Anda di halaman 1dari 4

Setiap hari seperti berada di dalam kawasan perang zona merah.

Tiada hari tanpa gencatan senjata dan perang mulut yang menghiasi keluarga kecil almarhum Wirawan. Itulah Yo dan Embil. Sepasang saudara yang hanya terpaut 2 tahun itu sedang memulai pemanasan saat matahari belum pergi jauh dari sarangnya. anak pertama itu produk gagal.. sungut Embil. owh.. berarti anak terakhir itu produk sisa. Balas Yo tenang. Embil cemberut, kak Yo pelit. Yo acuh saja dan terus membolak-balik koran bekas yang sudah cukup basi. kenapa cerpenku tidak boleh terbit di edisi ini? masih butuh banyak perbaikan. Jawab Yo datar. tapi banyak yang bilang cerpenku bagus, Kak. ya, tapi yang ini masih butuh perbaikan. Yo menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari koran. tapi kak, kakak kan editor majalah sekolah, kenapa tidak... embil masih kekeuh pada keinginannya. apa kamu berpikir setiap cerpenmu bisa terbit hanya karena kakak editor majalah sekolah? kata Yo tegas. Embil terhenyak dari duduknya. Memandang kakaknya dengan selaput bening yang mulai menumpuk dipelupuk matanya. kakak jahat. Embil beranjak dan meggendong tas punggungnya meninggalkan ruang makan. Yo, apa kamu tidak terlalu keras pada adikmu. Sang Ibu yang sedari tadi hanya diam kini angkat bicara. kalau Embil selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, kapan dia bisa belajar untuk bersabar, Bu? Yo hanya ingin membantu Embil meraih mimpinya jadi penulis, kalau hanya seperti ini saja membuatnya rapuh, bagaimana dia bisa bertahan nantinya? kamu benar, Yo. Oh, ya kapan kamu berangkat? Naik kereta yang sore kan?

iya, Bu. >>> sudahlah, mungkin Kak Yo punya alasan, mungkin dia benar. Cerpenmu yang ini masih butuh perbaikan. Komentar Melda setelah mendengar cerita Embil. entahlah, kak Yo selalu saja begitu. Cerewet. Apa semua kakak perempuan begitu? Suka mengatur ini-itu, melarang itu dan ini. Kata Embil sewot sambil menunjuk-nunjuk tak jelas. aku kan tidak punya kakak perempuan, aku cuma punya Abang. Jadi jawabannya adalah aku tidak tahu, haha. Melda berusaha mencairkan hati sobatnya. ah, jawabanmu terlalu sistematis. Kemudian Embil terdiam sejenak dan berkata. kalau boleh aku meminta, aku ingin dilahirkan sebagai anak tunggal, atau kalau tidak aku ingin kak Yo menghilang untuk beberapa minggu saja. wah.. seperti psikopat saja kata-katamu. Timpal Melda. >>> ke Jakarta?! teriak Embil. iya, pengajuan beasiswa kakakmu diterima dan harus mengikuti Smartcamp selama 5 minggu di sana. Jawab Ibu. benar, Bu? tanya Embil senang seakan tak percaya dengan pendengarannya. Sang Ibu hanya mengangguk. kelak kamu juga harus bisa seperti kakakmu. Senyumnya seketika luntur ketika harus disama-samakan lagi seperti itu dengan kakaknya. kak Yo ya kak Yo, Embil ya Embil, kak Yo bukan Embil dan yang jelas Embil bukan kak Yo. Celoteh Embil dalam hati, meskipun kesal tapi Embil cukup senang karena Yo benar-benar menghilang untuk beberapa minggu, harap mendapat sambut, seperti mendapatkan durian runtuh.

Hari-hari Embil sebagai anak tunggalpun dimulai, tak ada lagi yang cerewet mengaturnya ini-itu, tak ada lagi yang memarahinya kalau malas-malasan, benar-benar menyenangkan. Tapi itu hanya berlaku untuk beberapa hari saja. Lama-lama ia bosan, tak ada lagi yang diajak perang, tak ada lagi yang diajaknya bentrok berebut remote Tv. Sepi. Apalagi sekarang, tak ada yang membantunya mengerjakan PR. Biasanya Yo yang membantunya, meski dengan beberapa celotehan yang membuat telinga Embil panas. kak Yo kapan pulang.. batin Embil. Tanpa terasa butiran hangat mengalir dari matanya. Embil sadar, tak semestinya ia merajakan egonya. Kenapa kakaknya berangkat tanpa pamit. Dia teringat kata terakhir yang dia ucapkan sebelum kakaknya berangkat. kakak jahat. Bagaimana kalau kakaknya tak kembali? Sekarang saja rasanya sudah seperti ini, bagaimana kalau nanti kakaknya sudah benar-benar kuliah di Jakarta dan jarang pulang?? kak Yo sangat menyayangimu. Kata Ibu yang melihat kegelisahan Embil. meski kadang sikapnya keras tapi itu demi kebaikanmu, sayang. Lanjutnya sambil mengelus lembut rambut Embil. saat Ayah pergi, kakakmu tidak meneteskan sedikitpun air matanya dihadapmu. Mencoba membagi sisa kekuatannya. Padahal saat sepi kakakmu menangis sejadinya dihadapun ibu, bahkan kakakmu lebih rapuh darimu, sayang. kakakmu juga pernah bilang kalau dia ingin sekali mewujudkan mimpimu untuk jadi penulis, tak mudah jalan untuk meraih itu, jadi dia menolak cerpen yang kamu ajukan, untuk melatihmu supaya tahu bahwa jalan itu tak selamanya mulus. Sekali lagi air mata Embil meleleh. Ternyata kakaknya sangat menyayanginya, dibalik kecerewetannya tersimpan rasa sayang yang begitu besar, Embil kini sadar, benar yang dikatakan Melda, mungkin kak Yo punya alasan untuk bersikap seperti itu. Diujung malam ini, Embil memainkan penanya di atas selembar kertas biru, ditemani bulan yang setia menjaga malam dan bersiap menyambut hari yang baru.... Dear my sister.. Mungkin bulan iri dengan sinarmu.. Kau lebih dari cahaya bulan yang mengusir gelap.. Bahkan Kau lebih dari pelangi..

kau yang sudah mengajariku tentang hidup.. kau sudah seperti guru, sahabat, bahkan seperti Ayah yang selalu menjagaku dan Ibu ..meski ku baru menyadarinya... kau bagai lentera dalam gubuk kecil keluarga ini setelah kepergian Ayah, kak... kalau ada kata yang artinya lebih dari kata SAYANG dan CINTA, akan ku bingkis khusus untukmu kak... :-) -endMAIL^^

special thx to: kak Yo dan Embil yang dengan senang hati meRepost cerpencerpenku.. :) hehe.. juga Melda Lobalaga .. maaf ya aku pakai nama kalian tanpa pamit.. hehe.. n temen-temen yang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu.. thx 4 reading :) jember, 231111

Anda mungkin juga menyukai