Anda di halaman 1dari 53

LBM 4 NYERI PERUT KANAN ATAS MENJALAR SAMPAI KE BAHU KANAN STEP 1 1.

Murphys sign : Salah satu pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kolesistitis akut yaitu dengan menekan pada tepi lateral MRA dan arcus costa dex ditekan dengan jari telunjuk, pasien suruh inspirasi dalam, jika inspirasi terhenti maka pemeriksaan positif STEP 2
1. Mengapa pasien nyeri perut kanan atas secara terus menerus?

2. Bagaimana mekanisme timbulnya nyeri? Macam-macamnya? 3. Apa latarbelakang dari nyeri persisten? 4. Mengapa kadang kadang nyeri dirasakan menjalar ke bahu kanan? 5. Apa hubungan mengkonsumsi pil KB dengan penyakit yang di derita? 6. Apa hubungan kolesterol meningkat dengan penyakit yang di derita? 7. Apa hubungan BB, TB, BMI dengan nyeri perut di kanan atas? 8. Mengapa terjadi peningkatan suhu pada pasien? 9. Apa arti pemeriksaan Murphys sign positif? 10. 11. STEP 3 1. Mengapa pasien nyeri perut kanan atas secara terus menerus? Terdapat peradangan (kolesistitis), terdapat nyeri 30-60menit, ditandai dengan pemeriksaan Murphys sign positif Peradangan terjadi karena adanya Kolelitiasis(batu empedu). 2. Bagaimana mekanisme timbulnya nyeri? Macam-macamnya? Macamnya : Apa hubungan umur dengan penyakit yang di derita? DD?

Nyeri alih sakitnya

: nyeri yg dirasakan tidak pada tempat yang

Nyeri somatic : nyeri yang tempatnya pasti, bersifat seperti ditusuk atau disayat Nyeri visceral : pada organ yang berongga, nyeri tidak pasti, termasuk nyeri kolik(gangguan pasase)

3. Apa latarbelakang dari nyeri persisten yang lebih dari 1jam?

Duc. Cysticus tersumbat vesica fellea terdistensi infeksi ada masa di kuadran kanan makanan berlemak nyeri persisten (kemungkinan kontraksi pada vesica fellea) 4. Mengapa kadang kadang nyeri dirasakan menjalar ke bahu kanan? Nyeri alih , jadi sebenernya nyeri di kuadran kanan atas menjalar ke bahu kanan, karena dermatom, satu saraf spinalis, keluar ke C3-5 5. Apa hubungan mengkonsumsi pil KB dengan penyakit yang di derita? Pil KB berisi estrogen meningkatan radang dari kantong empedu dan meningkatkan dari batu empedu akibat dari keterlambatan pengosongan kantung empedu 6. Apa hubungan kolesterol meningkat dengan penyakit yang di derita? Empedu yang dikeluarkan hepar normalnya di vesica felle tidak mengendap , kandungannya lesitin , karena kandungan terlalu banyak mengendap 7. Apa hubungan BB, TB, BMI dengan nyeri perut di kanan atas? BMI yang meningkat berhubungan dengan status gizi seseorang obesitas, obes salah satu factor resiko dari batu empedu , menimbulkan peradangan nyeri di kanan atas BMI termasuk overweight?? cari 8. Mengapa terjadi peningkatan suhu pada pasien? Karena peradangan tadi IL 1 meningkat pengaruh substansi arakidonat mempengaruhi merangsang PGE 2 hipotalamus meningkatkan thermostat kenaikan suhu

9. Apa arti pemeriksaan Murphys sign positif? Kolesistitis akut , pada waktu pemeriksaan, inspirasi terhenti pada saat ditekan 10. Apa hubungan umur dengan penyakit yang di derita?

Pembentukan batu empedu butuh waktu yang lama. NB DICARI LHO YA ! Organ yang kira-kira terkena: hepar, vesica fellea,flexura coli Menjalar ke bahu kanan: vesica fellea terganggu karena adanya peradangan, batu empedu, Atresia ductus billiaris! Isi pil KB, Cari ya!! Hubungan Vesica Fellea dan Kolesterol? Peran Garam empedu? Kandungan Garam empedu? Komposisi normal garam empedu? Pembentukan cairan empedu? Jelaskan!!! Dibentuk, dipekatkan, diekskresikan, diambil lagi oleh usus kembali lagi METABOLISME !!!!! 11. DD? Kolelitiasis Definisi Pembentukan batu empedu akibat dari pengendapan kolesterol dan pigmen Etiologi Supersaturasi kolesterol Sirosis

Faktor resiko Klasifikasi

1. Batu kolesterol : mengandung 70% kolesterol, Kristal monohidrat shg konsistensinya lebih keras drpada batu pigmen 2. Batu pigmen : ada hitam (empedu steril, mudah rapuh, kecil, banyak, radiiopaq) dan coklat (berminyak, sedikit,radiolusen) 3. Batu Kalsium bilirubin : mengandung banyak Kalsium bilirubin Patofisiologi Pembentukan Batu Kolesterol melalui 4 tahap: 1. Supersaturasi kolesterol : peningkatan
2. Hipomotilitas kantung empedu : penurunan kontraksi kantung

empedu, jika cairan empedu tdk dikeluarkan diserap dinding kandung empedu meningkatkan resiko batu empedu 3. Peningkatan nukleasi kolesterol : pembentukan iti dari batu empedunya, dari yang kecil-kecil menjadi satu 4. Hipersekresi mucus : mucus sebg perekat dari Kristal-kristal tadi Batu Pigmen Biliribun tdk terkonjugasi (sirosis,karena bakteri juga bisa ex: H pylori) def glu. Transferase mengendap pembatuan batunya ga keras. Tidak bisa diambil kecuali dengan operasi Gejala Klinis

Nyeri di daerah epigastrium menyebar ke bahu dan punggung Panas Sebah Jika makan berlemak nyeri persisten 30-60 menit

Penegakan Diagnosis Laborat : ALP, GGT meningkat Radiologi : USG ditemukan acoustic shadow, hiperekoik

Pemeriksaan fisik murphys sign positif

Kolelitiografi Penatalaksanaan Diet rendah lemak Operasi


Minum antibiotic Helicobakter

ERCP

Kolesistitis Definisi Peradangan pada Vesica billiaris Klasifikasi Akut batu) Kronis Etiologi Karena infeksi Kanker caput pancreas Adanya batu empedu Faktor resiko Wanita Mengkonsumsi pil KB Obesitas Patogenesis Karena batu empedu, supersaturasi kolesterol kontraksi luka dan peradangan : Kalkulosa (disertai batu) dan Akalkulosa (tidak disertai

Karena infeksi (virus,bakteri(E.Coli),parasit,jamur) Karena Ca : menekan duc choledhocus menyumbat alirannya mengendap Gejala Klinis Nyeri tekan Panas Penatalaksanaan Antibiotik Operasi

STEP 4 MAPPING STEP 5 STEP 6 STEP 7 1. Mengapa pasien nyeri perut kanan atas secara terus menerus? Dalam kebanyakan kasus, batu empedu tidak menimbulkan gejala. Bila menimbulkan gejala, biasanya karena batu empedu menyumbat saluran empedu sehingga menimbulkan apa yang disebut kolik bilier/kolik empedu solusibatuempedu.com/file.../Gejala-Penyebab-Batu-empedu.pdf Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi ke duktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Terganutng beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik. Gejala kronis dapat ditandai dengan rasa nyeri (kolik empedu) pada regio abdomen kanan atas (mid epigastrium) dengan sifat terpusat di epigastrium menyebar kearah skapula kanan

Mekanisme Batu empedu Aliran empedu tersumbat (saluran duktus sistikus) Distensi kandung empedu Bagian fundus (atas) kandung empedu menyentuh bagian abdomen pada kartilago kosta IX dan X bagian kanan Merangsang ujung-ujung saraf sekitar untuk mengeluarkan bradikinin dan serotonin Nosiseptor bereaksi (serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri) Impuls disampaikan ke serat saraf aferen simpatis Menghasilkan substansi P/neurotransmitter (di medula spinalis) Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus Korteks somatis sensori Bekerjasama dengan pormatio retikularis (untuk lokalisasi nyeri) Serat saraf eferen Hipotalamus Nyeri hebat pada kuadran kanan atas dan nyeri tekan daerah epigastrium terutama saat inspirasi dalam 2. Bagaimana mekanisme timbulnya nyeri? Macam-macamnya? Nyeri (menurut The International Association for the Study of Pain / IASP) merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan Klasifikasi Nyeri

Nyeri

Nyeri Nosiseptif

Nyeri Somatik Nyeri Viseral Nyeri Neuropatik Nyeri Psikogenik

Somatik Superfisial (Kulit) Somatik Dalam

Nyeri Non-Nosiseptif

Nyeri Nosiseptif: nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut A- dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal, kimiawi Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik sehingga kerusakan kulit menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat (yang terbatas dermatom) Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi organ berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri visceral sering kali diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual, muntah) Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf, seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi. Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan nyeri neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi Nyeri Akut: nyeri yang mereda setelah penyembuhan Nyeri Kronik: nyeri yang tetap berlanjut walaupun di beri pengobatan dan nyeri tidak memiliki makna biologic. Nyeri kronik merupakan suatu sindrom kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin untuk penanganan Sifat Awitan, Durasi Intensitas Kausa Respon fisiologik Nyeri Akut Awitan mendadak; durasi singkat, <6 bulan Sedang-parah Spesifik, dapat di identifikasi secara biologis Hiperaktivitas autonom yang Nyeri Kronik Awitan bertahap; menetap, >6 bulan Sedang-parah Kausa mungkin jelas, mungkin tidak Aktivitas autonom normal

dapat diperkirakan: tekanan darah, nadi, napas meningkat; dilatasi pupil; pucat; perspirasi; mual dan/atau muntah Respon emosi/perilaku Cemas, tidak mampu Depresi, lelah, imobilitas konsentrasi, gelisah, distress, atau inaktivitas fisik; tapi tetap optimis nyeri akan menarik diri dari hilang lingkungan social; tidak ada harapan akan kesembuhan; memperkirakan nyeri akan berlangsung lama Respon terhadap Meredakan nyeri secara Sering kurang dapat analgesik efektif meredakan nyeri Macam Nyeri yang lain Nyeri Setempat: terjadi karena iritasi pada ujung saraf penghantar impuls nyeri. Biasanya terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Nyeri bertambah pada sikap tertentu atau karena gerakan. Pada penekanan nyeri dapat bertambah hebat atau diluar masa dapat ditimbulkan nyeri tekan Referred Pain (nyeri pindah): nyeri yang dirasakan ditempat lain bukan di tempat kerusakan jaringan penyebab nyeri. Misal pada infark miokard, nyeri dirasa di bahu kiri; pada kolesistitis, nyeri dirasa di bahu kanan Nyeri Radikular: serupa referred pain, tapi nyeri radikular berbatas tegas, terbatas pada dermatomnya, sifat nyeri lebih keras dan terasa pada permukaan tubuh. Nyeri timbul karena perangsangan pada radiks (baik tekanan, terjepit, sentuhan, regangan, tarikan) Nyeri akibat spasmus otot (pegal): terjadi ketika otot dalam keadaan tegang (akibat kerja berat), keadaan tegang mental juga berperan terjadinya ketegangan pada otot Referensi Price S. A., Wilson L. M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC Sidharta Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat Sudoyo Aru W., dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV, Jakarta: FKUI

3. Apa latarbelakang dari nyeri persisten yang lebih dari 1jam? Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin muntah dan pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat. Mekanisme nyeri dan kolik bilier Batu empedu Aliran empedu tersumbat (saluran duktus sistikus) Distensi kandung empedu Bagian fundus (atas) kandung empedu menyentuh bagian abdomen pada kartilago kosta IX dan X bagian kanan Merangsang ujung-ujung saraf sekitar untuk mengeluarkan bradikinin dan serotonin Impuls disampaikan ke serat saraf aferen simpatis Menghasilkan substansi P (di medula spinalis) Thalamus Korteks somatis sensori Bekerjasama dengan pormatio retikularis (untuk lokalisasi nyeri) Serat saraf eferen Hipotalamus Nyeri hebat pada kuadran kanan atas dan nyeri tekan daerah epigastrium terutama saat inspirasi dalam Penurunan pengembangan thorak Menjalar ke tulang belikat

(sampai ke bahu kanan) Nyeri meningkat pada pagi hari Karena metabolisme meningkat di kandung empedu 4. Mengapa kadang kadang nyeri dirasakan menjalar ke bahu kanan? Nyeri perut kanan atas : Nyeri kolik (otot di VF mengalami kontraksi untuk mengeluarkan cairan empedu, karena ada batu empedu kontaksi berlebihan. Nyeri dikirim ke saraf aferen dari plexus coeliacus (dermatom/persarafan yang sama : thoracal VII, VIII, IX) menyebabkan nyeri di kuadran kanan atas. Nyeri dijalarkan ke bahu kanan : Peradangan di vesica fellea dijalarkan ke peritoneum parietal yang subdiafragma (di innervasi oleh : n. spinalis C 3, 4, 5) dermatom sama untuk dibawahnya, scapula (segmen 3, 4. N.supraclavicularis) Sumber : Ilmu Penyakit Hati

5. Apa hubungan mengkonsumsi pil KB dengan penyakit yang di derita? Hal ini dikarenakan pil KB merangsang hormone estrogen. Estrogen endogen menghambat konversi enzimatik dari kolesterol menjadi asam empedu sehingga menambah saturasi kolesterol dari cairan empedu. Kehamilan menambah resiko batu empedu. Progesterone menyebabkan gangguan pengosongan kandung empedu dan bersama estrogen meningkatkan litogenesis cairan empedu pada kehamilan. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT HATI Pil KB Andalan berbentuk kemasan untuk dikonsumsi selama 28 hari. Terdiri dari 21 tablet pil berwarna kuning yang setiap tabletnya mengandung 0.15 mg Levonorgestrel (hormon Progestin) dan 0.03 mg

Etinilestradiol (hormon Estrogen) dan 7 tablet salut gula berwarna putih yang tidak mengandung hormon. http://www.tundakehamilan.com/product_ pilkb.html Biasanya pil KB dibagi atas: Pil KB kombinasi (Combined Oral Contraceptives = COC) Mengandung 2 jenis hormon wanita yaitu estrogen dan progesteron. Mekanisme kerjanya untuk mencegah kehamilan adalah sebagai berikut: 1.
2.

Mencegah pematangan dan pelepasan sel telur Mengentalkan lendir leher rahim, sehingga menghalangi penetrasi sperma 3. Membuat dinding rongga rahim tidak siap untuk menerima dan menghidupi hasil pembuahan Pil KB progesteron (Mini pill = Progesterone Only Pill = POP) hanya berisi progesteron, bekerja dengan mengentalkan cairan leher rahim dan membuat kondisi rahim tidak menguntungkan bagi hasil pembuahan. Estrogen bisa menyebabkan retensi cairan dan garam yang bisa memicu pertambahan berat badan sedangkan progesteron bisa meningkatkan nafsu makan. Tetapi dengan dosis rendah pil KB modern efek ini jarang terjadi. Estrogen meningkatkan kolesterol pengendapan di Vesica fellea Kenaikan berat badan terjadi karena pasien merasa aman yaitu terlindungi dari kehamilan sehingga pola makan berubah (nafsu makan meningkat) ataupun oleh karena faktor keturunan.

http://medicastore.com/oc/pilkbplus.htm

6. Apa hubungan kolesterol meningkat dengan penyakit yang di derita? Bila cairan empedu jenuh dengan kolesterol atau bila konsentrasi asam empedu rendah, kelebihan kolesterol tidak dapat ditranspor oleh misel, sehingga vesikel-vesikel kolesterol tertinggal dan cenderung beragregasi membentuk inti Kristal.

Supersaturasi kolesterol dapat terjadi karena sekresi kolesterol bilier yang berlebihan, dan atau karena hiposekresi asam empedu. Fartor resiko hipersekresi kolesterol biliar adalah obesitas (umumnya berhubungan dengan hiperlipoproteinemia yang meningkatkan sintesis kolesterol), kadar estrogen (meningkatkan reseptor lipoprotein B dan E sehingga uptake kolesterol oleh hepar juga meningkat) dan progesterone (menghambat konversi kolesterol menjadi kolesterol ester) yang tinggi, kehilangan berat badan drastic (mobilisasi kolesterol jaringan) dan defek genetic. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT HATI

7. Apa hubungan BB, TB, BMI dengan nyeri perut di kanan atas?

Timbunan lemak itu memicu pembuatan hormon, terutama estrogen. Normalnya, pada usia reproduksi calon hormon estrogen ini berasal dari ovarium. Selain sebagai penghasil gamet atau ova, ovarium juga berperan sebagai organ endokrin karena menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Hanya saja, pada perempuan obesitas, estrogen ini tidak hanya berasal dari ovarium tapi juga dari lemak yang

berada di bawah kulit.Lemak bawah kulit itu berisi kolesterol, dan lemak yang merupakan prekursor dari estrogen. Maksudnya, estrogen yang berasal dari luar ovarium cukup banyak dibuat. Padahal dari dalam ovarium sendiri belum banyak estrogen yang terbentuk. Hal ini lalu menyebabkan keluarnya luitenizing hormone (LH) sebelum waktunya.LH yang keluar terlalu cepat akan merangsang keluarnya hormon progesteron dan androgen. Pada siklus normal, hal ini tidak terlalu masalah, karena hormon androgen akan diubah menjadi estradiol.Pada perempuan obesitas, androgen yang keluar terlalu cepat tidak akan diubah menjadi estradiol karena hormon androgen yang keluar itu yang tidak berikatan. http://bidanriana.dagdigdug.com/tag/adaptasi-fisiologi/ 8. Mengapa terjadi peningkatan suhu pada pasien? Akibat adanya suatu sumbatan pada kandung empedu mengundang invasi bakteri bakteri yang kemudian mengaktifkan mediator mediator inflamasi untuk memfagosit bakteri bakteri tersebut. Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus enzim untuk mengeluarkan A2. Asam suatu substansi yang yakni asam oleh arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan fosfolipase akan arakhidonat pengeluaran dikeluarkan hipotalamus pemacu prostaglandin (PGE2).

Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa

suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Biasanya sekitar 37 - 38 tidak sampai 40 0. Sumber : Fisiologi Sheerwood 9. Apa arti pemeriksaan Murphys sign positif? Pasien di periksa dalam posisi supine (berbaring). Ketika pemeriksa menekan/palpasiregio subcostal kanan (hipokondriaka dextra) pasien, kemudian pasien diminta untukmenarik nafas panjang yang dapat menyebabkan kandung empedu turun menujutangan pemeriksa. Ketika manuver ini menimbulkan respon sangat nyeri kepada pasien,kemudian tampak pasien menahan penarikan nafas (inspirasi terhenti), maka hal inidisebut murphys sign positif Hal ini terjadi karena adanya sentuhan antara kandung empedu yang mengalamiinflamasi dengan peritoneum abdomen selama inspirasi dalam yang dapat menimbulkanreflek menahan nafas karena rasa nyeri. Bernafas dalam menyebabkan rasa yangsangat nyeri dan beratbeberapa kali lipat walaupun tanpa tekanan/palpasi pada pasiendengan inflamasi akut kandung empedu.Pasien dengan kolesistitis biasanya tampak kesakitan dengan manuver ini dan mungkinakan terjadi penghentian mendadak dari inspirasi (menarik nafas) ketika kandungempedu yang terinflamasi tersentuh jari pemeriksa. Hal ini disebut dengan istilahinspirasi terhenti (nspiration arrest ) dan dideskripsikan sebagai shutting off dariinspirasi (menarik nafas).

http://www.scribd.com/doc/60607260/Murphy-s-Sign 10. Apa hubungan umur dengan penyakit yang di derita?

NB DICARI LHO YA ! Organ yang kira-kira terkena: hepar, vesica fellea,flexura coli Menjalar ke bahu kanan: vesica fellea terganggu karena adanya peradangan, batu empedu, Atresia ductus billiaris! Isi pil KB, Cari ya!! Hubungan Vesica Fellea dan Kolesterol?

Peran Garam empedu? a . E mu l s i f i k a s i m e n ge mu l s i u s u s l e m a k . G a r a m e mp e du da l a m

g o b u l u s

l e ma k

b e s a r

h a l u s yang kemudian menghasilkan gobulus lemak lebih kecil

dan area permukaan yang lebih luas untuk kerjaenzim. b . Ab s o r ps i l e ma k . z a t G a r a m e mp e du l e ma k m e mb a n t u d e n g a n

me n g a b s or ps i

t e r l a r u t

c a r a memfasilitasi jalurnya menembus membran sel. c.Pengeluaran empedu feses (http://www.scribd.com/doc/52471266/129/Fungsi-garam-empedu-dalam-usus-halus) Kandungan Garam empedu?
Table komposisi empedu : diambil dari fisiologi Guyton :1030)

kolesterol dengan

dari

tubuh.

Garam dan

berikatan

kolesterol

l e s i t i n untuk membentuk agregasi kecil disebut micelle yang dibuang melalui

Empedu hati Empedu kandung empedu Air 97,5 gr/dl 92 gr/ dl Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/ dl Bilirubin 0,04 gr/dl O,3 gr/ dl Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 sampai 0,9 gr/dl Asam-asam lemak 0,12 gr/dl 0,3 sampai 1,2 gr/dl Lesitin 0,04 gr/ dl 0,3 r/dl Na + 145 mEq/liter 130 mEq/liter K+ 5 mEq/liter 12 mEq/liter Ca + 5 mEq/liter 23 mEq/liter Cl- 100 mEq/liter 25 mEq/ liter HCO3- 28 mEq/liter 10 mEq/liter http://oknurse.wordpress.com/keperawatan/chol elithiasis/

Komposisi normal garam empedu?

Table komposisi empedu : diambil dari fisiologi Guyton :1030)

Empedu hati Empedu kandung empedu Air 97,5 gr/dl 92 gr/ dl Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/ dl Bilirubin 0,04 gr/dl O,3 gr/ dl Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 sampai 0,9 gr/dl Asam-asam lemak 0,12 gr/dl 0,3 sampai 1,2 gr/dl Lesitin 0,04 gr/ dl 0,3 r/dl Na + 145 mEq/liter 130 mEq/liter K+ 5 mEq/liter 12 mEq/liter Ca + 5 mEq/liter 23 mEq/liter Cl- 100 mEq/liter 25 mEq/ liter HCO3- 28 mEq/liter 10 mEq/liter http://oknurse.wordpress.com/keperawatan/chol elithiasis/

Pembentukan cairan empedu? Jelaskan!!! Dibentuk, dipekatkan, diekskresikan, diambil lagi oleh usus kembali lagi METABOLISME !!!!!

Empedu (as. Empedu, kolesterol, dan zat organic lain)

Disalurkan melalui ductus Sel epitel sekretoris pd duktulus dan duktus ion natrium dan bikarbonat encer

duodenu m

Kandung empedu

Penyimpanan dan

Transpor aktif natrium absorpsi sekunder ion klorida, air dan zat2 terdifusi lainnya

Duodenum (dirangsang oleh CCK dan asetilkolin)

Direabsorbsi kedlm darah dr usus

Direabsorbsi kembali melalui sinusoid vena kembali ke sel hati dan diekskresikan kembali

11.

DD? Kolelitiasis Definisi Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait: 1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu) 2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)

,3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri) Etiologi o Production of bile supersaturated with cholesterol o Decrease in bile content of either phospholipids or bile acids o Biliary stasis or impaired gallbladder motility o Hemolytic diseases o Biliary infection (Frank J Domino.2008.The -5 Minute Clinical Consult 2008 16th edition.USA:Blackwell Publishing) Faktor resiko Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga menguras garam empedu serta mengurangi kontraksi atau pengosongan kandungempedu.

d . M a k a n a n Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (sep e r t i setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandungempedu.e . R i w a y a t k e l u a r g a Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.f . A k t i f i t a s fisik Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resikot e r j a d i n y a k ol e l i t i a s i s . I n i m u n g k i n d i s e b a b k a n o l e h k a n d u n g e mp e d u lebih sedikit berkontraksi.g .
1. Usia lanjut, jenis kelamin kebanyakan wanita kulit putih

2. Etnik dan geografik cenderung di negara industri barat 3. Lingkungan. Faktor estrogen baik kontrasepsi oral dan

kehamilan meningkatkan penyerapan dan sintesis kolesterol sehingga terjadi peningkatan ekskresi kolesterol dalam empedu. Kejadian juga meningkat pada kegemukan, penurunan berat yang cepat, terapi dengan obat antikolesterolemia
4. Penyakit didapat 5. Hereditas

EPIDEMIOLOGI 1. Female 2. Fat 3. Forty 4. Fertile 5. Food 6. Flatulen

wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1. Lebih sering pada orang banyak yang gemuk. Bertambah dengan tambahnya usia. Lebih banyak pada multipara. orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu. Sering memberi gejala-gejala saluran cerna.

Klasifikasi dan Patofisiologi

Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait: 1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu) 2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus) ,3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri) Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi batu empedu turut terbagi atas: 1. 2. Patofisiologi batu kolesterol Patofisiologi batu berpigmen

A. Patofisiologi Batu Kolesterol Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:

1. Supersaturasi kolesterol empedu. 2. Hipomotilitas kantung empedu. 3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol. 4. Hipersekresi mukus di kantung empedu 1. Supersaturasi Kolesterol Empedu Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel(Misel adalah partikel berukuran koloid yang terbentuk dalamair akibat dari penggabungan molekul-molekul atau ion-ionyang memiliki ujung hidrofobik dan ujung hidrofilik) dan vesikel(ebuah ruang pada sel yang
dikelilingi oleh membran sel. Ruang biasanya ditempati oleh sitoplasma yang terdiri dari organel dansitosol). Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih

besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5). Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud dalam

keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal). Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu. Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: a. Hipersekresi kolesterol. b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu. c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid a. Hipersekresi kolesterol. Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh: i. peningkatan uptake kolesterol hepatik ii. peningkatan sintesis kolesterol iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik

iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis

kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol pembentukan kristal kolesterol. b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu. Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni: i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik. ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik. iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik. Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu. c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid 95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin)

ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda. 2. Hipomotilitas kantung empedu Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat. a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).

b. Kontraksi sfingter melampaui hingga menghambat evakuasi empedu normal. Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat

presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu. 3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu. 4 .Hipersekresi mukus di kantung empedu Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal

kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
B. Patofisiologi batu berpigmen Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda. 1. Patofisiologi batu berpigmen hitam Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase- endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam. 2. Patofisiologi batu berpigmen coklat Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen. Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:

i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat. ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam palmitik). iii. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik. Gejala Klinis

Pasien dengan batu empedu dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu simptomatik dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolisistitis akut, ikterus, kolangitis, pancreatitis). Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya nyeri di perut atas/epigastrium tetapi dapat juga di kiri dan prekordial.

Kolelitiasis di VF dapat menimbulkan berbagai sindrom: a. CCK yg disekresi duodenum karena rangsang makanan menghasilkan kontraksi VF sehingga batu menutup duct sistikus. Batu mungkin terlepas lagi b. Jika batu menutup di duct sistikus secara menetap mungkin terjadi mukokel c. Bila infeksi terjadi, mukokel berubah menjadi empiema. Biasanya VF dikelilingi dan ditutup alat perut (kolon, omentum) d. Kolesistitis akut e. Kolesistitis akut sembuh f. Nekrotik (sebagian dinding) dapat ditutup alat sekitarnya (massa kolesistitis) g. Perforasi menyebabkan perforasi generalisata h. Batu maju di duct sistikus sewaktu kolik i. Batu asimptomatis di duct kholedochus mungkin menyebabkan kolik j. Ikterus obstruktif k. Kolangitis l. Kolangiolitis m. Pancreatitis n. Fistel kolesistoduodenal De Jong

Penegakan Diagnosis
2.9 Diagnosis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap

2.9.1 Anamnesis

makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 2.9.2 Pemeriksaan Fisik Batu kandung empedu Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. 2.9.3 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. b. Pemeriksaan radiologis Foto polos Abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan kandung empedu. tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis 2.10 Penatalaksanaan Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain: a) Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopi Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 8: Tindakan kolesistektomi c) Disolusi medis Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. d) Disolusi kontak Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. f) Kolesistotomi Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.

2.11 Terapi Ranitidin Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi. Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung (Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik). Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Buscopan (analgetik /anti nyeri) Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi. Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita. Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat. Buscopan Plus Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg. Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita. NaCl NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh. 2.12 Penatalaksanaan Diet Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani.

Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.

Kolesistitis

KOLESISTITIS AKUT

2.1. Definisi Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum melalui ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak

diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris. (Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy)

Asam asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke

dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal. Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis oleh hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan empedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50% akan direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.3. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009). Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti

bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009). Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al, 2009)

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut (Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg) Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).

2.4. Tanda dan Gejala Klinis Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.5. Diagnosis Banding Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien pasien yang dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).

2.6. Diagnosis Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat

memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.

Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010) Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu batu empedu berukuran kecil (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT scan abdomen, tampak batu batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di

duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009). Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda tanda kongesti pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).

2.7. Tatalaksana

2.7.1. Terapi konservatif Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam

dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian

CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.7.2. Terapi bedah Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E, et al, 2010). Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009) Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (Cox MR, et al, 2008) Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah: Resiko tinggi terhadap anastesi umum Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).

2.8. Komplikasi kolesistitis

2.8.1.Empiema dan hidrops Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al, 2009). Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

2.8.2. Gangren dan perforasi Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).

Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009). Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).

2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris bisu/tenang yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar

pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi

kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin. Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9. Komplikasi pascakolesistektomi

2.9.1. Komplikasi dini

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9.2. Sindroma tunggal duktus sistikus Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus). Namun, penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan gejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9.3. Katarsis dan gastritis akibat garam empedu Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda gastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data kuat yang menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan pembedahan penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian diare responsif kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.10. Prognosis Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ, et al, 2009).

Anda mungkin juga menyukai