normal dalam sebuah bisnis kehutanan. Lebih lanjut, rezim ini memberikan
jalan untuk tidak hanya memenjarakan pelaku penebangan, tetapi juga para
aktor intelektual yang sebenarnya paling diuntungkan dari adanya kejahatan
ini. Sehingga dengan dasar hukum Pasal 2 UU Anti Pencucian Uang, penyidik
dapat menggunakan pasal‐pasal dalam delik pencucian uang untuk pelaku
kejahatan kehutanan yang umumnya tidak terjangkau dengan UU Kehutanan
biasa.
Logikanya sederhana, yaitu bagaimana melihat keterlibatan seseorang
dalam kejahatan kehutanan dan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari
kejahatan ini.
Tabel 2. Data Laporan Hasil Analisis Yang Dikeluarkan Oleh PPATK
Kejahatan Asal Jumlah Laporan
Korupsi 231
Pembalakan liar 4
Penggelapan Pajak 7
Pemalsuan Dokumen 21
Kejahatan Perbankan 28
Penyelundupan 4
Pencurian 1
Penipuan 163
Terorisme 6
Narkotika 3
Pemalsuan Uang Rupiah 4
Pornografi Anak 3
57
Perjudian 5
Penyuapan 9
Sumber: Refleksi Akhir Tahun 2007, PPATK, 2007
Jelas kiranya, sampai tahun 2007 ini rezim anti pencucian uang tetap
masih menjadi angan‐angan. Padahal ditengah gencarnya kampanye anti
pembalakan liar, komitmen Menteri Kehutanan, dorongan politis dengan
Instruksi Presiden, gebrakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat,
semangat reformasi, dan kesadaran global mengenai isu perubahan iklim,
Indonesia justru masih tidak mampu untuk paling tidak memberikan secercah
harapan bahwa hukumlah yang harus menjadi panglima terdepan dalam
perlindungan terhadap lingkungan khususnya kehutanan.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 58 2008
KETIKA PEJABAT DAN APARAT TAK LAGI
MEMEGANG AMANAT
Menelusuri Uang dan Kekuasaan Pendukung Kejahatan Kehutanan
PENGANTAR
Bagi para pelaku kejahatan, rezim anti pencucian uang dengan
pendekatan follow the money‐nya dalam kasus kejahatan kehutanan
mungkin terlihat seperti pembunuh massal. Satu saja pelaku illegal logging
tertangkap, atau satu saja delik korupsi seorang pejabat diindikasikan, maka
seluruh jaringan kejahatan kehutanan tersebut akan terbongkar. Selama
proses transaksi keuangan antara para pelaku masih menggunakan sistem
keuangan, maka selama itu pula alur harta para pelaku tersebut menjadi
jejak yang tidak dapat dibantah. Saking dianggap berbahayanya rezim ini
sebagian besar pihak berusaha untuk melaksanakan rezim ini secara hati‐
hati. Walaupun, sikap setengah hati kalau tidak dapat disebut plin‐plan ini
jugalah yang terkadang justru menjadi hambatan utama rezim ini dan kasus
MR adalah salah satunya.
Kasus MR pada tahun 2005 sebenarnya salah satu contoh kasus
yang menarik dalam melaksanakan rezim anti pencucian uang pada bidang
kehutanan, meskipun contohnya memang contoh yang tidak berhasil.
Marthen yang didakwa secara alternatif berlapis antara pencucian uang
atau korupsi sekalipun dapat melenggang bebas. Alasannya sederhana,
tidak ada saksi kunci.
KASUS POSISI
Secara singkat MR adalah seorang komisaris polisi. Sebagai seorang
kabag serse MR berhasil membangun jaringan pertemanan dengan
berbagai pihak yang diindikasikan sebagai pelaku illegal logging. Ia diciduk
pada Operasi Hutan Lestari II dan diperiksa di Jakarta. Dengan bantuan
PPATK, MR terbukti menerima sejumlah uang dari teman‐temannya
tersebut hingga sejumlah 1,06 milyar untuk periode September 2002
sampai Desember 2003. Pada tahun 2004 teman‐teman MR, yaitu PT
59
Marindo dan PT Sanjaya digerebek polisi di Bintuni dengan lebih dari 15.000
meter kubik kayu Merbau disita dan 15 orang berkewarganegaraan
Malaysia. Sayangnya teman MR yang mentransfer uang pada MR, yaitu
Yudi dan Wong Sie King berhasil lolos. Meskipun kedua orang teman MR ini
tidak ada akhirnya Jaksa Penuntut Umum di Jayapura mendakwa MR
dengan dakwaan alternatif berlapis.
HAL YANG MENARIK UNTUK DIPELAJARI
Ada hal‐hal menarik yang dapat dipelajari dalam kasus MR ini yang
menggambarkan bahwasanya memang seharusnya kasus MR menjadi kasus
yang mudah dengan berbagai bukti, diantaranya:
tersebut berasal dari hasil
kegiatan PT. MUJ dan PT.
SM yang melakukan
kejahatan kehutanan.
Subsidair Pasal 6 ayat (1) huruf MR menerima sejumlah
b UU No. 25/2003 harta dari PT. SM dan PT.
tentang Perubahan MUJ, padahal MR patut
UU No. 15/2002 jo. menduga atau mengetahui
Pasal 64 (1) KUHP. bahwa pemberian tersebut
merupakan hasil kegiatan
PT. MUJ dan PT. SM yang
melakukan kejahatan
kehutanan.
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Dari seluruh dakwaan tersebut dapat terlihat bahwa hampir
seluruh perbuatan pidananya mengacu pada perbuatan MR menerima
harta dari PT. MUJ dan PT. SM, kecuali untuk dakwaan kedua primair, MR
didakwa atas fakta hukum bahwa dia membayarkan atau membelanjakan
harta hasil yang ia ketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Pada dakwaan pencucian uangnya jaksa mendakwa berlapis pencucian
uang aktif maupun pasif. Melihat fakta hukumnya maka predicate crimes‐
nya adalah kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh PT. SM dan PT. MUJ.
Seharusnya kasus ini dapat menjadi contoh bagaimana pencucian uang
dapat menjadi independent crime, yang mana kejahatan pembalakan liar
yang dilakukan teman MR, sebagai kejahatan asalnya, belum diputus di
pengadilan (karena statusnya masih buron).
Kedua. Rezim anti pencucian uang sangat bergantung pada profil normal
seseorang, kebiasaan seseorang, dan kewajaran prilaku subyek tersebut,
termasuk profil harta kekayaannya. Apabila kita telusuri hartanya,
seseorang dengan sebuah profesi mungkin akan memiliki grafik kekayaan
seperti pada GAMBAR 1 dibawah. Gambaran sederhana ini menjelaskan
bahwa kebiasaan seorang profil untuk menerima pendapatan pada pada
periode tertentu kemudian akan habis atau berkurang dalam waktu periode
tertentu, dan begitu berulang‐ulang.
Gambar 1. Gambaran Sederhana Kebiasan Profil yang Normal
aset
25 25 25
waktu
Gambar 2. Gambaran Kebiasan Profil yang Tidak Normal
75jt
40jt
aset 20jt
5jt
25 25 25
waktu
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Perbedaan ini terjadi karena seperti yang dicantumkan dalam dakwaan MR,
seorang Petugas Kabag Serse Umum, menerima kucuran dana dari beberapa
sumber, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 4. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging
Gambar 3. Profil Pihak yang Bertransaksi Dapat Memberikan Gambaran Maksud
PROFIL PEMBERI
maksud transaksi
PROFIL PENERIMA
Sumber: Diolah dari Dakwaan MR
Dalam kasus MR, Denny dan Yudi merupakan orang pengurus PT.
Sanjaya Makmur. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan.
Dalam persidangan, MR berkilah bahwa dana‐dana yang disetor tersebut
adalah pinjaman untuk operasi penyidikkan illegal logging. Kalau pun
menggunakan “azas praduga tak bersalah” terhadap kejahatan PT Sanjaya
Makmur dan PT Marindo Utama Jaya, hal ini tetap saja menjadi kecurigaan
ada alasan apa sehingga MR harus meminta pinjaman dana dari
perusahaan kayu? Apakah dana operasional untuk penyidikkan tidak dapat
diperoleh dengan cara lain? Meskipun pembelaan ini dapat dinilai tidak
masuk akal, sayangnya dalam delik korupsinya sebagai predicate crime
tindak pidana pencucian uangnya, hal ini tidak diperdalam oleh Jaksa
Penuntut Umum.
65
REFLEKSI PENCUCIAN UANG KASUS MARTHEN RENOUW
Terakhir, meskipun gagal, hal umum yang dapat dipetik hikmahnya
dalam kasus MR, adalah bahwa rezim anti pencucian uang sangat
berpotensi untuk dapat menjadi senjata yang menakutkan bagi para pelaku
kejahatan, khususnya kejahatan kehutanan yang terorganisir seperti di
Indonesia. Secara implisit kasus MR lebih menegaskan lagi bahwa memang
pelaku kejahatan kehutanan dilakukan oleh perusahaan yang
mengantongin izin dengan cara korup dari pejabat dan dengan dukungan
aparat. Tentu saja, dengan bantuan sistem peradilan yang korup, kejahatan
kehutanan akan selamanya ada di Indonesia.
Dari kasus ini setidaknya ada beberapa hal yang dapat ELSDA
Institute lakukan, yaitu menyusun basis data profil pejabat, khususnya yang
memegang jabatan sebagai pengambil keputusan, seperti pemberi izin –
termasuk profil normalnya. Salah satu hal yang mendukung keyakinan
hakim adalah petunjuk, petunjuk tentunya dapat dihasilkan dari berbagai
indikator yang terdapat dari alat bukti lain atau barang bukti yang ada.
Memperbanyak indikator untuk menegaskan petunjuk tersebut dapat
menjadi jeratan yang membuat para pelaku kejahatan tidak dapat berkelit.
67
MENAMBAH DAFTAR PANJANG SKEPTISME
PENEGAKKAN HUKUM, BELUM ADA AKTOR
INTELEKTUAL YANG DAPAT DIPENJARA
Mengejar Pencuri Kayu Hingga ke Negeri Tirai Bambu
PENGANTAR
Menjerat aktor intelektual dari kejahatan kehutanan memang
tantangan terbesar penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Selain
mereka memang secara normatif sulit tersentuh hukum, secara politis pun
mereka memiliki kekuatan kekuasaan dan finansial yang nyata‐nyata sering
menjadi hambatan untuk menyentuh mereka. Hal ini kemudian menjadi
lebih sulit lagi apabila para timber baron ini mengantongi izin yang sah.
Hukum pun menjadi kemudian tumpul. Begitupula yang terjadi pada kasus
Adelin.
KASUS POSISI
Lain kasus MR, lain pula AL. Setelah terbukti di pengadilan tidak
membalak, AL yang disebut‐sebut raja rimba menghilang tidak kelihatan
rimbanya. Dalihnya, menurut penasihat hukumnya Hotman Paris, ia sudah
tidak percaya lagi dengan hukum Indonesia.
Adelin Lis ditangkap karena kasus pembalakan liar di KBRI Beijing
saat sedang mengurus resident permit‐nya dengan alasan untuk izin sekolah
di Cina pada September 2006 lalu. Direktur Keuangan PT Keang Nam
Development serta Komisaris PT Inanta Timber Trading ini adalah buronan
triliunan rupiah. Pada tanggal 20 Juni 2007 lalu, Adelin Lis selaku direktur
keuangan PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan.
Adelin Lis dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR/PSDH. Di
samping itu, ia telah melakukan kegiatan pembalakan jauh diluar jumlah
RKT yang notabene dapat menyebabkan kerusakan hutan. Ahli menilai
bahwa PT Inanta Timber miliknya menunggak Provisi Sumber Daya Hutan
sebesar 256 miliar dan Dana Reboisasi sebesar 2,3 juta dolar amerika.
Sedangkan kerusakan yang ditimbulkannya sebesar 225 triliun rupiah.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 68 2008
Tabel 5. Dakwaan Adelin Lis
Kumulatif Dakwaan
Kesatu Primair Pasal 2 (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999
sebagaimana diubah dengan UU No.
20/2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kedua Primair Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 ayat (1),
ayat (14) UU No 41/1999 jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Sumber: Berbagai surat kabar, diolah
SULITNYA MENJERAT SANG AKTOR INTELEKTUAL
DENGAN PENDEKATAN KONVENSIONAL
Kasus Adelin Lis menambah daftar contoh bagaimana sulitnya
mencapai keadilan dengan berbekal pendakatan konvensional. Bahkan
sejak dimulainya persidangan, sudah banyak pihak yang memprediksikan
bahwa Adelin akan dengan mudah lolos pidana kehutanan dan korupsi. Dari
dua dakwaan delik yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum tidak ada
satupun yang tidak dapat dibantah oleh pelaku.
Dalam kasus Adelin, dakwaan kedua primair JPU mendakwa Adelin
dengan Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU No 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Penebangan
hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan
sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dalam penebangan
pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan
hutan yang parah.
Kelalaian untuk tidak melakukan sistem silvikultur dan pelanggaran
penebangan di luar Rencana Kerja Tahunan memang merupakan ranah
administratif, lihat PP No. 6 Tahun 2007. Namun, pengelolaan yang seperti
ini justru sangat memungkinkan menyebabkan kerusakan hutan. Sehingga
majelis hakim juga seharusnya dapat menilai bahwa Adelin Lis tidak
memiliki itikad baik untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang baik atau
setidak‐tidaknya melakukan kelalaian yang dapat menimbulkan kerusakan
hutan. Itikad tidak baik ini juga sudah terlihat dari awal. Kejahatan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 70 2008
Adanya perizinan maupun dilakukannya pembatasan atau berbagai
prosedural formil dalam pengelolaan hutan tentunya dengan tujuan untuk
mencegah atau setidaknya memitigasi dampak kerusakan hutan akibat
pengelolaan tersebut. Spelt dan Berge12 menyatakan bahwa adanya
berbagai instrumen administratif tersebut adalah untuk mencegah adanya
bahaya bagi lingkungan. Sehingga ketika seseorang tidak melakukan
kewajiban‐kewajibannya tersebut ia dapat dinilai lalai melakukan
perlindungan hutan dan secara nyata kegiatannya dapat menyebabkan
kerusakan hutan.
Dalam kasus AL ini, namun demikian, Majelis Hakim menilai bahwa
bukti yang diajukan oleh JPU kurang kuat. Tidak ada foto maupun video
yang membuktikan kerusakan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut
Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun
dinilai tidak kuat, karena penilaian kerusakan hutan ternyata hanya
dilakukan dengan penelitian lapangan selama satu hari. Pelanggaran diluar
RKT pun dianggap tidak terbukti karena pada titik‐titik tersebut tidak
ditemukan adanya penebangan melainkan hanya merupakan tempat
12
N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Beger, Pengantar
Hukum Perizinan, disunting Ohilipus M. Hadjon, Yuridika,
Surabaya, 1993.
71
Kalaupun terbukti melakukan kerusakan, toh Adelin Lis sebenarnya
dapat dengan mudah berkilah bahwa posisinya pada PT. KNDI hanyalah
direktur keuangan, sehingga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
atas perbuatan pidana kehutanan yang dilakukan perusahannya.
REZIM ANTI PENCUCIAN UANG UNTUK SI RAJA RIMBA
Memang seharusnya sejak awal, pencucian uang ini digunakan juga
dalam kasus AL. Instrumen‐instrumen anti pencucian agar dapat
dimanfaatkan untuk melihat bukti‐bukti alur uangnya, untuk menjerat
pelaku‐pelaku yang mendukung kegiatan AL misalnya, dengan melihat alur
harta dari PT. KNDI atau PT. ITT dengan Pejabat Dinas Kehutanan yang telah
mengeluarkan blanko kosong. Alur bukti uang ini kemudian dapat menjadi
alat bukti yang dapat dipergunakan dipersidangan untuk melengkapi puzzle
dan menguatkan fakta‐fakta hukum bahwa memang Adelin Lis adalah
pelaku tindak pidana.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 72 2008
Pertama, apakah ada transaksi yang janggal untuk dilakukan profil tersebut.
Kejanggalan profil transaksi ini misalnya dapat terlihat dari:
1. Apakah asal usul harta yang ditransaksikan wajar diterima oleh profil
tersebut. Misalnya seperti dalam kasus MR, Renouw menerima
berkali‐kali sejumlah uang dari perusahaan yang terindikasikan
melakukan illegal logging.
2. Apakah jumlah harta wajar yang ditransaksikan untuk diterima oleh
profil tersebut tanpa alasan yang jelas. Misalnya dalam kasus MR,
Renouw menerima sejumlah harta kekayaan dalam jumlah besar,
padahal alasannya kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, apakah ada transaksi yang diluar kebiasaan yang dilakukan profil
tersebut. Kejanggalan transaksi yang dilakukan oleh seorang profil tersebut
dapat terlihat dari apakah profil pihak‐pihak yang terlibat transaksi tersebut
memiliki kedudukan wajar untuk melakukan transaksi. Misalnya, dalam
kasus MR, adanya transaksi antara MR yang seorang komisaris polisi dan
pemilik perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang
tentu akan menimbulkan kecurigaan tersendiri. Setidaknya dengan melihat
kedua profil para pihak yang bertransaksi penegak hukum dapat menilai
apakah motif sebenarnya pelaku.
Pertama, Adelin melakukan 13 transaksi transfer harta sejumlah Rp. 10,55
milyar dari rekening atas nama Adelin di Bank Buana ke rekening nomor
008‐031288‐001 atas nama Adelin juga di Bank HSBC cabang Medan sejak
tanggal 28 Desember 2004 sampai 27 Juli 2005.
Namun, saksi‐saksi yang diperiksa kepolisian membenarkan bahwa
harta Adelin Lis di HSBC tersebut digunakan untuk membayarkan hutang
kepada Hock Seng Trading PTE sejumlah US$ 985 ribu dan US$ 115.136.
Nilai tersebut juga berkesesuaian dengan nilai yang ditransfer Adelin dari
Bank Buana ke HSBC, dirupiahkan jumlah ribuan dolar tersebut akan
memenuhi nilai transaksi Rp. 10,55. Tapi penegak hukum tidak boleh
berpuas hati dengan jawaban tersebut. Pertanyaannya selanjutnya adalah
apakah benar Adelin memiliki hutang pada Hock Seng Trading itu. Kalaupun
benar, atas alasan apakah Adelin berhutang pada Hock Seng Trading dan
apakah hutang tersebut hutang pribadi atau hutang perusahaan. Kemudian
yang tidak kalah penting adalah siapa pemilik Hock Seng Trading tersebut.
Selain itu, analisis alur uang ini juga tidak hanya dilakukan dengan
melihat ke depan, tetapi juga harus dilakukan dengan melihat ke belakang,
yaitu dengan melihat dari mana harta yang ada di rekening Adelin pada
Bank Buana. Apabila Adelin berkilah bahwa harta tersebut berasal dari
bisnis sahnya dengan PT Mitra Niaga atas penjualan plywood dari PT. KNDI
dalam suatu periode tertentu. Bukannya tidak mungkin penegak hukum
juga menghitung berapa nilai sebenarnya yang diterima Adelin dari
penjualan plywood tersebut, dengan melihat berapa jumlah produksi PT.
KNDI.
Kedua, Adelin mentransfer juga uangnya dari Bank Buana ke rekening
nomor 00057862071 atas nama PT. Sinar Gunung Sawit Raya (PT. SRGR) di
Bank BNI Jalan Pemuda, Medan. Tercatat 66 kali rekening tranfer uang oleh
Adelin ke Rekening PT. SGSR, dengan nilai total sebesar Rp. 33,04 milyar
dari tanggal 11 Juni 2004 hingga 5 April 2006. Dari alur transaksinya PT.
SRGR kemudian mentransaksikan pada PT Tirta Makmur (PT. TM) sebesar
Rp. 14,369 milyar untuk membangun pabrik kelapa sawit. Kemudian, PT
SRGR juga mentransfer sebesar US$ 373.643 kepada PT Super Andalas Steel
(PT. SAS) untuk keperluan membangun boiler.
Dari total transaksi 33 milyar rupiah tersebut, hampir setengahnya
dipergunakan untuk membangun pabrik sawit yaitu 14 milyar rupiah.
Penegak hukum juga harus dapat memverifikasi apakah benar PT. SRGR
selama periode tersebut membangun pabrik sawit. Apabila ternyata PT.
SRGR tidak melakukan pembangunan sawit dan harta dalam jumlah besar
75
dari PT. SRGR berbalik kepada Adelin, maka hal ini menunjukkan bahwa PT.
SRGR hanyalah perusahaan boneka saja (shell company) untuk mencuci
uang haram yang dimiliki Adelin. Hal ini saja sudah cukup untuk
mengindikasikan bahwa Adelin berusaha melakukan proses layering dalam
pencucian uang.
Ketiga, Adelin Lis juga melakukan transfer ke rekening nomor 105‐017‐
80002‐6 atas nama PT Mujur Timber di Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol,
Medan. Transfer ini dilakukan sebanyak 39 kali dengan jumlah Rp. 25,05
milyar dari tanggal 26 Mei 2004 sampai 7 Oktober 2005, dengan alasan
untuk membiayai berbagai keperluan operasional PT. KNDI dan PT. MTG.
Tabel 6. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging
Peruntukkan Prosentase
Hutang pribadi 12,6%
Membiayai PT. SGR 39,7%
Membiayai operasional 30,1%
PT. MTG
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Adelin, maka selanjutnya terserah Adelin apakah ia akan keluar dari
persembunyiannya untuk membuktikan bahwa hartanya adalah harta yang
sah.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Refleksi Untuk Awal Tahun 2008
SIMPULAN
Dari paparan tersebut diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan
yang dapat diambil yaitu:
REKOMENDASI
Berdasarkan simpulan tersebut setidaknya ada beberapa hal yang
dapat menjadi rekomendasi untuk kedepannya dalam penegakan hukum
follow the money secara terintegratif, yaitu:
1. Perlunya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk setiap
kasus kejahatan kehutanan. Dengan penggunaan UU ini, diharapkan
dapat lebih menguatkan berbagai fakta hukum yang terjadi dalam
kasus tersebut termasuk untuk membongkar bagaimana keterlibatan
dan oknum pejabat dan aparat, yang turut mendukung keberlanjutan
kejahatan kehutanan tersebut.
2. PPATK perlu lebih aktif mendorong penegak hukum untuk
mengoptimalkan penggunaan rezim ini berdasarkan laporan hasil
analisis yang disampaikan kepada penegak hukum dan lebih banyak
lagi mensosialisasikan penggunaan rezim anti pencucian uang kepada
para penegak hukum, termasuk mengenai independensi tindak pidana
pencucian uang.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 78 2008
79
CATATAN BADAN LAYANAN
UMUM 2007
Triana Ramdani, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 80 2008
PENDAHULUAN
kehutanan yang dipinjam untuk kepentingan Sea Games Rp 30 miliar, yang
apabila diperhitungkan bunga, nilainya menjadi Rp 83,24 miliar.
PERATURAN BADAN LAYANAN UMUM
Aturan mengenai Badan Layanan Umum (BLU) diatur dalam PP No.
23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK‐BLU).
Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan BLU adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 82 2008
Selain Peraturan di atas, secara lebih rinci aturan mengenai BLU diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang terdiri dari:
1. PMK No. 119/2007
Tentang Persyaratan Administratif dalam rangka Pengusulan dan
Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan
Pengelolaan Keuangan BLU.
2. PMK No. 109/2007
Tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum
3. PMK No. 73/2007
Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 10/2006
tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola,
Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU.
4. PMK No. 08/2006
Tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU.
5. PMK No. 66/2006
Tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan
Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Pelaksanaan
Anggaran BLU.
KONSEP BADAN LAYANAN UMUM
Konsep keuangan yang paling membedakan BLU dengan badan di
lingkungan pemerintahan lainnya adalah mengenai fleksibilitasnya dalam
mengelola keuangan. Dimana BLU diberikan hak untuk menggunakan
pendapatannya langsung tanpa harus disetor ke kas negara terlebih dulu
sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan pengelolaan seperti itu diharapkan satker akan lebih fleksibel
dalam mengelola keuangannya sendiri. Sehingga bisa meningkatkan
pelayanannya kepada masyarakat.
83
Adapun perbedaan lainnya antara konsep BLU dengan konsep badan sektor
publik yang ada yaitu:
Tabel 1. Perbedaan Konsep BLU dengan Konsep Badan Sektor Publik Lainnya
Sumber: Pembinaan PK‐BLU oleh Departemen Keuangan
Kelebihan yang dimiliki BLU dalam fleksibilitasnya adalah mencakup kebebasan
dalam mengelola:
♦ Pendapatan dan Belanja
♦ Pengelolaan Kas
♦ Pengelolaan Piutang dan Utang
♦ Investasi
♦ Pengelolaan Barang
♦ Surplus/Defisit
♦ Akuntansi
♦ Remunerasi
♦ Status Kepegawaian PNS dan non PNS
♦ Nomenklatur Kelembagaan dan Pimpinan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 84 2008
MONITORING BADAN LAYANAN UMUM
KEHUTANAN
Saat ini baru satu satker dari Departemen Kehutanan yang dijadikan
BLU, yaitu BLU‐Pusat P2H. Badan ini didirikan pada tanggal 2 Maret 2007
sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 137/KMK.05/2007 serta
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut‐II/2007. Badan ini memiliki
kegiatan utama penyaluran pinjaman dana bergulir bagi pembangunan hutan
tanaman baik oleh BUMN/D/S/Koperasi maupun Kelompok Tani Hutan.
STATUS BLU‐PUSAT P2H
Status BLU‐Pusat P2H adalah BLU Bertahap 80%. Maka sesuai
dengan aturan fleksibilitasnya, pendapatan operasional yang diperolehnya
hanya bisa digunakan sebesar 80% saja, sisanya yang 20% tetap harus
disetor ke kas negara. Status Bertahap diperoleh karena persyaratan
administratif BLU‐Pusat P2H dianggap kurang memadai oleh Menteri
Keuangan untuk menjadi BLU Penuh.
85
Tim Penilai
Satker Menteri / Pimpinan Lembaga
Gambar 1. Skema Penetapan BLU
KEORGANISASIAN
Keorganisasian BLU‐Pusat P2H telah ditetapkan dalam Permenhut
No. P.31/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan yang telah disetujui oleh Menteri Pendayagunaan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 86 2008
Aparatur Negara. Berdasarkan peraturan tersebut, struktur organisasi BLU‐
Pusat P2H ditentukan sebagai berikut:
MENTERI KEHUTANAN
KEPALA BAGIAN
TATA USAHA
KELOMPOK
JABATAN FUNGSIONAL
Gambar 2. Struktur Organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
87
Dengan bentuk organisasi di atas, kriteria yang menyatakan unsur
organisasi BLU yang seharusnya menjadi tidak nampak. Hal itu
menyebabkan biasnya penanggung jawab utama dalam bidang operasional
dan keuangan BLU‐Pusat P2H. Terlebih untuk bidang keuangan dan
akuntansi.
Menurut PP 23/2005 dijelaskan pula bahwa pengawasan terhadap
kinerja BLU akan dilakukan oleh dua pihak. Yakni dari pihak eksternal yaitu
Badan Pengawas, dan pihak internal yaitu Satuan Pengawas Internal (SPI).
Dalam pasal 35 (1), BLU harus memiliki SPI yang berkedudukan
langsung di bawah Pimpinan BLU. Dimana tugasnya adalah untuk
mengawasi kinerja BLU itu sendiri. Akan tetapi pada Struktur Organisasi
BLU‐Pusat P2H ternyata tidak dibentuk SPI. Dan Dewan Pengawas pun
belum ditetapkan sampai saat ini. Sehingga tidak ada sama sekali yang
mengawasi kinerja BLU‐Pusat P2H.
KONSEP PENGELOLAAN KEUANGAN
Saat ini BLU‐Pusat P2H hanya menerapkan konsep akuntansi
keuangan organisasi nirlaba. Dalam PP 23/2005 pasal 25, atas persetujuan
Menteri Keuangan BLU bisa menerapkan sistem akuntansi keuangan apa
saja yang sesuai dengan jenis layanannya dan diatur dalam Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI).
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 88 2008
TARGET KINERJA OPERASIONAL BLU‐PUSAT P2H
Tabel 2. Target Kinerja Operasional BLU‐Pusat P2H Periode 2007‐2008
Sumber: BLU‐Pusat P2H
Sehubungan dengan tidak terealisasinya Anggaran 2007 BLU‐Pusat
P2H, maka secara otomatis anggaran tahun 2008 pun tidak akan
terealisasi. Karena sesuai dengan aturannya (PP 23/2005 pasal 12), jika
sampai 31 Desember Menteri Keuangan belum menyetujui Dokumen
Pelaksanaan Anggaran yang diajukan, maka BLU‐Pusat P2H hanya dapat
melakukan pengeluaran dana paling tinggi sebesar angka Dokumen
Pelaksanaan Anggaran tahun sebelumnya.
Sampai saat ini konfirmasi atas berapa jumlah IUPHHK‐HTR belum
ditetapkan. Padahal hal itu merupakan syarat utama yang harus dipenuhi
nasabah untuk membangun HTR. Pengajuan pembangunan HTI dari
Perusahaan pun belum dipublikasikan. Standar kelayakan pengajuan
proposal pembangunan hutan tanaman juga ternyata belum terbuat.
yakin bahwa masyarakat tani dan koperasi bisa mengelola keuangan dan
mengembalikan pinjamannya pada saat jatuh tempo?
REKOMENDASI
1. Untuk menjadi BLU Penuh, diperlukan orang‐orang yang profesional di
bidangnya agar dapat menyusun Rencana Stategis Bisnis dan Standar
Pelayanan Minimal yang rasional, serta Laporan Keuangan yang
akuntabel. Saat ini pejabat keuangan dengan status akuntan belum ada
dalam BLU‐Pusat P2H, tentu hal itu akan mempersulit BLU‐Pusat P2H
untuk bisa memenuhi Persyaratan Administratif sebagaimana diwajibkan
agar memperoleh status BLU Penuh. Padahal kehadiran akuntan akan
sangat membantu BLU‐Pusat P2H, karena penyusunan laporan kegiatan
yang akan dibuat harus direfleksikan ke dalam anggaran.
2. BLU‐Pusat P2H sebaiknya memang harus memperkuat unsur
keuangannya, karena seperti diketahui bahwa jenis layanan yang
diberikan adalah berupa penyaluran dana seperti perbankan. Maka sudah
selayaknya unsur keuangan menjadi unsur terkuat dalam BLU‐Pusat P2H.
3. Dalam penentuan struktur organisasi, agar terdapat sinkronisasi antara
ketentuan BLU yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan, dan
ketentuan yang ada di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,
Departemen Kehutanan harus melakukan koordinasi yang baik dengan
keduanya. Sehingga struktur organisasi yang terbentuk dapat sesuai
dengan ketentuan dan kebutuhan. Yaitu adanya kejelasan mengenai
Pejabat Teknis, Pejabat Keuangan, dan SPI.
4. Keseluruhan unsur organisasi dalam BLU‐Pusat P2H yang diduduki oleh
PNS kemungkinan besar akan menyebabkan birokrasi yang sama dengan
sistem pemerintahan. Padahal adanya kebijakan mengenai penempatan
posisi unsur organisasi oleh non‐PNS merupakan suatu kesempatan untuk
bisa lebih menerapkan prinsip kewirausahaan, profesionalisme, dan
praktek bisnis yang sehat.
5. Kepada Departemen Kehutanan, sebaiknya segera mengusulkan
pembentukan Dewan Pengawas bagi BLU‐Pusat P2H. Karena selain
berfungsi sebagai alat kontrol, Dewan Pengawas juga bisa membantu
BLU‐Pusat P2H untuk memperbaiki kinerja dengan memberikan saran dan
nasehat kepada pejabat pengelola BLU‐Pusat P2H. Maka dalam waktu
dekat peran Dewan Pengawas akan sangat diperlukan untuk perolehan
status BLU Penuh bagi BLU‐Pusat P2H.
91
6. Selain konsep SAK Nirlaba, seharusnya BLU‐Pusat P2H juga menganut SAK
Perbankan sesuai dengan jenis layanan yang diberikannya kepada
masyarakat.
7. Seharusnya Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja BLU‐Pusat P2H dapat
dipublikasikan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitasnya.
8. Tahap awal dalam kegiatan operasionalnya, sebaiknya BLU Pusat‐P2H
segera menetapkan standar penyusunan dan evaluasi kelayakan proposal
bagi pengajuan pinjaman yang harus dipenuhi oleh nasabah. Sehingga
setelah dana bergulir diterima, dana tersebut dapat langsung disalurkan
kepada nasabah.
9. BLU‐Pusat P2H juga harus memiliki data yang jelas mengenai luasan hutan
rusak yang akan dibangun dan sesuai dengan prioritasnya. Sehingga di
periode selanjutnya data hutan yang akan dibangun lebih jelas sebagai
acuan dalam penentuan dana yang akan diberikan oleh Departemen
Keuangan, tentunya dengan kesesuaian standar biaya pembangunan
hutan tanaman yang telah dihitung pula.
10. Proses pengukuhan kawasan hutan harus didahului, inventarisasi hutan
yang sesuai dengan kondisi lapangan guna menghindari persoalan
sengketa lahan dengan masyarakat setempat di kemudian hari.
11. Harus diselenggarakan suatu pelatihan untuk peningkatan kemampuan
teknis dan keuangan dari Debitur terutama bagi kelompok tani dan
koperasi untuk meminimalisir kegagalan pembayaran pinjaman yang
diberikan.
12. Menteri Kehutanan segera menetapkan mekanisme atau prosedur
operasi standar dalam memutuskan pinjaman yang bagaimana yang layak
dihapuskan, termasuk ketentuan mengenai agunan/jaminan dan prosedur
yang jelas untuk mengeksekusi sita jaminan/agunan atas pinjaman yang
gagal bayar.
REFERENSI
1. Badan Layanan Umum Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU‐
BP2H), Departemen Kehutanan pada acara diskusi panel “BP2H Sebagai
Solusi atau Bukan?”. 4 Juli 2007.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 92 2008
Menelusuri Kejahatan
Bisnis Kehutanan
Catatan awal tahun ELSDA Institute ini memberikan hindsight kepada
fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian hutan.
‐ Bambang Setiono