Anda di halaman 1dari 14

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Oleh: A.

Aziz Sanapiah Abstrak


Masih tingginya tingkat keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa terhadap birokrasi menunjukkan bahwa pada satu sisi kualitas produk layanan birokrasi masih dirasakan tidak dapat memenuhi harapan masyarakat pengguna jasa. Pada sisi lain, telah semakin tumbuh kesadaran masyarakat pengguna jasa untuk menuntut hak-haknya sebagai konsumen untuk memperoleh pelayanan dengan kualitas terbaik " (Dwiyanto, 2002) Dua tahun kemudian..... " Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, dan prosedur berbelit-belit. Dampaknya pada bidang usaha ekonomi mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, menghambat investasi, memperlambat arus barang ekspor-impor, kesan bagi masyarakat kurang memuaskan dan citranya buruk " (Kantor Menpan, 2004)

A. PENDAHULUAN Dunia yang mengelilingi Indonesia telah dan akan terus berubah. Sebagai aparatur pemerintah, kita harus mengikuti arus perubahan itu, apabila Indonesia ingin memanfaatkan kesempatan yang diciptakan oleh perubahan itu, dan bukan hanya menjadi sekedar penonton yang pasif. Dengan meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur pemerintah, kemajuan Indonesia dapat dicapai, termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik yang prima kepada masyarakatnya. Sebagaimana halnya di negara-negara sedang berkembang, tantangan untuk menggapai kondisi ideal tersebut selalu ada. Secara sepintas saja, kondisi geografis Indonesia yang archipelago state dengan 17.864 pulau, sudah menghadirkan permasalahan tersendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada mereka. Kondisi sulit ini kemudian ditambah dengan besamya populasi sekitar 238 juta (BPS, 2005). Di samping persoalan di atas, secara kuantitas jumlah sumber daya manusia aparatur (Pegawai Negara Sipil) yang memberikan pelayanan juga dirasakan sangat minim dengan rasio 1,9 % dari jumlah penduduk. Jika dibandingkan dengan Negara-negara maju yang dalam setiap 1000 penduduk terdapat 77 PNS, di Indonesia hanya sebanyak 21 PNS saja. Di daerah, rationya bahkan lebih kecil, yakni 4 : 1000. Kondisi negatif ini kemudian diperparah dengan kualitas pendidikan mereka yang masih rendah. Ketidakseimbangan antara jumlah PNS dengan jumlah penduduk yang dilayani menyebabkan pemerintah melakukan pembenahan. Salah satu cara untuk membenahi hal tersebut adalah dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur dan terus melakukan upaya melalui berbagai kebijakan dalam rangka peningkatan kompetensi PNS demi terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik. Untuk peningkatan kompetensi, dua kebijakan telah dikeluarkan yaitu Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP 101/ 2000 Tentang Diklat Jabatan PNS. Sedangkan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik, Menpan menerbitkan Surat Keputusan No. 81/ 1993 yang merumuskan suatu pedoman umum dalam pelaksanaan pelayanan umum. Selanjutnya, Tahun 1995, Surat Keputusan ini diperkuat oleh Instruksi Presiden Nomor 1/ 1995 yang berisi penugasan kepada Menpan untuk memimpin pelaksanaan kegiatan yang dianggap perlu agar dapat segera

meningkatkan mutu pelayanan bagi masyarakat. Tahun 1998, Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan (Menko Wasbang) menerbitkan Surat Edaran Nomor 56/ 1998 bagi seluruh kementerian agar mulai menerapkan pelayanan prima di lingkungannya masing-masing. Surat Edaran ini kemudian dilanjutkan dengan Surat Edaran Menko Wasbang Nomor 145/ 1999 yang berisi rincian jenis-jenis pelayanan masyarakat yang harus segera menerapkan pelayanan prima di lingkungan Pemerintah Daerah. Baru-baru ini, Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menerbitkan lagi Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/ KEP/ M.PAN/ 7/ 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 11/ M.PAN/ 1/ 2004 tentang Pencanangan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik dan Petunjuk Pelaksanaannya; Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/ 25/ M.PAN/ 2/ 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah; dan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/ 26/ M.PAN/ 2/ 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keseluruhan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ini mencoba menerobos sisi lain dari pelayanan guna mempercepat perwujudan pelayanan publik yang prima dengan membenahi kualitas kinerja aparatur pemerintah melalui pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam prakteknya, kinerja kebijakan tersebut belumlah seperti yang diharapkan. Keluhan masyarakat akan kualitas pelayanan publik masih merupakan fenomena umum. Rakyat masih mengeluh sebagaimana yang diungkapkan oleh Dwiyanto (2002) dan Kantor Menpan (2004) pada prolog di atas.

