Anda di halaman 1dari 19

BAB I

I.

IDENTITAS PASIEN : Nama Usia Jenis kelamin Alamat Tanggal dan jam masuk No CM : Bp RP : 70 thn : Laki-laki : Cepoko Trirenggo Bantul : 21 Mei 2011 : 439761

II.

ANAMNESIS 1. Keluhan utama SMRS 2. Riwayat penyakit sekarang : SMRS 5 jam SMRS (22.00) Os merasa gemetaran, pusing, keringat dingin & jantung berdebar. Ternyata 4 jam sebelumnya (18.00) Os habis minum obat gula. Biasanya Os memakai insulin & OAD. Dosis OAD yang Os minum (?), apakah ada perubahan dosis (?), apakah Os memakai obat sistemik lain (?). Di IGD GDS Os = 40, Os mendapat tx : D 40% 2 flash, kemudian infus D10%, setelah sadar Os dibawa ke bangsal Di bangsal Os sudah CM, mengeluh tadi meras sesak nafas, tetapi sekarang sudah berkurang, pusing (-), mual & muntah (-), lemas (-). Os merasa badan sudah enakan. Diperkirakan Os minum glibenclamide dengan dosis 1-0-1 3. Riwayat penyakit dahulu Os menderita DM sejak 10 tahun yang lalu : Os datang tidak sadar sejak 1,5 jm yang lalu

III.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Sedang : Compos mentis : Tekanan darah 120/ 70 mmHg Nadi 84x /mnt, teratur, isi dan tegangan cukup, Respirasi 20x /mnt, Suhu 36,2C Pemeriksaan Kepala Mata Rambut : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/: distribusi merata, beruban, tidak mudah rontok Pemeriksaan Dada Paru Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-),

ketinggalan gerak (-). Palpasi Perkusi Auskultasi : vokal fremitus kanan = kiri normal : sonor ke dua lapang paru : vesikuler, suara tambahan (-)

Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis teraba : : SIC II para sternalis kiri : SIC V LMC sinistra : SIC II para sternalis kanan

- Batas kiri atas - Batas kiri bawah - Batas kanan atas

- Batas kanan bawah: SIC IV pera sternalis kanan Auskultasi : regular

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi : tidak ada sikatrik, tidak ada tanda-tanda peradangan, simetris, datar (+) Auskultasi Perkusi Palpasi : peristaltik (+) di seluruh lapang abdomen : timpani di seluruh lapang abdomen : nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Ekstermitas Ekstermitas atas : akral hangat, tidak ada udem Ekstermitas bawah : akral hangat, tidak ada udem

IV.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Lengkap Hb AL AE Hmt : 10,8 gr % : 7,9 rb/ul : 3,79 : 32,9 %

Hitung Jenis Leukosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit :0% :0% :0% : 89 % :8% :3% : 29 : 23 : 40 gr/dl : 55 mg/dl : 1,62 : 18 u/l

SGOT SGPT GDS Ureum Kreatinin SGOT

SGPT HDL LDL Kolesterol Trigliserid Ro Thorax

: 10 u/l : 42 : 55 : 108 : 56 : cor dan pulmo dalam batas normal

V.

DIAGNOSIS Hipoglikemi pada DM tipe 2

VI.

PENATALAKSANAAN Setelah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, pemberian glukosa intravena harus segera di berikan untuk mencegah kerusakan otak yang serius.

VII.

FOLLOW UP PASIEN Subyektif Os datang dari Obyektif IGD KU: Assesment Obs Rencana Tx -Inf D10%, hbs NaCl

Hari/Tgl Sabtu, 21-05-11

riwayat syncope 3 jm yll, sedang,cm

Hipoglikemia ganti DM2NO (15tpm)

Jam06.00 tadi merasa sesak nfs, TD:120/70, tetapi skr sdh berkurang, N:84, S:36,2 nyeri kepala (-), nyeri abd R:20 (-), lemas (-) Kepala :dbn Abd : dbn

- B19 2x1 tab - Inj Ceftriaxone 2x1 a/hr - Cek GDS/6jm -Cek UL

Jam15.00 GDS : 182

Tx : Lanjut

Minggu, 22-05-11 Jm 05.00 Senin, 23-05-11

GDS : 60

-disuruh makan - cek GDS/6 jm

Os pusing(+), badan KU:sedang,cm lemas(+),nyeri abdomen (-) TD:110/70 N:86, S:36,2 R:20 GDS : 134 Kepala,thorak,abd, Ekstremitas, :dbn

-Post

-inf NaCl dlm

Hipoglikemi 15 tpm - DM2N0 -Vertigo -Inj Ceftri 2x1a -B19 2x1 -Unalium 2x1 -Vastigo2x1 -Metformin -0-1/2

Selasa, 24-05-11

Kel (-) GDS : 202

KU:sedang,cm TD:130/90 N:82, S:36,1 R:20 Kepala,thorak,abd, Ekstremitas, :dbn

-Post

-Cefixime

Hipoglikemi 2x100 - DM2N0 -Vertigo - B19 2x1 -Unalium 2x1 -Vastigo2x1 -Metformin 1-0-1 BLPL

VIII. PEMBAHASAN Dari anamnesis diketahui bahwa pasien menderita DM sejak 10 tahun terakhir, pasien rutin mengkonsumsi OAD dan kadang-kadang memakai insulin. Malam hari SMRS pasien merasa gemetaran, pusing, keringat dingin & jantung berdebar. Pada pagi harinya masuk Rumah Sakit, pasien sudah tidak sadarkan diri. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah menandakan pasien dalam keadaan hipoglikemia. Ureum dan kreatinin pasien berada pada batas normal. Kolesterol total dan trigliserida normal.

Setelah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, pemberian glukosa intravena harus segera di berikan untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Setiap penderita diabetes melitus yang memiliki penurunan kesadaran, harus dapat mengantisipasi kemungkinan menderita hipoglikemia. Perbaikan

kesadaran pada para penderita diabetes melitus terutama diusia lanjut sangat lambat. Hipoglikemia sering disebabkan oleh sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia alibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi dengan benar sampai semua obat telah berhasil di ekskresi, yang terkadang memerlukan waktu lama (sekitar 24 hingga 36 jam, bahkan mungkin lebih bagi penderita dengan gagal ginjal kronik). Semua penderita diabetes melitus yang mendapat obat

hipoglikemik oral, maupun insulin harus mendapat penyuluhan mengenai gejala hipoglikemia dan bagaimana mengatasinya. Demikian pula keluarga penderita. Hipoglikemia dapat diatasi dengan memberikan air manis, minuman yang mengandung gula murni, berkalori, bukan gula pemanis. Penderita juga dapat diberi suntikan glukosa 40% intravena atau glukagon jika diperlukan. Untuk pasien yang tidak sadar, pemberian glukosa 40% intravena merupakan tindakan darurat yang pertama kali diberikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN DIAGNOSIS Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah harga normal. Hipoglikemia dianggap telah terjadi bila kadar glukosa darah < 50 mg/ dL. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan (whole blood) karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa vena, sedang kadar glukosa darah kapiler diantara kadar arteri dan vena. Berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L) dan jika terjadi berulangkali dapat merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yan lebih berat. Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg% (3,5-3,6 mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma 63 mg% (3,5 mmol/L). (Sudoyo dkk, 2006). Frank (2009) mendefinisikan hipoglikemia berdasarkan kadar glukosa serum adalah sebagai berikut : <50 mg /dL pada laki-laki <45 mg/ dL pada wanita <40 mg/ dL pada bayi dan anak-anak

Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada diabetes melitus, terutama karena terapi insulin. Pasien diabetes tergantung insulin (IDDM) mungkin suatu saat akan menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Harus ditekankan

bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian (Price & Wilson, 2006)

B. ETIOLOGI Pada pasien diabetes, hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin sekresi insulin seperti sulfonilurea. Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin, dan sebagian pasien yang mendapat sulfonilurea pernah mengalami hipoglikemia.(Sudoyo dkk, 2006) Secara umum, hipoglikemia dapat dikategorikan berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan berhubungan dengan obat. Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan obat, lebih jauh dapat dibagi lagi menjadi : Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah berpuasa. Hipoglikemia puasa berarti bahwa proses penyakit berhubungan dengan penurunan glukosa plasma, tetapi gejal yang mengarah ke hipoglikemia sesudah makan juga ditemukan tanpa penyakit yang dapat dikenali. Hipoglikemia reaktif atau pasca makan, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi terhadap makanan, biasanya karbohidrat. Penyebab Hipoglikemia puasa 1) Kurangnya produksi glukosa. Penyebab tidak memadainya produksi glukosa selama puasa dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori (Harrison, 2000) : a. Defisiensi hormone b. Defek enzim c. Defisiensi subtract d. Penyakit hati didapat

e. Obat 2) Penggunaan glukosa berlebihan terjadi pada dua keadaan yaitu : ketika ada hiperinsulinisme dan ketika konsentrasi insulin plasma rendah.

Tabel Penyebab Utama Hipoglikemia puasa TERUTAMA KARENA KURANGNYA PRODUKSI GLUKOSA A. 1. 2. 3. 4. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. C. 1. 2. 3. D. 1. 2. 3. 4. 5. Defisiensi Hormon 1. Hipohipofisissme 2. Insufiensi adrenal 3. Defiseiensi ketokolamin 4. Defisiensi glukagon Defek Enzim 1. Glukosa 6- fosfatase 2. Fosforilasi hati 3. Piruvat karboksilase 4. Fosfoenolpiruvat karboksikinase 5. Fruktose-1,6-difosfatase 6. Glikogen sintetase Defisiensi Substrat 1. Hipoglikemia ketotik pada bayi 2. Malnutrisi berat, penyusutan otot 3. Kehamilan lanjut Penyakit hati didapat 1. Kengesti hati 2. Hepatitis berat 3. Sirosis 4. Uremia (mungkin mekanisme ganda) 5. Hipotermia

E. 1. 2. 3.

Obat 1. Alkohol 2. Propanolol 3. Salisilat TERUTAMA KARENA PENGGUNAAN GLUKOSA BERLEBIHAN

A. Hiperinsulinissme Hi 1. 2. 3. 4. 5. 6. B. 1. 2. 3. 4. 5. 1. Insulinoma 2. Insulin eksogen 3. Sulfonilurea 4. Penyakit imun dengan insulin atau antibodi reseptor insulin 5. Obat-obatan : kuinin pada malaria falciparum, disopiramid, pentamidin 6. Renjatan endotoksik Kadar insulin yang memadai 1. Tumor ekstrapankreas 2. Defisiensi karnitin sistemik 3. Defisiensi enzim oksidasi lemak 4. Defisiensi 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA liase 5. Kakeksia dengan penipisan lemak

Penyebab Hipoglikemia Pasca Makan 1) Hiperinsulinemia pencernaan Pasien yang menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti atau vagotomi dapat mengalami hipoglikemia pasca makan, mungkin karena pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan singkat glukosa serta pelepasan insulin yang berlebihan. (Harrison, 2000) 2) Intoleransi fruktosa herediter 3) Galaktosemia 4) Sesitivitas leusin

5) Idiopatik PATOFISIOLOGI HIPOGLIKEMIA Cryer (2003) menyebutkan bahwa penurunan glukosa darah dideteksi oleh sensor glukosa dalam otak, terletak terutama di nuklei ventromedial hipotalamus, dan sistem portal hepatica. Aktivasi sensor glukosa memicu kaskade respon untuk meningkatkan glukosa darah. Respon ini meliputi : Pelepasan hormon-hormon kontra regulator yang antagonis terhadap aksi insulin dan menekan sekresi insulin endogen. Sekresi insulin akan berkurang saat kadar glukosa turun dalam kisaran fisiologis. Hal ini memicu peningkatkan produksi glukosa hati dan ginjal serta penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti otot rangka. Sekresi glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol meningkat saat kadar glukosa turun dibawah rentang fisiologis. Ambang glukosa untuk terjadinya sekresi ini adalah 65-70mg/dl (Cryer, 2003). Glukagon menstimulasi glikogenolisis hati sehingga produksi glukosa meningkat. Epinefrin menstimulasi glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hati dan ginjal (sebagian besar dengan jalan memobilisasi prekursor glukoneogenik seperti laktat, asam amino alanin dan glutamin, serta gliserol) dan membatasi penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin. Glukagon dan epinefrin bekerja dalam hitungan menit untuk meningkatkan konsentrasi glukosa plasma. Sebaliknya, aksi hormon pertumbuhan dan kortisol untuk mendukung produksi glukosa dan membatasi penggunaan glukosa terjadi dalam hitungan jam (Strachan, 2007). Stimulasi sistem saraf otonom (khususnya saraf simpatis), yang tidak hanya memicu kontra regulator tetapi juga menginduksi efek hemodinamika dan organ akhir lainnya. Perubahan hemodinamika yang terjadi meliputi peningkatan denyut jantung, curah jantung dan tekanan darah sistolik. Selain itu, DAN PROTEKSI FISIOLOGIS MELAWAN

terjadi peningkatan aliran darah regional yang signifikan, tidak hanya ke otak, tetapi juga ke organ lain (hati dan otot) yang dapat meningkatkan pengiriman substrat ke otak (Strachan, 2007). Munculnya gejala yang dapat memberikan tanda bahwa orang tersebut mengalami hipoglikemia dan memerlukan perbaikan. Dalam mengantisipasi penurunan konsentrasi glukosa plasma, berkurangnya sekresi insulin merupakan hal mendasar dan langkah awal yang penting dimana penurunan sekresi ini akan meningkatkan produksi glukosa hepatik dan menurunkan penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin. Pada faktor-faktor kontra regulator glukosa (mekanisme fisiologis yang secara normal mencegah atau secara cepat mengoreksi hipoglikemia), peningkatan sekresi glukagon memegang peranan utama. Peningkatan sekresi epinefrin tidak bersifat kritis secara fisiologis, tapi menjadi kritis jika terjadi defisiensi glukagon. Hormon pertumbuhan dan kortisol terlibat dalam pertahanan melawan hipoglikemia yang berkepanjangan atau untuk mencegah hipoglikemia setelah puasa sepanjang malam (Cryer dkk, 2003).

Mekanisme Kontra Regulator Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresikan saat terjadi hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan gikogenolisis dan kemudian meningkatkan glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku (precursor) glukoneogenesis hati. Epinefrin akan meningkatkan glukoneogenesis di ginjal. Epinefrin juga menyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Kortisol dan growth hormon berperan dalam hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin

di jaringan perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. (Sudoyo dkk, 2006)

Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut. Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak.

Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma (Cryer, 2006).

KLASIFIKASI Sudoyo dkk (2006) menyebutkan bahwa hipoglikemi akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah. b. Kadar glukosa darah yang rendah (<3mmol/L hipoglikemia pada diabetes). c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikoreksi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinomia) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan meanmbah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat (Sudoyo dkk, 2006).

Klasifikasi klinis hipoglikemia akut Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan ganggaun aktivitas sehari-hari yang nyata Berat Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri : 1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memerlukan terapi parenteral

2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskular atau glukosa intravena) 3. Disertai dengan koma atau kejang

GAMBARAN KLINIS Konsentrasi glukosa plasma yang lebih rendah (ambang glukosa 5055mg/dl) akan menimbulkan gejala hipoglikemia. Gambaran klinis dapat bervariasi dari yang ringan sampai paling berat yaitu koma hipoglikemia. Keluhan dan tanda klinis tergantung dari kadar glukosa plasma (Cryer dkk, 2003). Gejala Peringatan Gejala-gejala akibat aktifitas pusat autonom di hipotalomus sehingga hormon epinefrin dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjutan. Rasa gemetar, perasaan lapar, pusing, keringat dingin, dan jantung berdebar. Pada penderita usia lanjut atau penderita DM yang sudah berlangsung lama, gejala peringatan ini biasanya tidak ditemukan. Gejala Neuroglikopeni Gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis. Bila tanda-tanda peringatan tidak ditindaki maka keluhan penderita akan meningkat seperti sukar konsentrasi, diplopia, bicara tidak jelas, selanjutnya masuk gejala lebih berat seperti bingung, gangguan mental, perubahan tingkah laku, hiperaktif sampai delier, gelisah dan kejang-kejang. Koma Hipoglikemi Bila gejala neuroglikopeni tidak diobati maka penderita akan masuk ke dalam koma hipoglikemi. Koma hipoglikemi yang lama dapat, mengakibatkan kerusakan sel otak permanent sampai meninggal

PENATALAKSANAAN Sudoyo dkk (2006) menyebutkan bahwa terapi hipoglikemia pada diabetes dapat dibagi menjadi : Glukosa Oral Setelah diagnosa hipoglikemia ditegakkan, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-250 mL minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet cola. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam maka ditambahkan 10-20 g karbohidrat kompleks. Glukosa Intramuskular Bila pasien telah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Glukagon intravena Glukagon intravena harus diberikan berhati-hati. Pemberian glukosa intravena 50 % terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20 % atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glkosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.

BAB III KESIMPULAN

Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita dapat menjadi koma. Berdasarkan tanda, gejala, dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini, maka dapat disimpulkan pasien mengalami DM type II dengan Hipoglikemia. Pasien mengalami hipoglikemia setelah mengkonsumsi OAD. Pemberian OAD memang dapat menyebabkan komplikasi akut berupa hipoglikemia. Karenanya edukasi pada pasien mengenai gejala dan tanda hipoglikemia serta penanganan awal keadaan hipoglikemia sangat penting. Penanganan awal pada pasien ini sudah tepat dengan pemberian Destrosa 40% secara intravena.

DAFTAR PUSTAKA

Cryer PE. 2001. Hypoglycemia-associated autonomic failure. Am J Physiol Endocrinol Metabolism. Cryer PE, Davis SN, Shamoon H. 2003. Hypoglycemia in Diabetes. Diabetes Care. Cryer E. Philip. 2006. Mechanisms of sympathoadrenal failure and hypoglycemia in diabetes. Available on http://www.jci.org. . Frank C Smeeks lll, MD. 2009. Hypoglycemia in Emergency Medicine. Available on http://emedicine.medscape.com/article/767359-overview. Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. EGC, Jakarta. Prince Sylvia, M. Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. EGC, Jakarta. Strachan M. 2007. Physiological responses to hypoglycaemia-not all just in the head. J Physiol. Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai