Anda di halaman 1dari 4

TURUNAN KE DELAPAN = PENGEMIS ??? Hari ini, Sabtu, 03 September 2011, tepatnya sekitar pukul 20.

30 saya menyaksikan sebuah iklan di televisi. Iklan ini menceritakan tentang seseorang yang menelepon untuk memberitahukan bahwa besok ia akan bersilaturahmi... Besoknya, ketika sang tamu datang, ia membawa teman-temannya yang semuanya artis terkenal... Sang Tuan Rumah terheran-heran dan kemudian terjadilah percakapan: Tuan Rumah: kawanmu artis semua? (dengan wajah heran..) Tamu: keluargaku kan kaya tujuh turunan... (dengan wajah agak diangkat dan terkesan agak angkuh) Tuan Rumah: kok kamu ngemis? Tamu: (dengan wajah agak bloon) aku turunan kedelapan... Selanjutnya dari iklan ini adalah berisi kalimat-kalimat promosi produk yang menurut saya tidak perlu dibahas di sini, karena bukan itu yang akan disasar dalam tulisan ini. Mari kita telusuri apa maksud dari kalimat-kalimat percakapan di iklan ini. Menurut saya, sasaran utama pemilik iklan adalah membuat pemirsa tertarik dengan produknya sehingga akan laku terjual. Percakapan singkat di atas, yang menurut saya lucu ini hanyalah sebagai bumbu penyedap terhadap masakan utama. Tetapi justru yang membuat iklan ini menarik adalah percakapan tersebut, yang mampu membuat begitu banyak orang terbahak-bahak bila menyaksikannya. Pertanyaannya: Apa yang membuat orang terbahak-bahak bila menyaksikan percakapan ini? Jawabannya tentu saja ada di kebanggaan sang tamu terhadap keluarganya yang kaya tujuh turunan, yang kemudian dikonfrontasikan dengan keadaannya yang miskin bahkan mengemis karena ia merupakan keturunan kedelapan. Ironis memang bila menyandingkan semua artis dengan seorang pengemis. Yang membuat saya bertanya-tanya adalah bahwa artis-artis (lepas dari ini adalah iklan) masih mau bertamu bersama dengan seorang yang mereka ketahui sebagai pengemis (bertolak belakang dengan di dunia nyata atau mungkin ini hanya kepura-puraan hidup semata). Di sisi lain, tentu saja sang pengemis pasti akan sangat bangga dengan kehadiran artis-artis di sisinya (ini adalah sikap alami manusia yang disebut rakyat jelata). Logikanya sederhana, orang dengan pakaian mewah dan jabatan/pangkat tertentu tidak mungkin mau duduk makan dengan pengemis jika dalam keadaan normal. Tetapi pengemis, tentu saja akan dengan senang hati makan dengan siapa saja, dimana saja dan dalam keadaan apapun.

Jangan berhenti membaca.... kita masuk di kamar sebelah... Saya terus terang sangat tertarik dengan kalimat si pengemis: saya turunan kedelapan. Turunan kedelapan pengemis. Kesimpulan saya: orang ini mengemis karena kekayaannya telah habis dipakai oleh tujuh turunan yang mendahuluinya. Kasihan sekali dia... Tetapi, walaupun mengemis ia

tetap berteman dengan banyak artis. Hal ini mengindikasikan bahwa ia, tidak pernah rela meninggalkan pola hidup mewah tujuh turunannya yang lalu... ini menurut indikasi saya loch... Nah dari sini, bagaimana jika kita mengandaikan bahwa Sang Pengemis Turunan kedelapan) itu sebagai rakyat (akar rumput) Indonesia, sedangkan keluarganya (yang ketujuh, 6 yang lain telah berlalu) adalah pemerintah kita, dan para artis adalah kalangan bangsawan ataupun kalangan borjuis di Indonesia. Saat ini, turunan ketujuh sedang giat-giatnya menghabiskan kekayaan keluarga (hutan, tambang, laut dan sebagainya) dengan cara menjualnya kepada perusahaanperusahaan besar, pemilik modal, kapitalis-kapitalis Barat, yang dengan senang hati membelinya. Hasil penjualan ini kemudian dinikmati dengan berpesta-pora bersama para artis di lokalisasi-lokalisasi dengan kedok kunjungan kenegaraan, studi banding, pesta rakyat... Sisa-sisa pesta-pora ini kemudian disedekahkan kepada para pengemis yang dengan senang hati melahapnya, tanpa tahu bahwa mereka sebenarnya bisa mendapatkan lebih dari yang disedekahkan itu. Tenang.... tarik napas.... santai sejenak.... Marilah kita melihat ulah keturunan ketujuh ini:

Hutan tercemar limbah tambang yg mengandung bahan berbahaya dan beracun di sekitar Teluk Kao Halmahera Utara (Foto: Walhi Malut) Gambar di atas tentu saja tidak memiliki arti bagi turunan ketujuh karena mereka tidak akan pernah sampai di tempat itu.. tetapi bagi sebagian orang sangat istimewa dan membuat jumawa bahkan ada keinginan membunuh. Belum puas...? mari sy tunjukan yang agak lebih dasyat:

Kehancuran Pulau Gee di Kabupaten Halmahera Timur akibat penambangan Nikel sejak 1998 (Foto: Walhi Malut) Bahkan sebuah pulau bisa gundul seperti ini.... sungguh terlalu turunan ketujuh ini. Tentu saja sebagai pengemis, turunan kedelapan, yaitu rakyat tidak akan terlalu peduli dengan apa yang terjadi, karena pola pikir mereka sengaja dibelokan, dirasionalisasikan untuk menerima keadaan mereka sebagai pengemis, bisa makan hari ini aja sudah sangat disyukuri... Kemungkinan besar, mereka akan tergusur atau dengan kata lain diusir dari pondok-pondok kumuh mereka, baik itu di RSS (rumah sangat sederhana), kolong-kolong jembatan layang ibukota, bahkan dari hutan mereka, seperti terlihat di gambar ini:

Masyarakat Suku Togutil, Tobelo Dalam Halmahera Utara (Foto Istimewa: Walhi)

Mari kita masuki bagian akhir.... Sungguh ironi memang si pengemis yang berbangga dengan teman-teman artis-nya, dan tertegun malu karena mengemis karena merupakan keturunan kedelapan. Apa boleh buat itulah iklan he he he.... Tetapi bagaimana dengan dunia nyata di rumah kita? Mengapa kekayaan warisan orang tua harus dihabiskan oleh tujuh turunan, sehingga turunan kedelapan harus kelaparan dan mengemis? Bukankah kekayaan itu dapat dilestarikan, dinvestasikan, dan bukan dijual demi kenikmatan sesaat? Apakah pengemis ini akan terus mengemis sepanjang hidupnya? Bahkan nanti turunan kesembilan, kesepuluh dan seterusnya akan mengemis juga? Mari..., bergabunglah yang merasa diri turunan kedelapan... Turunan pengemis... Mari merubah nasib ini, apakah kau tidak bosan sebagai pengemis sampai setua ini?? Apakah kau tega melihat anak-anakmu mewarisi hasil ngemismu? Apakah engkau masih membanggakan pergaulan semu dengan teman-teman artismu? Tidakkah engkau dapat belajar dari hidupmu, dan berusaha mengembangkan diri..? Patahkanlah mitos tujuh turunan itu dan jadilah tuan di rumah sendiri. Mungkin itu butuh pengorbanan, butuh perjuangan..., tetapi itulah hidup... perjuangkanlah... Suatu saat, anak-anakmu akan dengan bangga berkata: Bapak Ibuku Pengemis, tidak punya rumah, terluntah-luntah, tetapi lihatlah... karena mereka mengemis.. aku, anaknya bisa jadi tuan di rumah sendiri!!

Anda mungkin juga menyukai