B. KONDISI SDM APARATUR Kondisi saat ini menunjukkan bahwa SDM aparatur yang ada sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini yang menunjukkan profesionalisme rendah, banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, tingkat gaji yang tidak memadai, pelayanan kepada masyarakat yang berbelit-belit, hidup dalam pola patronk lien, kurang kreatif dan inovatif, bekerja berdasarkan juklak dan juknis serta mungkin masih banyak potret negatif lainnya yang intinya menunjukkan bahwa aparatur di Indonesia masih lemah. Gambaran tersebut memberikan dorongan bagi kita untuk melakukan perubahan pada SDM aparatur Indonesia (kita sebut dengan istilah Reformasi Birokrasi). Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya adalah perubahan sistem pemerintahan daerah sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Perubahan mendasar pada kedua undang-undang ini terletak pada paradigma yang digunakan, yaitu dengan memberikan kekuasaan otonomi melalui kewenangan-kewenangan untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Melalui dua undang-undang ini Bangsa Indonesia telah mengambil langkah untuk meninggalkan paradigma pembangunan sebagai pijakan pemerintah untuk beralih kepada paradigma pelayanan dan pemberdayaan

masyarakat. Perubahan paradigma ini tidak berarti bahwa Pemerintah sudah tidak lagi memiliki komitmen untuk membangun, tetapi lebih pada meletakkan pembangunan pada landasan nilai pelayanan dan pemberdayaan. Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tersebut telah menggeser paradigma pelayanan, dari yang bersifat sentralistis ke desentralistis dan mendekatkan pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah tersebut berimplikasi pada perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974 menjadi UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Perubahannya yang paling mendasar adalah tentang manajemen kepegawaian yang lebih berorientasi kepada profesionalisme SDM aparatur (PNS), yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, tidak partisan dan netral, keluar dari pengaruh semua golongan dan partai politik dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk melaksanakan tugas pelayanan masyarakat dengan persyaratan yang demikian, SDM aparatur dituntut memiliki profesionalisme, memiliki wawasan global, dan mampu berperan sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 sebagai penganti UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tersebut membawa perubahan mendasar guna mewujudkan SDM aparatur yang profesional yaitu dengan pembinaan karir Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara sistem prestasi kerja dan karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja yang pada hakekatnya dalam rangka peningkatan pelayanan publik. Manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dituntut memiliki karakteristik, memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki tujuan sosial serta akuntabel pada publik. Sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan negara, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan dengan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi, tujuan, dan sasaran. Pada prinsipnya, di dalam diri setiap aparatur pemerintah melekat peran, tugas, dan tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai, kode etik, dan moral. Pelayanan publik adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan (kepuasan) masyarakat sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Seiring dengan berlakunya otonomi daerah, maka tingkat pelayanan di tingkat lokal akan sangat benarbenar bisa dirasakan oleh masyarakat di dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Ini berarti bahwa SDM aparatur merupakan sebagian dari keseluruhan elemen sistem pelayanan publik yang begitu luas dan kompleks, karena tugas dan fungsi SDM aparatur yang begitu penting dan strategis. Dewasa ini, fungsi SDM aparatur menjadi lebih kompleks tidak sekedar fungsi pengaturan, pengelolaan, dan pengendalian saja, akan tetapi lebih berorientasi pada fungsi pemberdayaan (empowering), kesempatan (enabling), keterbukaan (democratic), dan kemitraan (partnership) dalam pengambilan keputusan, pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dalam upaya pelayanan publik. Tugas pokok dan

fungsi dari SDM aparatur pada intinya adalah menjadi pelayan masyarakat yaitu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat; menjadi stabilisator yaitu sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa; menjadi motivator yaitu memberdayakan masyarakat agar terlibat secara aktif dalam pembangunan; menjadi innovator dan kreator yaitu menghasilkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan masyarakat agar menghasilkan pelayanan yang baru, efektif dan efisien dan menjadi inisiator yaitu selalu bersemangat mengabdi dengan berorientasi pada fungsi pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat yang dilandasi dengan keikhlasan dan ketulusan. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tersebut, tentu saja perlu diperhatikan hak dari aparatur itu sendiri, yaitu mendapatkan kehidupan yang sejahtera baik dari aspek material maupun spiritual. Secara garis besar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparatur di Indonesia adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (excellent service for people). Agar tugas pokok dan fungsi serta kewajiban tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Adanya peraturan yang jelas serta didukung dengan sumber daya manusia yang profesional dan handal merupakan faktor pendukung yang tidak boleh ditinggalkan. Sarana dan prasarana yang memadai, lengkap dan canggih akan mempercepat proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, peraturan yang jelas dalam pemberian pelayanan masyarakat akan memberikan pedoman bagi aparatur dalam memberikan pelayanan. Selain itu, masyarakat diberi akses untuk dapat mengontrol dan mengawasi kualitas dan prosedur pelayanan yang diberikan. Di samping hal-hal tersebut, adanya dukungan SDM aparatur dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta kewajibannya mempunyai kemampuan atau kompetensi yang baik, pelayanan diberikan secara transparan, fair, tidak membeda-bedakan dan dilaksanakan secara akuntabel serta penuh keikhlasan dan ketulusan. Untuk membentuk sosok SDM aparatur seperti tersebut memang memerlukan waktu dan proses yang lama serta upaya yang tidak boleh berhenti. Manajemen kepegawaian perlu dibenahi, yaitu diawali dengan melakukan pola rekrutmen yang benar sesuai dengan peraturan dan berdasarkan kompetensi. Demikian pula dalam pengembangan pegawai, Penilaian Prestasi Kerja (PPK), pola karir, penggajian, promosi, pemberhentian dan sebagainya. Semua perubahan itu perlu dilakukan dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Perubahan yang segera dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun non diklat. Perubahan melalui diklat dapat dilakukan dengan melakukan berbagai kursus, pendidikan formal maupun non formal atau pendidikan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan atau kompetensi teknis maupun perubahan pola pikir, moral, dan perilaku SDM aparatur. Meskipun merubah pola pikir, moral dan perilaku SDM aparatur melalui diklat memang tidak mudah, akan tetapi tetap perlu dilakukan. Sementara peningkatan kemampuan atau kompetensi melalui non diklat dapat dilakukan dengan menciptakan situasi dan kondisi kerja yang kondusif untuk terjadinya peningkatan kemampuan, melakukan mutasi secara berkala, menciptakan hubungan antar personal yang harmonis dan lain sebagainya. Eksistensi SDM aparatur perlu mendapat perhatian khusus, berkaitan dengan strategi peningkatan kualitas dan kompetensinya. Peningkatan kompetensi SDM aparatur dalam mengemban tugas atau jabatan birokrasi melalui diklat adalah berorientasi pada standar kompetensi jabatan sesuai tantangan reformasi dan globalisasi yang tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder-nya. Kualitas aparatur tidak mungkin meningkat tanpa adanya usaha-usaha yang konkrit untuk meningkatkannya. Oleh karena itu diklat perlu terus

ditingkatkan agar SDM aparatur benar-benar memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Kompetensi jabatan SDM aparatur (PNS), secara umum berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku, yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Mustopadidjaja, 2002). Disinilah kompetensi menjadi satu karakteristik yang mendasari individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude) untuk menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang selalu bertindak hemat, efisien, rasional, transparan, dan akuntabel. Jadi, pelayanan publik merupakan pemberdayaan masyarakat yang pada gilirannya dapat menggerakkan roda perekonomian menuju Kesejahteraan. Untuk itu, diperlukan strategi peningkatan kompetensi SDM aparatur, dimana kompetensi yang memadai merupakan sesuatu yang sangat mutlak yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

C. STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI SUMBER DAYA APARATUR Sebelum menetapkan strategi peningkatan kualitas SDM aparatur, terlebih dahulu kita perlu memotret kondisi faktual SDM aparatur dewasa ini secara komprehensif dengan melihatnya dari sudut pandang manajemen sumber daya manusia. Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, maka kondisi SDM aparatur dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Belum tersusunnya perencanaan PNS yang komprehensif, integrated dan berbasis kinerja, baik secara nasional maupun institusional; 2. Pengadaan PNS belum berdasar pada kebutuhan riil; 3. Penempatan PNS belum berdasar pada kompetensi jabatan; 4. Pengembangan pegawai belum berdasarkan pola pembinaan karier; 5. Sistem penilai kinerja belum obyeklif; 6. Kenaikan pangkat dan jabatan belum berdasarkan prestasi kerja dan kompetensi; 7. Diklat PNS belum optimal dalam meningkatkan kompetensi; 8. Sistem kompensasi belum berdasarkan pada prestasi kerja; 9. Sistem renumerasi belum didasarkan pada tingkat kelayakan hidup; 10. Sistem terminasi PNS belum tertata secara komprehensif; 11. Penetapan peraturan disiplin pegawai belum dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen; 12. Prinsip netralitas PNS belum sepenuhnya dijunjung tinggi; Berangkat dari gambaran di atas, maka strategi peningkatan kompetensi aparatur seyogyanya tidak dilihat secara parsial tetapi holistik. Keseluruhan unsur ini pertu dimanage melalui pembuatan sistemnya, penerapan sistem tersebut secara konsisten, dan penyempurnaan yang terus-menerus terhadap sistem yang ada, guna menghasilkan SDM aparatur yang profesional. Sejalan dengan gambaran kondisi SDM aparatur di atas, maka pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada peningkatan kompetensi SDM aparatur melalui diklat.

Dalam kaitan ini, terdapat dua domain yang harus ditata secara sistemik agar kinerjanya dapat lebih optimal. Pertama mencakup strategi pembinaan diklat yang diperankan oleh Lembaga Administrasi Negara, sedangkan yang kedua adalah strategi pelaksanaan diklat yang diperankan lembaga diklat terakreditasi. 1. Strategi Pembinaan Diklat a. Diklat Berbasis Kompetensi Maraknya jenis dan penyelenggara diklat mengakibatkan bervariasinya jenis-jenis diklat yang tersedia baik yang diselenggarakan oleh lembaga diklat pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga diklat swasta. Untuk menghindari fenomena asal ikut diklat , maka dalam penyelenggaraan diklat untuk PNS diberlakukan kebijakan diklat berbasis kompetensi. Artinya, diklat yang diperuntukkan bagi PNS bukan diklat yang sekedar membentuk kompetensi, tetapi kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam melaksanakan tugas dan jabatan. Penerapan kebijakan ini memang berimplikasi langsung pada keharusan adanya standar kompetensi untuk setiap jabatan, baik jabatan struktural, fungsional tertentu, maupun fungsional umum. Karena setiap PNS adalah pelayan publik, maka sesuai dengan tugas pokoknya sudah barang tentu kompetensi merupakan keharusan pada setiap standar jabatan. Dalam prakteknya, tidak semua kompetensi tersebut diperoleh melalui diklat melainkan diperoleh melalui belajar mandiri, bimbingan di tempat kerja, dan sebagainya. Kompetensi yang diperoleh melalui diklatlah yang ditindaklanjuti dalam bentuk program diklat. Dengan demikian, kebijakan diklat berbasis kompetensi ini diharapkan dapat menjadi pendorong (trigerting) dalam memberikan pelayanan yang baik. b. Desentralisasi Penyelenggaraan Diklat Disadari bahwa sentralisasi penyelenggaraan Diklat jelas tidak akan mempercepat proses peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur. Sentralisasi tersebut hanya mampu mengkompetenkan segelintir aparatur saja. Di samping itu, kompetensi yang terbentuk belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengingat jauhnya jarak antara masyarakat di level bawah dengan birokrasi kediklatan di level pusat atau atas. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan mengamanahkan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan diklat. Penyelenggaraan Diklal mulai dari Diklat Prajabatan, Kepemimpinan (kecuali Diklatpim Tk. I), Diklat Fungsional dan Diklat Teknis tidak lagi dimonopoli dan dipusatkan di lembaga-lembaga diklat pemerintah pusat, melainkan didesentralisasikan di daerah. Bahkan, desentralisasi penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III dan IV misalnya, sebenarnya sudah lama dilakukan. Sebelum ini pun penyelenggaran Diklat Spama dan Adum sudah didesentralisasikan ke daerah. Dengan PP 101/ 2000, penekanan aspek desentralisasi itu semakin ditingkatkan dengan mendesentralisasikan pelaksanaan Diklatpim TK. II (dulu SPAMEN) ke Lembaga Diklat Pemerintah lainnya.

Di samping Diklat Kepemimpinan, nuansa desentralisasi juga mewarnai penyelenggaraan Diklat Prajabatan mulai dari Golongan I, II, dan III. Terakhir, tuntutan desentralisasi itu menyentuh pula penyelenggaraan Diklat Prajabatan Golongan III, khususnya pada proses budgetting system-nya atau Sistem Pengajuan Anggaran, dimana mulai pada Tahun 2005 ini, pengajuan anggaran penyelenggaraan Diklat Prajabatan Golongan III sudah tidak disentralisasikan lagi di Instansi Pembina Diklat, melainkan sudah diajukan masing-masing instansi. Untuk diklat fungsional dan diklat teknis, proses desentralisasinya malah lebih jauh dengan menggeser pembinaannya kepada Instansi Pembina Jabatan Fungsional dan Instansi Pembina Diklat Teknis, walaupun tetap dalam kerangka pembinaan nasional oleh Instansi Pembina Diklat. Bahkan untuk diklat teknis dan fungsional, penyelenggaraannya sudah tidak dimonopoli oleh lembaga diklat pemerintah saja. Lembaga diklat swasta pun dapat menjadi service provider di bidang ini. Dengan pergeseran ini, bermunculan benih-benih inovasi dan kreativitas dalam penyelenggaraan diklat. Bermunculan diklat-diklat yang substansinya sangat dekat dengan kebutuhan masyarakat, yang sebagian atau keseluruhannya mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima. Kreativitas ini tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga diklat instansi pemerintah pusat, di daerah pun energi desentralistis itu juga bekerja, mendorong badanbadan diklat provinsi untuk merancang sebuah diklat teknis yang bertumpu pada kondisi faktual daerah. Sebagai contoh, Badan Diklat Provinsi Maluku telah mendesain sebuah diklat teknis yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang spesifik. c. Kontrol Bersama (Collective Control) Terhadap Kompetensi Ketika pelayanan publik menjadi concern atau perhatian semua pihak, maka mekanisme penyediaan pelayanan tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak saja, apalagi kalau pihak yang satu-satunya itu menerapkan pendekatan sentralistikotoriter. Idealnya, mekanisme itu mutlak dikelola dan dikontrol oleh lebih dari satu pihak, terutama oleh pihak-pihak yang terkait secara langsung. Dengan kontrol bersama (collective control) ini, maka otomatis terbangun suatu sistem yang built-in menggerakkan proses ke arah penyempurnaan yang terus menerus mengakomodasi kepentingan semua pihak. Prinsip yang sama juga berlaku pada mekanisme pembentukan kompetensi sumber daya manusia aparatur. Agar kompetensi yang akan dibentuk dapat menampung semua kepentingan, maka keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam pembentukan kompetensi PNS, pihak-pihak yang memiliki kewenangan adalah sebagai berikut : 1) Instansi Pembina Diklat. LAN sebagai instansi pembina DikIaL bertanggungjawab atas pembinaan Diklat secara keseluruhan. Pembinaan Diklat tersebut dilakukan melalui penyusunan kurikulum Diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan Diklat,

standarisasi dan akreditasi Diklat, pengembangan sistem informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan teknis melalui konsultasi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat. 2) Instansi Pengendali Diklat Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai instansi pengendali Diklat bertugas melakukan pengembangan dan penetapan standar kompetensi jabatan, termasuk standar kornpetensi jabatan di bidang pelayanan publik. Di samping itu, BKN juga mengendalikan pemanfaatan lulusan Diklat. 3) Pejabat Pembina Kepegawaian Pejabat Pembina Kepegawaian bertugas melakukan pemantauan dan penilaian secara periodik tentang kesesuaian antara penempatan lulusan dengan jenis Diklat yang telah diikuti serta melaporkan hasilnya kepada instansi pengendali. 4) Instansi Penyelenggara Instansi yang membawahi Lembaga Diklat terakreditasi yang secara langsung menyelenggarakan Diklat dengan berkoordinasi dengan Instansi Pembina. 5) Baperjakat dan Tim Seieksi Peserta Diklat Instansi (TSPDI) Bertugas memberikan pertimbangan kepada pejabat pembina kepegawaian dalam penentuan calon peserta Diklat. Jika kedua unsur ini bekerja dengan baik, maka peserta yang mengikuti diklat adalah mereka yang belurn kompeten untuk bidang teitentu, termasuk bidang pelayanan publik. Selesai mengikuti diklat, kompetensi tersebut akan diperolehnya untuk kemudian dipergunakannya secara langsung di tempat kerjanya. d. Penerapan Total Quality Management, Pasal 26 PP 101/2000 menggariskan paling tidak 8 (delapan) strategi pembinaan yang harus dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai Pembina Diklat antara lain melalui penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan program diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, standarisasi dan akreditasi, pengembangan sistem informasi diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan diklat & widyaiswara, dan pemberian bantuan teknis melalui konsultansi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama pengembangan dan evaluasi diklat. Jika kedelapan strategi ini diterapkan, maka kualitas penyelenggaraan diklat dapat terjamin. Jika dikristalisasi, kedelapan strategi tersebut mencerminkan penerapan prinsipprinsip Total Quality Management yang berisi tiga komponen utama, yakni penetapan standar kualitas (quality standard), pelaksanaan jaminan qualitas (quality assurance), dan pelaksanaan control kualitas (quality control). 1) Standar kualitas

Sebagai Instansi Pembina Diklat, LAN telah menetapkan standar-standar kualitas melalui penyusunan pedoman-pedoman diklat yang menjadi acuan bagi lembagalembaga diklat dalam penyelenggaraan diklat. 2) Jaminan kualitas Untuk menjamin agar standar-standar kualitas diterapkan secara konsisten, LAN mengkompetensikan lembaga-lembaga penyelenggara diklat melalui kegiatan akreditasi dan sertifikasi lembaga diklat untuk menyelenggarakan diklat tertentu Di samping kegiatan tersebut, secara rutin LAN melaksanakan pembimbingan dan konsultansi kediklatan dalam berbagai bentuk mulai dari membimbing para penyelenggara diklat untuk aspek-apsek kediklatan yang bersifat prinsip seperti pengembangan kurikulum diklat, menyusun sequence mata diklat dalam suatu program diklat sampai pada kegiatan lainnya yang bersifat sangat teknis seperti tata cara penulisan STTPL. Pembimbingan dan konsultansi kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan baik secara langsung melalui kunjungan ke tempat kerja mereka atau sebaliknya maupun secara tidak langsung melalui komunikasi surat, telepon, dan internet. Kegiatan lainnya adalah pengembangan modul, bahan ajar atau materi, serta LAN juga akan menerbitkan Buku Panduan Fasilitator yang akan membantu para Fasilitator Diklat dalam melakukan pengajaran sehingga kualitas pengajaran pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar kelas dapat lebih standar, sehingga kesenjangan kualitas dapat lebih dikurangi. Untuk mendukung seluruh kegiatan pembinaan diklat dalam memperoleh jaminan kualitas diklat, LAN sedang mengembangkan Sistem Informasi Diklat Aparatur (SIDA) yang dapat diakses oleh siapa saja, khususnya stakeholders, melalui situs internet dengan alamat html:www.sida.lan.go.idlj.Data dan informasi yang terdapat dalam SIDA tersebut dapat membantu manajemen penyelenggaraan diklat PNS dalam pengambilan keputusan, sehingga peningkatan kualitas penyelenggaraan dapat lebih terfasilitasi. 3) Kontrol kualitas Dalam melaksanakan pengawasan kualitas diklat PNS, maka berdasarkan pedoman penyelenggaraan masing-masing diklat, sudah merupakan kewajiban setiap lembaga diklat yang menyelenggarakan diklat untuk melaporkan rencana penyelenggaraan diklat sebelum dan sesudah diklat dilaksanakan kepada instansi pembina. Di samping itu, secara rutin LAN juga melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan diklat PNS, baik bagi lembaga diklat sudah terakreditasi maupun bagi lembaga diklat yang masih bermitra dengan LAN sebagai instansi pembina. 2. Strategi Penyelenggaraan Diklat Setiap lenibaga penyelenggara Diklat harus memiliki kompetensi diklat dalam arti berkemampuan menempa sumber daya manusia aparatur (PNS) untuk memiliki kompetensi jabatan F'NS tertentu termasuk di bidang pelayanan publik. Melalui strategi-strategi pembinaan yang diuraikan di atas terutama melalui strategi quality assurance atau jaminan kualitas, setiap lembaga Diklat memiliki kompetensi lembaga

Diklat yang diwujudkan melalui penerapan sistem penyelenggaraan diklat yang memperhatikan kualitas tiga unsur utama yakni masukan, proses, dan keluaran diklat yang diuraikan berikut ini : a. Masukan Diklat Masukan diklat adalah peserta diklat yang karena jabatannya (struktural, fungsional dan fungsional umum) dipersyaratkan mengikuti diklat untuk memenuhi standar kompetensi jabatannya; ditugaskan oleh pejabat yang berwenang setelah lebih dahulu mendapat pertimbangan Baperjakat. Untuk Seleksi peserta diklat kepemimpinan, LAN telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala LAN Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tim Seleksi Peserta Diklat Instansi Untuk Diklat Kepemimpinan, yang tujuannya mengatur keikutsertaan peserta dalam Diklatpim agar yang terjaring sudah sesuai dengan kebutuhan instansi. Untuk keikutsertaan peserta dalam diklat lainnya, tanggung jawab berada pada Pembina Kepegawaian atau Baperjakat instansi masing-masing. Peserta diklat sebagai masukan diklat memainkan peranan yang menentukan dalam peningkatan mutu pelaksanaan diklat. Pengaturan tentang keikutsertaan peserta ini dimaksudkan untuk menghindari kesan bahwa peserta yang diikutkan dalam suatu diklat adalah mereka yang "dibuang" sementara dari instansinya atau yang belum memiliki pekerjaan yang "permanen". Dalam operasionalnya, seleksi peserta dapat dilakukan dengan cara pemberian tes yang terkait dengan kompetensi jabatan yang harus dimiliki, atau melalui suatu proses analisa kebutuhan diklat. Kedua cara ini akan membagi peserta ke dalam dua bagian, yakni perlu mengikuti diklat dan tidak perlu mengikuti diklat. Kelompok pertama inilah yang perlu mengikuti diklat. b. Proses Diklat Masukan diklat yang tepat, tidak akan berarti banyak apabila unsur-unsur yang memprosesnya kurang maksimal. Oleh karena itu, setiap penyelengara diklat perlu memperhatikan kualitas unsur-unsur yang memproses masukan diklat tersebut. Unsur-unsur yang memproses masukan diklat itu meliputi empat bagian besar, yakni: kelembagaan diklat, program diklat, SDM penyelenggara diklat, dan widyaiswara. Untuk memastikan bahwa keempat unsur tersebut berada pada kondisi maksimal dalam memproses masukan diklat, maka diperlukan akreditasi dan sertifikasi. Terkait dengan pelaksanaan akreditasi itu, Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi pembina diklat telah menerbitkan Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Diklat sebagaimana yang diatur dalam keputusan kepala LAN Nomor 194/XIII/ 10/6/2001. c. Keluaran Diklat Setelah melalui Seleksi Calon Peserta Diklat di instansi masing-masing sesuai yang dipersyaratkan, kemudian mengikuti proses diklat pada lembaga diklat yang keempat unsur-unsurnya telah terakreditasi, pada akhirnya akan dihasilkan keluaran diklat yang memiliki kompetensi sesuai persyaratan jabatannya. Setelah selesainya penyelenggaraan suatu diklat, proses diklat sebenarnya belum berakhir. Lembaga diklat masih harus memantau kinerja lulusannya dalam bentuk

evaluasi pasca diklat yang tujuannya untuk mengetahui sejauh mana efektifitas kompetensi yang telah dimiliki oleh peserta tadi, dapat dimanfaatkan dalam tempat kerjanya. Jika terbukli bahwa yang bersangkutan sudah kompeten melakukan tugastugasnya, maka barulah diklat dapat dikatakan berhasil. Tetapi jika ternyata tugastugas belum dapat dilaksanakan dengan baik yang disebabkan karena kekurangkompetensiannya, maka PNS yang bersangkutan perlu di-retraining atau dilatih ulang. D. PENUTUP Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas yang kian hari kian kompleks, negara membutuhkan sumber daya manusia aparatur yang profesional. Idealnya, kebutuhan tersebut dilakukan secara komprehensif mulai dari perencanaan, pengadaan, penempatan, pengembangan pegawai, penilaian kinerja, promosi, pendidikan dan pelatihan, kompensasi, renumerasi, terminasi dan penerapan peraturan disiplin pegawai. Khusus mengenai strategi yang ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan, terdapat dua strategi yang perlu ditata secara sinergis, yakni pembinaan dan penyelenggaraan. Untuk pembinaan, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS mengamanahkan LAN sebagai instansi pembina diklat untuk menerapkan diklat berbasis kompetensi. Artinya, penyelenggaraan diklat diarahkan untuk mengisi kompetensi peserta sesuai yang dipersyaratkan oleh jabatannya, sehingga PNS bersangkutan wajib mengikuti diklat yang tujuan pembelajarannya membangun kompetensi tersebut. Di samping itu, bentuk pembinaan lainnya juga diterapkan secara simultan, seperti desentralisasi penyelenggaraan diklat, optimalisasi kontrol bersama terhadap kompetensi, penerapan total quality management. Untuk penyelenggaraan, melalui strategi tersebut akan terbangun kompetensi lembaga diklat yang menggunakan pendekatan input-proses-output sebagai basis utama sistem tersebut. Jika kompetensi ini dimiliki oleh 33 Lembaga Diklat Provinsi, 176 Lembaga Diklat Pemerintah Pusat, 454 Lembaga Diklat Pemerintah Kabupaten dan 99 Lembaga Diklat Pemerintah Kota, maka kompetensi aparatur dapat terbangun secara meluas dan merata di seluruh jajaran PNS baik pusat maupun daerah. Dengan bekal kompetensi tersebut, diharapkan kinerja pelayanan dapat lebih menjadi optimal. Namun, peningkatan kompetensi yang diperoleh melalui dua strategis di atas tidaklah otomatis berarti terjadi peningkatan kinerja, karena selain kompetensi tidak identik dengan kinerja, juga unsur manajemen lainnya memang belum tersentuh. Sementara itu, untuk mengubah kompetensi menjadi kinerja diperlukan media lain seperti budaya kerja, alat kerja, motivasi, bakat, dan kesejahteraan. REFERENSI Bahaudin, Taufik (2003), Brainware Management-. Generasi Kelima Manusia, PT Elex Media Komputindo, Cetakan Keempat, Jakarta. Bennis, W. G. and B, nanus (1985), L eaders: The Strategis for Tak ing Change, New York: Happer and Row.

Dunn, William N., (2000), Public Policy A nalysis: A n Introduction (Indonesian Edition), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gibson, JL., Ivancevich, JL., dan DonneBly, JH., (1992), Organisasi: Perilak u, Struk tur, Proses, PT Erlangga, Cetakan Kelima, Jakarta. Handoko, HT., (1995), Manajemen, BPFE, Cetakan Kesembilan, Yogyakarta. Haryanto, dkk, (1997), Fungsi-Fungsi Pemerintahan, Badan Diklat Depdagri, Jakarta. Ibrahim, Amin, 2004. Pok ok -Pok ok A nali.sis Kebijak an Publik , CV. Mandar Maju, Bandung. Kydd, L., Crawfprd, M., dan Riches, C., (2004), Professional Development for E ducational Management (Compilialion, Editor Material), PT Grasindo, Jakarta. Kotter, J. P. (1990). A Force for change, New York, Free Press. Locke, Edwin A. and Association, (1997). The E ssence of L eadership, The Four Keys to Leading. Mileham, P., and Spacie, K., (1996), Transforming Corporate L eadership, Pitma Publishing, London. Maarif, Syamsul (2003), Strategi Peningk atan Kompetensi A paratur Guna Mengantisipasi Kebutuhan Sek tor Pelayanan Publik (Orasi Ilmiah Wisuda XXII/ 2003 STIA LAN), Bandung. Mustopadidjaja, 2002. Paradigma-Paradigma Pembangunan, Lembaga Administrasi Negara. ....................., (2003), Dimensi-Dimensi Pok ok Sistem A dministrasi N egara Kesatuan Republik Indonesia, LAN RI. ...................., (2003), Manajemen Proses Kebijak an Publik . Formulasi, Implementasi dan E valuasi Kinerja. .......... ........ , Oxford A dvanced L earner's Dictionary Pamudji S, (1952), Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta. Soenarko, H.SD., (1998), Public Policy: Pengertian Pok ok Untuk Memahami dan A nalisa Kebijak an Pemerintah, CV Papyrus, Cetakan Kesatu, surabaya. Stoner, JF., Freeman, AE., dan Gilbert, D.A., 1995, Management, Sixth tlition, Prentce Hall International Inc., A Simon & Schur,ter Company, New Jersy). Supriatna, Tjahya., (1996), A dministrasi Birok rasi dan Pelayanan Publik , Nimas Multima, Jakarta. Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (2000), Manajemen Pemerintahan Baru, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Jakarta. ...................... (2002), Manajemen Sumber Daya A paratur Pemerintah Daerah (Pusat Kajian Pemerintahan STPDN), Fokus Media kerjasama dengan Pusat kajian Pemerintahan STPDN, Cetakan Pertama, Bandung. ........................(2003), Good Governance, Jurnal Program Magister STIA-LAN, Vol. 2 No.l, Jakarta. .........................(2001), V isi A dministrasi, Jurnal Ilmu Administrasi Fj> IP Unhas, Vol. 1 No.1, Makasar.

.........................(2005), Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik; akar-}a.

KEPADA YTH, DRS. M. YAZID ISMAIL, M.Sc JL. BELANTI BARAT V NO. 14 TELP. 0751-7052463 PADANG, 25136 SUMATERA BARAT

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai