Anda di halaman 1dari 6

J Kedokter Trisakti

September-Desember 2003, Vol.22 No.3

Astrositoma : insidens dan pengobatannya


Iskandar Japardi
Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara / Kepala UPF Bedah Saraf Rumah Sakit dr. Pirngadi, Medan

ABSTRACT
Astrocytoma is the most common brain tumor, accounting for more than half of all primary central nervous system (CNS) malignancies. Most astrocytoma are indolent low-grade (ie, WHO grade I-II) tumors predominantly arise in midline locations, such as the cerebellum and diencephalic region. Diffuse astrocytomas (ie, WHO grade II) may arise in any area of the CNS but most commonly develop in the cerebrum. And the malignant highgrade (ie, WHO grade III-IV) tumors are generally found in the cerebral hemispheres. Most cases occur in the first decade of life with peak age at 5-9 years. Surgical resection alone is sufficient to cure the mayority of lowgrade astrocytomas; however the prognosis remains poor for high-grade astrocytomas inspite of the additon of radiotherapy and chemotherapy. Keywords: Astrocytoma, incidence, surgical, radiotherapy, chemotherapy

ABSTRAK
Astrositoma merupakan tumor otak yang paling banyak dijumpai, dan mencakup lebih dari setengah tumor ganas di susunan saraf pusat (SSP). Sebagian besar astrositoma merupakan tumor dengan derajat yang rendah (WHO grade I-II) dan terjadi di daerah pertengahan otak, seperti daerah serebelum dan diensefalik. Astrositoma difus (WHO grade II) dapat terjadi di mana saja di SSP tetapi umumnya terjadi di serebrum. Astrositoma yang derajat tinggi (WHO grade III-IV) umumnya dijumpai di daerah hemisfer serebrum. Sebagian besar kasus terjadi pada dekade pertama kehidupan dengan puncaknya pada usia antara 5-9 tahun. Tindakan pembedahan mampu mengatasi astrositoma derajat rendah, namun pada astrositoma derajat tinggi tindakan pembedahan harus ditambahkan dengan radioterapi dan kemoterapi. Kata kunci : Astrositoma, insidens, pembedahan, radioterapi, kemoterapi

PENDAHULUAN Peranan sentral dari otak dan kelainan fungsional yang terjadi mencerminkan beratnya akibat yang ditimbulkan oleh tumor otak. Kematian akibat tumor otak besarnya 2% dari seluruh kematian akibat tumor. Dan insidens tumor otak besarnya 7 per 100.000 penduduk per tahun.(1) Jenis tumor otak ini sangat beraneka ragam dari yang jinak sampai ganas. Salah satu tumor yang merupakan frekuensi terbesar dari semua jenis tumor di otak adalah glioma. Insidens dari glioma besarnya 5 per 100.000 penduduk.(2) Menurut Badan Kesehatan Sedunia (World Health Organization/ WHO) terdapat tiga jenis glioma yang dapat 110 dibedakan dari pemeriksaan histopatologis yaitu astrocytoma, oligendroglioma dan mixed oligoastrocytoma. Dari ketiga jenis glioma ini, astrositoma merupakan tumor yang paling sering dan mencakup lebih dari 50% tumor ganas primer di otak (3) Istilah astrositoma pertama kali diperkenalkan pada abad ke 19 oleh Virchow,(4) dan gambaran histopatologi tumor ini diperkenalkan oleh Bailey dan Cushing pada tahun 1926.(5) Tumor ini memiliki beberapa karakteristik antara lain : i) dapat timbul pada berbagai lokasi di susunan saraf pusat (SSP), tetapi lebih sering ditemukan pada hemisfer serebral, ii) biasanya menimbulkan

J Kedokter Trisakti

Vol.22 No.3

manifestasi pada usia dewasa, iii) memberikan gambaran histopatologi dan perilaku biologi yang berbeda-beda, iv) dapat mengadakan infiltrasi ke sekitarnya maupun ke tempat-tempat yang jauh tanpa dipengaruhi oleh gambaran histopatologi, v) memiliki kecenderungan untuk progresif menjadi fenotip yang lebih ganas seperti anaplastic astrocytoma dan glioblastoma. Astrositoma mencakup tumor yang sangat bervariasi tergantung lokasinya di SSP, berpotensi untuk tumbuh menjadi invasif, progresif dan menyebabkan timbulnya berbagai gejala klinik. Untuk itu perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut agar dapat dilakukan deteksi secara dini dan memberikan pengobatan yang tepat. Epidemiologi dan klasifikasi Astrositoma merupakan tumor yang banyak terjadi pada dekade pertama kehidupan dengan puncaknya antara usia 5-9 tahun. Insidens astrositoma difus terbanyak dijumpai pada usia dewasa muda (30- 40 tahun) sebanyak 25% dari seluruh kasus. Sekitar 10 % terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, 60% pada usia 20-45 tahun dan 30% di atas 45 tahun.(2) Kasus pada laki-laki didapatkan lebih banyak dari wanita dengan rasio sebesar 1,18 : 1. Berdasarkan kecenderungannya untuk menjadi anaplasia, WHO mengklasifikasi astrositoma menjadi pilocytic astrocytoma (grade I), diffuse astrocytoma (grade II), anaplastic astrocytoma (grade III) dan glioblastoma multiforme (grade IV).(6) WHO telah melakukan banyak perubahan klasifikasi sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979. Edisi kedua dipublikasi pada tahun 1993 dan telah mengalami banyak kemajuan dengan diperkenalkannya pemeriksaan immunohistochemistry. Klasifikasi yang terakhir dipublikasi pada tahun 2000 yang disusun berdasarkan konsensus yang direkomendasikan oleh International WHO Working Group of experts di Lyon. (7) Grade I merupakan tumor yang memberikan gambaran histologis yang stabil, yang dikenal sebagai tumor jinak. Tanda-tanda bahwa tumor tersebut atipik adalah gambaran inti sel yang atipik seperti kromatin inti yang kasar, bentuk inti yang bermacam-macam, jumlah inti lebih dari satu

pada satu sel, dan terdapat pseudoinklusi. Selain itu aktivitas mitosis, bentuk sel, proliferasi vaskuler dan nekrosis juga memberikan informasi mengenai perilaku biologi tumor. (4) Kriteria disebut glioblastoma multiforme antara lain, hiperselluler, bentuk sel dan inti sel bermacam-macam, proliferasi endotel, gambaran mitosis dan sering disertai dengan nekrosis. Kriteria astrocytoma anaplastic antara lain, jumlah sel lebih sedikit dibandingkan dengan glioblastoma multiforme, demikian juga dengan gambaran sel dan inti sel serta mitosis yang lebih sedikit, umumnya tidak disertai dengan nekrosis. Patofisiologi Tumor ini akan menyebabkan penekanan ke jaringan otak sekitarnya, invasi dan destruksi terhadap parenkim otak. Fungsi parenkim akan terganggu karena hipoksia arterial maupun vena, terjadi kompetisi pengambilan nutrisi, pelepasan produk metabolisme, serta adanya pengaruh pelepasan mediator radang sebagai akibat lanjut dari hal tersebut diatas. Efek massa yang ditimbulkan dapat menyebabkan gejala defisit neurologis fokal berupa kelemahan suatu sisi tubuh, gangguan sensorik, parese nervus kranialis atau bahkan kejang. Astrocytoma low grade yang merupakan grade II klasifikasi WHO akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan bentuk yang maligna. Tumor doubling time untuk astrocytoma low grade kirakira 4 kali lebih lambat dibandingkan dengan astrocytoma anaplastic (grade III astrocytoma). Sering diperlukan waktu beberapa tahun antara gejala awal hingga diagnosa low grade astrocytoma ditegakkan, interval ini kira-kira 3,5 tahun. Astrocytoma low grade ini seringkali disebut diffuse astrocytoma WHO grade II. Gejala-gejala klinik Kejang-kejang umum merupakan manifestasi utama yang seringkali dijumpai, walaupun secara retrospektif dapat djumpai gangguan-gangguan lain terlebih dahulu seperti kesulitan berbicara, perubahan sensibilitas, gangguan penglihatan atau motorik Pada tumor low grade astrositoma kejangkejang dijumpai pada 80% kasus dibandingkan high 111

Japardi

Astrositoma

grade sebesar 30%.(8) Jika dibandingkan dengan astrocytoma anaplastic, gejala awal berupa kejang lebih jarang dijumpai. Gejala lainnya adalah meningginya tekanan intrakranial sebagai akibat pertumbuhan tumor yang dapat menyebabkan edema vasogenik. Penderita mengalami keluhankeluhan sakit kepala yang progresif, nausea, muntah-muntah, mengantuk, dan gangguan penglihatan (edema papil pada pemeriksaan funduskopi, atau diplopia akibat kelumpuhan nervus abdusens). Gejala meningginya tekanan intrakranial lainnya adalah terjadinya hidrosefalus. Semakin bertumbuhnya tumor gejala-gejala yang ditemukan sangat tergantung dari lokasi tumor tersebut. Tumor supratentorial dapat menyebabkan gangguan motorik atau sensitifitas, hemianopsia, afasia atau kombinasi gejala-gejala. Sedangkan tumor di fosa posterior dapat menimbulkan kombinasi dari gejalagejala kelumpuhan saraf kranial, disfungsi serebeler dan gangguan kognitif. Etiologi Sejumlah penelitian epidemiologi belum berhasil menentukan faktor penyebab terjadinya tumor otak, terkecuali pemaparan terhadap sinarX.(9) Anak-anak dengan leukemia limfositik akut yang menerima radioterapi profilaksis pada susunan saraf pusat akan meningkatkan risiko untuk menderita astrositoma, bahkan glioblastoma.(10) Tumor ini juga dihubungkan dengan makanan yang banyak mengandung senyawa nitroso (seperti nitosurea, nitrosamine, dan lain-lain). Saat ini penelitian yang menghubungkan tumor jenis ini dengan kerentanan genetik tertentu terus dikembangkan. Tumor ini sering dihubungkan dengan berbagai sindroma seperti Li-Fraumeni Syndrome, mutasi Germline p53, Turcot Syndrome, dan neurofibromatosis tipe 1 (NF-1).(4) Gambaran radiologis Pemeriksaan computed tomography imaging (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) di daerah kepala dengan dan tanpa kontras, sangat membantu dalam diagnosa, penentuan grading, dan evaluasi patofisiologi tumor ini. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih baik dari pada CT scan. Pada pemeriksaan CT scan, gambaran 112

low grade astrocytoma akan terlihat sebagai lesi dengan batas tidak jelas, homogen, hipodens tanpa penyangatan kontras (Lihat Gambar 1). Kadangkadang dapat ditemukan kalsifikasi, perubahan kistik dan sedikit penyangatan kontras.

Gambar 1. CT scan low grade astrocytoma, kiri tanpa kontras, kanan dengan kontras, tidak tampak penyangatan. Pada astrocytoma anaplastic akan terlihat massa yang tidak homogen, sebagian dengan gambaran lesi hipodens dan sebagian lagi hiperdens. Umumnya disertai dengan penyangatan contrast.(11) Pada glioblastoma multiforme akan tampak gambaran yang tidak homogen, sebagian massa hipodens, sebagian hiperdens dan terdapat gambaran nekrosis sentral.(12) Tampak penyangatan pada tepi lesi sehingga memberikan gambaran seperti cincin dengan dinding yang tidak teratur. Secara umum, astrositoma akan memberikan gambaran isointens pada T1 dan hiperintens pada T2. (Lihat Gambar 2).(12)

a b Gambar 2. MRI, (a) potongan coronal T-1 tampak massa hipointens, (b) potongan axial T-2 tampak massa hiperintens

J Kedokter Trisakti

Vol.22 No.3

Gambaran histopatologi Terdapat empat variasi gambaran histopatologi low grade astrocytoma antara lain(13) (Gambar 3) : (i) astrocytoma protoplasmic, umumnya terdapat pada bagian korteks dengan selsel yang banyak mengandung sitoplasma. Bentuk ini mencakup 28% dari jenis astrositoma yang menginfiltrasi ke parenkim sekitarnya, (ii) astrocytoma gemistocytic, sering ditemukan pada hemisfer serebral orang dewasa terdiri dari sel bundar yang besar dengan sitoplasma eosinofilik dan eksentrik. Bentuk ini mencakup 5-10% dari glioma hemisfer, (iii) astrocytoma fibrillary, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan dan berasal dari massa putih serebral dengan sel yang berdiferensiasi baik berbentuk oval dan kecil. Tumor ini ditandai dengan jumlah sel yang meningkat dengan gambaran latar belakang yang fibriler. Untuk melihat gambaran fibriller ini dapat digunakan glial fibrillary acidic protein (GFAP) dan (iv) campuran.

PENGOBATAN Pada saat menentukan jenis pengobatan bagi penderita astrositoma, perlu dinilai manfaat yang akan diperolehnya. Manfaat tersebut diukur berdasarkan lamanya kelangsungan hidup penderita dibandingkan lamanya pemberian pengobatan. Dan yang paling penting adalah kualitas hidup penderita setelah pengobatan. Pengobatan utama yang dilakukan saat in mencakup : a) pembedahan, b) radioterapi, dan c) kemoterapi. Pembedahan dilakukan berdasarkan besarnya tumor di dalam otak dan status fungsional penderita. Penderita yang mengalami tumor yang berlokasi di pusat vital dengan hemiparesis, disfasia/afasia, penderita usia lanjut bukan merupakan indikasi untuk operasi. Diagnostik dikonfirmasi melalui biopsi dan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi. Penderita lainnya dapat dilakukan pembedahan, seperti open craniotomy dan stereotactic biopsy. Biopsi secara stereotaktik merupakan tindakan minimal invasive terutama terhadap tumor yang letaknya dalam dan di tempat yang sulit dicapai. Jika disertai dengan hidrosefalus, dapat dilakukan VP Shunt atau External Ventricular Drainage (EVD). Peranan pembedahan bagi penderita antara lain untuk: (i) melakukan dekompresi terhadap massa tumor, (ii) mengambil jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, sehingga dapat direncanakan pengobatan adjuvans dan memperkirakan prognosis. Radioterapi sudah berhasil memperpanjang kelangsungan hidup penderita terutama dengan grade tumor yang tinggi. Pemberian radioterapi pada penderita astrositoma mampu memperkecil massa tumor dan memperbaiki gejala-gejala neurologis sebesar 50 - 75% kasus.(14) Pada saat ini, kemoterapi bukanlah pilihan utama untuk pengobatan astrositoma. Bila tumor menjadi ganas, pembedahan, radioterapi dan pemberian kemoterapi dapat dilakukan. Astrositoma yang ganas bersifat incurable, dan tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki gangguan neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita. Pengobatan simtomatis, rehabilitasi dan dukungan psikologis sangat penting. Pemberian steroid 113

c Gambar 3. Gambaran histopatologi (a) astrocytoma fibrillary, (b) astrocytoma gemistocytic, (c) astrocytoma anaplastic

Japardi

Astrositoma

umunya akan memberikan hasil yang membaik karena pengurangan efek massa tumor yang disertai edema sekitar tumor. Pemberian steroid harus segera dihentikan setelah dilakukan tindakan pembedahan. Antikonvulsan tidak diberikan secara sistematik dan hanya diberikan pada penderita yang mengalami kejang. Obat ini dapat menimbulkan efek samping dan mengganggu pemberian kemoterapi. Median dari kelangsungan hidup penderita astrositoma adalah 5-8 tahun. Prognosis Prognosis penderita astrositoma tergantung dari tiga faktor : i) usia, ii)status fungsional, dan iii) grade histologis. Penderita usia 45 tahun mempunyai kelangsungan hidup empat kali lebih besar dibandingkan penderita berusia 65 tahun. Pada low grade astrocytoma, prognosis akan lebih buruk jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial, gangguan kesadaran, perubahan perilaku, defisit nerologis yang bermakna, dan adanya penyangatan kontras pada pemeriksaan radiologi. KESIMPULAN Sebagian besar tumor astrositoma merupakan tipe low-grade, dan banyak kasus timbul pada dekade pertama kehidupan dengan rentang usia 59 tahun. Astrositoma difus dapat terjadi di mana saja pada susunan saraf pusat, tetapi sebagian besar terjadi di serebrum, khususnya daerah lobus frontalis dan temporalis. Sedangkan di daerah serebelum jarang ditemukan. Astrositoma anaplastik timbul di daerah yang tidak berbeda dengan astrositoma difus dengan kebanyakan di hemisfer serebral. Tindakan pembedahan mampu mengatasi astrositoma tipe low-grade. Sedangkan astrositoma tipe high-grade di samping pembedahan perlu ditambahkan tindakan radioterapi dan kemoterapi. Daftar Pustaka
1. Brain tumors. Available from URL: http:// w w w. m e d w e b . b h a m . a c . u k / n e u r o s u g e r y / brain.tumor.doc. Accessed Mei 24, 2003.

2.

Behin A, Hoang-Xuan K, Carpentier AF, Delattre J. Primary brain tumors in adults. The Lancet 2003; 361: 323-31. 3. Mac Donald T. Excerpt from astrocytoma. Available from URL: http://www.emedicine.com/ ped/byname/astrpcytoma.htm. Accessed June 21, 2003. 4. Cavenee WK, Bigner DD, Newcomb EW, Paulus W, Kleinhues P. Diffuse astrocytomas. In: Kleinhues P, Cavenee WK, editors. Pathology & genetics tumors of the nervous system. Lyon, France: International Agency for Cancer Research; 1997. p. 2-9. 5. Bailey P, Cushing H. A classification of tumors of the glioma group on a histogenetic basis with a correlation study of prognosis. Philladelphia: Lippincott, 1926. 6. Smirniotopoulos JG. The WHO classification of CNS tumors. Available from URL: http:// rad.usuhs/mil/rad/who-image.1html. Accessed June 19, 2003. 7. Kleihuis P, Louis DN, Scheithauer BW, Rorke LB, Reifenberger G, Burger PC et al. The WHO classification of tumors of the nervous system/ Commentaries. J Neuropathol Exp Neurol 2002; 61: 215-5. 8. Kleihuis P, Davis RL, Ohgaki H, Burger PC, Westphal MM, Cavenee WK. Diffuse astrocytoma. Available from URL: http:// www. i c r c . f r / w h o - b ; u e b o o k s / B b w e b s i t e / samplepages.b1/page1-5.pdf. Accessed June 26, 2003. 9. Lantos PL, VandenBerg SR, Kleihues P. Tumor of the nervous system. In: Graham DI, Lantos PL, editors. Greenfieldss neuropathology. London: Arnold; 1996. p. 583-97. 10. Brustle O, Ohgaki H, Schmitt HP, Walter GF, Ostertag H, Kleihues P. Primitive neuroectodermal tumors after prophylactic central nervous system irradiation in children. Association with an activated K-ras Gene. Cancer 1992; 69: 2385-92. 11. Davis RL, Kleihues P, Burger PC. Anaplastic astrocytoma. In: Kleihues P, Cavenee WK, editors. Pathology and genetics: tumours of the nervous system. Lyon, France: International Agency for Cancer Research; 1997. p. 14-5. 12. Greene GM, Hitchon PW, Schelper RL. Diagnostic yield in CT-guided stereotactic biopsy of gliomas. J Neurosurg 1989; 71: 494-8.

114

Japardi

Astrositoma

13. Kleihues P, Davis RL, Ohgaki H. Low-grade diffuse astrocytoma. In: Kleihues P, Cavenee WK, editors. Pathology and genetics: tumours of the nervous system. Lyon, France: International Agency for Cancer Research; 1997. p. 10-4.

14. Bauman G, Pahapill P, Macdonald D, Fisher B, Leighton C, Cairncross JG. Low grade glioma: a measuring radiographic response to radiotherapy. Can J Neurol Sci 1999; 26: 1822.

115

Anda mungkin juga menyukai