Anda di halaman 1dari 132

VOL.9, No.

1 2011

ISSN 1411-4631

JURNAL DEMOKRASI & HAM


INGGRID GALUH MUSTIKAWATI Perjalanan Penegakan HAM di ASEAN dan Peran Indonesia Dalam Mendukung Keberlanjutan AICHR MUTIARA PERTIWI Understanding the Current ASEAN: the Competing Articulations of Order Behind the ASEAN Charter TATAT SUKARSA Kelembagaan ASEAN dan Isu Lingkungan di Asia Tenggara JUSMALIANI Komunitas ASEAN Dalam Masyarakat Dunia: Agenda Kerja Indonesia DEAN YULINDRA AFFANDI Kesiapan Usaha kecil menengah di Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA Dan Pasar Tunggal ASEAN 2015 BAWONO KUMORO Resensi Buku: ASEAN di Tengah Dinamika Regional dan Global

JURNAL DEMOKRASI DAN HAM

JURNAL DEMOKRASI DAN HAM Terbit Sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1411-4631 Penanggungjawab: Rahimah Abdulrahim, MA Editor Pelaksana: Zamroni Salim, Ph.D Sekretaris: Tatat Sukarsa Produksi: Kosasih

Mitra Bestari: Dr. Indria Samego, Prof. Dewi Fortuna Anwar, Umar Juoro, MA, MAPE, Rudi M. Rizki, SH., LLM, Andi Makmur Makka, MA Editor: Sumarno, Wenny Pahlemy, Bawono Kumoro, Inggrid Galuh Mustikawati, Dean Y. Affandi

Usaha dan Sirkulasi: Natassa Irena Agam, Vita Handayani Desain Grafis: Aryati Dewi Hadin Penerbit: The Habibie Center

Alamat Redaksi: Jl. Kemang Selatan no.98, Jakarta 12560, Indonesia Telp: 021 7817211 Fax.021 7817212 e-mail: thc@habibiecente.or.id, www.habibiecenter.or.id

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

DAFTAR ISI
Inggrid Galuh Mustikawati Perjalanan Penegakan HAM Di ASEAN dan Peran Indonesia Dalam Mendukung Keberlanjutan AICHR Mutiara Pertiwi Understanding The Current ASEAN: The Competing Articulations of Order Behind The ASEAN Charter Tatat Sukarsa Kelembagaan ASEAN Dan Isu Lingkungan di Asia Tenggara Jusmaliani Komunitas ASEAN Dalam Masyarakat Dunia: Agenda Kerja Indonesia 11 35 59 83

Dean Y. Affandi Kesiapan Usaha Kecil Menengah di Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA dan Pasar Tunggal ASEAN 2015 Bawono Kumoro Resensi Buku: ASEAN di Tengah Dinamika Regional dan Global

105 123

vi

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

vii

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 9 No. 1, 2011 Peranan Indonesia Dalam Kepemimpinan ASEAN 2011

Sejak tahun 2007, negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah menegaskan komitmennya untuk memperkuat demokrasi, good governance, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tekad itu dinyatakan dalam The ASEAN Charter yang ditandatangani para pemimpin ASEAN di Singapura tahun 2007. ASEAN mempunyai peranan yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan ekonomi, sosial, hukum dan lainnya bagi masyarakat ASEAN melalui kehidupan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya. Peranan yang strategis itu haruslah diusahakan secara bersama diantara negara ASEAN sehingga bisa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat ASEAN.

Sebagai salah bentuk adanya kesetaraan dan demokrasi, kepemimpinan ASEAN selalu berganti setiap setahun sekali. Tahun 2011 ini, Indonesia mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN. Pertanyaannya adalah apa peranan yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Ketua ASEAN yang baru untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi di kalangan negara ASEAN, sebagaimana

viii

dinyatakan dalam The ASEAN Charter?

Dalam Edisi Vol 9 No. 1 tahun 2011, Jurnal Demokrasi dan Ham memuat beberapa tulisan yang terkait dengan ASEAN dan peran serta Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. Tulisan pertama membahas perjalanan penegakan HAM di ASEAN dengan memberikan penekanan pada pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Tulisan kedua mengkaji masalah proses pembentukan ASEAN Charter dan permasalahan yang terkait dengan perbedaan konsep dan konsep yang dominan dalam pembuatan ASEAN Charter. Tulisan ketiga membahas masalah kerusakan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara ASEAN, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Tulisan keempat mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan kepemimpinannya pada 2011 ini, terutama dikaitkan dengan maslah integrasi ekonomi. Agenda kerja kepemimpinan Indonesia sebagai ketua ASEAN juga dibahas terutama yang terkait dengan tantangan global. Tulisan kelima mengkaji masalah usaha kecil dan menengah (UKM) dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN dan juga ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Edisi ini juga dilengkapi dengan resensi buku: Asean Di Tengah Dinamika Regional Dan Global.

Sebagai pemimpin ASEAN, Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mensukseskan agenda-agenda ASEAN diantaranya KTT ASEAN, ASEAN+1, ASEAN+3 dan persiapan East Asian Summit. Dari sisi substansi, berbagai permasalahan yang menumpuk di ASEAN juga harus bisa diselesaikan dengan baik. Indonesia mempunyai peranan yang strategis untuk mengarahkan dan menggerakkan ASEAN: ke arah mana dan bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada akan bisa diselesaikan dengan baik baik secara bilateral maupun multulateral.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Hormat Kami,

The Habibie Center

Jurnal Demokrasi dan HAM, 2011 The Habibie Center

ix

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

11

PERJALANAN PENEGAKAN HAM DI ASEAN DAN PERAN INDONESIA DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN AICHR Inggrid Galuh Mustikawati Researcher at the Habibie Center Email: inggridgm@gmail.com

Abstract The purpose of this paper is to give an overview of human rights enforcement in the region of Southeast Asia. The establishment of ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) as the starting point of human rights concern in Southeast Asia has led a contradictive point of view. For those who see the form of AICHR as a significant progress has argued that AICHR was a new breakthrough in Southeast Asia to answer critics from international community over the human rights enforcement. Yet, pessimistic view also emerged due to its skepticism over AICHRs focus of work, namely promoting human rights only, it can not work beyond that. Furthermore, the role of Indonesia to support the work of AICHR still continues because Indonesia has a confidence in term of voicing human rights and democracy issues. At the conclusion, this paper explains several challenges in human rights enforcement in ASEAN countries. Kata kunci: AICHR, ASEAN, konflik, HAM

12

I.

Menginjak 62 tahun peringatan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), saat ini penegakan HAM mendapatkan dukungan kuat dari sistem konstitusi dan hukum di sebagian besar negara-negara di dunia seiring dengan meluasnya pemahaman dan penerapan nilainilai demokrasi. Secara berkala, permasalahan penegakan HAM juga menjadi perhatian khusus baik itu dari kalangan akademisi, media massa, praktisi hukum dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengingat kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM semakin meluas dan terbuka. Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Universal HAM, bahwa deklarasi tersebut dimaksudkan sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat akan berusaha mengajarkan dan memberikan pendidikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negaranegara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayahwilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka (Mukadimah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, 1948). Dengan demikian, adanya Deklarasi HAM ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun pedoman bagi setiap orang maupun setiap negara dalam bertindak mengedepankan pentingnya aspek penegakan HAM.

Pendahuluan

Meskipun proliferasi instrumen HAM internasional berkembang begitu pesat sejak dideklarasikan pada 10 Desember 1948, tapi komitmen atas pengimplementasian Deklarasi Universal HAM mengalami krisis ketika berbagai kasus pelanggaran HAM muncul secara konsisten dan hampir terjadi setiap hari baik dilakukan oleh kelompok tertentu maupun oleh pemegang kekuasaan. Pada dasarnya Deklarasi Universal HAM adalah instrumen non-binding yang telah menjelma menjadi 8 instrumen HAM utama internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para negara anggota

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

(Kontras, 2008). Tidak hanya proses ratifikasi yang harus dilakukan oleh setiap negara anggota, namun adalah sebuah kewajiban untuk mengimplementasikan instrumen-instrumen tersebut ke dalam kebijakan legislasi, yudisial dan administrasi.

The Habibie Center

13

Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, penegakan HAM menjadi perhatian khusus terutama bagi negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Peningkatan eskalasi kekerasan yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN beberapa tahun terakhir mendorong pembentukan Komisi HAM ASEAN. Hal ini juga sejalan dengan komitmen negara-negara ASEAN untuk menjadikan penegakan HAM sebagai norma dan nilai bersama (common values) sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN. Di samping itu, pembentukan Komisi HAM ASEAN secara tidak langsung juga bisa menjadi sebuah solusi efektif terhadap sejumlah permasalahan HAM yang dihadapi negara-negara anggota ASEAN khususnya terkait dengan permasalahan melemahnya peran dan citra ASEAN sebagai akibat dari ketidakmampuan lembaga regional tersebut dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM (Dirgantara, 2010). Meskipun banyak pihak yang meragukan komitmen ASEAN dalam mewujudkan Komisi HAM ASEAN, namun langkah ini dinilai sebagai sebuah permulaan signifikan dalam rangka menegakkan HAM. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan deskripsi mengenai perjalanan penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara, khususnya pada negara anggota ASEAN dengan memberikan penekanan pada pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan perjalanannya dalam menunjukkan eksistensi institusi tersebut. Lebih lanjut penulis memaparkan peran Indonesia dalam penegakan HAM dan dukungan terhadap AICHR. Sebagai penutup, penulis menjabarkan tantangantantangan yang dihadapi oleh penegakan HAM di ASEAN.

II.

Dengan komposisi mayoritas negara sedang berkembang, ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967. Pada awalnya, pembentukan ASEAN ditujukan sebagai respon terhadap Perang Dingin dan ancaman komunisme di kawasan Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan kepentingan dan desakan masyarakat internasional, isu penegakan HAM menjadi isu penting dan integral di ASEAN. Pergeseran kepentingan ASEAN ini disebabkan oleh diakuinya ASEAN sebagai aktor yang signifikan di kancah internasional. Pergeseran orientasi paradigma ASEAN dari pendekatan yang berpusat pada negara ke arah pendekatan yang berorientasi pada masyarakat menjadi karakter baru dari ASEAN seiring dengan bergabungnya Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999).

14

Penegakan HAM di ASEAN

Sepanjang kiprahnya dalam penegakan HAM, setiap negara-negara anggota ASEAN memiliki sikap berbeda dalam menangani segala persoalan terkait penegakan HAM di masing-masing negara. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda yang secara tidak langsung mempengaruhi interpretasi masing-masing negara mengenai masalah HAM. Dengan demikian kebebasan berekspresi dan berpendapat disikapi berbeda-beda oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Belum lagi dengan masih melekatnya prinsip nonintervensi dan konsensus dalam proses pengambilan keputusan sehingga ruang gerak untuk menegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara menjadi terbatas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa isu penegakan HAM menjadi isu penting, seiring peningkatan kesadaran global terhadap masalah demokrasi, lingkungan hidup, perdagangan bebas, dan terorisme. Untuk itu, komitmen kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN di tingkat regional sangat diperlukan. Pernyataan bersama para Menteri Luar Negeri ASEAN di Singapura pada Juli 1993, Deklarasi ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

mengenai HAM di Kuala Lumpur pada Agustus 1993, keikutsertaan seluruh negara anggota ASEAN dalam Konferensi Dunia mengenai HAM di Wina 1993, dan pembentukan suatu mekanisme HAM regional adalah contoh dari serangkaian komitmen yang dimiliki oleh negara anggota ASEAN untuk memajukan isu penegakan HAM (Dirgantara, 2010). Terkait dengan gagasan pembentukan mekanisme HAM regional, Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism merupakan sebuah kelompok pemerhati HAM di kawasan Asia Tenggara, mendukung dan memberikan komitmen yang tinggi untuk mengembangkan gagasan tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan kerjasama dengan lembaga pemerintah dan LSM di bidang HAM. Dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-31 di Manila tahun 1998, kelompok kerja informal nonpemerintah berkumpul untuk mekanisme HAM ASEAN. Dengan keberadaan mekanisme ini diharapkan persepsi negara-negara ASEAN mengenai HAM beserta upaya-upaya penegakan HAM dapat lebih dipahami oleh pihak luar dan kerjasama ASEAN di bidang penegakan dan perlindungan HAM dapat ditingkatkan (Joint Communique The 31st ASEAN Ministerial Meeting, 1998).

The Habibie Center

15

Sejumlah kasus pelanggaran HAM baik itu pada tingkat internal maupun antar negara-negara ASEAN menjadi tantangan riil untuk dapat ditangani oleh lembaga regional tersebut. Konflik yang terjadi di sebagian besar negara-negara anggota ASEAN telah menyisakan catatan penting terhadap pelanggaran HAM dan seringkali mendapat kecaman dari komunitas internasional. Berikut gambaran sejumlah konflik dan pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan Asia Tenggara: (1) Konflik internal yang berkepanjangan di Myanmar berimplikasi pada banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi terhadap penduduk sipil. Operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar sejak November 2010 di Myanmar Timur telah

16

(2)

(3)

menyebabkan puluhan ribu penduduk etnis Karen mengungsi ke perbatasan MyanmarThailand (Republika, 2010). Dengan tujuan untuk menggalang dukungan politik, pemerintah Mynmar menginginkan belasan kelompok etnis untuk bergabung dalam proses politik. Namun terjadi penolakan yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok etnis tersebut karena tidak adanya lagi kepercayaan terhadap pemerintah yang berkuasa. Akibatnya pemerintah Myanmar melakukan tindakan pengabaian aspek kemanusiaan terhadap penduduk sipil. Salah satu LSM pemerhati masalah HAM, Human Rights Watch (HRW) menekan pimpinan ASEAN untuk mendukung terbentuknya sebuah komisi internasional untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hukum dan HAM di Myanmar namun sayangnya dari 16 negara yang mendukung pembentukan komisi internasional tersebut tidak ada satupun dari negara-negara di Asia (HRW, 2011). Permasalahan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang dipicu oleh klaim masingmasing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear setelah United Nation Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) menetapkannya sebagai warisan dunia, Kekerasan dan intimidasi yang pasang surut melalui aksi penembakan maupun pengeboman terjadi di Thailand Selatan (Pattani Darussalam) antara Melayu Pattani dengan pemerintah pusat Thailand. Konflik separatisme yang terjadi di Thailand Selatan ini terkait keinginan tiga propinsi di Thailand Selatan untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Thailand. Ketiga

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

(4)

(5) (6)

(7)

propinsi tersebut merupakan minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas thailand yang memeluk Budha. Sebenarnya konflik separatisme ini terjadi disebabkan oleh perlakuan tidak adil pemerintah pusat Thailand terhadap eksistensi kelompok muslim di Thailand Selatan. Kasus genosida berupa kejahatan kemanusiaan pada era Pol Pot di Kamboja dengan berlarutnya proses peradilan dan sejumlah permasalahan pelanggaran HAM lainnya. Konflik antar-etnis juga kerap terjadi sebagai bentuk diskriminasi rasial dan adanya pemberlakuan internal security act di Malaysia, Konflik internal yang berkepanjangan juga terjadi di Filipina yang melibatkan konflik antara pemerintah pusat dengan bangsa Moro-Mindanao yang menuntut untuk merdeka, memisahkan diri dari pemerintahan Filipina, dan hingga saat ini proses perdamaian di Moro-Mindanao masih berlarut-larut, belum menemukan kata sepakat, Konflik horizontal dan vertikal di Indonesia yang cenderung terjadi secara sporadis sebagai akibat dari persoalan kebijakan publik, identitas, efektivitas penegakan hukum, tata kelola pemerintahan yang buruk, dan perebutan sumber daya alam/ekonomi (LIPI, 2011). Kasus Papua dapat dilihat sebagai contoh konflik vertikal yang berkepanjangan dan tidak sedikit memakan korban jiwa. Daerah yang kaya sumber daya alam ini seperti tidak pernah puas dengan kebijakan nasional sehingga potensi separatisme sangat kuat. Papua termasuk dalam daerah di mana tingkat kemiskinan penduduknya sangat tinggi disamping kemampuan tata pemerintahan lokal (governability) yang sangat rendah. Di samping

The Habibie Center

17

18

Dalam upaya penegakan HAM, peran ASEAN sangat diharapkan untuk dapat mengambil langkah memperjuangkan aspirasi masyarakat ASEAN secara adil. Dengan demikian, kemampuan diplomasi masing-masing negara ASEAN menjadi instrumen penting untuk melaksanakan penegakan HAM. Diplomasi suatu negara bersumber pada kepentingan nasional dari negara tersebut yang bertujuan untuk menjaga komitmen negara anggota ASEAN akan pentingnya penegakan HAM sebagaimana tercantum dalam

itu, konflik komunal antarsuku di wilayah ini sangat sering terjadi. Persoalan identitas (etnis, agama dan kebangsaan) dan perebutan sumber daya alam sangat kompleks mewarnai konflikkonflik di daerah ini. Kasus yang turut menjadi keprihatinan atas pelanggaran HAM di Indonesia adalah penyerangan terhadap kelompok agama tertentu dengan menghalalkan kekerasan atas nama agama. Lebih lanjut, kasus pelanggaran HAM yang baru-baru ini terjadi terkait persoalan penembakan TNI AD terhadap sejumlah warga yang disebabkan oleh sengketa tanah dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) di Kabupaten Kebumen (Republika, 2011). Serangkaian kekerasan ini membuat negara ini terlihat sebagai bangsa tak bertuan, di mana pembiaran terhadap kekerasan terjadi.

Piagam ASEAN yang telah diratifikasi pada akhir tahun 2008. Mengutip pernyataan dalam pembukaan (preambule) Piagam ASEAN, negara-negara ASEAN diamanatkan untuk mematuhi penghormatan dan perlindungan HAM dan kebebasan fundamental di kawasan Asia Tenggara. Pernyataan ini secara eksplisit dijabarkan dalam salah satu prinsip ASEAN, Pasal 2 ayat (2i) Piagam ASEAN:

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial,

The Habibie Center

19

Prinsip ini mengisyaratkan bahwa ASEAN harus berperan nyata dalam menjaga kesinambungan kawasan ASEAN dalam menegakkan HAM. Untuk mendukung upaya itu, Pasal 14 Piagam ASEAN menegaskan mengenai Komisi HAM ASEAN:

Selain Piagam ASEAN, negara anggota ASEAN juga memiliki Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang ditandatangani di Bali tahun 1976. Melalui perjanjian ini, negara-negara anggota ASEAN menyepakati code of conduct atau aturan perilaku dalam pelaksanaan hubungan kerjasama antar negara anggota ASEAN yang mengesampingkan kekerasan dan mengedepankan cara-cara damai dan penghormatan terhadap HAM dalam penyelesaian konflik di antara negara anggota ASEAN. III. Dalam rangka mewujudkan tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN, pembentukan komisi HAM di tingkat regional adalah suatu keharusan. Jika dulu isu HAM di ASEAN hanya ditekankan untuk memajukan HAM maka saat ini aspek perlindungan HAM menjadi suatu bagian dari pembentukan komisi HAM ASEAN. Dengan adanya aspek perlindungan HAM sebagai landasan kerja komisi HAM ASEAN, Signifikansi Keberadaan AICHR di Kawasan Asia Tenggara

1. Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hakhak asasi dan kebebasan fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia ASEAN. 2. Badan Hak Asasi Manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN.

20

Pada hakikatnya, pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan langkah yang signifikan terhadap penguatan nilai-nilai HAM untuk diterapkan di kawasan ASEAN. Lebih lanjut, pembentukan Komisi HAM juga membuka peluang yang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM di ASEAN. Untuk itu, pada bulan Oktober 2009 ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dibentuk berdasarkan Pasal 14 Piagam ASEAN. Mengacu pada Term of Reference (ToR) AICHR, tujuan dari pembentukan Komisi HAM ASEAN ini adalah: (1) (2) (3) Untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dari warga anggota ASEAN, Untuk menjaga hak bangsa-bangsa ASEAN agar dapat hidup dalam damai, bermartabat dan sejahtera, Untuk mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN, Untuk mempromosikan HAM dalam konteks regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, Untuk meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan

maka korban pelanggaran HAM diberi ruang untuk memperjuangkan penyelesaian kasusnya di tingkat regional. Hal ini menciptakan kondisi adanya kemungkinan para pelaku pelanggaran HAM yang lolos dari jerat hukum di negara mereka tidak bisa lolos di tingkat regional dengan adanya Komisi HAM ASEAN tersebut (Sasmini, 2009).

(4)

(5)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

(6)

Mengacu pada poin keempat ToR AICHR, Komisi HAM ASEAN ini memiliki berbagai macam fungsi dalam menegakan HAM di ASEAN, diantaranya merumuskan upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional, mendorong negara anggota ASEAN untuk menerima dan meratifikasi instrumen HAM internasional, mendukung implementasi secara utuh atas instrumen ASEAN terkait penegakan HAM, menyediakan pelayanan konsultasi, dialog dan bantuan teknis atas setiap permasalahan HAM di ASEAN dengan melibatkan LSM dan stakeholders lain serta melakukan penelitian atas penegakan HAM di ASEAN. Peresmian Komisi HAM ASEAN ini dilaksanakan di Hua Hin, Thailand, di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke15 yang dihadiri oleh seluruh anggota komisi yang berjumlah 10 orang. Adapun anggota AICHR adalah perwakilan dari masing-masing negara anggota ASEAN yakni Dr. Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR, Om Yentieng (Kamboja), Rafendi Djamin (Indonesia), Bounkeut Sangsomsak (Laos), Awang Abdul Hamid Bakal (Malaysia), Kyaw Tint Swe (Myanmar), Rosario G. Manalo (Filipina), Richard Magnus (Singapura) dan Do Ngoc Son (Viet Nam). Sayangnya, sebagai langkah awal, pembentukan AICHR ini masih bertujuan untuk mempromosikan isu-isu terkait penegakan HAM, belum memasuki ranah perlindungan HAM. Lebih lanjut, pembentukan komisi HAM ASEAN ini bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat negara-negara anggota ASEAN memiliki

melindungi HAM, dan Untuk menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak.

The Habibie Center

21

22

komitmen yang bervariasi dalam menyikapi pembentukan komisi tersebut. Myanmar dapat dikatakan sebagai negara dengan komitmen paling lemah terhadap penegakan dan perlindungan HAM. Sementara itu, Indonesia, Thailand dan Filipina mengakui bahwa masingmasing negara tersebut memiliki komitmen kuat atas penegakan dan perlindungan HAM. Sedangkan Malaysia dan Singapura menunjukkan posisi di tengah-tengah. Meskipun pemenuhan hak sipil warga negara seringkali dibatasi, namun pemenuhan hak ekonomi dan sosial dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina (Fitria, 2009).

Pembentukan Komisi HAM ASEAN ini memiliki karakteristik khusus dan berbeda jika dibandingkan dengan komisi HAM di kawasan lain. Pertama, pembentukan Komisi HAM di kawasan lain didasarkan pada instrumen hukum yang khusus dan kuat seperti Konvensi Amerika atas HAM (The American Convention on Human Rights), sementara pembentukan Komisi HAM ASEAN hanya didasarkan pada salah satu prinsip dari Piagam ASEAN sehingga diperlukan aturan lain yang mengatur mekanisme instrumen hukum yang lebih teknis. Untuk itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 Piagam ASEAN, Menteri Luar Negeri ASEAN diberikan mandat untuk memformulasikan ToR AICHR sebagai kerangka acuan pelaksanaan kegiatan Komisi HAM ASEAN tersebut. Kedua, dengan melihat landasan pembentukannya, AICHR bukanlah badan atau komisi independen karena AICHR dibentuk oleh pemerintah, di mana keanggotaannya merupakan perwakilan dari negara-negara anggota ASEAN sehingga AICHR bergerak mewakili pemerintah. Hal ini berbeda dengan kebanyakan badan HAM di wilayah lain yang terbentuk dan bertindak atas dasar kapasitas individu atau kelompok di luar pemerintahan. Ketiga, terkait dengan keanggotaan AICHR, hanya dua perwakilan negara (Indonesia dan Thailand) dari 10 perwakilan negara ASEAN yang ditunjuk melalui pemilihan yang terbuka dan umum. Perwakilan dari negara-negara ASEAN lainnya secara langsung ditunjuk oleh pemerintahannya masing-masing.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Sebagaimana tertuang dalam ToR AICHR ayat 5.2 bahwa keanggotaan AICHR merupakan perwakilan dari masing-masing negara ASEAN yang ditunjuk oleh pemerintah. Keberadaan AICHR merupakan langkah signifikan bagi awal kesamaan persepsi dari masingmasing negara anggota ASEAN atas penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara. Selama tahun 2010, AICHR telah melaksanakan sejumlah pertemuan untuk melakukan sosialisasi dan dukungan dari komunitas internasional, seperti kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan dari Presiden Barrack Obama, disamping sejumlah pertemuan dengan United Nations Development Programme (UNDP), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), LSM internasional bidang HAM dan beberapa institusi lainnya (Sukarsa, 2011). Hingga Februari 2011, pertemuan AICHR telah dilakukan sebanyak empat kali dengan serangkaian agenda untuk penguatan penegakan HAM. Dalam pertemuan ini, setiap perwakilan negara anggota ASEAN sepakat untuk menjadikan tahun 2011 sebagai tahun pengimplementasian kerja AICHR untuk mempromosikan dan melindungi HAM di ASEAN, serta mengedepankan kontribusi ASEAN agar lebih berorientasi pada masyarakat. Pertemuan yang dipimpin oleh perwakilan Indonesia, Rafendi Djamin, dinilai cukup strategis mengingat dalam pertemuan tersebut AICHR menetapkan beberapa agenda dan prioritas kegiatan pada tahun 2011 yaitu (1) Penyusunan ASEAN Declaration on Human Rights, (2) Penguatan sekretariat AICHR, dan (3) Mendorong interaksi AICHR dengan masyarakat sipil (Pertemuan keempat AICHR, 2011). Lebih terperinci, dalam pertemuan tersebut telah disepakati dan dibahas beberapa agenda diantaranya disepakatinya Pedoman Operasional AICHR, pembentukan drafting team untuk penyusunan ASEAN Declaration on Human Rights, mempertimbangkan penyusunan ToR studi tematik atas Corporate Social Responsibility (CSR), HAM dan migrasi, dan agenda tindak lanjut berbagai usulan engagement AICHR dengan ASEAN partners dan ASEAN sectoral bodies. AICHR juga mempersiapkan workshop dan paper mengenai isu-isu terkait hak perempuan dan anak di kawasan Asia Tenggara (Press Release of the Fourth ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights,

The Habibie Center

23

24

10-13 februari 2011).

Sebagaimana telah disebutkan diatas, landasan dasar pembentukan AICHR tidak terlepas dari acuan Piagam ASEAN dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama tetapi kedua instrumen tersebut belum pernah sama sekali digunakan untuk menyelesaikan konflik antar negara anggota ASEAN. Bukan karena tidak ada konflik di negaranegara ASEAN, melainkan karena masih rendahnya rasa saling percaya di antara negara anggota. Selama ini, negara-negara ASEAN yang berkonflik lebih memilih penyelesaian secara bilateral atau menyerahkan penyelesaian persoalan kepada lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda (Kompas, 2011). Sebagai contoh, pada tahun 1996, Indonesia dan Malaysia bersengketa mengenai masalah Pulau Sipadan dan Ligitan sehingga kedua negara membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Internasional. Berbeda lagi dengan kasus Filipina yang mengundang Organisasi Konperensi Islam (OKI) di tahun 1990-an untuk menyelesaikan konflik di Mindanao Selatan. Pelibatan lembaga internasional oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam penyelesaian konflik menjadi inspirasi bagi Kamboja untuk menyelesaikan konfliknya. Dalam waktu yang singkat, Kamboja meminta bantuan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di New York, Amerika Serikat. Langkah cepat Kamboja melaporkan permasalahan perbatasan ke Dewan Keamanan PBB tentu saja memunculkan kekhawatiran bahwa penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja akan diselesaikan atas bantuan pihak eksternal di luar ASEAN. Ancaman atas melemahnya peran dan citra ASEAN kembali dipertanyakan jika DK PBB mengabulkan permintaan Kamboja agar PBB membantu penyelesaian konflik perbatasannya dengan Thailand. Signifikansi ASEAN untuk turut serta berperan dalam kancah internasional menjadi dipertanyakan jika untuk urusan konflik internal regional saja tidak berhasil. Sebagai pemegang kepemimpinan ASEAN di tahun 2011 ini, Indonesia nampaknya memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuan diplomasinya

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

IV.

Dalam lingkup negara-negara ASEAN, Indonesia termasuk negara yang memiliki kepercayaan tinggi dalam hal menyuarakan masalah HAM dan demokrasi. Bagi Indonesia, Komisi HAM ASEAN dapat menjadi salah satu instrumen penguatan peran diplomasi Indonesia berbasis kekuatan norma (normative power) di kawasan Asia Tenggara (Dirgantara, 2010). Sejak era reformasi, pemerintah Indonesia memang terlihat gencar melakukan ratifikasi instrumen-instrumen HAM karena isu penegakan HAM telah menjadi pilar penting dalam proses kehidupan politik di Indonesia. Lebih lanjut, HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian, komitmen tinggi Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM tercermin dalam berbagai keterlibatan baik di tingkat nasional, regional maupun dalam forumforum PBB. Ada beberapa indikasi atas keberhasilan penegakan HAM di Indonesia pasca-Orde Baru, seperti adanya kebebasan pers dan kebebasan berserikat untuk mendirikan partai politik, organisasi massa dan LSM. Selain itu pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000 terjadi amandemen kedua konstitusi yang turut menyertakan pasal-pasal mengenai HAM dan pembuatan Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sejumlah instrumen HAM pokok telah diratifikasi, diantaranya: (1) (2) (3) Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958), Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan/Convention of Political Rights of Women (diratifikasi dengan UU No. 68 tahun 1958), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of

dalam

Peran Indonesia dalam Mendukung AICHR

menyelesaikan

konflik

antar-negara

The Habibie Center

anggota

ASEAN.

25

26

(4)

(5)

(6) (7)

(8)

(9)

Discrimination Against Women (diratifikasi dengan UU No. 7, 1984), Konvensi Hak Anak/Convention on the Rights of the Child (diratifikasi dengan Keppres No. 36, 1990), a. Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan prostitusi Anak, dan Pornografi Anak/Optional Protocol to the Convention on the rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution dan Child Pornography (ditandatangani pada tanggal 24 September 2001), b. Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata/Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict (ditandatangani pada 24 September 2001), Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun serta Pemusnahnya/Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weapons and on their Destruction (diratifikasi dengan Keppres No. 58, 1991), Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga/International Convention Againts Apartheid in Sports (diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993), Konvensi Penghapusan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture (diratifikasi dengan UU No. 5, 1998), Konvensi orgnisasi Buruh Internasional No. 87, 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi/International Labour Organisation (ILO) Convention No. 87, 1998 Concerning Freedom Association and Protection on the Rights to Organise (diratifikasi dengan UU No. 83 tahun 1998), Konvensi Internasional penghapusan Segala Bentuk

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Dalam perjalanan proses ratifikasi sejumlah instrumen HAM ini tentunya mengalami banyak hambatan. Proses ratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT) dilakukan setelah adanya tekanan dari komunitas internasional atas adanya dugaan penyiksaan yang terjadi sekitar proses jajak pendapat Timor Timur tahun 1999. Demikian pula untuk ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) dilakukan setelah dunia internasional mengecam dugaan terjadinya kekerasan rasial pada peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Diskriminasi Rasial/International Convention on the Elimination of All forms of Racial Discrimination (diratifikasi dengan UU No. 29, 1999), (10) Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan terorisme/International Convention for the Supression of the Financing Terrorism (ditandatangani pada 24 September 2001), (11) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/International Covenant on Economy, Social, and Culture Rights (diratifikasi dengan UU No. 11, 2005), dan (12) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil-Politik/International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dengan UU No. 12, 2005).

The Habibie Center

27

Sebagai pengemban jabatan pemimpin ASEAN tahun 2011 ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk dapat menyelesaikan konflik Thailand dan Kamboja sebagai upaya untuk mempertahankan citra baik ASEAN di mata dunia internasional. Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN memperlihatkan sikap yang proaktif dalam menyikapi perkembangan situasi keamanan khususnya dalam konteks konflik sengketa perbatasan Thailand dan Kamboja. Selang satu hari setelah konflik meletus, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy dengan menemui Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Nam Hong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya untuk mendapatkan informasi dari pihak

28

pertama. Lalu, bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri Thailand dan Menteri Luar Negeri Kamboja, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa berangkat menuju New York, Amerika Serikat, untuk memberikan pertimbangan dan masukan mengenai peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik internal. Langkah ini terbukti efektif dengan stabilnya kembali wilayah konflik di perbatasan Thailand dan Kamboja. Meskipun wilayah kawasan konflik seluas 4,6 km2 tersebut masih tegang, tetapi para tentara yang bertugas dapat menahan diri untuk tidak kembali angkat senjata (Kompas, 2011). Sikap proaktif yang diambil oleh Indonesia sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan pada tingkat kawasan sehingga dapat menghindari intervensi secara langsung oleh DK PBB. Meskipun demikian, keterlibatan DK PBB tetap dibutuhkan dalam rangka mendukung upaya Indonesia selaku Ketua ASEAN (Kompas, 2011). ASEAN yang selama ini terkesan sunyi senyap dan seringkali hanya bertindak sebatas mengeluarkan pernyataan setiap kali terjadi konflik antarnegara anggota, kini menunjukkan langkah yang lebih maju dengan mengantisipasi perluasan konflik dan menghindari terjadinya pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara.

Dengan posisi sebagai pemimpin ASEAN tahun 2011, Indonesia diharapkan mampu untuk memaksimalkan peran dalam mendukung pengembangan AICHR sebagai lembaga regional bidang HAM. Salah satu kendala yang dihadapi oleh AICHR sehingga belum optimal ruang lingkup kerjanya adalah terkait dengan permasalahan ketersediaan sumber daya, seperti tidak adanya sekretariat regional maupun staf yang mendukung kerja Komisi ASEAN. Belum lagi persoalan keterbatasan dukungan politik dari negara anggota ASEAN. Namun, sejalan dengan capaian positif Indonesia di bidang HAM saat ini, Indonesia semestinya mampu menciptakan AICHR yang lebih responsif terhadap serangkaian isu pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara. Terkait dengan rencana perumusan Deklarasi HAM ASEAN, Indonesia dapat mengambil peran untuk memastikan agar hal itu dapat selesai tepat waktu dan menjadi instrumen yang sejalan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

dengan semangat universalitas HAM serta memiliki kekuatan untuk merespon situasi HAM di kawasan Asia Tenggara (Tempointeraktif, 2011). V. Tantangan Penegakan HAM di ASEAN

The Habibie Center

29

Di samping pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara yang menggambarkan variasi pemulihan akibat krisis ekonomi global, persoalan penegakan HAM yang krusial di masing-masing negara anggota ASEAN turut menjadi perhatian masyarakat internasional. Sejalan dengan proses pematangan komisi HAM ASEAN, sejumlah kritik dan kontradiksi pun bermunculan. Namun, paling tidak AICHR memiliki fungsi strategis karena masyarakat ASEAN memiliki perangkat tambahan untuk menjamin pemenuhan HAM mereka. Dengan kata lain, keberadaan AICHR hanya sebatas pelengkap (complement), bukan pengganti (substitute) dari mekanisme penegakan HAM nasional di masing-masing negara anggota ASEAN (hukumonline, 2009). Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara ASEAN adalah pelaksanaan kesepakatan ataupun persetujuan yang telah dicapai. Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjasama antar negara-anggota ASEAN selama ini. Khusus untuk pelaksanaan kerjasama Komisi HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang dicapai semestinya dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, perlu diberikan prioritas dan momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN untuk mensosialisasikan dan mempromosikan nilai penting isu penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara sesuai dengan kerangka kerjasama ASEAN di bidang HAM. Meskipun demikian, belum masuknya aspek pemantauan dalam cakupan kerja AICHR menggambarkan belum sempurnanya cakupan kerja Komisi HAM ASEAN ini. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan bagi AICHR untuk mengembangkan cakupan kerja AICHR sehingga aspek

30

pemantauan nantinya bisa menjadi bagian integral dalam cakupan kerja AICHR.

Dari 14 fungsi AICHR yang ada, hanya ada tiga fungsi yang bisa dikategorikan sebagai fungsi proteksi. Fungsi pertama adalah individual complain. Fungsi ini dapat dikatakan bersifat terselubung karena mekanisme perlindungan HAM di ASEAN menolak individual complain, yaitu pengaduan pelanggaran HAM seperti yang kita kenal di tingkat nasional, seperti pengaduan individual complain ke Komnas HAM atau Komnas Perempuan. Fungsi individual complain ini ditolak oleh negara-negara ASEAN lain. Fungsi proteksi AICHR kedua yang eksplisit adalah review for countries situation atau pembahasan situasi HAM di negara-negara anggota. Dalam hal ini, AICHR tidak diperkenankan untuk melakukan proses review, dengan dalih telah dilakukan oleh lembaga review tingkat dunia, maka tidak perlu lagi untuk dibahas di tingkat ASEAN sehingga pada akhirnya konsensus yang dicapai adalah penolakan terhadap fungsi review tersebut. Fungsi proteksi AICHR ketiga yang juga sangat eksplisit adalah country situation yang menurut Indonesia bukan dalam konteks promosi,

Dalam pandangan sejumlah LSM pejuang HAM, keberadaan AICHR bisa menjadi otokritik internal terhadap sejumlah persoalan seperti kekerasan, pengekangan hak-hak sipil-politik, impunitas, tidak terpenuhinya hak-hak dasar ekonomi/sosial/budaya, dan masalah migrasi dan buruh migran di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana dikemukakan oleh Kontras bahwa AICHR lebih produktif sebagai mekanisme koreksi internal di kawasan ASEAN bila para pemimpinnya membuka diri terhadap keterlibatan aktif masyarakat sipil, termasuk komunitas korban. Semestinya hal ini bisa berjalan dengan baik mengingat orietasi ASEAN yang telah beralih pada masyarakat (people-oriented). AICHR dipandang sebagai komisi yang masih berkembang, dalam arti bahwa mandat AIHCR diharapkan akan diperluas pada masa mendatang hingga bisa menjadi instrumen bagi korban khususnya untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka (Politik Indonesia, 2010).

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

melainkan investigasi pencarian fakta. Tiga fungsi proteksi inilah yang masih diperjuangkan oleh Indonesia namun belum berhasil.

The Habibie Center

31

Proses diplomasi yang dijalankan oleh delegasi Indonesia dalam memperjuangkan penegakan HAM di ASEAN masih belum mengubah posisi satu lawan sembilan sehingga jalan kompromi menjadi solusi yang tepat. Kompromi itu melahirkan apa yang disebut sebagai deklarasi politik pendirian AICHR sekaligus merupakan titik tolak dari visi yang akan dijalankan oleh AICHR. Deklarasi ini merupakan sebuah pernyataan politik dari para pemimpin ASEAN. Poin ini menjadi modal yang sangat besar bagi Indonesia untuk terus menuntut agar review pertama yang akan dilakukan pada lima tahun mendatang adalah untuk memperkuat fungsi-fungsi proteksi AICHR yang belum mempunyai kekuatan untuk membahas situasi HAM negara-negara anggota (Djamin, 2010). Terkait dengan penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja, ASEAN bisa mengadopsi kesuksesan Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam pada kurun waktu 1988-1989. Ketika itu, Indonesia berhasil memfasiltasi dan melakukan mediasi terhadap kedua negara yang sedang bermusuhan untuk duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Hasilnya, Vietnam menarik pasukan dari Kamboja dan situasi damai pun tercipta. Pola penyelesaian konflik ini sangat dimungkinkan untuk diaplikasikan pada kasus konflik perbatasan Thailand dan Kamboja mengingat kedua negara tersebut sudah menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan konflik perbatasan melalui mediasi ASEAN. Pertemuan informal menteri luar negeri ASEAN di Jakarta pada 22 Februari 2011 bisa digunakan untuk menentukan modalitas perundingan dan menentukan apakah pembahasan perlu dibawa ke pertemuan high council sebagaimana disebutkan di dalam Piagam ASEAN. Jika selama ini ASEAN belum pernah mengimplementasikan pertemuan high council maka sekarang merupakan saat yang tepat. Jika dipandang perlu, ASEAN dapat membuat Peace Keeping Operation yang berasal dari pasukan

32

militer maupun sipil negara-negara ASEAN sendiri untuk diterjunkan di daerah konflik. Dengan demikian, sudah saatnya bagi ASEAN untuk tidak meletakkan setiap konflik yang terjadi di bawah karpet dan setiap negara anggota ASEAN dibiarkan mencari jalan keluar sendiri dalam menyelesaikan konflik perbatasan. Sekarang saatnya ASEAN bersikap proaktif dan menunjukkan kredibilitas sebagai organisasi kerjasama regional yang memang dibutuhkan negara-negara anggota menuju terbentuknya Komunitas ASEAN 2015 (Kompas, 2011).

Usaha promosi dan perlindungan HAM yang dilakukan AICHR tidak semata dibebankan pada institusi AICHR sendiri karena penegakan HAM adalah kerja semua pihak. Untuk itu dukungan dari pemerintah, media, akademisi, LSM bidang HAM dan organisasi kemasyarakatan sangat dibutuhkan dalam membangun koordinasi untuk mendukung upaya sosialisasi kerja AICHR. Keberadaan AICHR juga diharapkan dapat mengangkat isu-isu kemanusiaan yang selama ini tidak terwadahi dengan baik khususnya dalam kontek hubungan antar negara-negara ASEAN seperti isu buruh migran, perebutan sumber daya alam di perbatasan dan sebagainya. Menjadikan AICHR sebagai wadah yang kompeten dalam menegakkan HAM bukan hanya sekedar platform, namun dengan kerja sama semua pihak, penguatan fungsi kerja AICHR dapat terwujud di kemudian hari. Daftar Pustaka -oooOooo-

Antara News. 2009. AICHR dan Penguatan Perlindungan HAM di ASEAN. www.antaranews.com (Diakses pada 3 Mei 2011). ASEAN Community Indonesia. 2011. Pertemuan Ke-4 ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. http:// www.aseancommunityindonesia.org (Diakses pada 5 Mei 2011). ASEAN Secretariat. Piagam ASEAN. http://www.aseansec.org/ACIndonesia.pdf (Diakses pada 30 April 2011).

Dirgantara, Igor. 2010. Pembentukan ASEAN Intergovernmental on Human Right (AICHR) dan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM dan Demokrasi di Asia Tenggara. http:// oseafas.wordpress.com (Diakses pada 7 Mei 2011). Djamin, Rafendi. 2010. Pelanggaran HAM di ASEAN: AICHR Tidak diperbolehkan melakukan Review. http://www. tabloiddiplomasi.org (Diakses pada 9 Mei 2011). Fitria. 2009. Questioning the Prospect of Upholding Human Rights in Southeast Asia in the Coming Five Years. Postscript Vol. VI, No. 5, September-Oktober. Hukum Online. 2009. Menlu ASEAN Sepakati TOR Pembentukan Komisi HAM Regional. http://www.hukumonline.com (Diakses pada 8 Mei 2011). Human Rights Watch (HRW). 2005. ASEAN: Reject Burma as Regional Groups Chair. www.hrw.org (Diakses pada 14 Juni 2011). Joint Communique The 31st ASEAN Ministerial Meeting (AMM) Manila, Philippines, 24-25 Juli 1998. http://www.aseansec.org/698. htm (Diakses pada 3 Mei 2011). Kompas. 2011. Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja. http:// nasional.kompas.com (Diakses pada 8 Mei 2011). Kontras. 2008. Evaluasi Penegakan HAM: Catatan Peringatan 60 Tahun Deklarasi Universal HAM. http://www.kontras.org (Diakses pada 30 April 2011). Kontras. 2011. Mukadimah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. www.kontras.org (Diakses pada 2 Mei 2011). LIPI. 2011. Kerangka Pencegahan konflik di Indonesia, Draft Penelitian. Politik Indonesia. 2010. AICHR bisa Menjadi Otokritik Internal ASEAN. http://www.politikindonesia.com (Diakses pada 7 Mei 2011). Press Release of the Fourth ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. 10-13 Februari 2011. http://www.aseansec. org/25872.htm (Diakses pada 7 Mei 2011) Republika. 2011. Terkait Bentrok TNI AD dan Warga, Komnas HAM selidiki Puslatpur Kebumen. www.republika.co.id (Diakses

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

33

pada 15 juni 2011). Republika. 2010. 20 Ribu Warga Mynmar Lari ke Thailand. www. republika.co.id (Diakses pada 15 Juni 2011). Sasmini. 2009. Menanti Pembentukan Badan HAM ASEAN. http:// sasmini.staff.uns.ac.id/2009 (Diakses pada 30 April 2011). Sukarsa, Tatat. 2011. Indonesias Leadership in ASEAN 2011: Political Perspective and Human Rights. Postscript Vol. VIII No. 1, Januari-February. Tempointeraktif. 2011. Komisi HAM ASEAN Minta Indonesia Maksimalkan Peran. http://www.tempointeraktif.com (Diakses pada 9 Mei 2011). Term of Reference AICHR. http://www.aseansec.org/DOC-TOR-AHRB. pdf (Diakses pada 30 April 2011). Wahyuningrum, Yuyun. 2009. ASEANs Road Map towards Creating a Human Rights Regime in Southeast Asia. Human Rights Milestones: Challenges and Development in Asia, Forum-Asia. Thailand.

34

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

35

UNDERSTANDING THE CURRENT ASEAN: THE COMPETING ARTICULATIONS OF ORDER BEHIND THE ASEAN CHARTER Mutiara Pertiwi1 Lecturer and researcher at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: mutiapertiwi@gmail.com Abstract

This study offers an alternative explanation behind the slow yet decorative progress of ASEAN. It unpacks the competing articulations of order contained in the very foundation of the current ASEAN, the ASEAN Charter. The contestation was mainly over the issues of people oriented purposes and legalistic noncompliance instruments of order. A thin solidarist security order dominated the clauses as proposed by Malaysia, Brunei Darussalam, and Singapore. The compromise between different conceptions of order enabled ASEAN to develop potentials to address security challenges in the region. There was an absence of non-compliance mechanisms to provide disincentives for violation of agreements. By this, ASEANs capacities to address regional problems were not improved. This suggests that a deeper ASEAN community was still a considerable distance, as was a more just order in Southeast Asia. Keywords: ASEAN, ASEAN Charter, articulation, conceptions of order
This article is based on a chapter of his Master thesis in Australian National University in 2009.
1

36

I. Introduction

This essay is offering an alternative explanation behind the slow yet decorative progress of ASEAN. It will unpack the competing articulations of order contained in the very foundation of the current ASEAN, the ASEAN Charter. It argues that there were three competing conceptions of order at this historical juncture, which were: a normative-contractual order, a thin solidarist security order, and a solidarist security order. Among them, the thin solidarist security order which was articulated by Malaysia, Singapore, and Brunei Draussalam was the most dominant. This impeded efforts to draft the ASEAN charter in a manner which would enhance ASEANs capabilities in addressing challenges in the next decade of the 21st century. To demonstrate this, the discussion is divided into four parts: (1) introducing the analytical framework; (2) elaboration of old and new challenges to Southeast Asia at the beginning of the 21st century; (3) identifying the competing conceptions of order in the drafting of the ASEAN Charter; and (4) analysing then the contribution of the most dominant conception of order in the signing of the ASEAN Charter.

Facing the second decade of the century, ASEAN is still well-attached to its reputation for being long on talk, short on action (CaballeroAnthony, 2008). This means that ASEAN had many commitments but that these were minimal in manifestation. In this regard, ASEANs reliance on persuasive norms was considered to be inadequate. Persuasive norms refer here to norms, which do not incorporate a carrot and stick approach to stimulate compliance. The incentives that they provide for member states to fulfil their commitments in practice are unclear.

II. An analytical framework: Understanding ASEAN through the English Schools spectrum of order

In this essay, the principal conceptions of order will be revealed through identifying the key ideas of order, which are articulated and desired by actors involved in the evolution of ASEAN. This conceptions of order is considered as one of essential dimensions of ASEANs image, as recommended in leading literatures on ASEAN, such as in Leifers and Acharyas.2 The principal ideas of order that animate debate in ASEAN evolution may or may not be the most dominant idea of order at the conclusion of each stage of the ASEAN negotiations. However, they are the ones which present powerful visions of order used to support or resist order change. Hedley Bull, one of the most prominent scholars in the English School, defines order as a purposive pattern of activity that sustains the elementary goals of the society of states which are limitations of violence, the keeping of promises, and the stability of possessions (Bull, 1977). With this definition, Bull contends that order is a product of social construction. It is a result of states conscious efforts to reduce unpredictability through social norms and interactions. The main elements of order are goals, pathways, and instruments (Bull, 1977). Goals refers to the articulation of purpose in ASEAN, such as political survival or prosperity; pathways refer to arrangements to maintain or establish order, such as the/a balance of power or community building; and instruments refer to the means by which order will be enforced, such as norms, war, or diplomacy (Alagappa, 2003). In the empirical parts of this essay, these three elements of order will reveal actors conformity to a particular conception of order. This will reveal the extent to which ASEAN order has evolved across time. Hedley Bull developed a spectrum of order based on the depth
See Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and Problems of Regional Order, London, Routledge, 2001, p.10.; Joseph Chinyong Liow and Ralf Emmers, op. cit.; and David Martin Jones and Michael L.R.Smith, Making Progress, not Process: ASEAN and the Evolving East Asian Regional Order, International Security, Vol. 32, No. 1, Summer 2007, pp. 148-184.; Yuen Foong Khong, The Elusiveness of Regional Order: Leifer, the English School and Southeast Asia, the Pacific Review, Vol. 18, No. 1, March 2005, p. 25.
2

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

37

38

of social interactions between states and between other actors in international society. He identified three major spheres in this spectrum: an international system; an international society; and a world order. Total anarchy is located at one extreme point of this spectrum of order; it is located at the weakest degree of social interactions in international systems where interaction among states is driven solely by power considerations. The development of social norms is very weak and security dilemma drives state behavior at this point. This is envisaged as a highly state-centric system. All states only mind their own survival in a zero-sum logic: ones security is a threat to others security. The states keep accumulating power to ensure they have adequate military force to defend their interests. Meanwhile, at the other extreme point of the spectrum of order is world order where individuals no longer need states to represent the domestic community at the international level. Here, interstate order is obsolete because individuals can pursue justice and their own ideals without states. The state system is replaced by a great society of all mankind (Bull, 1977).

At the middle of the spectrum of order is international society. This is present when states are conscious of their common values, interests, and goals (Bull, 1977). States start to develop norms to manage their relations and therefore to sustain order. International society is via media between an international system and a world order; it is an intermediary zone between state centric and human centric order (Bull, 1977). It can also be defined as a sphere of order where the element of state of war and of transnational solidarity compete and negotiate in achieving goals (Bull, 1977).

The English School recognises two different types of order in international society: a pluralist and a solidarist order. The former is closer to an international system; its principles and main pathways to order share similarities with classical realism, which lays greater emphasis on states, state co-existence, and respect for sovereignty as the source of order. States have intact authorities to control their

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

people and territory and, therefore, non-interference norms are the main instrument of order. States are capable of agreement only for certain minimum purposes (Wheeler and Dunne, 1996). The extent to which states would comply with international norms depends on the level of a states interest in a given norm. In this essay, pluralist order is also characterised as security order.

The Habibie Center

39

On the other hand, the solidarist orders features of order are closer to a world order; it is a more cosmopolitan vision of order that places the individual, their security, and rights at the centre of order (Bain, 2007). It promotes international law and peaceful instruments of order in maintaining order rather than the use of military force (Wheeler and Dunne, 1996).. In his account of solidarist or moral order, Bull admits that restoring justice is a difficult pathway to order. It might clash with other goals of society such as peace and security. This conflict might happen when restoring justice requires international society to radically violate its existing norms, for example, in the case of humanitarian intervention (Bull, 1983). Bull affirms that those promoting moral order should carefully consider its consequences for international society. It means that pursuing justice requires a wise application to avoid causing more harm than good. As Bull argued, progressive politics should always search for a reconciliation between order and justice.3 A just and prosper society will persuade states and people to be more cooperative in international society because they know that the system will promote a fair distribution of rights and obligations. This will create a more cohesive international order. In this essay, the problem of moral order is identified as occurring in at least two forms. The first refers to the violation of peoples rights and obligations, and the second refers to competing moral claims between peoples. The former form of moral problem commonly exists when the powerful abuse the rights of the powerless such as

3 As quoted and rephrased by Wheeler and Dunne in Nicholas J. Wheeler and Timothy Dunne, Hedley Bulls Pluralism of the Intellect and Solidarism of the Will,p.105.

40

in instances of human rights violations. Meanwhile, the problem of competing moral claims of communities commonly results from diverse interpretations of history as in the case of historical territorial disputes. Different communities may have different ways of viewing history and of judging whether particular outcomes are just. For example, one party in a dispute may refer to colonial map in claiming a territory while the other party to pre-colonial kingdoms map. Both of them have justifiable claim over the disputed territory based on their history. As history is not only part of states order but also peoples source of sense of order, many tensions in territorial disputes occur at people to people level and generated suspicions between neighboring communities.

Muthiah Alagappa argues that the degree of security order is determined by the degree of states compliance to norms. The more respectable the rule of law for states, the more cohesive the security order will be (Wheeler and Dunne, 1996). Alagappa then develops this assumption into three categorisations of order in international society based on the degree of rule-governed interactions. These range from instrumental order to normative order to solidarist security order (Wheeler and Dunne, 1996).

An instrumental order is a category of security order which closely parallels the realists power struggle for survival (Wheeler and Dunne, 1996). The main pathways to order are balance of power, hegemony, and concert of power. Moral considerations are absent in this order. States mainly pursue their interests through military means while social norms are underdeveloped. Some social institutions exist, but most of them are designed only to promote basic coexistence rather than to resolve political conflicts. States aggression is often occurs in this sphere of order as there are few limitations on war for states. The second category of security order, the normative order, is a combination between force and contract for pursuing coordination among states (Wheeler and Dunne, 1996). In this category, states are aware that promoting national interests should not necessarily

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

eliminate the potential for cooperation with other states. Pathways to order are designed through the development of social norms and collective order. Military instruments are still relevant, but are constrainted by many principles such as morality and sovereignty. This category of security order is less state-centric than instrumental order since it limitedly recognises the role and interests of non-state actors. It is even tolerates some cases of humanitarian intervention with the consent of affected states. Goals in this order represent compromises between states interests and the community of states interests.

The Habibie Center

41

The third category of security order is a solidarist security order which is the most peaceful, prosperous, and rules grounded (Wheeler and Dunne, 1996). This is where international society possesses strong social trust and common values and collective identities regarding not only on the importance of states but also individuals. Trust and obligation are the main pathways to order where international law is the primary instrument of order. Individuals have reliable channels and adequate recognition to fight for their interests and security at the international level. There is also a functioning supranational governance in the form of a democratic security community to regulate international relations, although it is not a supranational government. Comparing Bulls and Alagappas spectra of order reveals some overlapping features. Bulls international system shares similar concerns and principles with Alagappas instrumental order. Both of them are highly state-centric system where the state is dominated by zero-sum survival motives as suggested by neo realist order. However, on the other side, instrumental order allowed some norms of basic co-existence to develop. This is why an instrumental order has some characteristics of a pluralist order of international society. Meanwhile, a pluralist order has some elements of a classical realist order when promoting a balance of power as the main pathway to order. It also shares similarities with a normative-contractual order

42

As illustrated in the figure of the spectrum of order shown below, Alagappas solidarist security order is slightly different from Bulls solidarist moral order. Bull agrees with Alagappa that a pluralist order is more state centric and a solidarist order is more human centric.4 However, Bull and Alagappa have different emphases in defining and explaining the role of moral ideas. Alagappa tends to reduce the meaning of justice to compliance to law because he attempts to create measurable indicators of order. In contrast, Bull clearly emphasises the importance in order building, of restoring justice rather than simply constituting law.5 He argues that considerations of justiceare to be distinguished from considerations of law6 Justice goes beyond the formality of international law. Its scope includes so many values such as general justice, particular justice, subtantive justice, arithmetical justice, proportionate justice, commutative justice and distributive justice.7 These complex multiple dimensions of justice are not discussed in Alagappas spectrum. This suggests that Alagappas solidarist security order is not as solidarist as Bulls. Alagappas solidarist security order might be located at intermediary zone between pluralist security order and solidarist moral order. For practical reason, this essay named Bulls solidarist order as solidarist moral order. This discussion reveals that order in international society ranges from instrumental order, normative-contractual order, solidarist security order, and solidarist moral order. The following figure illustrates how different conceptions of order from Bulls and Alagappas spectra
4

when promoting cooperation between states, although only with limited scope and commitment.

Tim Dunne as quoted by Paul Keal, An International Society?, in Greg Fry and Jacinta OHagan (eds), Contending Images of World Politics, London: MacMillan Press Ltd., 2000, p. 67.
5 6 7

Paul Keal, An International Society?, p. 74. Hedley Bull, The Anarchical Society, p. 75. These concepts are explained in Hedley Bull, The Anarchical Society, pp. 74-

82.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

complement one another.

The Habibie Center

43

The ASEAN Charter was one of responses to some member states pessimism about ASEANs ability to deal with challenges in the 21st century. ASEAN was expected to do more than just maintain good diplomatic relations between its members (Nischalke, 2002). It was challenged to provide real solutions for old territorial disputes and to mitigate the negative impacts of non-traditional security issues. For this, ASEAN needed stronger commitments from its members in their implementation of regional agreements. The ASEAN charter was a response to this concern.

Each sphere of order in this spectrum represents a particular conception of order which might be articulated differently at different times by different actors. This spectrum is therefore a useful analytical tool that may be used to identify the types of order desired by actors in Southeast Asia. Further, this spectrum can also explain how ideas of order may change across time and context, and can help to shed light on/understand a discussion about which conception of order has been dominant at particular points in time and the consequences of this. III. Challenges to ASEAN at the New Millennium

There were at least three new challenges, in addition to the existing problems, which finally drove ASEAN to draft a charter. The first new challenge arose in the aftermath of the Asian Financial Crisis in 1997.

44

The second new challenge which contributed to the drafting of the ASEAN Charter was the continuing dilemma of Burmas membership. ASEAN received condemnation from its Western dialogue partners for its inability to promote political change in Burma. Since 2003, ASEANs constructive engagement approach to Burma had been transformed into enhanced consultation. That is, ASEAN would provide advice on domestic issues which affected the common interests of all member states. However, the approach was considered to be useless because the Burmese Junta still did not give clear targets as to when and how a pathway to democracy would be accomplished.8 Thailand was also concerned by this since Burmese refugees kept crossing into Thailand and this caused insecurity along the Thai-Burma border. Burmas domestic instability had increasingly disadvantaged the whole region. The third new challenge behind the drafting of ASEAN Charter was transnational terrorism. Since the US war on terror in 2001 and the Bali Bombing in 2002, ASEAN states were alarmed by the close threat of terrorism in Southeast Asia. Both external pressures and intraregional awareness of the transnational dimension of this threat motivated ASEAN to enhance its coordination in the intelligence and military sectors. As one of the root causes of terrorism was human
8

This crisis generated economic and social setbacks in Southeast Asia, particularly in Indonesia, Malaysia and Thailand (Emmerson, 2008). Inflation was out of control and many people lost their jobs. Social unrest occurred in many places. The impact also took on a political dimension as an Indonesian democratic movement found the momentum to depose Suharto. In Malaysia, a reform movement also rose but failed to bring about changes (Emmers, 2005). For ASEAN, this crisis forced them to admit ASEANs incapacity to respond to regional challenges. The crisis might not have been a severe if ASEAN had facilitated better regional coordination in multi sectors.

Amitav Acharya, ASEAN at 40: Mid-Life Rejuvenation? Foreign Affairs, http://www.foreignaffairs.com , accessed on 14 May 2009.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

insecurity in such forms as poverty and injustice, ASEAN started to design a more comprehensive approach to enhance regional

The Habibie Center

45

security (Emmers, 2005). The organisation realised that there should be real action and not just empty commitments in responding to this challenge.

Further, none of the above challenges could be solved through unitary and state-centric actions. They required partnership between states and peoples. This suggests that people were important subjects in regional security. Ignoring their aspirations could generate insecurities in the region. Actually, ASEAN had developed the ASEAN Peoples Assembly (APA) in 2000. However, it excluded some people such as minority groups and government oppositions.9 The APA was also a weak initiative because there was no clear link between this forum and ASEANs decision-making process.10 People still possessed
This was also called as the Track III diplomacy. Hadi Soesastro, Introduction and Summary, in Report of the Second ASEAN Peoples Assembly, Challenges Facing the ASEAN People, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2003, p. 1. It was also criticised for being dominated by the ASEAN Institute of Strategic and International Studies (ASEAN-ISIS), a network of research institutions which had close relations with ASEAN statesmen since 1988.This was called as the track II diplomacy. Helen E. S. Nesandurai, ASEAN and Regional Governance after the Cold War, op. cit. p. 110.
10 9

Therefore, together the old and new challenges consisted of: old territorial disputes, the economic crisis, the dilemma of Burma, terrorism, and non-traditional problems, suggested that ASEAN needed a better compliance mechanism to bind member states to the regional agenda. ASEAN could not be an effective organisation if it could not do anything when member states deferred or violated their commitments. In this regard, ASEAN needed to design legalistic rules. A set of regulative norms with a clear distribution of rights and obligation were required, which would also provide clear rewards, as well as punishments as a disincentive for non-compliance.

46

an insubstantial role and status in ASEAN.11

The drafting of the ASEAN Charter was controversial since adding both legal and human-centric elements could change the principal conceptions of order in the organisation. For some states, this change could be problematic. They sought new compromises in debates between different conceptions of order. Interestingly, societal and non-governmental representatives also participated in these debates. ASEAN formed The Eminent Persons Group (EPG) to draft a peoples recommendation for the ASEAN Charter. In drafting the recommendation, the EPG was to consult with civil society actors. The final draft would be sent to the High Level Task Force (HLTF), a body of government officials and former diplomats who had the duty of drafting the charter.12 This inclusion of civil society in the drafting of ASEAN Charter added more complexity to the debate between different conceptions of order. There were at least three different conceptions of order that animated the debate over ASEAN community building. The first was a normative-contractual order. Its proponents insisted that the main
11

Realising the need for a compliance mechanism and a more people centric ASEAN, Malaysia proposed the drafting of an ASEAN Charter. It was an initiative to move towards a more people oriented and legalistic ASEAN. Malaysia proposed this idea in 2004, and in the following year ASEAN declared it part of the regional agenda at the Eleventh ASEAN Summit (Caballero-Anthony, 2008). Indeed, this idea raised considerable controversy within ASEAN between those states with different conceptions of order, as the next section will discuss. IV. Negotiating Order

Kamarulzaman Askandar, Management and Resolution of Inter-State Conflicts in Southeast Asia, Malaysia: Southeast Asian Conflict Studies Network, 2002.
12

Pavin Chachavalpongpun (ed.), The Road to Ratification and Implementation of the ASEAN Charter, Singapore: ISEAS, 2009.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

purpose of order should be the preservation of sovereignty despite the risk of prolonging uncertainties in the region. A consideration of peoples political aspirations should be excluded at regional level because this was fell within the realm of domestic issues. Instead,

The Habibie Center

47

order should continue to be maintained through the balance of power management and the economic cooperation pathways to order. Those holding this conception of order basically resisted reforming the imperative of status quo norms as the main instruments of order. They were unwilling to adopt a more legalistic norms as such as the ASEAN Charter. Burma was the main supporter of this conception of order. As a regime with problematic legitimacy domestically, this government preferred the strict application of status quo norms, and particularly non-interference norms (Nesandurai, 2009). The modification of non-interference norms with ASEANs constructive engagement and enhanced interactions were already placing Burma under political pressure (Nesandurai, 2009). More regulative and legal norms would require the Junta to fulfil its commitments since joining ASEAN, which included restoring democracy in Burma. In this regard, it was apparent that the Juntas interests extremely against peoples interests.

Vietnam and Laos were not as inflexible as Burma in defending non-interference principle, but these states also favoured ASEANs conventional practices. These states were concerned that, after Burma, they would be the next targets of ASEANs condemnation for their human rights violations. Cambodia also held this state-centric conception of order, but it was not an assertive actor. As a weak democratic country, it was still unconfident about it its domestic stability. Its commitment to protection of human rights was also still vulnerable. The second approach to order proposed a solidarist security order. Here law was to be the main instrument of order in establishing

48

The main supporter of this main conception of order was the Eminent Persons Group (EPG) as a representative body of civil societies in the region. This body consulted with many different civil society groups in the region, including those who were outside APA.14 In its recommendation to the HLTF, the EPG proposed many institutional innovations such as: the establishment of a regional human rights mechanism, adoption of the responsibility to protect principle, a non-consensus based decision-making process, the establishment of consultative mechanism between people and ASEAN, the establishment of a sanction mechanism, and opposing the unconstitutional change of government (Morada, 2008). The proposal reflected high expectations in civil society in Southeast Asia that ASEAN would substantially change its conception of order to be more people oriented. Other supporters of this second aspiration for regional order were Indonesia, Thailand, and the Philippines. As democratic countries, these states were influenced by their peoples opinions. Thailand and
13 14

protections for peoples rights. The main pathway to order was the expansion of a liberal democratic regional community where peoples and states were partners. This revealed a desire to change ASEANs purposes and instruments from a state-oriented to people-oriented approach, and from a voluntary to a more legalistic approach. There were at least two consequences of this conception of order: the first was that ASEAN was expected to adopt mechanisms of sanction for non-compliance; and the second was that the principle of sovereignty was to be redefined. Sovereignty would be understood as a responsibility to protect rather than rights to rule.13 It meant that interference would be acceptable in a case where a state failed to protect its citizens.

Noel Morada, ASEAN at 40: Prospects for Community Building in Southeast Asia, Asia-Pacific Review, Vol. 15, No. 1, 2008, p. 43.

There was a coalition of civil society actors outside APA namely Solidarity for Asian Peoples Advocacy (SAPA) which mainly represented civil societies and people whose interests were opposed their governments.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

solutions to member states domestic problems.15 They sought a more effective mechanism for ASEAN to address regional problems. Among these states, Indonesia was the main supporter of the establishment of a regional human rights body, democratisation, promoting good governance and human security in Southeast Asia.16 It desired a regional order which could support its own democratisation .

the Philippines had proposed a reform of ASEANs non-interference principle since 1998 through the idea of flexible engagement, a mechanism to allow ASEAN to become involved in promoting

The Habibie Center

49

15 16

The third vision of order in the drafting of the ASEAN Charter was a combination between a normative-contractual security order and a solidarist security order, described here as a thin solidarist security order. This conception of order entailed the protection and enhancement of individual rights and the elimination of conflict as the main purpose of order, but it did not include a non-compliance mechanism. Legal regulation was acceptable for supports of a thin solidarist security order, but it would only contain a distribution of rights and obligations; it would not include rewards and punishments. The main pathway to order in a thin solidarist security order was expansion of democratic community, but this was not a liberal democratic community. Although there would be a partnership between states and peoples, states would still have the stronger bargaining positions. State centrism was not problematic in this conception of order, as long as states could ensure that human security problems within their countries did not undermine regional security. People issues which had fewer regional implications would be excluded from legal arrangements, which indicated that pro status quo norms and state coexistence were also important goals and instruments of order. People issues were important because of their implications for order, but not because they were the main
Donald K. Emmerson, The ASEAN Black Swans, op. cit. p. 77.

Rabea Volkmann, Why does ASEAN Need a Charter? Pushing Actors and Their National Interests, ASIEN, October 2008, p. 84.

50

stakeholders of order.17 A thin solidarist security order suggested

Malaysia, Singapore, and Brunei Darussalam were the main supporters of this conception of order. While these states were aware that ASEAN needed better instruments to promote regional security, they were also cautious that a people oriented ASEAN would stimulate democracy and human rights domestic movements. Ferguson argued that Malaysia and Singapore asserted that states legitimacy was derived from output effects such as economic growth, political stability and contained ethnic or minority tensions.18 Brunei Darussalam had the same view with them. These states desired to improve their domestic human security conditions through improved economic welfare, but not through greater political liberty for their citizens.

that ASEAN should be more people oriented but not as completely people oriented as in a liberal democratic community.

17

The term stakeholders of a community is borrowed from Michael E. Jones, Forging an ASEAN Order: The Challenge to Construct Shared Destiny, Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 1, 2004, pp. 140-154.
18

This debate reveals the three main conceptions of order which competed in shaping the final draft of the ASEAN Charter, namely: a normative-contractual order, a solidarist security order, and a thin solidarist security order. Arguably, the idea of the ASEAN Charter was problematic for most ASEAN states because it included the element of people and legal sanctions. Even Malaysia, who was the initiator of the charter, was cautious of providing too much space for peoples aspirations in ASEAN. It seemed that the slogan of a people oriented ASEAN, which dominated ASEAN rhetoric in the lead up to the signing of the charter, was interpreted in different ways by different member states. Democratic countries such as Indonesia, Thailand, and the Philippines perceived the people as the main constituent of order, while the rest of the states perceived civil society as potential

R. James Ferguson, ASEAN Concord II: Policy Prospects for Participant Regional Development, Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. , 2004, pp 400401.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

sources of instability in the region to be assuaged. This wide gap in conceptions of order influenced the final draft of ASEAN Charter, as will be discussed in the next section. V. The final draft of the ASEAN Charter was signed by the ten member states at the 13th ASEAN Summit in Singapore in November 2007. The charter then became the subject of ratification in each member state. It confirmed ASEANs commitment to pursue states coexistence, the elimination of conflict, a people oriented community, and the promotion of democratic values as the main purposes of order. It adopted community building as main pathway to order; and pro status quo norms and human rights principle as main instrument of order.19 This human rights clause was a new theme in ASEAN documents. ASEAN also declared it would develop a regional body to materialise this principle. Another major instrument of order in the Charter was the enhanced consultation approach to address issues which had regional implications. This legalised ASEANs earlier efforts in undertaking intense dialogue to urge political change in Burma. In addition to ASEANs traditional purposes, which were mainly concerned with regional peace and stability, the charter affirmed ASEANs commitment to promoting poverty alleviation, sustainable development, and a comprehensive security approach. This legalised what had already declared in ASEAN Vision 2020 and Bali Concord II. ASEAN Charter: A Legal Instrument without Legal Consequences

The Habibie Center

51

The Association of Southeast Asian Nations, The ASEAN Charter, Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008.
20

19

Importantly, the language of the charter was vague, particularly on the clauses about people and rules.20 It mentioned only that ASEAN would establish a people oriented community, but there was no further framework for the role of people in ASEAN. Also, a
Chapter 1 Article 1 of ASEAN Charter.

52

mechanism of punishment for violations of agreement was absent. The charter stated that ASEAN would refer the decision to the ASEAN Summit in responding to non-compliance issues and unresolved dispute settlements. This revealed that most security matters would be addressed as they were in the past, which was through political compromises between statesmen.

With this final draft, there are at least three important points to be clarified about the principal conceptions of order which was contained in it. Firstly, it was obvious that a thin solidarist security order outweighed other conceptions of order. Some clauses of the charter demonstrated that the first and foremost ASEAN principle would be the upholding of the pro status quo norms as the main instruments of order, that the non-compliance mechanism would be decided by the ASEAN Summit, and that human security would be addressed by ASEAN without an obligation to consult with people. These clauses suggested that the main pathway to order was still a community of states, rather than a partnership between states and people. It seemed that the charter and its practices were a victory for semi authoritarian states in the region such as Malaysia, Singapore and Brunei Darussalam. Secondly, while a thin solidarist security order was the most dominant conception of order in the drafting of ASEAN Charter, its conception in the draft was not intact. Thin solidarist security order made compromise with solidarist security order particularly on the clause of human rights principle as the main principle of order. Thirdly, while states who proposed a normative-contractual order failed to reject the inclusion of human rights principles, democracy, and a people oriented ASEAN as the primary principles and purposes of order in ASEAN, they were also accommodated. The ASEAN Charter made little change to how state practices within ASEAN would be conducted. Both state-centrism and persuasive norms remained the central features of the charter. Other new commitments could not change ASEAN much since these features were dominant.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

It is important to acknowledge that a thin solidarist security order was the dominant conception in this drafting of the ASEAN Charter. People oriented goals, a state community pathway, state centrism, pro status quo norms, and persuasive norms were the main features of regional order.

The Habibie Center

53

The following discussion analyses the extent to which the thin solidarist security order present at the signing of the ASEAN Charter could address the four (old and new) key challenges in the region discussed in the first part of this essay: (1) territorial disputes; (2) economic crisis; (3) Burmas political dilemma; and (4) terrorism and non-traditional crimes. It will also analyse the potential of a thin solidarist security order to address the moral dimension of these four problems, which were: (1) violations of peoples rights; and (2) competing moral claims.

Firstly, employing a pluralist framework which was mainly concerned with states security, a thin solidarist security order was the main conception at the signing of the ASEAN Charter. This contributed almost no improvement to ASEANs potential ability to addressing the four challenges in the new millennium. Most of its clauses were restatements of both the ASEAN Vision 2020 and also the features of order which ASEAN had already put into practice. The difference was that the old conception of order was repackaged into the form of a legal charter. In the charter, human rights, democracy, and people oriented principles were part of the main instruments and purposes of order. While these new additional purposes of order added greater potential for addressing political dilemma of Burma and some of the root causes of terrorism, these principles belonged to a solidarist security order rather than thin solidarist security order. Therefore the future of their application would again difficult because the thin solidarist security order was the most dominant conception of order in this charter. This difficulty in application was illustrated in the case of Cyclone Nargis crisis in Burma just few months before the country

54

signed ASEAN Charter. The Burmese Junta angered international society by blocking international assistance to many of victims of the cyclone. This indicated that the commitment to promote people centered ASEAN was still far from present.

Secondly, in a solidarist or a moral order framework, a thin solidarist security order improved acknowledgement of peoples rights through the compromise with a solidarist security order and the adoption of human rights principles as one of the main instruments of order. This initiated a potential for the development of a regional framework to protect peoples rights in the future. Indeed, with the current arrangement, the design of a regional framework would tend to conform semi authoritarian states who were the main proponents of thin solidarist security order in the signing of ASEAN Charter. The extent to which this potential would develop is currently highly dependent on the political will of various states.

Thirdly, in framing a thin solidarist security order in the ASEAN Charter through a moral order, this conception of order did little to contribute to a resolution of the competing moral claims in the region. The clause on dispute settlement mechanism in the ASEAN Charter was again overly reliant on compromises at the elite level while competing moral claims between communities at people to people level were left unaddressed. The tensions between Malaysian and Indonesian people illustrates these competing moral claims. Until now, the slogan of crush Malaysia which was first used by Sukarno in Konfrontasi in 1960s was still alive in Indonesian public oration; there was also blog war on the internet every time Malaysia had problems with Indonesia, for example in 2004 when Malaysiawon Sipadan-Ligitan from Indonesia.21 This revealed that a sense of
21

Kompas Cyber Media, Aktor Piet Pagau Ajak Rakyat untuk Ganyang Malaysia (Piet Pagau Calls Indonesian People to Crush Malaysia), 9 March 2005, accessed through http://www2.kompas.com/gayahidup/news/0503/09/181933.htm, on 4 June 2009; Donald K. Emmerson, Security, Community, and Democracy in Southeast Asia: Analysing ASEAN, Japanese Journal of Political Science, Vol. 6, No. 2, p. 175.; and Chin Kin Wah, Introduction: ASEAN-Facing the Fifth Decade, Contemporary

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

injustice continued to pervade people despite a dispute settlement at the elite level.

The Habibie Center

55

This discussion suggests that the only significant contribution that the thin solidarist security order produced was in adopting people oriented purposes from a solidarist security order. Many agree that the adoption a thin solidarist security order as the main conception of order in the ASEAN Charter was a setback (Chachavalpongpun, 2009). The charter only redefined what ASEAN had already put in practice without further reforms. VI. Conclusion

There were three main conceptions of order that animated debates in the drafting of ASEAN Charter, they were a normative-contractual order, a thin solidarist security order, and a solidarist security order. Their contestation was mainly over the issues of people oriented purposes and legalistic non-compliance instruments of order. The outcome of this debate was the ASEAN Charter in which a thin solidarist security order dominated the clauses as proposed by Malaysia, Brunei Darussalam, and Singapore.

Southeast Asia, Vol. 29, No. 3, 2007, p. 403.

56

In the analysis of the three historical events which were discussed in this essay, the compromise between different conceptions of order enabled ASEAN to develop potentials to address security challenges in the region. ASEAN established many frameworks of cooperation to respond to both interstate disputes and human security issues. However, only a few of these commitments manifested. The remaining reliance on pro status quo norms as the main instruments of order prevented ASEAN from developing greater political cooperation and increasing its partnership with people. There was an absence of noncompliance mechanisms to provide disincentives for violation of agreements. By this, ASEANs capacities to address regional problems were not improved. This suggests that a deeper ASEAN community was still a considerable distance, as was a more just order in Southeast Asia. Acharya, Amitav. 2009. ASEAN at 40: Mid-Life Rejuvenation? Foreign Affairs, http://www.foreignaffairs.com , accessed on 14 May 2009. Acharya, Amitav. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and Problems of Regional Order, London: Routledge. Alagappa, Muthiah (ed.). 2003. Asian Security Order: Instrumental and Normative Features, Stanford: Stanford University Press, 2003. Askandar, Kamarulzaman. 2002. Management and Resolution of InterState Conflicts in Southeast Asia, Malaysia: Southeast Asian Conflict Studies Network, 2002. Bull, Hedley. 1983. Justice in International Relations. Hagey Lectures, University of Waterloo, 12-13 October 1983. Bull, Hedley. 1977. The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, London: Palgrave, 1977. Caballero-Anthony, Melly. 2008. The ASEAN Charter: an Opportunity References -oooOooo-

Missed or One that Cannot be Missed? Southeast Asian Affairs, 2008, pp. 71-85. Chachavalpongpun, Pavin (ed.). 2009. The Road to Ratification and Implementation of the ASEAN Charter, Singapore: ISEAS, 2009. Chow, Jonathan T. 2005. Asean Counterterrorism Cooperation since 9/11. Asian Survey, Vol. 45, No. 2, March-April 2005, pp. 302-321 Emmers, Ralf. 2005. The Indochinese Enlargement of ASEAN: Security Expectations and Outcomes, Australian Journal of International Affairs, Vol. 59, No. 1, pp. 71-88. Emmerson, Donald K.. 2008. ASEANs Black Swans. Journal of Democracy, Vol. 19, No. 3, July 2008, pp. 70-84. Emmerson, Donald K. 2008. Security, Community, and Democracy in Southeast Asia: Analysing ASEAN. Japanese Journal of Political Science, Vol. 6, No. 2, pp. 165-185. Ferguson, R. James. 2004. ASEAN Concord II: Policy Prospects for Participant Regional Development. Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. , 2004, pp. 393-415. Fry, Greg and Jacinta OHagan (eds). 2000. Contending Images of World Politics. London: MacMillan Press Ltd., 2000, p. 67. Jones, David Martin and Michael L.R.Smith. 2007. Making Progress, not Process: ASEAN and the Evolving East Asian Regional Order. International Security, Vol. 32, No. 1, Summer 2007, pp. 148-184.; Jones, Michael E. 2005. Forging an ASEAN Order: The Challenge to Construct Shared Destiny. Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 1, 2004, pp. 140-154. Khong, Yuen Foong. 2005. The Elusiveness of Regional Order: Leifer, the English School and Southeast Asia. the Pacific Review, Vol. 18, No. 1, March 2005. Kompas Cyber Media. 2009. Aktor Piet Pagau Ajak Rakyat untuk Ganyang Malaysia (Piet Pagau Calls Indonesian People to Crush Malaysia), 9 March 2005, accessed through http:// www2.kompas.com/gayahidup/news/0503/09/1819

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

57

33.htm , on 4 June 2009. Morada, Noel. 2008. ASEAN at 40: Prospects for Community Building in Southeast Asia. Asia-Pacific Review, Vol. 15, No. 1, 2008, pp. 36-55. Nesandurai, Helen E. S. 2009. ASEAN and Regional Governance after the Cold War: from Regional Order to Regional Community?, The Pacific Review, Vol. 22, No. 1, March 2009, pp. 91-118. Nischalke, Tobias. 2002. Does ASEAN Measure Up?: Post-Cold War Diplomacy and the Idea of Regional Community. the Pacific Review, Vol. 15, No. 1, 2002, pp. 89-117. Report of the Second ASEAN Peoples Assembly. 2003. Challenges Facing the ASEAN People. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2003. The Association of Southeast Asian Nations. 2008. The ASEAN Charter, Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008. Volkmann, Rabea. 2008. Why does ASEAN Need a Charter? Pushing Actors and Their National Interests. ASIEN, October 2008, pp. 78-87. Wah, Chin Kin. 2007. Introduction: ASEAN-Facing the Fifth Decade. Contemporary Southeast Asia, Vol. 29, No. 3, 2007, pp. 395-405. Wheeler, Nicholas J. and Timothy Dunne. 1996. Hedley Bulls Pluralism of the Intellect and Solidarism of the Will. International Affairs, Vol. 72, No. 1, Jan 1996. William, Bain. 2007. One Order, Two Laws: Recovering the Normative in English School Theory. Review of International Studies, Vol. 33, 2007.

58

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

59

KELEMBAGAAN ASEAN DAN ISU LINGKUNGAN DI ASIA TENGGARA Tatat Sukarsa Researcher at the Habibie Center tatat.sukarsa@gmail.com Abstract This paper aims to discuss environmental issues in Southeast Asia and ASEANs involvement as a regional organization in the region. Environmental issues have become the main issues discussed at various meetings of the world. ASEAN itself had raised environmental issues at the regional level since 1981, although in the implementation there is still a conflict of interest between prioritizing economic growth and saving the environment. Transboundary haze problem becomes a major environmental problem in the region: it affects ASEAN major countries such as Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand. Another environmental problem that needs to be dealt in regional level of ASEAN is climate change, since it affects various aspects of human life. Climate change is currently also a major environmental problem at the global level. Management of Mekong watershed that crossing several countries of ASEAN is also an important issue since these countries relies on their economy on natural resource from the river. Although there have been various ASEAN internal mechanisms for handling regional environmental problems, but often the principle of non-interference are impediments to the implementation. Final conclusion, the proposal to form environment pillar in addition to the

60

three existing ASEAN pillars was proposed to put environmental issues as a focus of ASEAN development in the future. Kata kunci: ASEAN, lingkungan, kabut asap-haze, perubahan iklim, Mekong. I. Pendahuluan

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi regional di kawasan yang strategis dan sedang berkembang saat ini. Kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup diperhitungkan karena memiliki potensi ekonomi tinggi karena kaya dengan sumber daya alam dan juga berpotensi tinggi menjadi pasar bagi negara-negara industri maju karena besarnya jumlah penduduk di kawasan ini. Gelombang modernisasi ekonomi telah melanda kawasan Asia Tenggara dan menyebabkan berbagai macam akibat, baik yang positif maupun negatif.

Salah satu tanda perubahan yang signifikan dalam industrialisasi dan perdagangan di antaranya ketika negara-negara anggota ASEAN mulai bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization -WTO) pada dekade 1990-an. Instrumen-instrumen perdagangan seperti hambatan tarif dan nontarif, subsidi produksi dan ekspor, intervensi nilai tukar mata uang, dan perjanjian komoditaskomoditas tertentu telah diimplementasikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tapi di saat yang bersamaan baik langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap lingkungan (Widodo, 2007). Perdagangan internasional berpengaruh terhadap lingkungan melalui perubahan volume dan biaya transportasi lintas batas negara, konsumsi, dan produksi. Sedangkan penanda perubahan signifikan yang kedua yaitu dengan semakin bertambahnya jumlah perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area - FTA) maupun kemitraan ekonomi bilateral (Economic Partnership Arrangement - EPA) di negara-negara Asia (Mukhopadhyay and Thomassin, 2010).

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Dampak perdagangan bebas terhadap lingkungan disadari sejak 1994, yaitu dalam Strategic Plan of Action on the Environment (SPAE) 1994-1998. Salah satu tujuan SPAE adalah untuk mempelajari pengaruh ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) terhadap lingkungan dan bagaimana mengambil langkah-langkah untuk mengintegrasikan kebijakan perdagangan dengan lingkungan (Irewati dan Woryandari, 2001:149). Kawasan ASEAN kaya dengan sumber daya alam sekaligus berfungsi sebagai penyangga kehidupan yang penting, baik untuk kawasan dan dunia. Kehidupan laut yang kaya dan sumber daya mineral yang melimpah mendukung kegiatan ekonomi yang penting seperti eksplorasi minyak, perikanan komersial maupun skala kecil, dan pariwisata (Letchumanan, 2010:50). Selain menyediakan air, pangan dan energi, sumber daya alam memainkan peran penting dalam mempertahankan berbagai kegiatan ekonomi dan mata pencaharian.

The Habibie Center

61

Pembangunan berkelanjutan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh banyak negara di dunia, untuk tujuan kesejahteraan ekonomi maupun kelestarian lingkungan. Dalam kaitan dengan masalah lingkungan di Asia Tenggara, seharusnya pengentasan kemiskinan dijadikan tujuan perbaikan lingkungan (Bromley, 1997). Beberapa ahli mengatakan bahwa krisis lingkungan di Asia Tenggara adalah hasil dari kemiskinan, pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang pesat, serta urbanisasi yang cepat. Perkembangan pasar besarbesaran dan kegagalan kebijakan yang menyebabkan pertumbuhan penduduk dan kemiskinan menjadi penyebab degradasi lingkungan (Rogers, 1993:12). Dalam kajian hubungan internasional dan keamanan kontemporer saat ini, masalah lingkungan dikategorikan sebagai salah satu ancaman keamanan non-tradisional (Yue-Choong, 2006:6). Hal ini disebabkan karena masalah lingkungan bisa menyebabkan ancaman terhadap keamanan manusia (human security) dan bisa menimbulkan bencana yang besar serta mempunyai efek domino. Kerusakan di satu sisi, bisa menyebabkan bagian lain terkena dampaknya. Misalnya,

62

banjir bandang yang terjadi di Wasior, Papua Barat, Indonesia pada tanggal 4 Oktober 2010 yang memakan korban hingga 154 orang. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia1 dan pemberitaan media, pembalakan liar hutan lindung di sekitar Wasior diduga kuat sebagai penyebab banjir bandang di Wasior (Kompas, 2011). Contoh kasus lainnya bisa dilihat pada masalah kabut asap yang berasal dari Indonesia dan menyelimuti tidak hanya wilayah tempat asap berasal, tetapi juga negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kabut asap tersebut berasal dari kebakaran hutan di wilayah Indonesia yang ditengarai terjadi akibat pembukaan lahan pertanian dan perkebunan sawit yang dilakukan dengan cara membakar hutan (The Jakarta Post, 2011a).

Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap sengketa lingkungan dan konflik. Bukan hanya karena kawasan ini kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga karena memiliki sumber daya bersama antara negara-negara yang meliputi sungai, laut, garis pantai, alur sungai, persediaan air, dan hutan hujan. Namun negaranegara bangsa yang modern ini telah memberlakukan batas-batas nasional yang melintasi wilayah alam dengan sumber daya yang diminati oleh beberapa negara. Oleh karena itu, ada kondisi-kondisi yang melekat dalam proses pembangunan di Asia Tenggara yang membuat konflik lingkungan merupakan aspek yang tak terelakkan dari masalah keamanan regional, meskipun juga termasuk dalam masalah keamanan non-tradisional (Yue-Choong, 2006:1). Kondisi ini mencakup kompetisi di antara negara-negara di dunia yang mengglobal untuk investasi internasional. Persaingan tersebut telah mempercepat laju pembangunan dan pelaksanaan rencana ekonomi yang memiliki efek merusak terhadap lingkungan alam. Di tingkat ASEAN, perhatian terhadap masalah lingkungan sebenarnya telah muncul secara formal sejak diluncurkannya Deklarasi Manila tentang Lingkungan ASEAN tahun 1981. Selanjutnya, kesepakatan

Sebuah lembaga nonpemerintah yang bergerak dibidang advokasi masalahmasalah lingkungan.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

mengenai lingkungan ini memasuki tahap penyusunan program aplikasinya. Tahapan penyusunan program aksi, khususnya yang mengkaitkan perdagangan dengan lingkungan, dituangkan dalam paket khusus yang disebut Rencana Aksi Strategis ASEAN tentang Masalah Lingkungan (SPAE). Selanjutnya pada tanggal 29 November 1984, ASEAN mengeluarkan deklarasi untuk perlindungan alam dan taman-taman nasional, yaitu ASEAN Declaration on Heritage Parks and Reserves di Bangkok (Irewati dan Woryandari, 2001:143). Perjanjian Konversi Alam dan Sumber-sumber Alam (Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources) berlangsung pada tanggal 9 Juli 1985. Perjanjian ini memberikan perhatian pada pentingnya upaya-upaya pelestarian lingkungan dan sumbersumber alam, serta menekankan perlunya pertimbangan matang dan hati-hati dalam mengeksplorasi sumber-sumber alam, terutama yang sifatnya tidak dapat diperbaharui (Irewati dan Woryandari, 2001:144). Perjanjian ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ASEAN, sudah sangat memahami posisi negara-negara anggotanya sebagai negara berkembang dan sumber bahan baku industri bagi negara-negara industri maju. Sayangnya, mekanisme perjanjian ini tidak diterapkan sejak deklarasinya tahun 1985. Sehingga saat ini, kerusakan lingkungan di negara-negara anggota ASEAN karena eksploitasi berlebihan di berbagai bidang pun tak terhindarkan.

The Habibie Center

63

Setelah Perjanjian Konversi Alam dan Sumber-sumber Alam pada tahun 1985, ASEAN banyak menghasilkan perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan terkait lingkungan yang dimaksudkan untuk mendinamisasi ASEAN agar sesuai dengan perkembangan jaman. Perjanjian dan kesepakatan tersebut antara lain: Kuala Lumpur Accord on Environment and Development yang dihasilkan pada 19 Juni 1990 di Malaysia, dan Resolution on Environment and Development dihasilkan pada 18 Februari 1992 di Singapura. Proses pematangan pembicaraan dalam resolusi 1992 terus diupayakan dalam pertemuan selanjutnya di Brunei Darussalam April 1994. Selanjutnya pada tanggal 18 September 1997 disepakati Jakarta Declaration on

64

Environment and Development. Pada dasarnya deklarasi ini sama dengan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, tetapi ada penekanan pokok yang dimunculkan dalam deklarasi ini yaitu penetapan penghargaan ASEAN Environment Award dan pembentukan lembaga perlindungan lingkungan ASEAN Regional Center for Biodiversity Conservation (Irewati dan Woryandari, 2001:147).

Selanjutnya, ASEAN merumuskan rencana aksi untuk masalah lingkungan yaitu SPAE periode 1994-1998. Setelah krisis ekonomi global tahun 1997, para menteri lingkungan hidup ASEAN menyusun satu rencana aksi baru bernama ASEAN Strategic Plan of Action 1999-2004. Kegiatan inti yang tercantum dalam rencana aksi 19992004 antara lain: kabut asap lintas batas negara (transboundary haze), pantai dan kelautan (coastal and marine), konservasi alam dan keanekaragaman hayati (nature conservation and biodiversity), perjanjian multilateral masalah lingkungan (multilateral environmental agreements) dan kegiatan-kegiatan masalah lingkungan lain (Irewati dan Woryandari, 2001: 151-152).

II.

Artikel ini akan membahas beberapa masalah kerusakan lingkungan terbesar yang dialami oleh negara-negara ASEAN, terutama yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi perdagangan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, diantaranya: masalah kabut asap lintas batas negara, perubahan iklim, dan pengelolaan daerah aliran Sungai Mekong yang melintasi beberapa negara di Asia Tenggara. Persoalan kabut asap lintas batas negara yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang paling mengemuka di kawasan Asia Tenggara jika dibandingkan dengan isu-isu lainnya, bahkan lebih mengemuka dibandingkan isu perubahan iklim yang telah menjadi tren baru dalam perkembangan kontemporer.
Masalah Kabut Asap Lintas Batas Negara di Asia Tenggara

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Kebakaran hutan sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia dan bukan bencana alam. Pertumbuhan ekonomi yang pesat baik di Indonesia dan di kawasan terutama dirangsang oleh sumber daya alam melimpah dan industri berbasis pertanian. Keduanya mendorong alih fungsi hutan dan intensifikasi penggunaan lahan. Dalam rangka memenuhi permintaan minyak kelapa sawit, bubur kertas, dan kertas, hutan harus dibersihkan dengan cepat.

The Habibie Center

65

Terdapat kesalahpahaman luas tentang sumber kabut asap di Asia Tenggara. Masyarakat umum merasa bahwa kabut terutama berasal dari kebakaran hutan atau kegiatan pertanian potong dan bakar (slashand-burn) yang dilakukan petani pemilik ladang kecil. Faktanya, ada berbagai sumber termasuk kontribusi dari kegiatan pembersihan lahan berskala besar. Citra satelit menunjukkan kebakaran dan kabut asap berasal dari wilayah yang berada jauh dari permukiman penduduk. Hal ini menjadi bukti untuk mendukung permintaan pemerintah Indonesia dalam mengambil tindakan terhadap para pengembang perkebunan skala besar, karena hanya perkebunan skala besar yang beroperasi di wilayah terpencil di Indonesia (Murdiyarso, et al., 2004:4).

Terdapat juga pendapat dikalangan masyarakat awam dan berulang kali dikutip oleh birokrat bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh gejala alam El Nino, dan karena itu, merupakan suatu bencana alam yang tidak dapat dicegah. Padahal, kebakaran disebabkan oleh orang dan sebagian besar dinyalakan sengaja untuk mengambil keuntungan dari kondisi kering untuk menyiapkan tanah (atau sebagai senjata dalam sengketa tanah). El Nino di banyak lokasi mendukung kondisi iklim yang cocok untuk munculnya kabut asap, tetapi bukan pendorong atau penyebab (Murdiyarso, et al., 2004:4). Kabut asap lintas batas negara merupakan bagian dari masalah lingkungan lintas batas. Masalah lingkungan lintas batas mengacu pada kasus-kasus di mana pencemaran (eksternalitas negatif) yang dihasilkan dalam satu negara mengganggu batas nasional dan

66

mempunyai implikasi negatif terhadap kehidupan di negara satu atau lebih di daerah atau dunia pada umumnya. Kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kabut asap paling serius terjadi tahun 1997 (Lin dan Rajan, 2000:5), bertepatan dengan krisis ekonomi dan keuangan yang menghantam kawasan ini. Emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara masih jauh lebih kecil dalam skala global jika dibandingkan dengan emisi dari kegiatan industri di negara-negara maju.

Meskipun demikian, jumlahnya cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Selain akibatnya terhadap sistem bumi secara global, kebakaran hutan dan kabut asap juga berdampak terhadap ekonomi regional, nasional, maupun lokal, khususnya terhadap kesehatan, industri transportasi dan pariwisata di Indonesia dan negara-negara tetangga, khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dampak ekonominya cukup besar. Glover dan Jessup (Glover dan Jessup, 1998) memperkirakan, kebakaran hutan dan kabut asap di tahun 1997 merugikan kawasan Asia Tenggara sebesar 4 milyar Dollar AS. World Wild Fund dan Environmental Emergency Project (EEP) Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia memperkirakan kerugian kawasan sebesar 6 milyar dollar AS (BAPPENAS, 1999).

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

67

Kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap lintas batas negara hampir selalu terjadi setiap tahun terutama pada musim kemarau di beberapa provinsi yang paling rawan kebakaran hutan di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan semua provinsi di Kalimantan. Pada tahun 2011 ini, kebakaran hutan bahkan telah terjadi sejak bulan Februari, ketika seharusnya musim hujan masih berlangsung. The Jakarta Post memberitakan pada tanggal 20 Februari 2011 bahwa kebakaran hutan telah terjadi di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia berhasil mendeteksi titik panas di tiga propinsi tersebut termasuk pembakaran lahan gambut di Jambi. Padahal, kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sulit untuk dipadamkan karena titik-titik apinya berada di bawah lapisan tanah. Akibatnya, kabut asap pun melanda ketiga propinsi tersebut dan negara-negara tetangga Singapura dan Malaysia. Jarak pandang di daerah yang terkena dampak kabut asap kurang dari 1 kilometer. Pada bulan Oktober 2010, pemerintah Singapura dan Malaysia telah melayangkan surat memprotes kabut

68

asap tebal yang berasal dari kebakaran hutan di Indonesia (The Jakarta Post, 2011a). Kedua negara tersebut sudah sejak bertahun-tahun lalu menyatakan kekecewaan karena sikap pemerintah Indonesia yang tidak konkret dan lambat dalam menangani kebakaran hutan dan kabut asap di wilayahnya.

Solusi berkelanjutan dengan keuntungan jangka panjang seharusnya didukung oleh negara-negara anggota ASEAN. Sayangnya, tidak satupun dari mereka, bahkan yang terkena oleh kabut asap, mau membiayai proyek tersebut. Sebaliknya mereka telah menyalurkan sebagian besar dana mereka untuk solusi jangka pendek yang lebih mahal. Contohnya, pemerintah negara bagian Sarawak, Malaysia, mengeluarkan sebanyak RM 50,000 untuk hujan buatan (cloud seeding). Padahal kesuksesannya tidak terjamin karena seringkali sulit untuk menemukan bibit awan hujan selama musim kering. Dengan demikian, kurangnya penggunaan dana yang efektif oleh negara-negara ASEAN juga telah berkontribusi terhadap situasi kabut asap yang berkepanjangan saat ini. Situasi kabut asap yang berkepanjangan juga disebabkan karena respon lambat pemerintah Indonesia dan kurangnya upaya dalam mengatasi masalah, sehingga hal ini menghalangi negara-negara tetangganya untuk menawarkan bantuan keuangan. Meskipun sudah ditetapkan peraturan melarang penggunaan api untuk pembukaan lahan namun data satelit menunjukkan bahwa sejumlah besar titik panas terletak di perkebunan swasta. Tidak banyak hal yang diupayakan Pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran itu. Tingkat penuntutan terhadap pelanggar hukum khususnya di daerah terpencil masih lambat, bahkan hampir stagnan. Anggota ASEAN lain telah mengkritisi ini. Meskipun demikian, konsep kedaulatan negara ASEAN menghambat pengambilan segala bentuk tindakan untuk memaksa Indonesia agar bertindak secara bertanggung jawab. Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Lintas Batas 2002 bahkan belum diratifikasi oleh Indonesia (The Jakarta Post, 2011b). Mengingat dimensi regional dari polusi lintas batas di atas, banyak yang mengharapkan badan regional di Asia Tenggara, yaitu ASEAN,

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

untuk lebih proaktif dalam memfasilitasi kerjasama iklim dan isu lingkungan. Contohnya keberhasilan regionalisme di Uni Eropa (UE) dalam menanggulangi masalah lingkungan lintas batas. Meskipun ada peringatan dini yang jelas tentang dampak lingkungan dari kebakaran hutan di Indonesia 1997-1998 dan fakta bahwa hal tersebut telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, ASEAN tidak cukup siap untuk mencegah agar peristiwa yang sama tidak terulang.

The Habibie Center

69

Dalam mekanisme ASEAN, penanganan masalah kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dilakukan pertama kali oleh Kelompok Kerja ASEAN Senior Official on Environment (ASOEN) bidang penanganan Polusi Lintas Batas (Working Group on Transboundary Pollution). Hasil pertemuan kelompok ini adalah Regional Haze Action Plan (RHAP) yang ditetapkan tahun 1997, untuk merespon polusi kabut asap yang berdampak sangat buruk saat itu. RHAP mencakup tindakan pencegahan, mekanisme pengawasan regional, kemampuan pemadaman kebakaran, serta mengeluarkan zero-burning policy (Irewati dan Woryandari, 2001:153). Selain melalui RHAP, telah diambil tindakan bersama oleh negaranegara anggota ASEAN yaitu penunjukkan dan penetapan tiga negara anggota sebagai penanggungjawab atas masalah tersebut (Jamil, 2006). Ketiga negara itu adalah Indonesia yang bertanggungjawab dalam hal peningkatan kapasitas pemadaman, Singapura yang bertanggung jawab dalam upaya pemantauan, dan Malaysia yang bertanggung jawab di bidang pencegahan. Meskipun mekanisme dalam ASEAN telah ada, tapi permasalahan kabut asap ini tak kunjung selesai.

Salah satu penyebab atas kelambanan di tingkat regional, karena adanya prinsip non-intervensi yang tertulis dalam asas pendirian ASEAN. Prinsip tersebut menyebabkan anggota ASEAN tidak dapat mengomentari kebijakan domestik dan masalah di negara tetangganya sesama anggota ASEAN. Sekjen ASEAN pada tahun 1999, Rodolfo Severino menjelaskan bahwa negara-negara anggota ASEAN tidak dapat menuntut tetangganya sesama anggota untuk pencemaran lintas batas, karena prinsip non-intervensi tersebut.

70

Terdapat juga pandangan yang menghubungkan penanganan kabut asap di Asia Tenggara dengan kondisi perekonomian negara-negara anggota ASEAN. Menurut Bank Dunia (World Bank, 1997:108), kurangnya respon terhadap masalah kabut asap di Asia Tenggara juga dapat dikaitkan dengan dugaan bahwa keprihatinan lingkungan adalah sesuatu yang harus menunggu sampai tingkat pendapatan negara-negara ini setidaknya mendekati tingkat pendapatan negara maju. III. Perubahan iklim telah menjadi isu pembangunan berkelanjutan yang paling penting di abad 21. Hal ini berarti bahwa perubahan iklim mendikte kecepatan dan sifat pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kemajuan sosial, serta berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia dan kelangsungan hidup jika dibiarkan. ASEAN dan Perubahan Iklim

Strategi ASEAN untuk menghadapi perubahan iklim telah dirumuskan dalam pilar ASEAN Sosial-Budaya Masyarakat (ASCC), salah satu dari tiga pilar ASEAN. Ada beberapa strategi utama yang diambil oleh ASCC. Pertama, berhubungan dengan informasi tentang penyakit sebagai dampak spesifik perubahan iklim, ASCC akan memperkuat kerjasama melalui berbagi informasi dan pengalaman untuk mencegah dan mengendalikan penyakit menular yang berkaitan dengan pemanasan global, perubahan iklim, bencana alam dan buatan manusia. Kedua, untuk menjamin kelestarian lingkungan sebagai tujuan dasar dari aspek lingkungan, ASCC mengatakan bahwa ASEAN akan berpartisipasi aktif dalam upaya mengatasi tantangan global terhadap lingkungan global, termasuk perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon, serta mengembangkan dan mengadaptasi teknologi ramah lingkungan untuk kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Ketiga, ASCC khusus menjelaskan upayaupaya di paragraph D.10 pilar ASCC, yang menjelaskan tindakan yang harus diambil pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Semua tindakan tersebut berhubungan dengan teknis tentang bagaimana

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

menangani perubahan iklim melalui transfer pengembangan teknologi, ekonomi rendah karbon, mengembangkan penelitian, mengembangkan langkah-langkah dan dasar pengambilan tindakan, mengurangi deforestasi dan kerusakan hutan serta degradasi penanaman hutan dan reforestasi (Steni, 2011).

The Habibie Center

71

2 Organisasi pan-Asia yang bekerja untuk memperkuat hubungan dan meningkatkan pengertian antara rakyat, pemimpin, dan lembaga Amerika Serikat dan Asia, bisa dilihat di http://asiasociety.org/about.

Pada pembicaraan tingkat tinggi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009, Simon Tay dari Asia Society2 mengatakan banyak perhatian diberikan ke Asia, khususnya China dan India.

72

Namun ASEAN juga merupakan penyumbang emisi yang signifikan jika deforestasi dimasukkan ke dalam kategori penghasil emisi. Sebagian besar wilayah ini juga akan akan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Tapi hingga saat ini, ASEAN belum sepenuhnya terlibat dan tidak memiliki posisi bersama terhadap isu perubahan iklim.

Kelompok-kelompok negara lain di dunia telah terbagi ke dalam beberapa blok dalam Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), di antaranya yaitu blok Uni Eropa, Uni Afrika, dan G77 (Garcia, 2010). Pertanyaannya sekarang, apakah perlu membuat blok ASEAN untuk masalah perubahan iklim? Meskipun beberapa negara ASEAN telah meratifikasi UNFCCC dan Protokol Kyoto, tapi mereka tidak aktif di UNFCCC (ASEAN Civil Society, 2011).

Terdapat dua kemungkinan jika akhirnya ASEAN menjadi sebuah blok dalam perundingan perubahan iklim, blok ASEAN bisa menjadi blok baru yang dapat memperlemah peran negara-negara yang tergabung dalam blok G77, karena karakter negara-negara ASEAN misalnya Indonesia, cenderung mengikuti keinginan negara maju dalam negosiasi perubahan iklim (Antara, 2010). Negara-negara maju (annex 1) bisa menggunakan ASEAN untuk mempengaruhi negaranegara berkembang agar setuju dengan keputusan perubahan iklim yang sejalan dengan kepentingan mereka. Sisi baiknya, jika ASEAN menyadari kepentingan dan posisi rasional yang sebagiannya merupakan negara kepulauan yang terancam oleh dampak buruk perubahan iklim, maka seharusnya blok ASEAN menggunakan suaranya untuk mendukung keputusan dalam perundingan yang sejalan dengan kepentingan negara-negara berkembang. Keberadaan blok ASEAN dapat mempercepat hasil keputusan perundingan perubahan iklim bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Terkait dengan penanganan masalah perubahan iklim, masyarakat

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

73

sipil ASEAN juga mengambil peran penting, terutama dalam praktek langsung di lapangan karena berasal dari berbagai jenis organisasi sektoral di negara-negara ASEAN. Dalam pertemuan tahunan masyarakat sipil ASEAN 2011 (ASEAN Peoples Forum 2011), Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan iklim Indonesia (CSF) bekerjasama dengan sejumlah organisasi negara ASEAN telah menyelenggarakan dua putaran lokakarya yang menghasilkan beberapa hal seperti berikut ini (CSO Forum, 2011): 1. Negara-negara ASEAN harus secara kuat meminta negaranegara industri untuk melakukan pemotongan emisi secara drastis melalui tindakan dalam negeri (bukan offset) dan harus ada kesepakatan yang mengikat secara internasional. Negaranegara ASEAN harus memiliki posisi yang kuat melawan keterlibatan World Bank dan lembaga pendanaan internasional lainnya. ASEAN harus memastikan pengelolaan Green Climate Fund terlaksana secara demokratis, transparan dan akuntabel. ASEAN harus menjamin pendanaan iklim tidak dalam bentuk utang-utang dan instrumen yang menciptakan utang, harus secara langsung, adanya tambahan dari Overseas Development

74

2. Mengembangkan instrumen kerangka perubahan iklim ASEAN dengan perspektif keadilan iklim dan keadilan gender serta memastikan standar pengamanan untuk melindungi hak-hak perempuan. Pemerintah ASEAN juga harus memiliki strategi adaptasi yang lebih harmonis dan komprehensif yang mengakui keragaman kebutuhan dan kondisi masyarakat dan daerah dalam mengatasi kondisi tertentu yang dihadapi daerah. Kebijakan dan program harus spesifik untuk setiap komunitas tertentu.

Assistance (ODA), merupakan dana publik dan bebas dari syarat dan tidak boleh mengganggu kedaulatan nasional atau penentuan nasib sendiri masyarakat dan kelompok yang paling berdampak. Pendanaan iklim yang dibentuk berdasarkan Konvensi Iklim PBB harus mengikuti prinsip reparasi utang iklim.

3. Menolak perbaikan teknologi seperti pembangkit listrik tenaga nuklir dan biomassa, serta menyerukan denuklirisasi ASEAN dan pembatalan rencana untuk mempromosikan energi nuklir. 4. Membatalkan inisiatif mitigasi berbasis pasar blue carbon fund, karena terbukti tidak didukung kekuatan ilmiah. Pemerintah negara anggota ASEAN terlebih dahulu melengkapi argumentasi solusi krisis iklim, sembari memperkuat upaya penegakkan hukum lingkungan, utamanya pada daerah-daerah yang rawan tindak pencemaran laut dan perusakan ekosistem pesisir. 5. Mengakui dan mendukung inisiatif lokal yang ramah lingkungan dan sesuai dengan budaya dan praktek-praktek tradisional petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kegiatan ekstraktif seperti pertambangan, yang mempengaruhi ketahanan masyarakat petani dan nelayan harus dihentikan.

6. Mengadopsi mekanisme regional dan membangun kapasitas untuk penilaian yang baru, teknologi yang muncul atau yang tidak teruji berdasarkan prinsip pencegahan dengan partisipasi

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Beberapa usulan masyarakat sipil ASEAN di atas menjadi penting ketika ASEAN ingin mengangkat isu lingkungan di tingkat regional, karena usulan tersebut juga merupakan resonansi tuntutan masyarakat sipil di tingkat global terutama yang terlibat dalam proses UNFCCC. Dengan membangun dialog yang lebih konstruktif dengan masyarakat sipil, maka ASEAN dengan sendirinya akan membangun legitimasinya dalam bidang lingkungan hidup. Bahkan kelompok masyarakat sipil mendorong agar ASEAN membentuk pilar keempat yaitu pilar lingkungan untuk melengkapi tiga pilar yang sudah ada (Pilar Politik dan Keamanan, Pilar Ekonomi dan Pilar Sosial Budaya). IV. Asia Tenggara memiliki banyak sungai besar di mana masyarakat menggantungkan hidup. Sungai besar yang akan dibahas dalam tulisan ini, Sungai Mekong melewati daerah yang luas dan mencakup beberapa negara. Sungai Mekong adalah salah satu sungai utama di dunia. Sungai Mekong merupakan sungai terpanjang ke-12 di dunia, dan ke-10 terbesar dalam volume (melepas 475km air setiap tahun), mengisi wilayah seluas 795.000 km. Dari Tibet, Sungai Mekong mengalir melalui China propinsi Yunnan, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam (Sunchindah, 2003). Daerah aliran sungai (DAS) Mekong sering disebut Subkawasan Mekong Besar (Greater Mekong Subregion). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mekong

penuh dari masyarakat sipil dan masyarakat untuk melihat potensi dampak bagi lingkungan, kesehatan lingkungan dan sosial ekonomi, termasuk implikasi lintas batas.

The Habibie Center

75

76

Gambar 1. Peta Subkawasan Mekong

Subkawasan Mekong adalah bidang ekonomi alami yang diikat bersama oleh Sungai Mekong, mencakup 2,6 juta km dan memiliki jumlah penduduk gabungan sekitar 326 juta orang. Subkawasan ini mencakup flora dan fauna yang telah berkembang di sepanjang utara Semenanjung Malaysia ke Thailand, merambah pegunungan tinggi mulai dari Himalaya, atau sepanjang lembah-lembah sungai yang luas sebagai hutan gugur daun kering mirip dengan India. Sepuluh juta tahun perubahan permukaan air laut telah meninggalkan warisan yang kaya, yaitu bentuk kehidupan unik yang telah berevolusi dalam isolasi di Gunung Cardamom dan Annamite di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam. Sumber daya ini merupakan sumber penghidupan untuk sebagian besar manusia di subkawasan ini yang sebagian besar bercorak pertanian. Tanah di kawasan tersebut menghasilkan kayu, mineral, batubara, dan minyak bumi. Sedangkan air sungai Mekong mendukung pertanian dan perikanan serta menyediakan energi dalam bentuk

Sumber: Wikimedia, 2011.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Cadangan batubara, minyak dan gas di subkawasan ini juga melimpah, sebagian besarnya terdapat di Myanmar, Thailand dan Vietnam. Sumber daya energi yang melimpah ini relatif masih terbengkalai.

The Habibie Center

77

Saat ini, modernisasi dan industrialisasi menyebabkan negara-negara yang dilalui sungai Mekong secara bertahap beralih dari pertanian ke ekonomi yang lebih beragam dan terbuka. Sejalan dengan ini adalah hubungan komersial yang tumbuh di antara enam negara Mekong, terutama dalam hal perdagangan lintas-perbatasan, investasi, dan mobilitas tenaga kerja. Selain itu, sumber daya alam, khususnya tenaga air, mulai dikembangkan dan dimanfaatkan secara bersama oleh negara-negara di subkawasan Mekong. Anugerah sumber daya alam dan manusia di wilayah Sungai Mekong telah menjadikannya sebagai kawasan baru pertumbuhan ekonomi Asia (Asian Development Bank, 2010:14). Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam pada tahun 1995 membentuk Komisi Sungai Mekong (Mekong River Commision - MRC) untuk membantu pengelolaan dan penggunaan sumber daya Mekong secara terkoordinasi. MRC merupakan sebuah organisasi yang menerapkan program terpadu antara pengentasan kemiskinan dan pengurangan resiko bencana yang disebabkan masalah lingkungan. Pada tahun 1996, China dan Myanmar menjadi mitra dialog dari MRC dan enam negara sekarang bekerja sama dalam suatu kerangka kerja sama (Sackler, 2006:256). Setelah banjir besar di Vietnam dan Kamboja pada tahun 2000, MRC mengembangkan strategi menyeluruh untuk manajemen dan mitigasi banjir yang menekankan perencanaan penggunaan lahan, langkah-langkah pencegahan struktural, kesiapsiagaan dan tanggap darurat banjir (Asian Disaster Preparedness Center, 2004:28).

Kerusakan lingkungan adalah tantangan terbesar bagi negara-negara di Subkawasan Mekong-yang mana merupakan sebuah kawasan yang kaya dengan sumber daya alam tapi memiliki angka kemiskinan yang tinggi (Environment News Service, 2004). Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh para ahli lingkungan di Subkawasan Mekong,

78

masalah lingkungan yang paling mengancam masyarakat yaitu menurunnya produktifitas lahan pertanian dan kualitas hutan serta air yang buruk (Bangkok Post, 2002).

Subkawasan Mekong akan menjadi tantangan bagi ASEAN ke depan terutama karena beberapa negara di subkawasan tersebut tergantung pada sumber daya di sekitar aliran Sungai Mekong. Bila sungai Mekong tidak dikelola dengan baik, terutama terkait dengan kondisi lingkungannya, akan merugikan negara-negara tersebut dan ASEAN secara umum. V. Penutup

Dengan semua kesepakatan dan rencana aksi yang telah dibuat ASEAN, seandainya semuanya efektif dilaksanakan dan berkekuatan hukum, akan dapat mencegah terjadinya bencana lingkungan yang merugikan penduduk negara-negara di Asia Tenggara serta masa depan umat manusia secara umum. Sayangnya, prinsip nonintervensi yang dianut oleh negara-negara ASEAN serta keterbatasan dana untuk sektor lingkungan negara-negara ASEAN menyebabkan pemerintah negara-negara ASEAN lebih memfokuskan penggunaan anggaran negaranya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Padahal, masalah-masalah lingkungan jika diabaikan tidak hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga merusak sumber penghidupan dan keberlangsungan hidup manusia. Untuk mendorong ASEAN agar lebih memberi perhatian pada penanggulangan masalah-masalah lingkungan di kawasan, perlu dikaji lebih dalam tentang usulan pembentukan pilar keempat ASEAN yaitu pilar Lingkungan. Keberadaan pilar Lingkungan akan menempatkan keberlanjutan lingkungan hidup, ekonomi, gender, keadilan sosial dan keadilan iklim sebagai dasar pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan di ASEAN. Membangun suatu Masyarakat Lingkungan ASEAN sebagai pilar keempat dibutuhkan untuk penanggulangan masalah-masalah perubahan iklim, ongkos sosial dan lingkungan dari proyek-proyek pembangunan skala besar,

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

dan meningkatnya kerusakan ekosistem secara lebih efektif. Daftar Pustaka -oooOooo-

The Habibie Center

79

Antara News. 2010. Rachmat Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim. http://www.antaranews.com/berita/1274447845/ rachmat-utusan-khusus-presiden-untukperubahaniklim?rss_feed=main&view=berita&id=882&TB_if rame=true&width=1000&height=600 (diakses pada 17 April 2011). ASEAN Civil Society. 2011. Apakah Blok ASEAN diperlukan untuk Masalah Perubahan Iklim. http://www.aseancivilsociety.net/ en/news/news/item/81-apakah-blok-asean-diperlukanuntuk-masalah-perubahan-iklim (diakses dari pada 17 April 2011). Asian Disaster Preparedness Center. 2004. Environmental Degradation and Disaster Risk. Bangkok: Asian Preparedness Disaster Center. Asian Development Bank. 2010. Greater Mekong Subregion Brochure. Bangkok Post. 2002. Environmental experts surveyed on problems of Mekong region. http://www.mekonginfo.org/mrc_en/ announce.nsf/ab499f810327278e47256a7000187b64/ 96316ad556bada8b47256c7f00180000?OpenDocument (diakses pada 21 April 2011). BAPPENAS. 1999. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project (1): Planning for Fire Prevention and Drought Management in Indonesia. Jakarta: BAPPENAS. Bromley, Daniel. 1997. Environmental Problems in Southeast Asia: Property Regimes as Cause and Solution. Makalah disajikan dalam Economy and Environment Program for Southeast Asia Workshop di Singapora, 13-15 Mei 1997. CSO Forum. 2011. ASEAN People Forum 2011: Masyarakat Sipil

ASEAN Mendorong Keadilan Iklim. http://www.csoforum. net/media-release/siaran-pers/281-asean-people-forum2011-masyarakat-sipil-asean-mendorong-keadilan-iklim. html (diakses pada 20 April 2011). Environment News Service. 2004. First Greater Mekong Environmental Atlas Reveals Problems. http://www.ens-newswire.com/ ens/apr2004/2004-04-19-01.html (diakses pada 12 April 2011). Garcia, Denise. 2010. Warming to a Redefinition of International Security: The Consolidation of a Norm Concerning Climate Change. International Relations, Vol. 24 (3). Glover, D. and Jessup, T. 1998. The Indonesian Fires and Haze of 1997: The Economic Toll. Jakarta: WWF. Irewati, Awani dan Ganewati Woryandari. 2001. ASEAN dan Tantangan Kerjasama di Bidang Lingkungan. Jakarta: LIPI. Jamil, Sofiah. 2006. Clearing up ASEANs Hazy Relations. IDSS Commentaries, (115/2006). Kompas. 2011. Banjir karena Pembalakan dan Hujan Deras. http:// regional.kompas.com/read/2010/10/08/17571838/Banjir. karena.Pembalakan.dan.Hujan.Deras (diakses pada 27 Maret 2011). Kuntjoro, Irene A. and Mely Caballero-Anthony. 2011. Cancun Agreement: Implications for Southeast Asia. NTS Alert January 2011 (Issue 1). http://www.rsis.edu.sg/nts/HTMLNewsletter/alert/NTS-alert-jan-1102.html (diakses pada 20 April 2011) Letchumanan, Raman. 2010. Is there an ASEAN Policy on Climate Change? ASEC Analysis. www2.lse.ac.uk/IDEAS/publications/ reports/pdf/SR004/ASEC.pdf (diakses pada 21 April 2011). Lin, Chang Li dan Ramkishen S. Rajan. 2000. Regional Versus Multilateral Solutions to Transboundary Environmental Problems: Insights from the Southeast Asian Haze. Centre for International Economic Studies, Discussion Paper No. 0041, October 2000. Mukhopadhyay, Kakali dan Paul J. Thomassin. 2010. Economic and

80

Environmental Impact of Free Trade in East and South East Asia. Montreal dan Quebec: Springer. Murdiyarso, Daniel, Louis Lebel, A. N. Gintings, S. M. H. Tampubolon, Angelika Heil and Merillyn Wasson. 2004. Policy responses to complex environmental problems: Insights from a sciencepolicy activity on transboundary haze from vegetation fires in Southeast Asia. Agriculture, Ecosystems and Environment, Vol. 104. Rogers, Peter. 1993. The Environment in Southeast Asia. Environment, Science, Technology, Vol. 27. No. 12. Sackler, Henry. 2006. The Mekong River: ASEAN and ADB Roles. The Indonesian Quarterly, Vol. 34 No. 3. Steni, Bernadinus. 2011. Climate Change and ASEAN. The Jakarta Post 10 Mei 2011. http://www.thejakartapost.com/ news/2011/05/10/climate-change-and-asean.html (diakses pada 15 April 2011). Sunchindah, Apichai. 2003. From the South China Sea to the Mekong River Basin: A Framework for Transboundary Cooperation and Management of Shared Water Resources. The Indonesian Quarterly, Vol. XXXI No. 4. Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No. 38(i). The Jakarta Post. 2011a. ASEAN haze deal still faces complications. http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/16/aseanhaze-deal-still-faces-complications.html (diakses pada 29 Maret 2011). The Jakarta Post. 2011b. Adopting haze accord would bring benefits. http://www.thejakartapost.com/news/2011/01/27/ a d o p t i n g - h a z e - a c c o rd - wo u l d - % E 2 % 8 0 % 9 8 b r i n g benefits%E2%80%99.html (diakses pada 7 April 2011). Widodo, Tri. 2007. Economic and Environmental Impact of Trade Liberalization in Manufacturing Sector. Economics and Finance in Indonesia, Vol. 55 No. 1. Wikimedia. 2011. Mekong Map. http://upload.wikimedia.org/ wikipedia/commons/e/e4/Mekong_River_watershed.png

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

81

82

(diakses pada 20 April 2011). World Bank. 1997. World Development Report 1997: The State in a Changing World. http://publications.worldbank.org/index. php?main_page=product_info&products_id=21112 (diakses pada 21 April 2011). Yue-Choong, Kog. 2006. Environmental Management and Conflict in Southeast Asia-Land Reclamation and its Political Impact. Non-Traditional Security in Southeast Asia, Working Paper January 2006.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

83

KOMUNITAS ASEAN DALAM MASYARAKAT DUNIA: AGENDA KERJA INDONESIA Jusmaliani1 Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), LIPI Email: liani12190@yahoo.com

Abstract There are three issues regarding Indonesia chairmanship in ASEAN in 2011. The first issue is ASEAN integration which is analyzed using The European Union as a model. The second issue is working agenda in which Indonesia deals with democracy, human rights and corruption. The last issue is ASEAN within a global challenge. This paper discussed these three issues which were framed in peoplecentered ASEAN. The question which was left unanswered is how can Indonesia successfully proceed through her chairmanship with these issues while at the same time Indonesia faces the problem of migrant workers, unsolvable human rights problems, and last but not least un-eradicated poverty. Kata kunci: Integrasi (ekonomi) ASEAN, komunitas ASEAN, transformasi ASEAN, agenda kerja Indonesia, dan lingkungan hidup. I. Chairmanship ASEAN diatur secara bergilir menurut abjad (pasal 31, piagam ASEAN), sehingga seharusnya setelah kepemimpinan Vietnam berakhir pada tahun 2010, giliran berikutnya adalah Brunei
1

Pendahuluan

Professor Research pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) - LIPI

84

Darussalam, namun Indonesia meminta tukar giliran dan hal ini disepakati oleh 10 anggota Asean. Seharusnya 2011 adalah untuk Brunei Darussalam, 2012 untuk Cambodia dan giliran Indonesia baru pada 2013. Pada tahun 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah APEC dan juga G-20 Summit. Tampaknya secara administratif tumpang tindihnya tugas-tugas inilah yang menyebabkan Indonesia minta ditukar dengan Brunei Darussalam. Namun demikian jangan dilupakan bahwa agenda dalam negeri adalah Pemilu 2014 dimana ajang kampanye akan mulai marak pada 2013.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi mengumumkan kepemimpinan Indonesia yang berlangsung sepanjang tahun 2011 pada upacara penutupan ASEAN Summit ke-17 di Hanoi, Vietnam pada 30 Oktober 2010. Pada waktu itu diperkenalkan pula logo dan tema kepemimpinan Indonesia. Bentuk dasar logo ASEAN selama periode kepemimpinan Indonesia adalah gunungan wayang (bentuk segitiga) yang mencerminkan 3 pilar komunitas ASEAN dengan harapan dapat mendorong kerjasama yang bermanfaat, sedangkan tema Kepemimpinan Indonesia adalah Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-bangsa (ASEAN Community in a Global Community of Nations). Komunitas ASEAN akan dituntut secara kolektif berkontribusi dalam menangani berbagai isu dan tantangan global. Arti yang tersirat dalam tema ini adalah di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN akan lebih outward-looking. Di samping itu, Indonesia juga akan membawa demokrasi, HAM dan pemberantasan korupsi sebagai agenda kerja kepemimpinannya. Makalah ini pada intinya mengevaluasi berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan kepemimpinannya pada 2011 ini. Pada bagian pertama integrasi ASEAN yang dipercepat menjadi tahun 2015 dibahas dengan mengambil pembelajaran dari integrasi Uni Eropa. Fokus utama dalam hal ini adalah integrasi ekonomi. Kemudian tiga agenda kerja kepemimpinan Indonesia yang dikemukakan Presiden SBY dianalisis pada bagian berikutnya, karena sebagai pimpinan ASEAN kinerja dalam negeri Indonesia dalam tiga aspek ini harus dapat menjadi contoh. Tantangan global dibahas

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

II.

Integrasi ekonomi dalam kerangka AFTA merupakan embrio lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC) yang merupakan salah satu dari tiga pilar utama integrasi negaranegara anggota ASEAN. AEC-blueprint ditanda tangani pada ASEAN Summit ke-13 di Singapura November 2007, Instrumen utama dalam AFTA adalah Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Berdasarkan data statistik ASEAN, kerjasama dalam kerangka AFTA secara signifikan memiliki kontribusi meningkatkan trade-creation di antara negara-negara anggota ASEAN (Hidayat, 2008).

Dalam dokumen deklarasi pendirian ASEAN yang ditandatangani pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, disebutkan dalam butir pertama dari tujuh butir, tujuan berdirinya ASEAN adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial budaya dalam kawasan melalui kerjasama dengan semangat kesetaraan dan kebersamaan untuk memperkuat dasar bagi terbentuknya sebuah komunitas masyarakat yang makmur dan damai. Dengan kata lain, berawal dari suatu wadah untuk meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, ASEAN kemudian meningkat dengan menjadikan kerjasama ekonomi sebagai alat mempererat hubungan regional. Pada tahun-tahun awal berdirinya ASEAN, perkembangan kerjasama ekonomi berjalan dengan sangat lambat. Baru pada ASEAN Summit ke-4 pada 1992 dicapai kesepakatan untuk kerjasama ekonomi yang semakin luas di antaranya dengan mengambil bentuk ASEAN Free Trade Area atau disingkat dengan AFTA. Jika perdagangan intra ASEAN pada 1980 hanya 15% dari total perdagangan ASEAN, maka porsi ini pada 1994 mencapai 20.52% dan meningkat lagi menjadi 22.61% pada 2004 (Hidayat, 2008).

sehubungan dengan tema yang diusung Indonesia. Sedangkan dalam bagian penutup, penulis mencoba merekomendasikan usulan kebijakan dan tindakan yang harus diambil pemerintah Indonesia. Integrasi ASEAN: Pembelajaran dari Uni Eropa

The Habibie Center

85

86

Piagam ASEAN (ASEAN Charter) baru disepakati pada 2008. Inti dari AEC adalah transformasi ASEAN ke dalam sebuah pasar tunggal sekaligus sebagai basis produksi (a single market and production base), kawasan dengan keunggulan kompetitif tinggi (a highly competitive economic region), kawasan yang memiliki kesetaraan dalam pembangunan ekonomi (a region of equitable economic development), dan kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dalam ekonomi global (a region fully integrated into the global economy). Semuanya ini akan diwujudkan pada tahun 2015 (Hidayat, 2008).

Integrasi ekonomi pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan akses pada pasar yang lebih luas untuk mencapai skala ekonomi yang menguntungkan dengan melaksanakan pula diversifikasi produk. Di antara negara-negara di mana struktur ekonomi dan kemampuan teknologinya hamper sama, maka korporasi dengan kinerja, skala usaha dan kemampuan teknologi yang memadai akan meningkatkan perdagangan luar negerinya; membuka peluang untuk proses integrasi yang aktif dan kumulatif. Jika syarat ini dipenuhi maka integrasi ekonomi akan mudah dipercepat. Sampai saat ini integrasi regional yang dianggap paling berhasil adalah Uni Eropa (UE), jadi tidak ada salahnya jika hal ini dijadikan pembelajaran. Integrasi Uni Eropa juga memakan waktu yang cukup lama untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang. Cikal bakal UE adalah Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang berdiri pada 1957, kemudian baru setelah berselang 35 tahun pada 1992 dibentuk UE dengan Maastricht Treaty. Bagi Uni Eropa waktu yang relatif lama ini diperlukan untuk menurunkan hambatan-hambatan perdagangan di antara mereka dan menciptakan suatu pasar tunggal di mana barang, jasa, manusia dan modal bebas bergerak di dalamnya. Single European Act yang ditanda tangani pada 1 Juli 1987 baru lengkap secara formal pada akhir 1992. Integrasi perdagangan merupakan sarana terpenting dalam integrasi wilayah ini (Salazar & Das, 2007). Kini Uni Eropa telah menjadi kekuatan ekonomi dan politik terbesar

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

di dunia. Ia merupakan pasar tunggal terbesar dengan kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan kebijakan wilayah yang sama untuk membantu wilayah-wilayah yang miskin. Kerjasama ekonomi dibina mulai dengan menurunkan hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers), penggunaan nilai tukar yang sama, dan bergerak ke arah standar kehidupan yang convergence. Sejak 2003 wilayah ini mengalami penurunan pertumbuhan karena sedikit kesulitan anggaran. Berdirinya MEE ini didorong oleh kenyataan geopolitik dengan dipengaruhi oleh Amerika Serikat pada awalnya.

The Habibie Center

87

Proses integrasi ini melalui banyak kesulitan, karena anggotaanggota saling tidak percaya satu sama lain. Proses ini dipimpin oleh Perancis dan Jerman yang mendirikan Masyarakat Batubara dan Baja (European Coal and Steel Community - ECSC) pada 1951. Motivasi yang semula politik berubah menjadi motivasi ekonomi. ECSC menghapus rivalitas lama antara Jerman dan Perancis dan member dasar bagi pembentukan Federasi Eropa. Kemudian pada 1-2 Juni 1955, menteri luar negeri dari 6 negara penandatangan ECSC memutuskan untuk memperluas integrasi ke semua bidang ekonomi; tahun 1957 ditandatangani European Atomic Energy Community (EAEC) atau dikenal juga dengan Euratom. Selain itu juga disepakati European Economic Community (EEC) yang bersama dengan EAEC mulai berlaku sejak 1958. Kemudian pada 1985, Belanda, Belgia, Jerman, Luxemburg dan Perancis melalui Schengen Agreement bersepakat untuk secara bertahap menghapuskan pemeriksaan di perbatasan mereka dan menjamin pergerakan bebas manusia, baik warga mereka maupun warga negara lain. Perjanjian ini kemudian diperluas dengan memasukkan Itali (1990), Portugal (1991), Yunani (1992), Austria (1995), Denmark, Finlandia, Norwegia dan Swedia (1996). Dalam hal lamanya waktu, tampaknya ada kesamaan antara Uni Eropa dan ASEAN. Kurun waktu yang diperlukan ASEAN untuk mencapai kesepakatan AFTA adalah 25 tahun, AEC blueprint setelah

88

40 tahun dan ASEAN Charter 41 tahun. Transformasi ASEAN menjadi wilayah di mana arus barang, jasa, tenaga terampil (skilled labour) dan modal bergerak bebas akan dilakukan melalui AEC. Tantangan berat akan terjadi karena sekalipun Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar, tetapi secara ekonomi ia bukanlah pimpinan dalam perdagangan di kawasan ini. Selain itu, berbagai tantangan ekonomi mikro membatasi potensi Indonesia sebagai hub untuk FDI yang mencari tempat menaruh jangkar di pasar ASEAN yang terdiri dari 10 negara, 620 juta penduduk dan US$ 1.8 trilyun GDP gabungan. Tabel 1 berikut memperlihatkan kondisi umum negaranegara anggota ASEAN yang telah bersepakat untuk mempercepat proses integrasi dari tahun 2020 ke tahun 2015. Tabel 1 Kondisi Umum Negara-negara Anggota ASEAN, 2008
Pertumbuhan Ekonomi (2003-2008) Kedatangan Turis (000) PDB (harga berlaku) Penduduk dibawah garis kemiskinan nasional (%, 2007) 16.58 3.6 14.75 Penduduk (juta) 397 14,656 228,523 5,763 27,863 58,510 90,457 4,839 66,482 86,160 Tingkat Pengangguran (%) 3.7 8.4 3.6 6.8 3.2 1.4 4.7 Negara Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam

19,81 45,304 4,954,029 45,711 741 29,977 7,423 260 9,103 1,478,695

1.3 10.1 5.7 7.4 5.8 5.3 5.5 6.9 4.7 7.8

226 2,125 6,234 1,731 22,052 661 3,139 10,116 14,932 4,254

Keanggotaan ASEAN yang tahun ini berusia 44 tahun dimulai dengan hanya lima negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) yang dengan berjalannya waktu bertambah sehingga saat ini telah beranggotakan 10 dengan masuknya Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Hubungan antarnegara yang semula informal ini kemudian diperkuat lagi dengan Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008, 40 tahun setelah dicetuskan. Bersama

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2008, diolah.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Uni Eropa membuat kebijakan yang sama dalam beberapa bidang: pertanian, consumers affairs, lingkungan, energi, transportasi, dan perdagangan. ASEAN juga telah mengambil langkah-langkah konkrit mengenai hal ini2, seperti dalam mengatur agar aliran barang menjadi bebas melalui penghapusan hambatan tarif, penghapusan hambatan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, penyatuan kepabeanan (custom integration), ASEAN single window, harmonisasi standar danan pengaturan teknis penghambat perdagangan. IIA. Integrasi Uni Eropa telah berhasil menggunakan mata uang yang sama (EURO) di antara semua anggotanya (kecuali Inggris). Pada awal 2002, Euro diperkenalkan sebagai mata uang pada 12 Uni Moneter Eropa (European Monetary Union) dan dikelola oleh Bank Sentral Eropa. Untuk ini kriteria yang ketat berkaitan dengan inflasi, tingkat bunga dan defisit anggaran diberlakukan. Konvergensi ekonomi makro terjadi pada 1991-2000 yang kemudian menjadikan Eropa sebagai pusat ekonomi menyaingi Amerika Serikat dan Jepang. Integrasi dalam bidang keuangan memungkinkan investor memperoleh keuntungan tinggi sekaligus menurunkan risiko melalui diversifikasi; selain itu memungkinkan pula pinjaman dengan biaya rendah. Jika ASEAN ingin integrasinya mencakup pula integrasi
2

dengan AEC sebagai pilar integrasi ASEAN, terdapat dua pilar lainnya yaitu ASEAN Political Security Community (APSC) dan ASEAN SocioCultural Community. Pada ASEAN Summit ke-12 Januari 2007, realisasi komunitas ASEAN (ASEAN Community) dipercepat menjadi tahun 2015. ASEAN berusaha berubah menjadi lebih berorientasi pada manusia (people-oriented) dengan one vision, one identity, dan one community.

The Habibie Center

89

Tantangan Integrasi Moneter

Penjelasan lebih rinci dapat dilihat misalnya: Agus Syarip Hidayat, 2008. ASEAN Economic Community (AEC): Peluang dan Tantangan bagi Indonesia, dalam Yaumidin, Umi Karomah (ed), Hubungan Kerjasama Ekonomi Antar Negara di Kawasan Asia Pasifik, LIPI

90

moneter, maka perjalanan ke arah ini harus dimulai dari sekarang. Kondisi moneter negara-negara ASEAN saat ini dapat disimak dari Tabel 2. Dalam tabel ini terlihat variasi yang cukup besar antara nilai tukar mata uang negara-negara ASEAN terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini diikuti pula dengan kebijakan moneter masing-masing negara yang tidak sama, inflasi dan tingkat bunga yang bervariasi. Diperlukan kerja yang cukup berat untuk sampai pada mata uang ASEAN dan waktu yang mungkin lebih lama dibandingkan penyatuan nilai tukar yang dilakukan Uni Eropa. Tabel 2: Beberapa Indikator Moneter Negara-negara ASEAN, 2008

Tingkat Inflasi (YoY Average)

CPI (Average Of the period)

Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam

105.59 153.16 123.38 116.60 111.48 926.05 154.98 110.28 123.34 141.04

2.7 6.5 15.9 8.6 5.5 26.8 9.3 6.5 5.5 23.1

Nilai Tukar1 (Rata-rata)

1,40 4,088 9,757 8,643 3,33 1,103 44,47 1,41 33,31 16,303

2.88 5.20 11.16 6.00 3.04 5.09 0.39 1.75-2.00 12.59

Pertumbuhan Uang (M1) 3.48 7.51 1.20 28.85 8.30 10.55 18.40 0.98 -23.78

Di kawasan Asia pernah tercetus gagasan untuk mendirikan Asian Monetary Fund (AMF) yang nantinya dapat saja mengarah pada mata uang tunggal (single currency) ASEAN. Usulan untuk mendirikan AMF terjadi pada puncak krisis Asia 1997/1998; yang kemudian dipatahkan oleh IMF dan Amerika Serikat. Namun dengan sulitnya

1. Mata uang nasional per US$ Sumber: ASEAN Statistical Yearbook, 2008

Tingkat Bunga (deposito 3 bln)

Negara

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

tatakelola (governance) IMF (berkaitan dengan charter, kuota dan hak suara) dalam memberikan bobot yang lebih besar untuk pasarpasar yang baru tumbuh seperti China dan India, perlahan-lahan membawa pada arsitektur moneter global yang lebih fleksibel. Arsitektur moneter yang lebih desentralisasi di mana IMF sebagai organisasi global tertua akan memiliki kaitan dengan dana moneter regional seperti The Arab Monetary Fund ataupun Latin American Reserve Fund. Dibentuknya ASEAN + 3 Macroeconomic Research Office (AMRO) dan Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) tahun lalu akan memuluskan jalan untuk terbentuknya AMF setidaknya 5 tahun kemuka. (Rana, 2011). IIB. Proses integrasi menjembatani gap dalam standar kehidupan penduduk di wilayah kaya dan wilayah miskin merupakan isu terpenting. Belajar dari Uni Eropa, pada 1957 Dana Sosial Eropa (The European Social Fund) dibentuk untuk mengurangi kesenjangan di antara anggota-anggotanya. Uni Eropa mewujudkan ini dengan membantu wilayah miskin untuk mengejar ketertinggalannya, restrukturisasi wilayah yang menurun, diversifikasi ekonomi pedesaan yang mengalami penurunan dalam bidang pertaniannya dan revitalisasi perkotaan terdekat dengan penciptaan lapangan kerja. Tantangan Kesenjangan

The Habibie Center

91

Pertumbuhan yang tidak sama, misalnya antara ASEAN-6 dan Negaranegara CMLV dalam bidang infrastruktur atau adanya kantong-kantong kemiskinan di ASEAN-6, akan mempersulit integrasi. Lihat juga http://www.highbeam.com/doc/1G1164111517.html, Bridging the ASEAN developmental divide: challenges and prospects. (Association of Southeast Asian Nations) atau http://findarticles.com/p/articles/ mi_hb020/is_1_24/ai_n29348719/, Bridging the ASEAN development divide: a regional overview

Dalam kawasan ASEAN, development divide3 terjadi antara Brunei, Indonesia, Malaysia Pilipina, Singapore dan Thailand (ASEAN-6) di satu sisi dengan Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (CLMV) di sisi
3

92

lainnya. Pada 2004, pendapatan per kapita pada tingkat harga yang berlaku ASEAN-6 mendekati 5 kali CLMV. Hal ini lebih disebabkan karena pendapatan per kapita Singapura (US$ 25,207) besarnya 152 kali lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita Myanmar (US$ 166), negara termiskin dalam wilayah tersebut (Salazar & Das, 2007).

Kemiskinan yang signifikan masih terlihat di Asia Tenggara seperti di bagian selatan dan timur Filipina, timur laut Thailand dan dataran tengah Vietnam (World Development Report, 2009). Apakah dengan kesenjangan ini kepemimpinan Indonesia akan mendirikan The ASEAN Social Fund sebagaimana Uni Eropa mendirikan The European Social Fund pada 1957 dalam Treaty of Rome? European Social Fund (ESF) adalah instrumen keuangan Uni Eropa yang bertujuan menunjang penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih baik dengan co-funding dari proyek-proyek nasional, regional dan lokal untuk meningkatkan kualitas pekerjaan. Belanja ESF ini sekitar 10% dari total anggaran Uni Eropa. Pada tahun-tahun awal pasca-perang, konsentrasi ESF adalah pada mengatasi masalah migrasi pekerja di Eropa, belakangan kemudian bergeser kepada memerangi pengangguran di kalangan usia muda dan mereka yang keetrampilannya kurang. Saat ini (periode 20072013), selain konsentrasi pada target kalangan yang akan dibantu seperti wanita, pemuda, pekerja lansia, migran dan mereka yang

Definisi development divide yang diberikan PBB adalah kesenjangan atau perbedaan di antara bangsa-bangsa atau wilayah berdasarkan indikator makro: harapan hidup, tingkat melek huruf, pendidikan, PDB per kapita, belanja publik untuk kesehatan dan pendidikan. Akhir-akhir ini, development divide juga diukur menggunakan 4 macam indeks, yaitu: Human Development Index, Gender-related Development Index, Gender Empowerment Measure, dan Human Poverty Index (http://www.highbeam.com/doc/1G1-164111517. html).

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

cacat, dana ESF digunakan pula untuk membantu usaha dan pekerja beradaptasi terhadap perubahan melalui bantuan terhadap inovasi di tempat kerja, pembelajaran jangka panjang dan mobilitas pekerja. IIC. Tantangan Kepemimpinan

The Habibie Center

93

Peningkatan kerjasama regional dapat dilakukan dengan memperdalam (deepening) atau memperluas (widening). Dengan memperdalam kerjasama berarti ASEAN akan lebih berfokus pada peningkatan internal, seperti perbaikan mekanisme perselisihan (dispute settlement mechanism) antar anggota. Dengan memperluas berarti memperbesar keanggotaan, peran organisasi ataupun isu yang ditangani. Walaupun opsi ini tidak bertentangan namun prioritas tetap harus jelas. Bagi ASEAN dengan usia kepemimpinan yang hanya setahun menangani dua strategi ini secara simultan akan sulit, sehingga harus fokus pada salah satu (Nugroho, 2011). Namun demikian, menurut Laporan Tahunan ASEAN 2009-2010, dua strategi ini telah dilakukan; progress ke arah integrasi sebagai strategi deepening telah dilakukan, sedangkan strategi widening dicapai dengan semakin banyaknya kerjasama dan MOU antara ASEAN dengan negara-negara lain seperti Australia, Canada, China, Uni Eropa, Jepang, India, Republik Korea, New Zealand, Rusia, Amerika Serikat, Pakistan, Denmark, Jerman, Norwegia, Swedia. Selain itu strategi ini terlihat pula dengan berbagai kesepakatan lainnya, misalnya China baru-baru ini sudah menandatangani persetujuan pembuatan jalan kereta api di Laos dan Thailand. Perdagangan bebas antara China dan ASEAN yang mulai berlaku tahun lalu telah memangkas tarif dari hampir semua barang dagangan. Dalam hal ini, China berkehendak mengikat para tetangganya ke dalam situasi ekonomi dengan bobot yang strategis. Partisipasi aktif Indonesia dalam ASEAN mengalami pasang surut dan mengalir berdasarkan pengalamannya dalam perspektif geo-politik dan geo-ekonomi. Indonesia selalu berusaha membawa ASEAN lebih

94

tinggi. Pada 1976 di bawah chairmanship Indonesia dikemukakan landasan yang kokoh bagi ASEAN melalui Bali Concord I. Pada 2003, sekali lagi, Indonesia mampu memberikan landasan yang kokoh untuk mentransformasikan ASEAN menjadi organisasi berorientasi pada komunitas (rule-based and community oriented organisation) melalui Bali Concord II. Transformasi terakhir ASEAN sejalan dengan pembangunan dan kepentingan Indonesia. Bagaimanapun, transformasi ASEAN dipengaruhi oleh sejumlah kemajuan yang dicapai Indonesia dalam perjalanannya sebagai bangsa (Directorate of ASEAN Political and Security Cooperation). III. Presiden SBY yang secara resmi mengumumkan kepemimpinan Indonesia 2011 pada upacara penutupan ASEAN Summit ke-17 di Hanoi, 30 Oktober 2010 membawa pula agenda kerja berupa demokrasi, HAM, dan pemberantasan korupsi. Tiga hal ini sangat berkaitan dengan sikap hidup manusia yang harus ditanamkan sejak dini. Kebebasan berpendapat yang merupakan inti dari demokrasi harus diimplementasikan dengan memberikan pada anak kebebasan untuk berdiskusi baik dalam keluarga maupun di sekolah. Sistem pendidikan kita yang lebih menjurus pada menghapal dan tidak pada observasi mandiri dan keleluasaan untuk bertanya harus diubah agar pada waktu mereka dewasa mereka paham arti kebebasan berpendapat. Agenda Kerja: Demokrasi, HAM dan Korupsi

Sekalipun Indonesia mendapat pengakuan internasional akan kecepatannya berbalik dari rezim otoriter ke era demokrasi, tetapi kualitas demokrasi yang dicapai baru sebatas kelengkapan perangkat institusional dengan Pilpres sampai Pilkada dan Pilwara4nya. Dalam implementasinya, demokrasi liberal ala Indonesia memerlukan banyak sekali pembenahan. Sampai saat ini orang awam menilai perwujudan demokrasi adalah kebebasan melaksanakan demonstrasi jika putusan tidak sesuai dengan kehendak. Ditambah dengan kemiskinan yang
Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Wakil Rakyat

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

masih luas, demonstrasi menjadi suatu event yang dapat direkayasa. Calon-calon yang kalah dalam pemilihan umum dengan mudah dapat mengorganisir demonstrasi, sehingga masyarakat menilai memang ada kecurangan dalam Pemilu. Demokrasi seharusnya diiringi dengan sikap sportif menerima kekalahan. Demonstrasi bukan lagi murni sebagai ajang mengeluarkan pendapat karena pendemo mudah dibayar walaupun dalam nominal yang hanya Rp 10,000 Rp 25,000 per orang. Fenomena membayar untuk mendapatkan sesuatu yang diingini ini sebenarnya telah dimulai ketika Orde Baru berkuasa. Kita tentu belum lupa dengan istilah serangan fajar yang dengan mudah membeli/ mengalihkan suara pemilih dengan sebuah amplop ataupun sekotak sembako yang dilakukan pada pagi hari sebelum pencoblosan (fajar). Ketika masih menganut sistem tiga partai, orang yang sama mengenakan tiga kaos berbeda pada saat kampanye. Untuk masingmasing keikutsertaan, mereka mengaku diberi kaos gratis dan uang. Sikap seperti ini telah terbentuk lama dan akhirnya membudaya, rakyat tidak pernah berpikir apa yang akan terjadi sebagai dampak keputusan ataupun pilihannya. Ketika era demokrasi dicanangkan, fenomena serupa terulang kembali. Mereka ikut dalam demo dan tidak peduli dengan tujuan demo tersebut. Kerugian ekonomi terkait praktik demokrasi yang serba cepat seperti yang dipaparkan di atas amat banyak dan jarang diekspose apalagi dihitung. Kerugian itu utamanya adalah biaya kampanye yang sebagian dibantu pemerintah, belum lagi moral hazard yang terjadi untuk mensukseskan calon yang diusung. Kemudian ada lagi demo pasca pemilu karena calon yang gagal tidak dapat bersikap sportif menerima kekalahan. Sebenarnya sementara menunggu kesiapan dan pemahaman masyarakat, pemilu dapat saja dilakukan di tingkat pemilihan presiden dulu, kemudian setelah beberapa tahun masyarakat lebih matang dapat dilakukan di tingkat propinsi untuk pemilihan gubernur. Kerugian ekonomi pasca pemilu tidak kalah besarnya dengan kerugian kampanye yang jor-joran. Pasca Pemilu

The Habibie Center

95

96

akan terjadi kolusi antara pemenang dan kalangan bisnis yang mendanai era kampanye5, akibatnya pertumbuhan dan pembangunan daerah sulit berkualitas.

ASEAN sering dikritik sebagai terlalu berorientasi elit. Hal ini setidaknya mengandung kebenaran. Penduduk ASEAN tidak merasakan apa-apa yang terjadi dalam wadah ASEAN. Kerjasama ataupun negosiasi tidak membawa manfaat apapun bagi mereka. Dengan agenda demokrasi, HAM dan pemberantasan korupsi, ASEAN akan lebih berorientasi pada manusia (people-centered association) yang harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Pemerintah Indonesia masih menyimpan sejumlah pekerjaaan rumah berupa masalah-masalah HAM yang sampai saat ini tidak terungkap tuntas (contoh: masalah Munir dan Trisakti).

Perubahan bagaimanapun harus dimulai dari diri sendiri. Masalah yang dihadapi Indonesia terkait langsung dengan manusia adalah adalah pekerja migran. Sebagai pemasok pekerja migran terbesar maka perlindungan dan bantuan terhadap hak-hak mereka merupakan persoalan yang harus dipikirkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Deklarasi hak-hak migran yang disepakati di Cebu pada 2007 dapat digunakan sebagai langkah awal. Isu ini tidak hanya penting bagi Indonesia melainkan seluruh warga ASEAN (Nugroho, 2011). Selain masalah pekerja migran, terkait dengan HAM, kemiskinan bangsa kita secara langsung menghilangkan hak-hak mereka untuk hidup tenang. Hak anak-anak untuk belajar belum sepenuhnya dapat dinikmati dengan merata. Akses terhadap kesehatan secara formal memang diatur dengan mekanisme yang baik; namun di lapangan masih banyak orang miskin yang tidak tertangani. Belum lagi hak untuk hidup sehat yang seolah tercerabut dengan ditemukannya Balita dengan gizi buruk, dan adanya warga yang meninggal karena kelaparan. Pada 2010 diberitakan bahwa jumlah penduduk Indonesia
P2E-LIPI banyak melakukan studi tentang masalah bisnis dan pilkada ini.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

dengan gizi buruk berjumlah 17.9%. Kemudian dari tayangan TV sekitar bulan Maret atau April 2011 ditemukan sebuah dusun di mana hampir separuh penduduknya idiot karena dari kecil makan makanan yang gizinya kurang. Ini semua adalah akibat kelaparan dan kemiskinan.

The Habibie Center

97

Akan halnya pemberantasan korupsi, mungkin benar kita sudah in the right track; namun dalam masalah ini terkesan adu kuat-kuatan. Korupsi terdapat dimana-mana di segala tingkat, dan di semua bidang, baik dalam bidang eksekutif, judikatif maupun legislatif. Tiga bidang pendukung trias politica yang menunjukkan adanya demokrasi; semuanya tidak luput dari aroma korupsi. Bentuk dan cara korupsi pun berkembang dan yang sedang dijaring sekarang adalah pencucian uang (money laundering) dengan contoh kasus Malinda Dee/City Bank. Pembicaraan informal dengan broker property mengungkapkan bahwa mereka sangat mudah menjual property pada saat sebelum ataupun segera setelah Pemilu. Dugaan mereka waktu itu adalah waktu di mana pencucian uang banyak terjadi.

Bagaimana caranya menampilkan diri sebagai contoh yang baik dalam pemberantasan korupsi sekaligus membawa citra bangsa yang positif dalam ASEAN, karena bagaimanapun Indonesia memegang kepemimpinan untuk tahun ini. Tabel 3 menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi negara-negara ASEAN, 2010; Human Development Index dan persentase responden yang menyuap untuk mendapatkan layanan. Tabel 3 ini sengaja menempatkan Indeks Persepsi Korupsi dengan Indeks Pembangunan Manusia dalam satu tabel, karena penulis berpendapat semakin baik pembangunan manusia, semakin kurang keinginan untuk melakukan korupsi.

98

Tabel 3: Indeks Persepsi Korupsi (CPI), Indeks Pembangunan Manusia (HDI) 2008, dan Persentase Responden yang Menyuap untuk Mendapatkan Layanan
Responden yang Menyuap utk mendpt Layanan (%)3 72 31 6 32 Index Persepsi Korupsi1 Index Pembangunan Manusia2 5.5 2.1 2.8 4.4 1.4 2.4 9.3 3.5 2.7 0.894 0.598 0.728 0.601 0.811 0.583 0.771 0.922 0.781 0.733

Negara

Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa Singapura memiliki skor HDI dan CPI yang tinggi, demikian pula halnya dengan Brunei Darussalam. Dalam Indeks Persepsi Korupsi, dengan nomor urut ke-110 dan skor 2.8 menjadikan Indonesia bukan negara yang patut dicontoh dalam pemberantasan korupsi. Hanya ada 4 negara yang indeks persepsi korupsinya di bawah Indonesia yaitu berturut-turut Vietnam, Filipina, Cambodia dan Myanmar. Jadi melihat pada daftar ini, untuk pemberantasan korupsi, Negara-negara ASEAN yang indeks CPI-nya buruk akan belajar pada Singapura dan bukan pada Indonesia yang memegang chairmanship. HDI untuk Indonesia yang dapat digunakan sebagai proxy untuk pembangunan yang berorientasi pada manusia juga tidak menduduki tempat di ranking atas. Hal terbaru dalam masalah korupsi di Indonesia adalah merebaknya pemberitaan adanya pejabat-pejabat Indonesia yang disuap oleh

Angka tidak ada Sumber: 1. Transparancy International. 2. Asean Statistical Yearbook, 2008. 3) Tjitoheriyanto, Priyono, 2010: 170
-

38 154 110 56 176 134 1 78 116

Score

Rank

IV. ASEAN dalam Tantangan Global

Dengan motto komunitas ASEAN dalam masyarakat dunia, Indonesia harus dapat membawa ASEAN menjawab tantangan global. Beberapa isu global yang menantang kepemimpinan ASEAN adalah masalah lingkungan hidup, keterbatasan sumberdaya alam, hambatan dalam perdagangan dunia, ketidakadilan yang masih dijumpai dalam praktekpraktek perdagangan, dan pola pertumbuhan ekonomi (Adi, 2007). ASEAN harus mengantisipasi perubahan-perubahan besar yang akan terjadi di dunia, perubahan yang mensyaratkan regionalisasi yang tangguh, karena ASEAN harus bersaing dalam perekonomian dunia yang saling berhubungan dan globalisasi. Makalah ini hanya akan mengambil contoh masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan perubahan iklim. Penyebab terjadinya perubahan iklim yang mulai dirasakan menganggu siklus pertanian dan kedatangan bencana demi bencana masih menjadi perdebatan kalangan ilmuwan. Sebagian menengarainya sebagai suatu fenomena alam, sedangkan sebagian lagi menganggap sebagai dampak dari industri yang eksploitatif. Dalam sektor pertambangan, manusia membongkar perut bumi dan
7

perusahaan multinasional. Diberitakan bahwa FBI Amerika Serikat sedang mendalami hasil penyelidikan terhadap sejumlah perusahaan AS yang terlibat suap dengan pejabat Indonesia. Sayangnya FBI tutup mulut tentang nama atau jumlah perusahaan yang menyuap dan pejabat yang disuap6. Dalam kasus Innospec yang sudah diadili pengadilan Inggris dan AS, Innospec Limited dari Inggris mengaku telah menyuap pejabat Pertamina, BP Migas dan sejumlah kementerian Negara berkaitan dengan penjualan tetra ethyl lead/ TEL yang digunakan dalam bensin bertimbal. Kasus yang seharusnya ditindak lanjuti oleh KPK ini tiba-tiba diserobot oleh kejaksaan7.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

99

6 AS memiliki Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang melarang perusahaan mereka melakukan suap di luar negeri. FBI hanya mengumumkan suatu kasus ke publik setelah kasus itu masuk proses persidangan.

Wawancara Republika dengan Teten Masduki, yang dimuat pada 12 Mei 2011

100

melenyapkan 300 trilyun ton minyak, 550 milyar ton batubara, 7500 trilyun cubfeet gas alam dalam periode 100 tahun. Dalam kurun waktu 1960-1985, manusia telah membuat gundul 40% hutan di muka bumi, dan Indonesia dinilai sebagai juara nomor satu dalam perusakan hutan. Keterbatasan sumber daya alam ini mendorong manusia untuk mencari energi alternatif yang terbarukan (renewable). Kemudian terkait dengan industri manufaktur, proses produksi memberikan polusi pada lingkungan, limbah pabrik merusak dan meracuni air bersih, ditambah lagi dengan produk-produk penunjang gaya-hidup seperti AC, mobil, kulkas yang semuanya ini memberi kontribusi pada efek rumah kaca (Jusmaliani, 2008). Berbagai upaya dilakukan untuk mencari jalan keluar mengatasi masalah lingkungan hidup ini. Data mengenai kawasan lindung dan emisi CO2 dalam tabel 4 dapat ditafsirkan sebagai upaya ataupun kepekaan suatu negara terhadap perubahan iklim yang terjadi. Tabel 4: Kawasan Lindung dan Emisi CO2
Kawasan Lindung (% dari kawasan yang ada1, 2006 1.5 29.7 3.93 12.7 4.8 Negara Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam Emisi CO2 (per cap metric ton), 2004 24.0 0.0 1.7 0.2 7.5 0.2 1.0 12.3 4.2 1.2

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook, 2008, diolah (Data 1 diperoleh dari website Millenium Development Goals)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

V. VA.

Dari tiga isu yang dibahas dalam tulisan ini, maka kemajuan ke arah percepatan integrasi ASEAN tampaknya berjalan cukup baik, sekalipun disparitas antarnegara perlu lebih diperhatikan dan dicarikan jalan keluarnya. Asia tidak melupakan AMF dan kasus ini menguat dengan kesulitan reformasi tatakelola IMF. Berdirinya CMIM tahun lalu dan AMRO baru-baru ini akan mempercepat jalan ke arah AMF. Integrasi internal Asean akan menjadi lebih kuat dan tinggal menunggu waktu untuk mendapatkan single currency semacam Euro.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

101

Kemudian isu global juga harus ditangani bersama antaranggota. Ketidakadilan dalam perdagangan yang masih ada patut dihindari, kelangkaan sumberdaya alam ditangani melalui berbagai inovasi dan mengubah gaya hidup. Isu agenda kerja yang diusung Indonesia perlu mendapat perhatian lebih, karena dalam tiga hal tersebut: demokrasi, HAM dan korupsi kinerja Indonesia tidak tergolong prima melainkan sedang-sedang saja. Ketua tentunya tidak hanya berperan koordinatif, melainkan juga memberikan contoh yang baik. Untuk ini pekerjaan rumah Indonesia berkaitan dengan tiga hal tersebut masih bertumpuk.

Pada tahun 2011 Indonesia akan membawa kembali kontribusi yang konkrit dan bermanfaat melalui inisiatif ASEAN beyond 2015, di mana ASEAN setelah 2015 diharapkan kompetitif, adil, inclusive, hijau, berkesinambungan dan memiliki ketahanan. Pada 2022 kita akan mendapatkan ASEAN yang berbicara dengan peran yang lebih kompak (cohesive) dalam berbagai isu global. Selain itu penting pula jika masyarakat ASEAN merasa memiliki dan lebih berpartisipasi dalam ASEAN. Tampaknya Indonesia ingin mengulang lagi keberhasilan pada Bali Concord I dan Bali Concord II. Apakah akan tercipta Bali Concord III dimana kepemimpinan Indonesia akan membuat gebrakan baru

102

(breakthrough)? Sesungguhnya, kita ingin memberikan kata ya sebagai jawabannya. Namun uraian di atas mengisyaratkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan Indonesia di dalam negerinya sendiri, utamanya dalam agenda kerja yang diusung tersebut. Bagaimanapun ketua atau pimpinan selayaknya menjadi panutan. VB. Saran: Perspektif Ekonomi

Hal penting lainnya adalah hendaknya Indonesia selalu berpikir tentang cost dan benefit dalam setiap putusan yang diambilnya. Pertimbangan ekonomi ini sampai kapan pun amat penting. Jika kita cermati kejatuhan dan keberhasilan berbagai bangsa besar semuanya disebabkan faktor ekonomi. Bangsa kita telah kehilangan momen berharga pada awal reformasi 1997 dengan memberikan prioritas pertama pada pembenahan politik dan ketaatan pada IMF. Pilihan pada perubahan politik memang membawa kita dengan pesat pada demokrasi liberal, sampai-sampai Indonesia mendapat pujian sebagai negara yang dengan cepat dapat mengadopsi kebebasan ini. Akan tetapi faktor-faktor lingkungan yang belum siap menyebabkan demokrasi ini menyedot banyak sekali dana dalam bentuk berbagai Pemilu yang diadakan sampai tingkat kabupaten dan berbagai pengeluaran lainnya yang jauh dari motto people-centered. Integrasi regional tidak boleh mengabaikan faktor ekonomi. Uraian di muka menunjukkan bagaimana Uni Eropa yang semula bermotif politik pada akhirnya berorientasi pada ekonomi dan begitu pula ASEAN yang semula hanya menjaga stabilitas kawasan, kemudian menjadi kepentingan ekonomi. Contoh pada level negara adalah Turki yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa. Namun saat ini sebagian masyarakat Turki tidak lagi menginginkan untuk bergabung dalam UE dengan alasan yang sangat ekonomi rasional, yaitu bahwa pendapatan nasional mereka di atas pendapatan nasional Uni Eropa. Jadi tidak ada lagi manfaat integrasi? Di samping itu, memanfaatkan secara optimal masa kepemimpinan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

adalah sesuatu yang harus dilakukan Indonesia, utamanya manfaat ekonomi. Manfaat nyata yang harus diraih adalah agenda ASEAN sendiri dengan berbagai pertemuan dan summit yang direncanakan akan disebar ke seluruh daerah, sehingga memberi efek positif pada pendapatan daerah. Sebelum ada piagam ASEAN tahun 2008, jumlah pertemuan sekitar 40. Setelah piagam ASEAN jumlahnya meningkat menjadi 450 dan sampai akhir 2010 sudah ada 460 pertemuan8. Ajang pertemuan secara langsung dapat dimanfaatkan untuk sektor pariwisata. -oooOooo-

The Habibie Center

103

Daftar Pustaka

Asean Secretariat. 2008. ASEAN Statistical Yearbook, 2008. Hidayat, Agus Syarip. 2008. ASEAN Economic Community (AEC): Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia, dalam Yaumidin, Umi Karomah (ed.), 2008, Hubungan Kerjasama Ekonomi Antar Negara di Kawasan Asia Pasifik, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Idris, Faisal Nurdin. 2010. Understanding the Interplay between the European Integration and Political and Policymaking Process, Jurnal Kajian Wilayah: 1 (2): 277-291 Jusmaliani. 2008. Bencana dalam Pandangan Islam, Masyarakat Indonesia XXXIV (1): 1-23 Kementerian Luar Negeri. 2011. Indonesiaa Vision as The 2011 ASEANs Chair; diunduh dari http://asean2011.kemlu.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=265%3Ain donesias-vision-as-the-2011-aseans-chair&catid=86%3Ahar dnews&Itemid=109&lang=en, 19 April 2011. Nugroho, Bambang Hartadi. 2011. Challenges for Indonesia as ASEAN chair, The Jakarta Post , Jan.6, 2011
Menurut Ngurah Swajaya, wakil tetap RI yang menjadi chairman ASEAN

2011.

104

Panitchpakdi, Supachai. 2011. Visions and Prospects for East Asian Economic Integration, speech at Global Korea 2011: East Asia in the World - Prospects and Challenges, South Korea 24 February 2011 diunduh dari http://www.unctad.org/ Templates/webflyer.asp?docid=14602&intItemID=3549&lan g=1 Diakses, 11 April 2011 Perutusan Republik Indonesia untuk Masyarakat Eropa, Sejarah Pembentukan Uni Eropa, http://www.indonesianmission-eu. org/website/page943418664200310095958555.asp, Diakses 20 Mei 2011 Rana, Praduma. 2011. Asian Monetary Fund: Getting Nearer, http:// bakriecenterfoundation.com/news/read/112/AsianMonetary-Fund-Getting-Nearer Research Center for Regional Resources LIPI. 2007. European Regionalism and The Political Economy of The Netherlands, LIPI-Press Salazar, Lorraine Carlos and Sanchita Basu Das. 2007. Bridging the ASEAN Developmental Divide: Challenges and Prospects, ASEAN Economic Bulletin, Vol.24, No.1: 1-14 Tjiptoherijanto, Priyono. 2010. Bureaucratic Reforms in Four Southeast Asia Countries, Jurnal Kajian Wilayah 1 (2): 168189 UNDP. 2009. World Development Report 2009 http://www.highbeam.com/doc/1G1-164111517.html, Bridging the ASEAN developmental divide: challenges and prospects. (Association of Southeast Asian Nations) http://findarticles.com/p/articles/mi_hb020/is_1_24/ ai_n29348719/, Bridging the ASEAN development divide: a regional overview

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

105

KESIAPAN USAHA KECIL MENENGAH DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA DAN PASAR TUNGGAL ASEAN 2015 Dean Y. Affandi Staf Pengajar, Universitas Indonesia Email: bpkdean@gmail.com

Abstract The contribution of small scale industries (SMEs) to the national development of Indonesia is significant. The SMEs role is sometimes vital, so it is necessary for the government to support their business. The government has to take the role of issuing policies and building infrastructure that support the industries in general, and particularly the SMEs. The 2015 ASEAN single market would be a good opportunity for Indonesia to develop stronger and more competitive SMEs, but, the government is still to work hard from now on to convert the opportunity into benefits for the SMEs. Kata Kunci: Perdagangan Bebas, UKM, infrastruktur, masyarakat ekonomi ASEAN I. Pendahuluan

Liberalisasi Perdagangan telah meningkatkan interpendensi dan intensitas kerjasama antar negara, namun pada saat yang sama juga meningkatkan iklim kompetisi secara global. Selama beberapa dekade terakhir ini, tren regionalisme semakin meningkat, terutama dalam kerangka kerjasama ekonomi.Integrasi ekonomi regional ASEAN

106

diharapkan dapat meningkatkan kondisi perekonomian kawasan secara menyeluruh. Sebagai stabilisator perekonomian nasional maupun regional, sektor UKM akan menghadapi tantangan yang lebih berat, terutama dari kalangan pengusaha asing. Dalam pembahasan tentang UKM, kesuksesan Cina dalam mengembangkan sektor UKM-nya secara global tidak dapat dikesampingkan, integrasi ekonomi ASEAN juga tidak terpisahkan dari peran Cina. Di satu sisi, integrasi ekonomi akan meningkatkan iklim kompetisi regional, namun di sisi lain integrasi ekonomi juga perlu direalisasikan untuk menghadapi pengaruh ekonomi Cina di kawasan terutama sejak dimplementasikannya perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak Januari 2010. Dalam rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN, terdapat empat karakterisitik utama, yaitu kebebasan arus barang dan jasa, kebebasan arus tenaga kerja dan kebebasan arus modal. Penerapan pasar tunggal ini dapat dipandang sebagai peluang (bertambahnya pangsa pasar) sekaligus ancaman (banjirnya produk asing yang lebih kompetitif) bagi kalangan usaha domestik, terutama sektor UKM.

Apabila dilihat dari sudut pandang kebijakan, daya saing sektor UKM Indonesia secara regional masih lebih rendah dibanding sektor UKM Thailand dan Malaysia. Jika ingin bertahan dalam kompetisi regional maka Pemerintah Indonesia dapat mengikuti pengembangan sektor UKM Cina yang didukung penuh oleh negara, Indonesia perlu merumuskan cetak biru dan strategi pengembangan UKM yang lebih selaras dengan prinsip liberalisasi perdagangan. II. Banyak kalangan di Inonesia yang menyatakan sikap pesimis terhadap peluang dan daya saing Indonesia dalam liberalisasi perdagangan, khususnya dalam menghadapi Cina dan Pasar Tunggal ASEAN 2015. Pada umumnya, usaha besar sudah memiliki akses terhadap sarana Sekilas Mengenai UKM Nasional

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

dan prasarana industri yang kondusif, sehingga lebih berpeluang untuk meraih keuntungan dari mekanisme Pasar Tunggal. Nilai ekspor non-migas dari sektor usaha besar mencapai 79,72 persen pada tahun 2005 (BPS, 2007). Dengan demikian, peran usaha besar dalam perdagangan internasinal Indonesia cukup signifikan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa jumlah perusahaan yang tergolong usaha besar di Indonesia hanya 0,02 persen dari total usaha domestik. Sebagian besar unit usaha di Indonesia (99,98 persen) tergolong jenis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) (BPS, 2007). Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor UKM Indonesia tahun 2010, mencapai 95,53 persen terhadap jumlah total lapangan kerja yang tersedia. Pada tahun 2010, sektor UKM Indonesia menyumbangkan 54,2 persen dari total PDB (produk Domestik Bruto) nasional, sementara sisanya, yaitu sekitar 46,7 persen merupakan kontribusi sektor Usaha Besar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan UKM merupakan salah satu faktor yang signifikan bagi perekonomian nasional, terutama dalam menjaga kestabilan sosial dalam negeri. Potensi UKM dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan peran UKM dalam pembagunan perekonomian nasional merupakan beberapa aspek penting yang melatarbelakangi perlunya pengembangan dan pemberdayaan UKM di Indonesia. Stiglitz (2005) mengemukakan bahwa usaha kecil seringkali berperan sebagai tulang punggung masyarakat, maka keberadaan dan perkembangannya layak mendapatkan perhatian pemerintah. Dalam hubungan antara UKM nasional dan perdagangan internasional, Pasar Tunggal ASEAN 2015 dapat dilihat sebagai peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi sektor UKM dalam negeri.

The Habibie Center

107

Peluang, karena konsep Pasar Tunggal ASEAN 2015 sebagai single market dan single production base memberikan kesempatan bagi sektor UKM untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Hal ini berarti, Pasar Tunggal ASEAN memberikan kesempatan bagi UKM nasional

108

untuk meningkatkan peran, bukan hanya sebagai produsen tunggal, tetapi juga sebagai supplier dan mitra kerja bagi perusahaanperusahaan multinasional. Selain kebutuhan terhadap berbagai fasilitas pendukung, faktor utama yang menetukan keberhasilan pengembangan UKM adalah negara dengan mengupayakan kebijakan pemerintah yang mampu meningkatkan daya saing UKM dalam negeri. Dalam pembahasan mengenai UKM sebagai aktor ekonomi (Non-State Enterprise) internasional, success story Cina dalam pemberdayaan UKM tidak dapat dikesampingkan. Pada tahun 2005 kontribusi sektor UKM Cina terhadap perolehan ekspor mencapai 68,3 persen, yang meliputi industri pakaian jadi, kerajinan dan mainan anak (Danmex China Business Resource, 2006). Masih terbatasnya akses modal, teknologi dan informasi merupakan sebagian kecil hambatan yang masih dihadapi oleh sektor UKM nasional dalam persaingan dengan Cina dan negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing sektor UKM, kebijakan dan insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan faktor yang paling berpengaruh. Seiring dengan komitmen pemerintah untuk turut serta dalam wacana penerapan Pasar Tunggal ASEAN dan pelaksanaan ACFTA, sebenarnya sudah sampai manakah kesiapan sektor UKM nasional dalam menghadapi tantangan global ini?
III.

Dari tahun ke tahun, peran UKM Indonesia terhadap perolehan PDB nasional cenderung stagnan, bahkan pada tahun 2009 sempat mengalami sedikit penurunan. Kontribusi sektor UKM pada PDB nasional tahun 2010 tercatat 53,85 persen sementara pada tahun 2009 tercatat sebesar 53,67 persen. Dalam perolehan PDB nasional, kelompok usaha kecil memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan usaha menengah, yaitu 37,62 persen untuk usaha kecil dan 15,55 persen untuk usaha menengah. Selebihnya,

Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Peran Sektor UKM dalam Perekonomian Nasional

yaitu 46,83 persen merupakan kontribusi kelompok usaha besar. Dalam perolehan nilai ekspor nasional tahun 2010, sektor UKM memberikan kontribusi sebesar 15,70 persen dengan perincian 3,89 persen dari kelompok usaha kecil dan 11,81 persen dari kelompok usaha menengah. Selebihnya yaitu sekitar 84 persen disumbangkan oleh kelompok usaha besar (Kemenneg KUKM, 2011).
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center

109

Sebanyak 99,98 persen jumlah usaha di Indonesia berasal dari sektor UKM, pada tahun 2010, sektor UKM menyerap 96,18 persen dari total angkatan kerja nasional. Sektor pertanian, perikanan, perhutanan dan peternakan memberikan kontribusi terbesar dalam penyediaan lapangan kerja dikelompok usaha kecil.Sementara itu dari kelompok usaha menengah, kontribusi terbesar bagi penyediaan lapangan kerja berasal dari sektor industri pengolahan (Kemenneg KUKM, 2011).

Pada tahun 2009, kontribusi sektor UKM terhadap perolehan investasi nasional mencapai Rp. 303,52 triliun atau sebesar 45,99 persen dari total nilai investasi. Pada tahun 2010, peran sektor UKM dalam nilai investasi nasional mengalami kenaikan sebesar Rp. 67,68 triliun, sehingga kontribusi UKM terhadap pembentukan investasi nasional mencapai 46,22 persen dari total nilai investasi. Sektor industri yang memberikan kontribusi terbesar dalam perolehan nilai total investasi di Indonesia adalah usaha pengangkutan dan komunikasi (Kemenneg KUKM, 2011). Secara umum, pengembangan sektor UKM di Indonesia tidak terpisahkan dari koperasi. Pemerintah membentuk Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada tahun 2001. Tugas utama Kementerian Negara UKM adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi kebijakan dibidang koperasi dan UKM. Dalam merumuskan Renstra Kementerian Negara UKM (Tabel 1), pemerintah sudah menyadari bahwa sektor UKM memiliki peranan penting dalam ketahanan ekonomi nasional. Sektor UKM menyediakan lapangan pekerjaan bagi segala lapisan masyarakat, memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan dapat membantu tercipatanya pemerataan distribusi pendapatan.

110

Arah Kebijakan 1. Mengembangkan sektor UKM dan usaha mikro

Tabel 1. Arah Kebijakan Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM Periode 2009-2014

2. Memperkuat aspek kelembagaan dengan menerapkan prinsip good governance dan berwawasan gender

Indikator Kebijakan Kontribusi sektor UKM yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing Kontribusi usaha mikro dalam meningkatkan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah Memperluas akses kepada sektor perbankan Memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perizinan Memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung

3. Memperluas basis dan kesempatan usaha untuk mendorong peningkatan ekspor dan lapangan kerja

4. Meningkatkan peran UKM sebagai produsen

Meningkatkan kolaborasi antara tenaga tenaga kerja terampil dan terdidik melalui penerapan teknologi Mengembangkan sektor UKM agribisnis dan agroindustri melalui pendekatan cluster Meningkatkan peran UKM dalam industrialisasi, linkage antar industri, percepatan alih teknologi dan peningkatan kualitas SDM Memenuhi kebutuhan masyarakat dan bersaing dengan produk impor

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

5. Membangun koperasi

lembaga

Sejak tahun 1994, setidaknya 16 kebijakan yang berhubungan dengan KUKM telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Kebijakankebijakan tersebut dirumuskan dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan presiden dan instruksi presiden. Dalam Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM 2009-2014, tercantum puluhan kebijakan dan program pengembangan KUKM, namun Renstra tersebut belum dapat dikategorikan sebagai cetak biru pengembangan UKM. Tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan yang jelas dan terarah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh sektor UKM. Perumusan Renstra tersebut tidak secara otomatis mendorong koordinasi antar departemen, karena sifatnya eksklusif dan tidak mengindikasikan adanya pembagian tugas yang jelas antar departemen, baik pusat maupun daerah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia pada dasarnya, belum memiliki grand strategy dalam pengembangan UKM. Dari sudut pandang makro ekonomi UKM, kinerja sektor UKM Indonesia dapat dikatakan cukup baik dalam perolehan PDB nasional, namun belum optimal dalam kegiatan perdagangan internasional.

Sumber: Menneg KUKM. Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM 2009-2014

Membenahi tatanan kelembagaan koperasi di tingkat makro, meso, mikro untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi koperasi Melindungi koperasi dari iklim persaingan yang tidak sehat Meningkatkan pemahaman dan kepedulian stakeholders terhadap kemajuan koperasi Meningkatkan kemandirian koperasi

111

112

Tabel 2 ini menunjukkan perbandingan penyerapan tenaga kerja oleh sektor UKM, kontribusi UKM terhadap PDB nasional dan kontribusi UKM terhadap perolehan ekspor nasional di Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Di antara keempat negara tersebut, sektor UKM Indonesia merupakan penyedia lapangan kerja terbesar, namun memiliki kontribusi yang paling rendah terhadap nilai perdagangan (ekspor) internasional. Kondisi tersebut menunjukkan rendahnya produktifitas sektor UKM Indonesia. Sektor UKM Indonesia juga masih sangat mengandalkan pasar dalam negeri sebagai target pemasaran utama. Sementara itu sektor UKM Cina, merupakan sektor UKM dengan kinerja terbaik dalam aktifitas perdagangan internasional. Di kawasan Asia Tenggara, kinerja UKM Thailand dan Malaysia dapat dikatakan masih lebih baikd dibandingkan dengan sektor UKM Indonesia. Tabel 2. Perbandingan Indikator Makro UKM Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia
Proporsi UKM terhadap Total Unit Usaha Nasional 99% 99.5% 60% s/d 70% 99.98% Penyerapan Tenaga Kerja Persentase terhadap PDB Nasional 60% 37.8% 32% 53.3% Sektor UKM Persentase terhadap Nilai Ekspor Nasional 68.3% 29% 19% 15.70%

Selain kenyataan diatas, tingkat daya saing Indonesia baik di level regional maupun dalam system internasional belum dapat menyamai daya saing Thailand dan Malaysia. Tabel 3 menunjukkan daya saing Thailand, Malaysia dan Indonesia dalam kurun waktu 2001 hingga 2006.

China Thailand Malaysia Indonesia

75% 80.4% 56% 96.18%

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

Tabel 3. Global Competitiveness Index Thailand, Malaysia dan Indonesia periode 2001-2006
Negara Thailand Malaysia Indonesia 2001 38 37 55 2002 37 30 69 Tahun 2003 2004 32 34 29 31 72 69 2005 33 25 69 2006 35 26 50

113

IV.

Sumber: World Economic Forum. http://www.weforum.org (diakses tanggal 3 Mei 2011) Hambatan Politis Indonesia

dalam Pengembangan UKM di

Timberg (2000) menyatakan bahwa hambatan pengembangan UKM di Indonesia justru disebabkan oleh sistem birokrasi dan situasi ekonomi politik dalam negeri yang kurang kondusif. Tidak adanya cetak biru pengembangan UKM yang konsisten membuat setiap kali terjadi pergantian kabinet dapat menciptakan kebijakan-kebijakan baru yang menyebabkan return to zero starting point, tidak ada kesinambungan kebjiakan antar periode pemerintahan. Timberg (2000) dalam artikelnya kembali menyatakan bahwa penyusunan kebijakan pengembangan UKM di Indonesia dipenuhi dengan kompetisi dan kepentingan-kepentingan politik yang melibatkan partai politik, interest group, akademisi dan institusi-institusi. Disebabkan sektor UKM belum memiliki wadah organisasi atau himpunan yang solid, para praktisi UKM mengandalkan organisasiorganisasi ini sebagai sarana aspirasi. Namun lebih lanjut, organisasi atau institusi-institusi yang mewakili UKM tersebut juga saling berkompetisi untuk menggolkan kepentingannya masing-masing (Timber, 2000). Dengan kata lain, kebijakan pengembangan UKM di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai pihak dengan kepentingan politik yang terpecah-belah. Konsentrasi untuk mengamankan kekuasaan mengakibatkan depolitisasi kebijakan sulit dicapai.

Hasil penelitian Timberg mengindikasikan bahwa setiap institusi (organisasi) mengadakan program pemberdayaan UKM dengan tujuan untuk mendapatkan jatah dana APBN, dana perbankan, publisitas dan client baru dalam pelaksanaan proyek. Setiap institusi saling berkompetisi untuk mendapatkan persentase keuntungan material dan dukungan politik. Pemerintah pusat melalui beberapa instansinya telah berupaya meningkatkan koordinasi antar institusi terkait, namun karena tidak ada keuntungan yang dapat diperoleh institusi (secara individu) melalui koordinasi, ada semacam keengganan untuk meningkatkan kolaborasi dan kerjasama internal. Penelitian lain yang dilakukan oleh ADB (Asian Development Bank) tahun 2002 juga mengungkapkan hal yang sama, yaitu terdapat banyak program promosi peningkatkan ekspor produk UKM yang saling tumpah tindih antar institusi dan lembaga pemerintah (Sandee dan Ibrahim, 2002). Hal tersebut merupakan salah satu penghambat utama dalam peningkatan daya saing sektor UKM dalam negeri. Persoalan lainnya yang perlu dikaji lebih lanjut adalah desentralisasi dan implikasinya bagi upaya pengembangan sektor UKM nasional. Di satu sisi, penerapan otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah setempat untuk merumuskan kebijakan pengembangan UKM yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik industri UKM yang beroperasi di wilayah tersebut. Namun, di sisi lain, desentralisasi dapat mempersulit upaya konsolidasi dan kooordinasi antar institusi, karena akan semakin banyak lembaga dan kepentingan politik yang terlibat dalam pemberdayaan UKM. Mengenai hal tersebut, Timberg (2000) berpendapat bahwa otonomi daerah dapat mendorong politisi untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakat setempat, namun desentralisasi juga dikhawatirkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih mengambil keuntungan dari sektor UKM. Sementara itu, hasil penelitian lainnya mengindikasikan bahwa secara umum, kebijakan finansial yang dikeluarkan oleh pemerintah kota dan kabupaten tidak mempengaruhi pengembangan sentra UKM di daerah tersebut secara signifikan (Deputi Bidang Pengkajian

114

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Sumberdaya UKMK, 2006). Dengan demikian, upaya pemberdayaan UKM di daerah masih sangat dipengaruhi oleh peran dan strategi pemerintah pusat. Sementara itu program dekonsentrasi kebijakan juga masih perlu dikaji lebih lanjut, karena untuk mewujudkan sektor UKM domestik yang berdaya saing regional dibutuhkan grand strategy yang jelas, serta kolaborasi dan koordinasi yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Kebangkitan Ekonomi Cina: Saatnya bagi Sektor UKM Nasional Mengambil Kesempatan? Rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN selain memberikan peluang yang lebih luas dalam memperoleh pangsa pasar, akses terhadap teknologi dan kemudahan pengembangan usaha, Pasar Tunggal ASEAN juga membawa tantangan tersendiri bagi sektor UKM dalam negeri. Berhasil atau tidaknya pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan ini akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan sektor UKM dalam negeri. Tantangan pertama, meningkatnya iklim kompetisi regional karena pada dasarnya negara-negara di kawasan memiliki produk-produk unggulan yang bersifat non-komplementer. Kondisi tersebut menyebabkan kalangan industri dan usaha di ASEAN memperebutkan pangsa pasar yang sama.

The Habibie Center

115

Kedua, dengan prinsip kebebasan arus barang dan jasa, Pasar Tunggal ASEAN juga berpotensi mendorong banjirnya produk impor di pasar domestik, bukan hanya dari negara-negara kawasan ASEAN tetapi juga produk impor dari Cina. Apabila sektor usaha domestik mengeluarkan produk yang kalah saing, mekanisme Pasar Tunggal justru akan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Ketiga, Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di ASEAN, sehingga bertambahnya pangsa pasar bagi Indonesia dalam Pasar Tunggal ASEAN kurang signifikan bila dibandingkan dengan

116

potensi petumbuhan pangsa pasar bagi Negara anggota lainnya. Proyeksi pertumbuhan pasar bagi Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN, yaitu sebesar 134 persen, sementara Malaysia 2000 persen, Thailand 717 persen dan Singapura 14.600 persen (Koesoema, 2002). Dari simulasi tersebut, tampak bahwa peluang Indonesia untuk menguasai pangsa pasar regional menjadi lebih sulit, terutama bila dibandingkan dengan pemain regional dengan GDP per kapita yang lebih besar seperti Singapura, Thailand dan Malaysia. Kurangnya daya saing kalangan usaha dalam negeri menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk pemasaran produk dan jasa-jasa di ASEAN.

Ketiga tantangan tersebut, mengharuskan sektor usaha untuk mulai mengarahkan kebijakan yang bersifat outward looking dan mempelajari perilaku konsumen dalam mendesain produkproduknya, baik konsumen domestik maupun konsumen regional.

Keempat, berhubungan dengan akses finansial dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Akses finansial merupakan salah satu kunci terpenting dalam kesuksesan UKM, namun sektor UKM Indonesia masih mengalami hambatan memperoleh akses modal, terutama dari institusi pemerintah dan perbankan nasional. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga formal bukan hanya disebabkan oleh factor lokasi namun juga terbentur pada aspek legalitas usaha dan administrasi. Dalam upaya pengembangan UKM, perlunya penerapan ICT tidak dapat dikesampingkan. Dengan ICT, UKM dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemasaran secara lebih mandiri, namun tingkat penggunaan ICT Indonesia masih merupakan salah satu yang terendah di level ASEAN. Meningkatnya kompetisi dari kalangan usaha manca negara, masih belum diiringi oleh upaya peningkatan daya saing industri domestik yang optimal. Ketika sektor industri negara-negara lain sudah mampu bersaing secara regional. Sektor usaha dalam negeri

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

Dalam menjawab tantangan diatas, sektor UKM dengan dibantu oleh pemerintah, perlu lebih mengupayakan pengembangan usaha secara internasional tanpa meninggalkan pasar domestik. Ada beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan sebagai landasan cetak biru pengembangan UKM nasional. Pertama, mempromosikan potensi yang dimiliki koperasi sebagai sumber pengadaan biaya bagi sektor UKM di daerah-daerah pedesaan. Disamping itu, pembentukan Bank UKM nasional juga perlu untuk dipertimbangkan, karena institusi perbankan lebih dapat diandalkan sebagai sumber modal bagi kalangan usaha. Kedua, mengembalikan kontrol pemerintah pusat terhadap perumusan kebijakan UKM dan proses implementasi daerah. Dalam hal ini, dekonsentrasi kebijakan UKM dalam rangka desentralisasi (otonomi daerah) perlu ditinjau ulang, karena berdasarkan pengalaman pemerintah Cina dalam menangani UKM, peran negara amat dibutuhkan. Ketiga, pemerintah Indonesia perlu mempererat hubungan antara sektor swasta dan pemerintah, serta mempublikasikan informasi mengenai kebijakan UKM secara transparan, jelas dan komunikatif sehingga dapat dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Keempat, pemerintah perlu mengambil pelajaran dari strategi branding Malaysia di forum-forum internasional, pemerintah harus secara aktif memperkenalkan diri khas budaya dan produk-produk Indonesia. Kelima, pemerinta perlu merestrukturisasi program-program pengembangan sentra UKM yang selama ini belum dikelola secara optimal. Cetak biru UKM nasional perlu dirancang sedemikian rupa agar

masih menghadapi kesulitan dalam mempertahankan pangsa pasar domestik yang kini juga menjadi target pasar sektor industri asing. Pemerintah Indonesia harus dapat melihat celah pasar potensial di tingkat domestik maupun regional, kebijakan pro aktif dan strategi yang tepat sasaran merupakan gerbang utama yang dapat mendorong peningkatan daya saing UKM secara regional.

The Habibie Center

117

118

dapat dijadikan sebagai acuan program pengembangan UKM bagi seluruh instansi dan lembaga yang terkait dengan pengembangan UKM. Blueprint UKM yang terintegrasi juga dapat meminimalkan resiko timpang tindih kebijakan antar instansi pemerintah. V. Pengaruh Cina di ASEAN semakin meningkat dengan diimplementasikannya ACFTA, kerjasama ini dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi ASEAN dalam memperluas pangsa pasarnya. Sementara itu, keberhasilan Cina dalam mengembangkan sektor UKM-nya dapat menjadi semacam faktor pendorong dalam pemberdayaan UKM di ASEAN. Namun demikian, faktor kekuatan ekonomi Cina juga menghadirkan beberapa tantangan bagi negaranegara ASEAN secara regional. Pertama, Cina merupakan pesaing terberat ASEAN dalam memperoleh FDI.Sejak tahun 1996, Cina menggeser posisi ASEAN sebagai tujuan utama investasi asing dalam kelompok negara-negara berkembang. Cina juga sudah tumbuh sebagai bagian dari jaringan produksi global. Peran Cina dalam global supply chain dan kerjasama ACFTA dapat membuka peluang bagi ASEAN untuk bersama-sama dengan Cina berperan sebagai basis produksi regional yang berpengaruh dalam system internasional. Kedua adalah perseteruan politik yang terjadi di ASEAN dapat mengurangi potensi integrasi ASEAN dan lebih jauh, mengurangi daya tawar ASEAN secara regional, baik dalam menghadapi Cina maupun dalam forum internasional. Kebijakan Cina dalam mengorbankan ego politik dan perseteruan ideologinya dengan negara-negara barat, terbukti dapat mendukung kemajuan pembangunan Cina di tingkat domestik. Pemerintah Cina telah menyadari bahwa untuk memperoleh manfaat dari era globalisasi, aspek-aspek yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan, kerjasama Kerjasama ASEAN-Cina dan implikasinya terhadap Sektor UKM nasional

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

antar negara, kemajuan teknologi dan modernisasi harus lebih didahulukan. Ketiga, dalam menghadapi ASEAN, Cina tidak hanya menggagas pembentukan ACFTA, namun juga merencanankan FTA bilateral dengan beberapa anggota ASEAN. Selama integrasi ekonomi belum terwujud, kerjasama bilateral yang lebih menguntungkan bagi negara-negara ASEAN secara individu, tentu dapat dengan mudah diprioritaskan. Keempat, defisit perdagangan Cina dengan negaranegara ASEAN+5 telah meningkatkan kepentingan ASEAN untuk mempertahankan Cina. Kondisi tersebut dapat mendorong negaranegara ASEAN untuk berjalan sendiri-sendiri dan mengedepankan kepentingan individu karena adanya persaingan untuk menguasai pasar Cina. Di sisi lain, ketergantungan ASEAN terhadap pasar Cina juga dapat memperkuat dominasi Cina di kawasan. Hubungan perdagangan Cina-ASEAN bersifat non-komplementer, hal ini membawa kita pada tantangan kelima, produk-produk Cina pada umumnya bersifat labor intensive, low value added part of production dan low prices. Tantangan-tantangan yang ada ini perlu dijawab oleh ASEAN dengan mendukung pengembangan UKM sebagai salah satu upaya untuk dapat berhadapan dengan Cina. Dominasi ekonomi CIna perlu diantisipasi dengan memperkuat komitmen negara-negara ASEAN dalam integrasi ekonomi. ASEAN juga perlu mempersiapkan strategi yang lebih bersifat praktis, dalam hal ini konsep perencanaan dan mekanisme implementasi Regional Production Network (RPN) perlu diupayakan secara maksimal dalam rangka mengupayakan komplementerisasi kawasan dalam menghadapi dominasi ekonomi Cina. Indonesia bersama-sama dengan Thailand dan Malaysia dapat berperan sebagao pelopor dalam upaya merealisasikan Jaringan Produksi Regional (RPN) UKM yang terintegrasi di kawasan Asia Tenggara. VI. Langkah ke Depan bagi UKM Nasional dalam menghadapi Regionalisme

The Habibie Center

119

120

Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, seperti Pasar Tunggal ASEAN, dominasi ekonomi Cina dan tantangan untuk mengedepankan kepentingan nasional, Indonesia masih perlu meningkatkan daya saingnya. Sektor UKM belum mendapatkan prioritas dalam cetak biru perekonomian nasional. Perekonomian Indonesia belum memiliki visi pembangunan yang berkesinambungan dan mandiri, sehingga terus menerus mengalami ketergantungan terhadap investasi asing. Sebagai perbandingan, Malaysia dan Thailand telah memiliki strategi pembangunan yang jelas dan terarah, sehingga lebih siap dalam menghadapi Pasar Tunggal ASEAN. Indonesia juga perlu memanfaatkan ASEAN sebagai sarana yang efektif dalam membendung kekuatan ekonomi Cina, Indonesia dapat berperan aktif sebagai leader ASEAN seperti yang dilakukan selama tahun 2011 ini. Hubungan perdagangan intra-ASEAN yang bersifat komplementer dapat dimanfaatkan untuk menghadapi produk-produk unggulan Cina yang bersifat non-komplementer terhadap ASEAN. Kesempatan Indonesia untuk meraih kesuksesan dari liberalisasi perdagangan di level regional ASEAN, akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dalam meningkatkan daya saing sektor usaha domestik, terutama kalangan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian, cetak biru UKM nasional perlu segera dirumuskan agar tercipata koordinasi yang berkesinambungan antar institusi pemerintah baik pusat maupun daerah. Selanjutnyam diperlukan benchmark nasional untuk menyeragamkan dan meningkatkan daya saing produk domestik agar sesuai dengan standarisasi regional dan internasional.

Dalam perumusan konsep pembangunan nasional, diperlukan cara pandang secara holistik, yaitu dengan merubah paradigma pembangunan tradisional menjadi lebih pragmatis. Paradigma pembangunan nasional (ND) tradisional yang secara umum merupakan fungsi dari MNCs (M), Industri Minyak dan Gas Bumi (MG), International Institution seperti IMF dari World Bank (II), Political Gain (PG), Kepentingan Kelompok (GI), Desentralisasi dan Dekonsentrasi

Kebijakan (DD), dan Ego Politik / Konfrontasi Regional (RC); perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek-aspek praktis dan pragmatis, sehingga paradigma baru pembangunan nasional. Secara umum ND merupakan fungsi dari Pengembangan UKM dan Usaha Berbasis Masyarakat (UKM), Industri Non-Migas (NMG), Fokus pada Regional Institution (RI), Political Reliance / Clean Government (PR), Kesejahteraan Sosial / Kepentingan Nasional (NI). Sentralisasi dan Konsentrasi Kebijakan (SK), Political Will / Kerjasama Regional (RCo), Perbaikan Infrastruktur (PI), Peningkatan Pendidikan (E), Law Enforcement (LE), Perbaikan Akses Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT). Dengan kata lain, perlu ada perubahan paradigma pembangunan perekonomian nasional dari formula matematika: NDt = t (M, MG, II, PG, GI, DD, RC) (1) menjadi: ND = t (UKM, NMG, RI, PR, NI, SK, Rco, PI, E, LE, ICT) (2) Cara pandang holistik dan pragmatis tersebut dapat dikatakan lebih relevan dan sinergis dengan kepentingan pembangunan nasional dan keikutsertaan negara dalam liberalisasi ekonomi. Dalam menghadapi perkembangan pembangunan ekonomi China dan Pasar Tunggal ASEAN 2015, Indonesia perlu mengejar ketertinggalannya dari negara negara, terutama dalam hal peningkatan daya saing. Belajar dari kesuksesan China, Thailand, dan Malaysia, upaya pengembangan sektor usaha domestik bukan merupakan persoalan teknis semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh factor kepemimpinan serta stabilitas social-ekonomi-politik dalam negeri. Daftar Pustaka -oooOooo-

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

121

Badan Pusat Statistik dan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2007. Indikator Makro UKM 2007. BRS No.17/03/Th.X (16 Maret 2007) Danmex China Business Resource. 2011. China SMEs Crucial to

122

Transnational Corporations World Industrial Chain. http:// www.danmex.org (diakses tanggal 2 Mei 2011) Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 2 Tahun I-2006 Koesoma, Bambang Warih. 2002. Indonesia dalam Proses Globalisasi Berkaitan dengan Kesiapan Menghadapi AFTA, Strategi Pemberdayaan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan Penegakan Sistem Hukum (ekonomi)/Law Enforcement. dalam Dialog Publik Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dalam Menghadapi AFTA melalui Penegakan Sistem Hukum Ekonomi Indonesia. Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya, 2002. Menneg KUKM.2011. Revitalisasi Koperasi dan UKM Sebagai Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan: Tahun Ketiga Kinerja Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2007 http://www. depkop.go.id (diakses tanggal 2 Mei 2011) Sandee, Henry dan Buddy Ibrahim. 2002. Evaluation of SME Trade and Export Promotion in Indonesia: Background Report. (ADB Technical Assistance 2002) Stiglitz, Joseph. 2005. Making Globalization Work: The Next Step to Global Justice. England: Penguin Group. Timberg, Thomas A. 2000. The Political Economy of SME Development Policy in Indonesia-the Policy Process, the Facts, and Future Possibilities. Paper presented at USAID Retreat, Bogor, Indonesia, 2000 World Economic Forum. 2011. http://www.weforum.org (diakses tanggal 3 Mei 2011)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

123

Resensi Buku ASEAN DI TENGAH DINAMIKA REGIONAL DAN GLOBAL Bawono Kumoro Peneliti the Habibie Center Email: bwnkmr@gmail.com Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Halaman : Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerjasama : Rahadhian T Akbar (ed) : Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI : Pertama, Maret 2011 : xxii + 234 halaman

Negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) baru saja menggelar hajatan besar berupa konferensi tingkat tinggi (KTT) di Indonesia. Penyelenggaraan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, tanggal 7-8 Mei lalu, turut mendapatkan perhatian luas dunia internasional, tidak hanya dari masyarakat Asia Tenggara. Memang, ASEAN kini tengah menjadi poros baru yang memikat negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Jepang, dan negaranegara Uni Eropa untuk menjalin kerjasama yang lebih erat. Di samping itu, asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini sedang

124

memasuki era baru pascapenandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh para negara anggota ASEAN pada tahun 2007 lalu. Piagam ini merupakan dokumen historis yang diharapkan dapat mengubah ASEAN menjadi organisasi berdasarkan hukum dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Meskipun demikian, pertanyaan mengenai efektivitas piagam tersebut dalam menjadi motor inspiratif yang kaya gagasan di masa mendatang masih terus terdengar kencang di dunia internasional. Optimisme terhadap kiprah ASEAN dan kehadiran Piagam ASEAN harus dikalkulasi dengan baik dan cermat. Masih segar dalam ingatan tatkala pada bulan Agustus 2009 lalu pemerintah Indonesia kecewa karena ASEAN belum juga mampu merumuskan konteks pertimbangan apa yang akan dijadikan sebagai standar utama bagi sanksi atas pelanggran hak asasi manusia (HAM) di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan ASEAN yang kini telah bersinergi dengan tiga negara raksasa ekonomi di kawasan Asia Timur China, Korea Selatan, dan Jepang memang penuh dengan inisiatif regional di berbagai kegiatan, seperti bisnis, investasi, dan peningkatan usaha kecil dan menengah (UKM). Kerjasama yang terjalin dengan ketiga negara tersebut selaku mitra dialog merupakan salah satu kekuatan ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara. Tema itulah yang menjadi pembahasan utama buku berjudul Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerjasama. Buku yang disusun bersama antara para peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) dan Universitas Indonesia ini merupakan kumpulan naskah mengenai sejumlah tema besar ASEAN, terutama terkait dengan berbagai perkembangan mutakhir di tingkat regional dan global, seperti

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

hubungan ASEAN-Jepang, hubungan ASEAN-India, tata politik dan ekonomi regional ASEAN-China, dan lain-lain.

125

Peneliti P2P-LIPI, Yasmin Sungkar, melalui tulisan berjudul Hubungan ASEAN-Jepang: Aspek Ekonomi Politik Internasional memotret dinamika relasi yang terbangun antara negara-negara ASEAN dan Jepang selaku salah satu aktor ekonomi politik dominan di Asia Timur. Lebih jauh, Yasmin mempertanyakan, mengapa Jepang tidak berhasil membangun kekuatan pengaruh politik yang bersifat regional di Asia Tenggara? Kemajuan dan hubungan ekonomi Jepang yang pesat dan dinamis ternyata belum berdampak optimal bagi peningkatan peran dan pengaruh politik negara Matahari Terbit tersebut. Dapat dikatakan Jepang kurang mampu mengartikulasikan visi tatanan ekonomi politik internasional yang bercorak khas Jepang. Jepang memiliki keinginan kuat untuk membesarkan ASEAN agar tidak lagi dijadikan wilayah tekanan imperialis Barat. Jepang dapat menjadikan warisan sejarah masa lalu sebagai modal untuk memajukan ASEAN dan negara-negara Asia lain secara lebih tulus daripada kekuatan hegemonik negara-negara Barat. Jepang tidak saja menyediakan pasar bagi produk ekspor negara-negara ASEAN, tapi juga membangun basis manufaktur dan melakukan alih teknologi yang dibutuhkan oleh negara-negara ASEAN. Sementara itu, pada bagian lain buku ini terdapat pembahasan mengenai Kerjasama Pembangunan Vietnam dengan Korea yang disajikan secara lugas dan menarik oleh Peneliti P2P-LIPI Afadlal. Pembahan menganai masalah ini terasa sangat menarik tidak hanya karena posisi Korea Selatan sebagai salah satu penggerak ekonomi di Asia Timur, tetapi juga karena selama beberapa tahun terakhir ini Vietnam mengalami kemajuan berarti dalam relasi ekonomi dengan

126

negara-negara Asia Timur. Sejumlah kalangan melihat potensi dan performa perdagangan Vietnam berada beberapa tingkat di atas Indonesia. Vietnam memang sangat berambisi untuk melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri dan perdagangan mereka dengan perkembangan baru di regional Asia Timur dan global. Pragmatisme politik telah berhasil mengatasi kuatnya pengaruh ideologi komunis di mana motivasi ideologi tidak mampu menggerakkan kekuatan produktif masyarakat. Pembuatan kebijakan ekonomi kini lebih berbasis kepentingan nasional, tidak lagi peduli terhadap substansi ideologi sosialisme. Kepemimpinan pragmatis memiliki legitimasi kuat karena mengemban tugas pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Untuk pembahasan mengenai kerjasama ASEAN-India peneliti hubungan internasional Universitas Indonesia, Rahadhian T Akbar, mengulas tentang bagaimana negara-negara ASEAN masuk ke dalam radar kepentingan dan kebijakan luar negeri India. Mengutip Sushila Narasimhan, Rahadhian memaparkan dua fase penting look east policy India terhadap negara-negara ASEAN. Fase pertama adalah saat kebijakan tersebut dikeluarkan dengan fokus utama untuk melakukan revitalisasi hubungan India dan negara-negara Asia Tenggara yang sempat memburuk pada masa Perang dingin. Fase ini ditandai dengan peningkatan kerja sama kedua belah pihak pada sektor ekonomi. Sementara itu, fase kedua look east policy ditandai dengan perluasan cakupan atau dimensi kebijakan tersebut. Pada fase ini, look east policy kepada negara-negara Asia Tenggara memiliki fokus utama pada pembangunan relasi lebih dalam dengan negara-negara Asia Tenggara di berbagai sektor kerja sama, seperti ekonomi, politik, dan keamanan. Pelaksanaan look east policy inilah yang kemudian menjadi dasar bagi kebijakan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

luar negeri India terhadap ASEAN.

127

Hubungan ASEAN dan India merupakan hubungan yang bersifat bersifat timbal balik. Kedua belah pihak saling mempertimbangkan posisi strategis masing-masing. Namun, lingkaran strategis India bagi ASEAN tentu tidak sama dengan lingkaran strategis Jepang dan China terhadap ASEAN. Meskipun demikian, hubungan ASEANIndia tetap merupakan hubungan yang memiliki nilai strategis tinggi, terutama jika ditinjau dari aspek ekonomi. Tren perdagangan antara ASEAN dan India sepanjang tahun 1997-2007 terus mengalami pertumbuhan positif. Hal itu ditunjang oleh beberapa kerangka kerja sama kedua belah pihak yang mendapatkan perhatian khusus, seperti sektor barang, jasa, dan penanaman modal. Singkat kata, potensi pasar ASEAN tetap diperhitungkan oleh India. Masalah tata politik dan ekonomi regional ASEAN-China turut menjadi pembahasan utama di dalam buku ini. Peneliti P2P-LIPI, Ratna Shofi Inayati, memberikan titik tekan pembahasan pada masalah ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Kerjasama ACFTA merupakan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China yang mulai berlaku sejak awal tahun 2010 lalu. Akibat perjanjian perdagangan bebas itu produk ekspor China terus datang membanjiri negara-negara ASEAN. Bahkan, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa tidak luput dari membanjirnya produk-produk China yang dikenal sangat murah. Ada dua hal penting yang dapat diamati dari ulasan Ratna mengenai Tata Politik dan Ekonomi Regional ASEAN-China, ini: (1) China mengalami kemajuan pesat dalam beberapa hal, yaitu ekonomi, keamanan, dan kerja sama regional, dan (2) Seperti Jepang, China juga sangat berkepentingan terhadap ASEAN. Untuk sementara persaingan antara Jepang dan China belum dapat dikatakan intensif

128

mengingat struktur perdagangan kedua negara tersebut dengan negara-negara ASEAN tidak sama. Selama lima tahun terkahir, Jepang lebih berorientasi pada produk barang kelas menengah ke atas. Sedangkan China lebih memfokuskan perdagangan dan aktivitas bisnis pada barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dan produk manufaktur. Sebagai sajian penutup buku Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerjasama ini Anissa Mariana memberikan sebuah pandangan komprehensif mengenai hubungan antara ASEAN dengan Australia dan New Zealand. Melalui tulisan berjudul Faktor Ekonomi-Politik dalam Kerangka Kerjasama ASEAN, Australia, dan New Zealand: Indonesia sebagai Epicenter Geopolitik, penulis secara cermat memaparkan satu per satu hubungan negara-negara anggota ASEAN dengan kedua negara tersebut, baik sisi positif maupun negatif. Harus diakui bahwa perhatian dan kepentingan Australia dan New Zealand terhadap ASEAN tidak selalu stabil dan mengalami pasang surut selama 10 tahun terakhir. Faktor kepemimpinan di Australia dan perkembangan mutakhir ASEAN menjadi faktor utama yang sangat mempengaruhi pasang surut hubungan tersebut. Dibandingkan Jepang, China, dan Korea Selatan dapat dikatakan bahwa Australia dan New Zealand tampak lebih sensitif dalam melihat perkembangan ASEAN. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya perbedaan konteks latar belakang sejarah dan nilai-nilai etnosentrisme sehingga unsur kecurigaan sulit untuk dihapus secara total. Namun, hal itu tidak lantas menjadi penghambat bagi kelanjutan relasi kedua belah pihak. Hal itu antara lain dibuktikan melalui volume perdagangan ASEAN dengan Australia dan New Zealand yang terus mengalami peningkatan.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

Ke depan perlu ada semacam jembatan budaya antara ASEAN dan kedua negara tersebut. Kesamaan aspek geografis yang mulai diikuti dengan kerja sama ekonomi harus turut diiringi kerja sama budaya. Diperlukan diskusi publik (intercultural dialogue) secara intensif dan berkala guna mengatasi perbedaan budaya dan idelogi antarkedua belah pihak. Selain itu, pertukaran pelajar dan pemberian beasiswa dari Australai dan New Zealand kepada negara-negara ASEAN yang notabene masih tergolong sebagai negara berkembang perlu lebih ditingkatkan. Akhirnya, kehadiran buku setebal 233 halaman ini patut mendapatkan apresisasi positif dari khlayak luas. Para kontributor telah menawarkan sebuah cara pandang yang segar dan luas dalam membedah sejumlah tema besar ASEAN, terutama terkait dengan berbagai perkembangan mutakhir di tingkat regional dan global. Dengan demikian diharapkan buku ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi para pemerhati ilmu hubungan internasional. -oooOooo-

129

Petunjuk Penulisan Naskah Jurnal Demokrasi dan HAM, The Habibie Center 1. Naskah ilmiah ditulis dalam format MS Word, huruf Times New Roman 12, spasi 1.5, panjang tulisan 20 - 30 halaman dalam bahasa Indonesia atau Inggris. 2. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa gelar, nama instansi (afiliasi), dan alamat email. 3. Referensi/Daftar Pustaka ditulis dengan menggunakan standar American Psychological Association (APA) Style. 4. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari 250 kata dalam satu paragraf. 5. Naskah harus disertai dengan kata kunci/keyword yang ditulis di bawah abstrak. 6. Isi naskah disusun dengan penomoran judul dan sub-judul secara konsisten, seperti: I, II, III .. A, B, C 1, 2, 3 a, b, c . 7. Setiap tabel dan gambar harus diberi nomor dan judul serta sumber dan tahun. 8. Naskah dikirimkan kepada Redaksi Jurnal Demokrasi dan HAM melalui alamat email: jurnaldemokrasi@habibiecenter.or.id

The Habibie Center Jl. Kemang Selatan no.98, Jakarta 12560, Indonesia Telp: 021 7817211 Fax.021 7817212 e-mail: thc@habibiecente.or.id, www.habibiecenter.or.id

Anda mungkin juga menyukai