Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PERDAGANGAN INTERNASIONAL HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA CHINA

Disusun Oleh:

Emi Apulisa Br Sinuraya

09/283438/TP/9463

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA CHINA

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Di berbagai negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun, dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional turut mendorong Industrilalisasi, kemajuan transportasi globalisasi dan kehadiran perusahaan multinasional. Mulai tanggal 1 Januari 2010, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) diberlakukan. China beserta enam negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akhirnya bergabung ke dalam kawasan perdagangan bebas (FTA). Ini berarti, produk dari China akan membanjiri pasar domestik. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengatakan, setidaknya sekitar 400 kawasan perdagangan beroperasi pada tahun 2010. Hal ini menjadikan langkah awal menuju perdagangan global liberalisasi yang luas. China dengan penduduk sekitar 1, 3 Milyar dan daerah yang sangat luas menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan industri dan perdagangan. China seolah menjadi harapan besar untuk mendongkrak omset perdagangan industri, ibarat gula manis yang mampu menyedot semut-semut untuk mendatanginya. Kalangan Manager Eropa melihatnya dengan mata berbinarbinar, seolah-olah menawarkan peluang pasar yang tiada batasnya. Tuntutan untuk dekat dengan market, menjadi alasan bagi banyak perusahaan Jerman dan Eropa untuk berbondong-bondong membuka pabrik dan bekerja sama dengan China. Selain itu tekanan biaya produksi yang tinggi di Jerman, memperkuat keinginan mereka untuk memindahkan pusat produksi ke negara lain dengan upah yang lebih rendah. Melihat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan negara China, banyak pakar mengatakan sebagai hal yang fenomenal. Angka pertumbuhan China memang lebih cepat daripada yang diperkirakan oleh banyak kalangan. Menurut Majalah FOCUS, pada bulan Desember 2005 pemerintah China mampu mengangkat lagi GDP nya sebesar 285 Milyar Dollar, sehingga ekomoni China menempati peringkat ke 6 sedunia. Bila digabung dengan Hongkong, maka akan mampu menyamai USA, Jepang dan Jerman. Menurut Hong Liang dari Goldman Sachs, sejak 27 tahun terakhir perekonomian China mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,4%. Sedangkan GDP per kepala mengalami kenaikan sebesar 600%, yang merupakan kejadian pertama kali dalam sejarah dunia. Dengan sistem perekonomian yang export-oriented, China mampu menaikan nilai export dari 267 Milyar Dollar (2001) menjadi 762 Milyar Dollar (2005).3 Ekonomi China yang sangat beorientasi pada ekspor menjadi tantangan berat bagi negara-negara industri. Tekanan persaingan dari China yang naik dengan pesat tidak hanya di sektor tekstil, namun juga telah merambah industri elektronik, telekomunikasi bahkan otomotif dan transport. Sebagian Manager bahkan menyatakan

China is very dangerous dan menuntut pemerintah Jerman agar segera mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan ekonomi dalam negerinya. Namun reformasi politik Jerman dirasakan oleh beberapa kalangan berjalan sangat lambat. Sehingga gelombang penutupan pabrik-pabrik di Jerman selama beberapa tahun terakhir seperti tidak bisa dihindari. Demonstrasi serikat pekerja menentang penutupan pabrik dan PHK seakan menjadi berita sehari-hari di koran dan televisi Jerman. Setiap pekerja di Jerman merasa tidak yakin lagi akan masa depan pekerjaannya. Menurut hasil penelitian Forsa Institut di Berlin, setiap 5 pekerja merasa Stress karena takut terkena PHK. Sebagian perusahaan Jerman memindah-kan produksinya ke negara eropa timur, sebagian lagi ke negeri China atau India. Tetapi tidak semua perusahaan tersebut memiliki pertimbangan dan analisa yang cukup terhadap risiko di negara lain yang akan dihadapi. Yang sering menjadi pertimbangan utama adalah upah pekerja di Jerman yang relatif sangat tinggi, sehingga produknya yang mahal tidak mampu bersaing dengan produk China. Beberapa kalangan bahkan menganggap, Made in Germany tidak mampu bersaing lagi, Jerman bukan lagi Pusat Teknologi dan Inovasi.

II. TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

2.1 Teori Klasik Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage/ Absolute Cost: Adam Smith) Pandangan Teori Klasik berkembang pada abad ke-18. Pelopor teori ini di antaranya adalah Adam Smith. Pandangan ini berpendapat bahwa logam mulia tidak mungkin ditumpuk dengan surplus ekspor karena logam mulia akan mengalir dengan sendirinya melalui perdagangan internasional (price specie flow mechanism). Adam Smith menginginkan tidak adanya campur tangan pemerintah dalam perdagangan bebas, karena perdagangan bebas akan membuat orang bekerja keras untuk kepentingan negaranya sendiri dan sekaligus mendorong terciptanya spesialisasi. Dengan terciptanya spesialisasi maka negara akan menghasilkan suatu produk yang memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage). Dalam padangan kritisnya, Adam Smith mengemukan teori absolute advantage (keunggulan mutlak) tersebut, di mana negara akan memperoleh manfaat perdagangan inetrnasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negera ini memiliki keunggulan mutlak tersebut dan akan mengimpor barang bila tidak memiliki ketidakunggulan mutlak. Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value)4. Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-

satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, faktor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas.

2.2 Biaya Relatif (Comparative Cost: David Ricardo) Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu cost comparative produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency),5 suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan intemasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotetis di bawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage. Teori ini mencoba melihat keuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi: 1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya. 2. Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang. 3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran 4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh. Faktor produksi sama sekali tidak antar negara. Oleh karena itu ,suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi.

2.3 Teori Modern Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage: dari Model Hechsher & Ohlin); Menurut teori Heckscher - Ohin atau teori H - O, perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing negara. Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam mem-produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya. Teori Heckscher-Ohlin (H-O)6 menje-laskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah

secara intensif. Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah: 1. faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara. 2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.

2.4 Keunggulan Kompetitif (Competitive Advantage: Porter); Menurut Porter7, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang memiliki com.petitive advantage of nation dapat bersaing di pasar intemasional bila memiliki empat faktor penentu yang digambarkan sebagai suatu diamond Factor conditions adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini: 1. Human resources (SDM) 2. Physical resources (SDA) 3. Knowledge resources (IPTEK) atau (SDT) 4. Capital resources (Permodalan) atau (SDC) 5. Infrastructure resources (Prasarana) atau (SDI) Permintaan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa / perusahaan produk atau jasa yang dihasilkan-nya. Adapun yang dimaksud dengan "demand conditions" tersebut terdiri atas: 1. Composition of home demand 2. Size and pattern of growth of home demand 3. Rapid home market growth 4. Trend of international demand Untuk menjaga dan memelihara kelang-sungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga kontak dan koordinasi dengan pemasok (supplier), terutama dalam menjaga dan memelihara value chain. Strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningka-tan produktivitas, efisiensi dan efektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

III. NERACA PERDAGANGAN INDONESIA CINA.

3.1 Sekilas Tentang Hubungan Indonesia -China Menurut Kustia (2001)8 Hubungan diplomatik Indonesia-China dimulai pada tahun 1950. Hubungan awal ini belum memberikan hubungan yang produktif, karena situasi dalam negeri Indonesia dan China yang sedang disibukkan oleh proses rekontruksi dalam suasana revolusi. Hubungan diplomatik Indonesia-China dibekukan pada Oktober tahun 1967 setelah peristiwa G30S/PKI, disebabkan peran China dalam membantu PKI saat itu. Upaya-upaya China untuk membuka kembali hubungan diplomatik dengan Indonesia nampak pada tahun 1985-1988. Indonesia saat itu tidak segera memberikan tanggapan, karena peristiwa G30S/ PKI meninggalkan keraguan politik bagi Indonesia untuk normalisasi hubungan Indonesia-China. Dipulihkanya kembali hubungan diplomatik Indonesia-China ditandai oleh kunjungan resmi Perdana Menteri China ke Indonesia pada Tanggal 6-10 Agustus 1990 dengan ditandatanganinya naskah memorandum of understanding mengenai pemulihan hubungan diplomatik, juga dengan dilakukannya penandatanganan naskah persetujuan hubungan kerja sama dibidang ekonomi dan perdagangan antara kedua negara. Hubungan bilateral Indonesia-China dalam bidang ekonomi, perdagangan dan kerjasama tehnik selama periode 1999/ 2000 secara umum semakin meningkat. Dalam rangka Kerjasama Teknik antar- Negara Berkem-bang (KTNB) selama periode tahun 1999/2000, Indonesia telah menawarkan kepada China sebanyak 8 buah, yang meliputi bidang telekomunikasi, peran media dan televisi, perumahan, dan irigasi. China telah memanfaatkan program pelatihan ini dan mengirim 8 orang peserta, sebaliknya China juga menawarkan program pelatihan teknologi kepada pihak Indonesia. Jika dikaitkan dengan perkembangan alih teknologi, sulit ditemukan suatu bukti empirik apakah ada pengaruh China dalam kemajuan teknologi Indonesia. Nilai perdagangan Indonesia-China pada tahun 1999 mengalami pertumbuh- an yang pesat, yaitu naik sebesar 33,1% dibandingkan dengan nilai perdagangan tahun 1998. Menurut data BPS ekspor China ke Indonesia tahun 2000 sebesar 3,06 milyar dollar AS, naik sebesar 60% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 906 juta dollar AS. Untuk tahun 2001 sampai bulan September sebesar 2, 12 milyar dollar AS turun 6, 19%, dibandingkan periode yang sama tahun sebelum- nya sebesar 2, 18 milyar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia-China selama ini menunjukan surplus untuk Indonesia, yang pada tahun 2000 mencapai nilai sebesar 1,34 milyar dollar AS. Dalam tahun 2000, Indonesia merupakan negara urutan ke 14 sebagai negara tujuan ekspor China, dan urutan ke 13 sebagai negara sumber impor China (Atase Perindag, 2000). Dalam bidang pariwisata diharapkan meningkat terutama dari China ke Indonesia. Setelah dilakukan kemudahan- kemudahan dalam prosedur keimigrasian dan setelah Indonesia oleh China ditetapkan sebagai approved destination status pada bulan Oktober 2000. Menteri pariwisata dan seni, menyatakan sebanyak 1,3 juta turis China masuk ke Indonesia. Penandatanganan kerjasama pariwisata telah dilakukan di Jakarta pada Tanggal 8 Nopember 2001.

Investasi China di Indonesia sampai bulan Juli 2000, menurut catatan BKPM mencapai 362,8 juta dollar AS untuk 81 proyek, merupakan peringkat ke-28 de- ngan nilai 0,16% dari total investasi. (Kustia,2001, Lihat juga laporan Atase Indag KBRI Beijing, 2001). Lebih jauh dapat dilihat trade balance perdagangan Indonesia-China sebagai berikut :

Tabel 1 Tabel Ekspor-Impor Indonesia ke China 2000-2006 (USD 000) Year Petroleum & Natural Gas Non Petroleum & Natural Gas Expor ts 2000 14,367 23.13 % Impo rts 6,019 17.96 % Expo rts 47,75 7 2001 12,636 22.44 5,472 17.67 43,68 5 2002 12,113 21.19 6,526 20.86 45,06 4 2003 13,651 21.83 7,630 23.06 48,87 6 2004 15,645 21.86 11,73 2 2005 19,231 22.13 17,45 7 2006 21,188 21.04 18,97 5 31,07 28.2 25.22 55,93 9 66,42 8 79,50 2 78.96 77.87 78.14 78.17 78.81 77.56 76.87 % Impor ts 27,49 5 25,49 0 24,76 3 25,49 0 34,79 2 40,24 3 42,10 3 68.93 71.8 74.78 76.94 79.14 82.33 82.04 % Expo rts 62,12 4 56,32 1 57,15 9 62,52 7 71,58 5 85,66 0 79,50 2 Impo rts 33,51 5 50,96 2 31,28 9 33,08 6 46,52 5 57,70 1 61,07 8 Total Volume

Sumber: Badan Pusat Statistik

Perdagangan yang dilakukan Indonesia- China baik pada industry migas maupun non migas selama periode 2000-2006, Indonesia mengalami surplus perdagangan . Surplus terbesar pada tahun 2003 sebesar USD 29,441 Ribu tetapi nilai surplus tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2006 surplus perdagangan Indonesia terhadap china sebesar USD 18,424 ribu. Impor migas Indonesia dari cina mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu dari USD 6,019 Ribu tahun 2000 menjadi USD 18,975 Ribu pada tahun 2006 mengalami kenaikan kurang lebih 300%. Sedangkan untuk impor non migas kondisi sebaliknya terjadi yaitu terjadi penurunan dari periode 2000 sampai dengan 2002 setelahn itu sejak tahun 2003 hingga 2006 mengalami kenaikan. Perkembangan Ekspor non migas selama periode 2000-2006 hanya satu periode ekspor Indonesia ke China yang menagalami penurunan yaitu tahun 2001 dengan nilai USD 43,685 Ribu sedangkan

sebelumnya tahun 2000 bernilai USD 47,757 Ribu periode selanjutnya ekspor non migas Indonesia ke China terus mengalami peningkatan hingga tahun 2006.

Tabel 2 Neraca Perdagangan Indonesia- China Periode 2007-2009 (November) USD (000) URAIAN 2007 2008 Jan-Nov 20 08 TOTAL ERDAGANGAN MIGAS NON MIGAS EKSPOR MIGAS NON MIGAS IMPOR MIGAS NON MIGAS NERACA PERDAGANGAN MIGAS NON MIGAS 2.410.790,1 -1.293.154,5 3.550.069,7 -7.160.734,9 3.396.154,8 -6.766.975,9 1.940.477,6 -4.295.483,6 -42,86 -36,52 3.612.035,6 14.621.354,3 9.675.512,7 3.011.412,8 6.664.099,9 8.557.877,1 600.622,7 7.957.254,4 1.117.635,6 4.148.600,9 22.735.071,7 11.636.503,7 3.849.335,3 7.787.168,4 15.247.168,9 299.265,6 14.947.903,3 -3.610.665,2 3.993.747,2 21.385.295,5 11.004.110,8 3.694.951,0 7.309.159,8 14.374.931,9 298.796,2 14.076.135,7 -3.370.821,1 2.845.777,09 19.722.016,6 10.106.393,9 2.393.127,4 7.713.266,5 12.461.399,9 452.649,7 12.008.750,1 -2.355.006,0 -28,74 -7,78 -8,16 -35,23 5,53 -13,31 51,49 -14,69 -30,14 18.233.389,8 26.883.672,6 25.379.042,6 22.567.793,7 -11,08 2009 Perub(%) 2009/2008

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Pusdata Dep. Perdagangan (2009)

Pada tahun 2007 neraca perdagangan Indonesia terhadap China mengalami kondisi surplus, hal ini disebabkan surplus pada sektor Migas sebesar USD 2.410.790,1 sedangkan pada perdagangan non migas Indonesia mengalami deficit sebesar USD -1.293.154,5, sehingga secara total neraca perdagangan Indonesia terhadap China mengalami surplus sebesar USD 1.117.635,6 Pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami kondisi deficit sebesar USD -3.610.665,2, hal ini disebabkan meningkatnya deficit perdagangan non migas yang mencapai USD -7.160.734,9 (mengalami kenaikan nilai deficit dibandingkan tahun 2007 ) sedangkan untuk perdagangan migas Indonesia masih mengalami kondisi surplus sebesar USD 3.550.069,7 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya sebesar USD 2.410.790,1

Pada tahun 2009 (hingga bulan Nopember), dampak adanya krisis keuangan yang terjadi di Amerika mulai berdampak pada nilai perdagangan antara Indonesia dan China yang mengalami penurunan bila dibanding dengan tahun 2008 (Nopember), secara total nilai perdagangan mengalami penurunan. Penurunan itu akibat turunnya permintaan produk atau komoditas seperti, karet, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki dan lainnya. Penurunan ini cukup disayangkan mengingat sejak tahun 2001, nilai volume perdagangan Indonesia-China rata-rata tumbuh 20%. Bahkan, pada 2008, nilai perdagangan kedua negara mencapai US$ 26,8 miliar. Angka ini tertinggi dalam beberapa tahun terakhir sejak 2001. Penurunan nilai terbesar pada sektor migas mencapai 28,74 % dibandingkan dengan tahun 2008. Sedangkan sektor non migas mengalami penurunan sebesar 7,78 %. Sedangkan untuk ekspor non migas Indnesia ke China mengalami kenaikan 5,53%, untuk ekspor migas mengalami penurunan sebesar 35,23% dibandingkan dengan tahun 2008. Untuk Impor terjadi kondisi sebaliknya dimana nilai impor migas mengalami kenaikan sebesar 51,49% sedang-kan nilai impor non migas mengalami penurunan 14,69 %.

3.2 Peranan China Terhadap Total Perdagangan Indonesia Nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Triwulan ke-IV-2009 tercatat sebesar USD 29,2 miliar atau naik 14,0% dibanding triwulan sebelumnya sebesar USD 25,6 miliar. Perbaikan kinerja ekspor tersebut didukung oleh ekspor di semua sektor, yaitu pertanian, pertambangan dan manufatur yang masing-masing tumbuh sebesar 16,1%, 7,5% dan 16,6% (quartile.to.quartile). Pertumbuhan ekspor pada periode Tw.IV 2009 tersebut terutama ditopang oleh ekspor ke Cina yang tumbuh 30,3% (pangsa 10%), disusul oleh Singapura (tumbuh 26,7%, pangsa 9,2%) dan Amerika Serikat (tumbuh 5,5%, pangsa 9,8%). Secara tahunan, pertumbuhan ekspor ke ketiga negara tersebut juga menunjukkan pertumbuhan positif seiring dengan makin membaiknya perekonomian di kawasan Asia dan Amerika. Pada table 3 di bawah juga terlihat bahwa

pertumbuhan years on years ekspor Indonesia ke China mengalami pertumbuhan yang terbesar yaitu 84,3% lebih besar disbanding total pertumbuhan ekspor Indonesia.

Tabel 3 Perkembangan Ekspor Ke Negara-Negara Tujuan Utama Triwulan IV 2009

Sumber : Bank Indonesia, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia, Februari (2010) Catatan : q.t.q = quartile to quartile y.o.y =years on years

Sedangkan untuk Import yang dilakukan Indonesia terhadap komoditi yang berasal dari china ternyata sangat dominan dengan nilai USD 3.983 Juta atau dengan pangsa 17,5 % lebih besar dibandingkan impor dari Jepang (12,5%), Singapura (11,0%) dan Uni Eropa (10,5 %). Produkproduk Cina yang masuk ke Indonesia antara lain berupa barang jadi kulit, produk pertanian, alas kaki, senyawa organik, barang-barang plastik, produk tekstil, dan sebagainya. Selain itu jika dilihat dari perspektif pertumbuhan baik tahun ke tahun impor Indonesia ke China mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan tujuan ekspor lainnya yaitu sebesar 8,7% . Sedangkan dengan Negara Jepang mengalami pertumbuhan negative sebesar 28,5%, begitu juga Negara Uni Eropa mengalami pertumbuhan negative sebesar 29,6 %. Untuk Negara Singapura hanya naik sebesar 1,8 % dan Amerika mengalami kenaikan sebesar 6,3%. Sedangkan secara total import Indonesia pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar -8,4% dibandingkan dengan tahun 2008.

Tabel 4 Perkembangan Impor Ke Negara-Negara Tujuan Utama Triwulan IV

Sumber : Bank Indonesia, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia, Februari 2010

Berdasarkan pada table 3 dan 4 terlihat bahwa impor ke negara tujuan utama China menduduki peringkat pertama, sedangakan dalam hal ekspor China menempati peringkat ke 3 Tujuan Ekspor Indonesia, hal ini berarti kontribusi china dalam perkembangan ekspor dan impor Indonesia memegang peranan strategis, walaupun secara total perdagangan Indonesia masih mengalami kondisi deficit pada periode 2009

3.3 Komoditi Utama Ekspor - Impor Indonesia-China a. Komoditi Ekspor Utama Indonesia ke China Di tengah ancaman melambatnya perekonomian AS, pasar China menjadi salah satu alternatif tujuan ekspor Indonesia yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu, identifikasi sektor ekspor prospektif di pasar China sangat diperlukan. Optimalkan China sebagai tujuan ekspor dengan memanfaatkan sektor yang berpotensi tinggi. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk

menentukan potensi pasar China bagi Indonesia. Kriteria pertama, rata-rata pertumbuhan impor China untuk suatu komoditas. Kriteria ini dipakai karena dapat menggambarkan pertumbuhan pasar suatu komoditas di China. Kriteria kedua, pangsa pasar impor suatu komoditas terhadap total impor China. Kriteria ini ditujukan untuk melihat derajat kepentingan komoditas tersebut bagi China dan melihat daya saing komoditas domestik China. Semakin tinggi pangsa pasar suatu komoditas terhadap total impornya, ketergantungan China terhadap komoditas produksi luar negeri juga semakin tinggi. Kriteria ketiga, pangsa ekspor suatu produk terhadap total ekspor Indonesia. Kriteria ini digunakan untuk melihat faktor daya saing Indonesia di pasar global. Suatu produk yang memiliki daya saing tinggi cenderung akan memiliki nilai ekspor yang relatif tinggi terhadap total nilai ekspor Indonesia. Kriteria keempat adalah pangsa pasar komoditas yang diimpor dari Indonesia terhadap total impor China dari seluruh dunia akan komoditas tersebut. Kriteria ini digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan Indonesia menembus pasar China. Dengan kata lain, kriteria ini dapat digunakan untuk melihat komoditas Indonesia mana yang dapat bersaing dengan baik di pasar China. Semakin besar pangsa pasar suatu komoditas Indonesia di pasar China, semakin besar pula kesempatan Indonesia untuk dapat meningkatkan pangsa pasar ke tingkat yang lebih tinggi.

Tabel 5 Komoditi Ekspor Non Migas Indonesia ke China Kuartal IV 2007-2009

Komoditi

Tahun 2007 Nilai Juta USD Pangsa (%) 15.6

Tahun 2008 Nilai Juta USD 97 Pangsa (%) 9.4

Tahun 2009 Nilai Juta USD 136 1.056 Pangsa (%) 13,4 26.5% 12,2 13,9 15,9

Karet Batubara CPO Produk Kimia Kertas

195

348 205

11.7 11.9

332 134

11.6 9

458 277 196

Sumber : Bank Indonesia, data diolah (2010)

Ekspor Indonesia pada Triwulan IV masih didominasi oleh 10 komoditas utama, diantaranya karet (pangsa 4,2%), batubara (pangsa 12,5%) dan CPO (pangsa 11,6%). Penurunan permintaan dunia dan melambatnya laju kenaikan harga ekspor di pasar internasional mempengaruhi kinerja dari komoditas-komoditas tersebut. Komoditas yang nilai ekspornya turun akibat penurunan volume antara lain: TPT dan produk kimia (sektor manufaktur); sedangkan komoditas yang nilai ekspornya turun akibat volume dan harga yang melemah antara lain: karet (sektor pertanian), tembaga dan nikel (sektor pertambangan); dan komoditas yang nilai ekspornya turun akibat turunnya harga adalah CPO (sektor manufaktur). Sedangkan ekspor utama Indonesia ke china seperti terlihat dalam table 5 di atas, berikut penjelasan masing-masing komoditas ekspor yang dimaksud. 1. Komoditas karet, komoditi ini selama periode 2007-2009 (kw IV) mengalamai fluktuasi tahun 2007 nilainya USD 195 juta kemudian turun menjadi USD 97 juta pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 kembali mengalami kenaikan menjadi USD 136 juta, tetapi kenaikan ini lebih disebabkan kenaikan harga karet, pada Tw.IV 2009 harga mencapai USD 284,7 cent/kg lebih tinggi dari periode sebelumnya (USD221,1 cent/kg). Naiknya harga karet ini ditengarai

akibat kurangnya pasokan karet di pasar internasional. Peremajaan tanaman karet yang dilakukan oleh para pengusaha karet di negara-negara produsen membuat produksi karet menurun sehingga pasokan ke pasar internasional berkurang. Di sisi lain, volume ekspor karet pada triwulan laporan mengalami penurunan 7,6% dari periode sebelumnya. Penurunan permintaan tersebut terutama berasal dari China yang tumbuh negatif 15,4% (pangsa 13,2%) dibanding triwulan sebelumnya. Tetapi pertumbuhan years on years mengalami peningkatan sebesar 39,8 % 2. Komoditi batubara, pada periode 2007 dan 2008 China belum menjadi tujuan ekspor utama bagi Indonesia, tapi pada tahun 2009, kontirbusi china terhadap ekspor batu bara mulai terlihat dengan nilai ekspor USD 1.056 (26,5% dari total ekspor batubara). Peningkatan ini disebabkan meningkatnya penggunaan batubara sebagai sumber energi baru menggantikan minyak, mendorong kenaikan permintaan komoditas tersebut di pasar dunia. Naiknya permintaan tersebut tercermin dari peningkatan volume ekspor pada triwulan laporan

sebesar 11,0% (q.t.q) yang menopang kenaikan nilai ekspor batubara. Ekspor batubara pada Tw.IV-2009 tercatat sebesar USD4,0 miliar atau tumbuh 7,1% dari triwulan sebelumnya. Permintaan batubara terutama berasal dari Cina dan India. Konversi penggunaan sumber energi di kedua negara tersebut yang tidak diimbangi oleh kecukupan pasokan dalam negeri menyebabkan kebutuhan batubara impor semakin meningkat. Secara tahunan, ekspor batubara pada Tw.IV 2009 pun sedikit meningkat menjadi 27,8%(y.o.y) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (27,1%, y.o.y). 3. Komoditi Crude Palm Oil (CPO), sama dengan perkembangan ekspor komoditi karet yang mengalami fluktuasi selama periode 2007-2009. Pada tahun 2007 nilai ekspor CPO sebesar USD 348 juta (11,7%) kemudai turun pada tahun 2008 sebesar USD 332 Juta (11,6%) kemudian naik kembali pada tahun 2009 menjadi USD 458 juta (12,2%). Cina yang juga konsumen CPO terbesar menggunakan CPO sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng dan pengembangan biodiesel. Ekspor CPO diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-India (AIFTA) dan ASEAN-Cina (ACFTA). Di sisi lain, kinerja ekspor CPO juga ditopang oleh membaiknya harga pada triwulan IV 2009 sebesar USD732/Mton atau naik 7,9% dari periode sebelumnya (USD679/Mton). Menguatnya harga CPO tersebut sejalan dengan meningkatnya harga minyak dunia dan permintaan dari sejumlah negara di tengah terbatasnya pasokan akibat cuaca yang kurang baik.

4. Komoditi Produk Kimia, pada tahun 2007 bernilai USD 205 juta kemudian mengalami penurunan menjadi USD 134 juta pada tahun 2008 dan naik kembali pada tahun 2009 menjadi USD 277 juta (13,9% dari total eskpor). Pesatnya pertumbuhan industri yang menggunakan bahan baku kimia, khususnya di Cina mendorong kenaikan permintaan, sehingga mendorong kenaikan volume ekspor produk kimia. Kenaikan volume permintaan tersebut menjadi penopang kinerja ekspor produk kimia pada Tw.IV- 2009 yang mencapai USD2,0 miliar, naik 21,5% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja ekspor produk kimia tersebut juga tercermin pada perubahan tahunan yaitu sebesar 33,1% (y.o.y), membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 16,3% (y.o.y). 5. Komoditi Kertas, tahun 2007 -2008 peran china terhadap ekspor komoditi kertas Indonesia masih relative kecil sehingga belum termasuk ke dalam Negara tujuan ekspor yang utama, pada tahun 2009 ekspor komoditi kertas Indonesia ke China bernilai USD 196 juta (15,9% dari total ekpor komoditi kertas). Ekspor kertas pada Tw.IV-2009 sebesar USD1,2 miliar atau naik 18,9% dari periode sebelumnya. Naiknya ekspor kertas di periode ini ditopang oleh meningkatnya permintaan kertas yang tumbuh sebesar 14,6% dari periode sebelumnya. Permintaan kertas pada periode ini terutama berasal dari Cina (pangsa 15,9%), disusul oleh Jepang (11%) dan Korea Selatan (6,6%). Membaiknya kinerja ekspor kertas tersebut juga tercermin dari pertumbuhan tahunan yang mencapai 15,0% (y.o.y), berkebalikan dengan periode sebelumnya yang tumbuh 31,2% (y.o.y). Adapun jenis kertas yang banyak diekspor pada periode laporan antara lain bubur kertas (pulp and paper waste), serta kertas lembaran (paper and paperboard) yang masingmasing meningkat sebesar 59,0% dan 6,3% (q.t.q).

3. 4. Komoditi Impor Indonesia dri China Sebagian besar barang-barang yang diimpor Indonesia berasal dari Cina. Impor dari negara tersebut dari waktu ke waktu terus meningkat dan pangsanya hingga triwulan ini mencapai 17,5% mengungguli negara asal impor utama lainnya seperti Jepang (pangsa 12,5%), Singapura (11,0%), Uni Eropa (10,5%) dan Amerika Serikat (9,7%). Selain Cina, pertumbuhan impor dari negara asal utama lainnya juga mengalami peningkatan, kecuali dari Singapura yang turun 6,5% dari triwulan sebelumnya.

Tabel 6 Komoditi Impor Non Migas Indonesia ke China Kuartal IV 2007-2009 Komoditi Tahun 2007 Nilai Juta USD Pangsa (%) Tahun 2008 Nilai Juta USD Barang Konsumsi Bahan baku Barang Modal 426 11 513 23.9 0.1 12.4 591 1,885 951 31.3 11.8 16.1 394 2.225 1.319 23,6 14,9 22,9 Pangsa (%) Tahun 2009 Nilai Juta USD Pangsa (%)

Sumber : Bank Indonesia, data diolah (2010)

Produk-produk Cina yang masuk ke Indonesia antara lain berupa barang jadi kulit, produk pertanian, alas kaki, senyawa organik, barang-barang plastik, produk tekstil, dan

sebagainya.Komoditi utama yang diimpor Indonesia dari China meliputi barang konsumsi, bahan baku dan barang modal. Berikut perkembangan masing-masing komoditi tersebut 1. Barang konsumsi, Impor barang konsumsi pada Tw.IV-2009 sebesar USD1,7 miliar (C&F) atau turun 5,8% dibanding periode sebelumnya begitu juga untuk Impor yang bersal dari China yang pada tahun 2007 bernilai USD 426 juta (23,9%) yang kemudain pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi USD 591 Juta (31,3%) dan pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi USD 394 juta. Turunnya impor barang konsumsi tersebut terutama untuk konsumsi barang-barang tahan lama, seperti peralatan elektronik, serta peralatan dan pelengkapan rumah tangga. Namun impor barang konsumsi untuk kendaraan bermotor masih mengalami kenaikan. Secara tahunan, pertumbuhan impor barang konsumsi meskipun tumbuh negatif namun mengalami perbaikan menjadi sebesar -12,9% (y.o.y) dari -34,8% di

periode sebelumnya. Adapun barang-barang konsumsi tersebut terutama diimpor dari Cina (pangsa 23,6%), Thailand (20,7%) dan Uni Eropa (10,5%). 2. Bahan baku, impor bahan baku Indonesia dar china mengalami kenaikan yang sangat signifikan sekali, pada tahun 2007 bernilai USD 11 Juta dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi USD 1,885 juta dan pada tahun 2009 naik kembali menjadi USD 2.225 (14,9% dari total impor bahan baku. Secara umum Impor bahan baku pada Tw.IV-2009 tercatat sebesar USD14,9 miliar (C&F), naik 9,7% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peningkatan impor bahan baku ini ditengarai sejalan dengan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri domestik yang mulai meningkat belakangan ini. Secara tahunan impor bahan baku masih tumbuh negatif (-9,7%, y.o.y), namun tidak setajam pada kuartal sebelumnya (-27,3%, y.o.y). Adapun bahan baku yang diimpor umumnya berupa produk kimia (hydrocarbon, N.E.S and their halogenated, nitrated derivatives), dan peralatan listrik (electrical apparatus for making & breaking electrical circuit dan thermionic, cold cathode, and photo cathode valves and tubes). Bahan baku impor dimaksud digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi ataupun industri elektronik domestik yang hingga saat ini masih menggunakan bahan baku impor dalam proses produksi. Impor bahan baku tersebut terutama berasal dari Cina dengan pangsa 14,9%, disusul Jepang (13,6%), dan Singapura (10,3%). 1. Barang Modal, Impor barang modal Indonesia yang berasal dari China juga mengalami kenaikan signifikan selama periode 2007-2009, pada tahun 2007 nilai impor barang modal sebesar USD 513 juta (12,4%) dan pada tahun 2009 mengalami kenaikan menjadi USD 951 juta (16,1%) serta pada tahun 2009 nilainya menjadi 1.319 Juta (22,9%). Secara umum Impor barang modal pada Tw.IV-2009 tercatat sebesar USD5,8 miliar (C&F), meningkat 13,9% dari periode sebelumnya. Jenis barang modal yang banyak diimpor pada periode ini berupa alat telekomunikas (telecommunication equipment N.E.S and parts), serta pesawat udara dan kapal (aircraft & associated equipment and parts there of N.E.S dan ships, boat and floating structures). Barang-barang modal tersebut terutama diimpor dari Cina (pangsa 22,9%), Singapura (16,3%) dan Amerika Serikat (15,3%). Perbaikan kinerja impor barang modal juga tercermin dari pertumbuhan tahunannya. Meskipun masih negatif, namun tidak setajam periode sebelumnya, dari -10,0% (y.o.y) pada Tw.III-2009 menjadi -4,7% (y.o.y) pada Tw.IV-2

IV. STRATEGI INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DENGAN CHINA Melihat dampak yang sangat luar biasa pada hubungan dagang Indonesia-China dalam dua tahun belakangan (2008-2009) sebaiknya harus dilakukan antisipasi yang cepat dan menyeluruh. Indonesia perlu melakukan seleksi produk untuk melindungi industri nasional. Misalnya, garmen Indonesia dibebaskan masuk ke negara lain, sementara industri makanan dibolehkan masuk. Pemerintah mencabut pungutan retribusi yang memberatkan dunia usaha di daerah agar industri lokal menjadi kompetitif. Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta adalah salah satu pintu masuk barang ke Indonesia, termasuk dari Cina dan negara Asean lainnya. Meski serbuan impor barang dari Cina pemerintah hanya bisa membendung barang impor melalui mekanisme non-tarif. Pengetatan pemeriksaan barang masuk di pelabuhan harus dilakukan karena negara lain juga melakukan hal sama. Memang, pengetatan pemeriksaan barang impor dalam jangka pendek bisa menahan serbuan produk Cina. Namun, pemerintah agaknya masih harus bekerja keras agar industri di Tanah Air bisa bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Di sisi lain, pemerintah harus menyiapkan industri domestik agar bisa lebih kompetitif dengan produk Cina serta memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan atau lainnya. Pemerintah harus memperbaiki berbagai kebijakan ekonomi untuk menghadapi perdagangan bebas. Pemerintah sebaiknya mengaktifkan rambu-rambu nontarif, seperti safeguard (jaring pengaman) dan dumping, yang selama ini dinilai tak punya gigi oleh para pengusaha. Selain itu, masalah penyelundupan harus diselesaikan agar daya saing produk Indonesia bisa tercapai. Pasalnya, di luar penurunan tarif nol, sekarang disinyalir banyak produk ilegal yang masuk. Kalau tarifnya zero, berarti sudah sulit dibedakan lagi, mana yang ilegal dan legal. Tetapi dalam jangka panjang langkah-langkah tersebut tidak bisa dipertahankan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa ini tidak bisa mengelak dari kebjaksanaan global tersebut. Masyarakat Industri harus berjuang dengan keras untuk memenangkan persaingan global yang semakin mengancam. Dibutuhkan kejelian dan kreatifitas untuk dapat menembus persaingan ketat tersebut. Beberapa hal yang menjadi keemahan barang industri China adalah kualitasnya. Kelemahan ini harus dimanfaatkan oleh pelaku industri di Indonesia. Selain hal di atas kebijakan nyata lainnya yang dapat dilakukan pemerintah untuk bisa meningkatkan produknya dengan daya saing tinggi, diantaranya :

1. Infrastruktur, Pemerintah harus mem-bangun infrastuktur dan memperbaiki infrastruktur yang telah ada agar biaya produksi bisa lebih efisien. Pembangunan jalan, pasokan listrik, gas dan BBM merupakan infrastruktur utama yang selama ini menjadi hambatan bagi kalangan pengusaha dalam menjalankan usahanya. Pemerintah bisa menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk membangun infrastruktur .

2.

Perizinan, Selama ini, kalangan investor banyak yang mengeluh terkait perizinan

pendirian usaha yang memakan waktu lama. Bukan hanya itu, tumpang tindih kebijakan juga menghambat iklim investasi bagi investor. Disamping itu, pemerintah juga harus berani menindak dengan tegas praktek pungutan liar yang telah merajalela. Adanya pungutan liar tentu akan meningkatkan biaya produksi yang dapat meningkatkan harga jual suatu produk. Pada akhirnya, produk Indonesia menurunkan daya saing produk lokal. Oleh karen itu, perlu adanya sinergisitas kebijakan dan penerapan perizinan satu pintu secara maksimal serta meminimalisir praktek pungutan liar.

3.

Permodalan, Bagi kalangan usaha kecil menengah, persoalan permodalan

merupakan hambatan utama dalam meningkatkan produktivitas. Hal ini merupakan tugas pemerintah selaku regulator untuk bisa memberikan kredit secara maksimal bagi UKM dengan cara pemberian kredit malalui bank-bank pemerintah dengan bunga yang relatif rendah.

4.

Kontrol Produk Asing, Salah satu dampak dari perdagangan bebas adalah

menjamurnya produk asing. Pemerintah perlu mengontrol segala produk asing yang akan masuk ke Indonesia. Kebijakan yang bisa diberlakukan adalah melalui penerapan label SNI (Standar Nasional Indonesia). Produk lokal pun bisa bersaing dengan sehat karena kualitas tetap terjaga. Hal ini sangatlah penting mengingat banyak ditemukan produk asing dengan kualitas sangat rendah. Oleh karena itu pemerintah perlu mengontrol secara ketat produk asing supaya konsumen domestik tidak dirugikan dengan pemberlakuan CAFTA.

5.

Cinta Produk Dalam Negeri, Adanya perdagangan bebas seharusnya bisa

disiasati dengan penanaman cinta produk dalam negeri sejak dini. Selama ini, prinsip ekonomi secara efisien lebih banyak digemborkan daripada mencintai produk dalam negeri. Oleh karena itu, selain ekonomi berbasis ramah lingkungan, perlu adanya ekonomi berwawasan nasionalisme. Hal ini penting untuk bisa meningkatkan daya saing produk lokal di tengah serbuan produk asing. Jika sejak dini ditanamkan cinta produk dalam negeri, dalam jangka panjang diharapkan konsumen Indonesia bisa lebih memilih produk lokal karena akan memberikan kemanfaatan bagi perekonomiannya. Jika dikaitkan dengan konsep persaingan kompetitif dari porter maka Factor conditions adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini. 1. Human resources (SDM) 2. Physical resources (SDA) 3. Knowledge resources (IPTEK) atau (SDT) 4. Capital resources (Permodalan) atau (SDC) 5. Infrastructure resources (Prasarana) atau (SDI)

Kelima hal ini lah yang juga bisa menjadi konsen pemerintah untuk meningkat-kan daya saing barang ekspornya terhadap persaingan dari negara China.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya maka sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pada bagian pendahuluan maka kesimpulan yang dapat diberikan : 1. Neraca perdagangan Indonesia terhadap China selama periode 2000-2007 mengalami surplus tetapi sejak tahun 2008 dan 2009 perdagangan Indonesia terhadap China mengalami kondisi deficit. 2. Komoditi Utama yang diekspor Indonesia Ke China meliputi komoditi karet,batubara,CPO, produk kimia dan Kertas. Sedangkan komoditi Utama Impor Indonesia dari China meliput produk barang konsumsi,bahan baju dan barang modal 3. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah terhadap data terakhir perdagangan IndonesiaChina antara lain : pembangunan infrastruktur, permudah perizinan, permodalan, kontrol produk-produk China dan gerakan cinta produk dalam negeri

Volume

DAFTAR PUSTAKA

Apridar, 2007, Ekonomi Internasional : Sejarah,Teori,Konsep dan Permasalahan dan Aplikasinya, Penerbit: All Rights Reserved 2007 Unimal Press Universitas Malikussaleh Lhokseumawe - NAD

Boediono,1993, Ekonomi Internasional: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.3, BPFE , Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai