Anda di halaman 1dari 10

Anemi Gizi Pada Anak SD Anemia pada anak bisa menurunkan konsentrasi dan daya tangkapnya.

Apakah anak Anda tampak cepat lelah dan mudah mengantuk? Bila ya, maka tak ada salahnya segera periksakan dia ke dokter. Jangan-jangan anak Anda telah menderita anemia atau yang oleh masyarakat umum biasa disebut penyakit kurang darah. Sebab, anemia pada anak bisa berdampak pada konsentrasi dan daya tangkapnya yang menurun. Akibatnya, sudah tentu akan berpengaruh pula pada prestasi belajar si anak. Kewaspadaan kita terhadap anemia pada anak bukan tanpa alasan. Data menunjukkan bahwa penderita anemia di kalangan anak-anak tergolong tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004, jumlah penderita anemia pada anak usia 5-11 tahun mencapai 24 persen. Angka ini cukup menurun drastis bila dibandingkan hasil survei yang sama pada tahun 2001 yakni 47 persen anak-anak usia balita menderita anemia. Angka-angka tersebut tak jauh beda dengan angka yang ditemukan oleh dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana. Dari survei yang dilakukan pihaknya terhadap sekolahsekolah dasar di DKI Jakarta pada tahun 2001, tercatat bahwa 49,5 persen murid SD di DKI menderita anemia. ''Itu nilai rata-ratanya saja, sebab ada di satu sekolah yang kita ambil sampelnya ternyata yang menderita anemia mencapai 75 persen,'' kata Adi kepada Republika Kamis (23/8) lalu. Kita yang memiliki perhatian terhadap anak tentunya tak ingin anak-anak kita menderita anemia. Apalagi penyakit tersebut dapat menggerogoti tingkat kecerdasan dan kemampuan belajar anak kita. Maka tak ada salahnya kita mengetahui penyakit ini sejak dini. *Kenali anemia* Anemia dikenal juga dengan sebutan penyakit kurang darah. Hal ini dapat dipahami karena penyakit ini bermula dari kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) yang berada di bawah batas normal. Hemoglobin merupakan pigmen protein yang memberikan warna pada darah kita. Darah dikatakan mengandung oksigen bila berwarna merah, sedangkan berwarna biru bila sebaliknya. Tugas hemoglobin tentu saja amat vital bagi tubuh kita. Dialah yang membawa oksigen ke paru-paru yang selanjutnya didistribusikan ke seluruh jaringan dan organ tubuh manusia untuk melakukan pembakaran yang menghasilkan energi. Seseorang dapat dikatakan menderita anemia bila kadar Hb-nya di bawah 13 gr % bagi pria dewasa, di bawah 12 bagi perempuan dewasa, dan kurang dari 11 bagi anak-anak usia 11 tahun sampai masa pubertas. Apabila Hb di bawah normal, maka distribusi oksigen oksigen juga tidak normal. Akibatnya, fungsi tubuh juga terganggu. Misalnya pada otot, baru melakukan aktivitas sebentar saja badan sudah terasa lelah. Sebagaimana dikenal awam sebagai penyakit kurang darah, anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan darah yang dialami seseorang. Kondisi ini bisa terjadi misalnya karena menstruasi, selain bisa juga terjadi karena cacingan pada anak-anak.

Hasil survei Yayasan Kusuma Buana pada tahun 1997 amat mencengangkan! Sebanyak 78,6 persen anak-anak SD di DKI ditemui menderita cacingan. Angka ini lebih heboh lagi di Kepulauan Seribu yakni mencapai 95 persen. Meski belum ada survei kembali setelah 10 tahun, namun angka tersebut mungkin tak akan berkurang jauh bila tak ada upaya-upaya khusus dari pemerintah dalam menanggulanginya. Anemia dapat juga terjadi karena gizi yang buruk. Pada akhirnya seseorang mengalami kekurangan asupan zat besi yang diperlukan tubuhnya (lihat tabel). Jangan cepat beranggapan bahwa penyebab kurangnya zat besi ini hanya terjadi pada anak-anak lapisan masyarakat ekonomi bawah. Kurangnya pasokan zat besi bisa terjadi pada semua anak usia sekolah dari segala lapisan ekonomi. Namun memang, keadaan ini umumnya banyak dialami oleh anak perempuan yang telah mengalami menstruasi. Darah yang keluar dari tubuh bisa menyebabkan berkurangnya zat besi dalam tubuh. ''Apalagi remaja putri sudah mulai pilih-pilih makanan sehingga bisa mengakibatkan indeks zat besinya terganggu,'' ujar Adi. *Prestasi belajar terganggu* Seperti telah disebutkan, kadar Hb seseorang amat berpengaruh bagi terdistribusikannya oksigen ke seluruh tubuh. Hal ini terkait pula dengan zat besi yang dikandung dalam tubuh kita. Menurut dr Syafrizal Syafei SpPD KHOM, ahli hematologi onkologi medis RSCM dalam makalahnya di seminar 'Indonesia Bebas Anemia' di Jakarta Juli 2004, zat besi berfungsi sebagai pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sedangkan oksigen sendiri diperlukan tubuh untuk proses pembakaran yang menghasilkan energi. Kurangnya kadar oksigen dalam darah dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi sel di seluruh tubuh termasuk otak. ''Dalam kondisi seperti itu seseorang jadi tidak produktif. Otomatis juga kemampuan berpikirnya jadi menurun, kondisi fisiknya juga menurun,'' kata Adi Sasongko. ''Bayangkan kalau ini terjadi belasan tahun sejak anak berada di usia balita hingga masa sekolah, kualitas berpikirnya juga menjadi berkurang. Dan kalau kita bicara anak-anak sekolah maka prestasinya bisa menjadi di bawah rata-rata,'' tambahnya Pendapat senada juga dikemukana Syafrizal. Pada anak-anak, kondisi seperti itu dapat menyebabkan prestasi belajarnya terganggu karena pembentukan otak sejak kecil terhambat. Dengan kata lain, penyakit anemia pada anak-anak sangat terkait dengan kemampuannya dalam berpikir. Lalu, apa yang harus dilakukan agar anak-anak kita terhindar dari penyakit anemia sehingga kemampuan belajarnya pun maksimal? Tentunya yang pertama-tama harus dilakukan adalah menghindari sekaligus mengatasi faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit ini. *Tindakan* Untuk menghindari anak-anak kita terjangkit penyakit caicingan, misalnya, maka pola hidup bersih dan sehat harus kita ajarkan pada anak-anak. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah dan tidak mahal. Ajarilah anak-anak untuk mencuci tangan sebelum makan, sebab sel-sel telur cacing dapat masuk ke dalam tubuh

melalui tangan yang kotor. Anak juga harus dibiasakan agar menggunakan sandal atau sepatu setiap kali keluar rumah di mana sel-sel telur cacing hidup di tanah. Asupan zat besi ke dalam tubuh juga perlu mendapat perhatian. Zat besi bisa bersumber dari makanan bergizi seperti daging merah terutama hati, juga dari ikan, ayam, sayur-sayuran seperti bayam, daun katuk, kacang merah. Kalau memang sudah terkena anemia, maka konsumsi obat yang mengandung zat besi amat diperlukan. Jadi, menghindari anemia sebenarnya sederhana saja yakni menerapkan pola hidup bersih dan pola makan sehat. Ini tentunya tidak susah, sebab banyak sekali sumber-sumber makanan bergizi yang tidak mahal. Iya kan? *Meningkatkan Kualitas SDM dengan Pemberantasan Anemia*. Dari fakta akademis dan kesehatan, anemia berdampak pada kualitas kemampuan berpikir dan kecerdasan anak yang sedang tumbuh. Ini karena penderita anemia memiliki kadar Hb di bawah normal yang berakibat terganggunya fungsi tubuh termasuk otak, akibat berkurangnya pasokan oksigen ke seluruh sel tubuh. Dengan asumsi seperti itu maka efek jangka panjang akan sangat terlihat pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ke depannya. Sebab, bibit-bibit SDM berkualitas tentunya bermula dari anak-anak pada usia sekolah dasar. Bila mereka telah baik gizinya dan terhindar dari anemia, maka kemungkinan mereka menjadi orang-orang pintar cukup terbuka lebar. Oleh karenanya, pemberantasan anemia pada anak-anak usia SD harus menjadi program pemerintah yang berkesinambungan. Alasannya, anak-anak SD merupakan usia dini dalam jenjang sekolah. Tentunya akan lebih baik lagi bila program tersebut dilakukan berkelanjutan pada tingkat SMP dan SMA. Dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana setuju bahwa pemberantasan anemia justru harus dilakukan sejak usia dini, dalam hal ini dilakukan di SD. Alasan dia; /Pertama/, perhatian pemerintah terhadap segmen anak usia SD masih sangat minimal. Memang sudah ada program balita, namun segmen untuk usia SD luput dari perhatian. /Kedua/, anak-anak usia SD sedang membutuhkan norma-norma hidup sehat. Jadi, kalau diberikan pada anakanak SD, maka keseluruhan masa sekolah mereka yang enam tahun telah diberikan landasan tentang prilaku hidup sehat. ''Kalau kita terlambat mendeteksi, maka anemia yang diderita seorang anak SD akan terbawa terus sampai usia dewasa. Kita banyak menemui ibu hamil yang menderita anemia. Ini apa artinya? Tidak lain adalah dampak negatif dari tidak tersosialisasinya masalah anemia sejak usia SD hingga ia duduk di bangku SMA,'' jelas Adi. *Peran pemerintah?* Khusus di wilayah DKI Jakarta, Wakil Kepala Dinas Kesehatan Pemprov DKI, dr Salimar Salim MArs, mengatakan pihaknya pernah melakukan survei pada tahun 2004 dan diketahui bahwa 12,8 persen anak SD di lima milayah kota DKI menderita anemia. ''Survei ini kita maksudkan untuk mengetahui sejauh mana kondisi gizi anak-anak SD apakah sudah memenuhi persyaratan atau belum,'' kata Salimar kepada

Republika. Sayangnya tak ada program khusus penanganan anemia khusus anak-anak SD, setelah survei tersebut. Sampai saat ini pun tidak ada alokasi khusus bagi penanganan dan pemberantasan anemia sejak usia SD dalam anggaran APBD DKI yang nilainya triliunan rupiah. Upaya yang dilakukan hanyalah penyuluhan melalui puskesmas-puskesmas yang dananya sudah dianggarkan. ''Kita kan punya puskesmas-puskesmas, maka kita lakukan pembinaan melalui warung sekolah di mana kita memberikan penyuluhan tentang makanan sehat serta makanan yang dijual harus yang bergizi,'' kata Salimar. ''Melalui posyandu-posyandu juga kita berikan penyuluhan kepada ibu-ibu tentang makanan bergizi. Kita harapkan anak-anak mereka tidak kurang gizi begitu masuk SD,'' tambahnya. Meski tak ada anggaran khusus yang dialokasikan bagi penanganan anemia di usia SD, menurut Salimar, pihaknya tetap memberi perhatian pada masalah anemia anak sekolah. ''Bagaimanapun hal itu sangat berpengaruh pada prestasi belajar anak-anak kita,'' katanya. Kalau begitu, alokasikan dong anggaran khusus untuk masalah ini dalam APBD (tak cuma DKI) secara nasional. Bukankah anak-anak merupakan masa depan bangsa? *Kebutuhan Harian Fe + (Zat Besi)* Bayi : 3-5 mg/hari Anak-anak : 1,5 mg/hari Remaja laki-laki : 1,4 mg/hari Remaja perempuan : 1,4 mg/hari Dewasa laki-laki : 1 mg/hari Dewasa perempuan : 1,4 mg/hari Ibu Hamil : 5-6 mg/hari /Penulis: Nurul s hamami/ Sumber: http://www.republika.co.id. Hubungan Anemia Dengan IQ Akibat Anemia, IQ Anak Kepulauan Seribu Rendah Anak usia Sekolah Dasar (SD) di Kepulauan Seribu diperkirakan banyak menderita Anemia atau jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah normal. Akibatnya anak-anak di kepulauan yang berada di teluk Jakarta itu cenderung memiliki tingkat intelegensia atau Itelligence quotient (IQ) yang rendah. Demikian disampaikan Pimpinan Yayasan Kusuma Buana, Firman Lubis kepada kepulauanseribunews.com Kamis (3/7) siang. Dari hasir monitoring yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana bekerjasama dengan International Pharmateucal Manufacturers Group (IPMG), jelas Firman, tahun 2004 lalu sekitar 90 persen anak usia sekolah di Kepulauan Seribu menderita cacingan. Ketika melakukan monitoring kembali, 50 persen anak usia sekolah masih mengidap cacingan yang mengakibatkan anemia pada mereka. Menurut Firman, Badan Kesehatan Dunia atau WHO, menetapkan lima hingga 10 poin akibat anemia bisa melemahkan daya tangkap atau kecerdasan pada anak. Secara terpisah, Sekertaris Kabupaten (Sekkab) Administrasi Kepulauan Seribu, Kridiyanto mengatakan pihaknya menyambut baik upaya Yayasan Kusuma Buana untuk menurunkan angka penderita penyakit yang berpravalensi tinggi di Kepulauan Seribu seperti cacingan dan anemia. "Kami sangat mendukung upaya ini karena kedepan dengan upaya

yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana akan menciptakan generasi muda Kepulauan Seribu yang memiliki daya tangkap yang baik. Ini sesuai dengan misi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia," pungkasnya. Hubungan IQ dengan Prestasi Belajar Selama ini banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan Intelektual (IQ) yang juga tinggi. Namun, menurut hasil penelitian terbaru dibidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada peranan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor. Bila siswa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka akan meningkatkan prestasi belajar. Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood),

berempati serta kemampuan bekerja sama. Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Faktor faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat. Dalam rangka Seminar Sehari tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar Anak dan Kurikulum Berbasis Komputensi di Sekolah Dasar. 1. Pengaruh Pendidikan dan Pembelajaran Unggul Seorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut inteligensi yang bersumber dari otaknya. Struktur otak telah ditentukan secara genetis, namun berfungsinya otak tersebut menjadi kemampuan umum yang disebut inteligensi, sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C, 1997).Pada kala bayi lahir ia telah dimodali 100 - 200 milyar sel otak dan siap memproseskan beberapa trilyun informasi. Cara pengelolaan inteligensi sangat mempengaruhi kualitas manusianya, tetapi sayang perlakuan lingkungan dalam caranya tidak selalu menguntungkan perkembangan inteligensi yang berpangaruh terhadap kepribadian dan kualitas kehidupan manusia. Ternyata dari berbagai penelitian bahwa pada umumnya hanya kurang lebih 5% neuron otak berfungsi penuh (Clark, 1986). Lingkungan pendidikan dan berbagai pusat pelatihan serta tempat kerja kita kini juga dipengaruhi oleh lingkungan global yang merupakan berbagai pengaruh eksternal dalam dinamika berbagai aspek kehidupan di dunia, Lingkungan global yang mengadung pengertian tereksposnya kita oleh kehidupan komunitas global menuntut

adaptasi masyarakat kita pada kondisi global dan pada gilirannya menuntut adaptasi individu untuk bisa bertahan di masyarakat di mana ia hidup. Interface antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun global, inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas perlakuan subjek SDM, dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap peserta didik. Interaksi yang terjadi dalam prilaku anak-anak kita. Namun secara reciprocal (timbal balik) perlakuan yang diterjadikan adalah cermin kehidupan masyarakat di mana ia hidup. Menghadapi era global di masa yang akan datang, diharapkan kesadaran tentang reformasi pendidikan memenuhi kondisi masa depan yang dipersyaratkan (necessary condition to be fullfield). Kurun waktu milenium ke 3 dari proses kehidupan manusia sudah berjalan, dan abad ke-21 serta abad ke-22 ini bukan saja merupakan abad-abad baru, melainkan juga peradaban baru. Hal ini dikarenakan betapapun mengalami krisis moneter, Indonesia akan terkena juga oleh restrukturisasi global dunia yang sedang berlangsung. Restrukturisasi dunia, yang terutama ditandai oleh berbagai perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan lain, mempengaruhi setiap insan manusia, laki, perempuan, anak di negara berkembang maupun di negara maju, tidak terkecuali negara Indonesia, dan terutama berdampak terhadap orientasi pendidikan. 2. Perkembangan dan Pengukuran Otak Sebagaimana tadi dikatakan, maka cara penggunaan sistem kompleks dari proses pengelolaan otak ini sebenarnya sangat menentukan inteligensi maupun kepribadian dan kualitas kehidupan yang dialami seorang manusia, serta kualitas manusia itu sendiri. Untuk meningkatkan kecerdasan anak maka produksi sel neuroglial, yaitu sel khusus yang mengelilingi sel neuron yang merupakan unit dasar otak, dapat ditingkatkan melalui berbagai stimulus yang menambah aktivitas antara sel neuron (synaptic activity), dan memungkinkan akselerasi proses berfikir(Thompsn, Berger, dan Berry, 1980 dalam Clark, 1986). Dengan demikian inteligensi manusia dapat ditingkatkan, meskipun dalam batas-batas tipe inteligensinya. Secara biokimia neuron-neuron tersebut menjadi lebih kaya dengan memungkinkan berkembangnya pola pikir kompleks. Juga banyak digunakan berkembangnya aktivitas "Prefrontal cortex" otak, sehingga terjadi perencanaan masa depan, berfikir berdasarkan pemahaman dan pengalaman intuitif, Prefrontal cortex yang terutama tumbuh pada ketika anak berumur duabelas sampai enambelas tahun mencakup juga kemampuan melihat perubahan pola ekstrapolasi kecendrungan hari ini ke masa

depan; regulasi diri serta strategi "biofeedback" dan meditasi; berfikir sistem analisis;yang merupakan aspek-aspek bentuk tertinggi kreativitas serta memiliki kepekaan sosial, emosional maupun rasional (Goodman, 1978, dalam Clark, 1986). Sifat-sifat manusia ini banyak terkait dengan sifat-sifat inisiatif dan dorongan mencapai kemandirian dan keunggulan. Otak dewasa manusia tidak lebih dari 1,5 kg, namun otak tersebut adalah pusat berfikir, perilaku serta emosi manusia mencerminkan seluruh dirinya (selfhood), kebudayaan, kejiwaan serta bahasa dan ingatannya. Descartes pusat kesadaran orang, ibarat saisnya, sedangkan badan manusia adalah kudanya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perilaku manusia juga dipengaruhi oleh ketidaksadarannya (freud dalam Zohar, 2000:39), kesadaran manusia yang oleh Freud disebut rasionya merupakan kemampuan umum yang mengontrol seluruh perilaku manusia. Berbagai penelitian kemudian membuktikan bahwa kemampuan rasional tersebut biasa diukur dengan IQ (Intelligence Quetient). Meskipun kini terbukti bahwa orang memiliki lebih dari satu inteligensi menurut teori Gardner ada 8 (teori Multiple Intelligence), ukuran yang disebut IQ mengukur kemampuan umum yang bersifat tunggal masih sering dipakai untuk menandai kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Ternyata bahwa otak tersebut masih menyimpan berbagai kemungkinan lain. "Celebral Cortex" otak dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut "corpus callosum". Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respons, tugas dan fungsi belahan kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seorang mengalami realitas secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk merespons terhadap hal yang sifatnya linier, logis, teratur, sedangkan yang kanan untuk mengembangkan kreativitasnya, mengamati keseluruhan secara holistik dan mengembangkan imaginasinya. Dengan demikian ada dua kemungkinan cara berfikir, yaitu cara berfikir logis, linier yang menuntut satu jawaban yang benar dan berfikir imaginatif multidimensional yang memungkinkan lebih dari satu jawaban.

3. Kecerdasan (Inteligensi) Emosional * Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan suskse terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat (Segal, 1997:14). Pada permulaan tahun sembilan puluhan berbagai penelitian menunjukkan (Segal, 1997:5) bahwa diinspirasi oleh berbagai psikolog humanis seperti Maslow, Rollo May,

Carl Rogers yang sangat memperhatikan segi-segi subyektif (perasaan) dalam perkembangan psikolog, eksplorasi tentang emosi telah menunjuk pada sumber-sumber emosi (Segal, 1997, Goleman, 1995). Ternyata bahwa emosi selain mengandung persaan yang dihayati seseorang, juga mengandung kemampuan mengetahui (Menyadari) tentang perasaan yang dihayati dan kemampuan bertindak terhadap perasaan itu. Bahkan pada hakekatnya emosi itu adalah impuls untuk bertindak. Goleman menyatakan bahwa selain rational mind, seorang memiliki an emotional main yang masing-masing diukur oleh IQ dan EQ dan bersumber masingmasing dari head dan heart. kedua kehidupan mental tersebut, meskipun berfungsi dengan cara-caranya sendiri, bekerjasama secara sinergis dan harmonis. * Homo sapiens yang memiliki neocortex(otak depan) yang merupakan sumber rasio, yaitu otak depan, terdiri dari pusat-pusat yang memahami dan mendudukan apa yang diamati oleh alat dria kita. Dalam evolusi tentang pengtahuan kemampuan organisma, ternyata bahwa penanjakan kehidupan manusia dalam peradaban dan kebudayaan adalah kerja neocortex yang ternyata juga menjadi sumber kemampuan seseorang untuk perencanaan dan strategi jangka panjang dalam mempertahankan hidup (Goleman, 1995:11). Perkembangan ini menjadi otak memiliki nuansa terhadap kehidupan emosional seseorang. Struktur lymbic (sumsum tulang belakang) menghidupkan perasaan tentang kesenangan dan keinginan seksual, yaitu emosi yang mewujudkan sexual passion. Namun keterkaitan sistem lymbic tersebut dengan neocortex menumbuhkan hubungan dasar ibu-anak, yang menjadi landasan untuk unit keluarga dan commitment jangka panjang untuk membesarkan anak (spesi yang tidak dimiliki organisma ini seperti binatang melata, tidak memiliki kasih sayang) dan sering membunuh dan /atau menghancurkan anaknya sendiri. Masa anak dan masa belajar panjang (long childhood) bersumber dari saling keterhubungan neuron-neuron dalam 'pabrik' otak ini * Amygdala adalah neuron yang mewujudkan struktur keterhubungan di atas brainstem dekat dasar dari limbic ring(cincin sumsum tulang belakang antara emosi dan rasio). Amygdala adalah tempat penyimpanan memori emosi. Joseph Le Doux, neoroscientist dari Center for Neural Scince New York University menemukan peran penting amygdala dalam otak emosional. Amygdala menerima input langsung melalui alat dria dan memberikan signal kepada neocortex, namun juga dapat memberikan respons sebelum tercatat di neocortex. Jadi ada kemungkinan respons manusia sebelum ia berfikir

Anda mungkin juga menyukai