Anda di halaman 1dari 3

Alam Semesta, Manusia, dan Yang Maha Mulia: Sebuah undangan untuk kontemplasi

Selalu ada rasa terpesona ketika kita memandang langit malam yang bertabur bintang dan rasa ini telah membangkitkan berbagai inspirasi yang artistik maupun spiritual sepanjang peradaban manusia. Namun ketika kita paksa pandangan kita untuk menerobos lebih dalam dan mengikuti bentangannya, alam semesta kita menampakkan dirinya sebagai sosok yang maha luas, dingin, gelap, dan terlalu jauh untuk punya hubungan apapun dengan kita. Nyatanya memang untuk menjelajahinya bukan hanya memerlukan usaha (dalam sains, teknologi, dana, dll) yang luar biasa besar, tetapi juga kerap meminta nyawa sebagai taruhannya, karena kita tak tahu, di luar Bumi di mana lagi manusia dijamin dapat hidup aman. Memperhatikan persepsi ini, sebagian kalangan pemikir berpendapat bahwa alam semesta tidak memiliki arti, bahkan merupakan antitesis dari kehidupan di Bumi, yang menurut mereka hanyalah suatu produk sesaat dari serentetan proses alami yang juga tak memiliki arti dalam alam semesta ini. Proses-proses itu sendiri nampak tak peduli pada nilai produknya; proses-proses itu seolah-olah hanyalah serangkaian urutan kerja yang mekanistik saja. Sepanjang abad ke-20 diakumulasi banyak hasil pengamatan astronomi yang mengkonfirmasi bahwa alam semesta ini sangat kaya dan memang sangat besar, dan masih terus mengembang. Galaksi-galaksi pengisi alam semesta bergerak menjauh satu dari yang lain mengikuti mengembangnya alam semesta, dengan kecepatan yang semakin besar dengan bertambahnya jarak antar mereka. Artinya, ukuran besar alam semesta ini berasosiasi dengan umurnya. Bahwasanya alam semesta sekarang sangat besar menunjukkan ia sudah sangat tua. Lalu apa hubungan antara ukuran dan umur alam semesta yang belasan milyard tahun ini dengan eksistensi manusia? Tubuh manusia tersusun atas unsur-unsur kimia seperti hidrogen, karbon, oksigen, nitrogen, besi, dan banyak lagi, dalam keterkaitan yang amat kompleks. Dalam proses nukleosintesa global dan generiknya, alam semesta tidak memproduksi unsur-unsur kimia ini, kecuali beberapa inti atom yang paling ringan seperti hidrogen dan helium. Unsur-unsur kimia yang lebih berat, yang banyak kita perlukan, merupakan produk reaksi termonuklir di dalam bintang-bintang yang prosesnya memakan

waktu sekitar 10 milyard tahun, kala hidup yang khas untuk bintang. Sebagian besar bintang yang ada di dalam alam semesta ini menemui ajalnya dengan meledak, dikenal sebagai supernova, pertanda hidupnya sebagai bintang yang berpendar telah berakhir. Ketika supernova terjadi, hasil proses termonuklir di dalam perut bintang terlontar keluar sehingga memperkaya kandungan kimia materi pengisi ruang antar bintang. Menjadi terbayang oleh kita bahwa ada sebagian kecil materi antar bintang seperti ini yang ikut menyumbang isi Tata Surya kita. Debu kosmik dan sejumlah besar meteor yang telah pernah jatuh atau melintas dekat Bumi, telah memperkaya kandungan kimia di Bumi dan atmosfernya, yang seterusnya memungkinkan kelahiran makhluk hidup di Bumi. Singkatnya, kita, manusia, berhubungan dekat dengan bintang, karena setiap inti karbon yang menyusun tubuh kita, pernah, di suatu masa yang jauh lampau, berada dalam perut sebuah bintang. Kita dan bintang yang nun jauh di sana, hanya terpisah oleh waktu, dan oleh berbagai proses astrofisika dan geofisika yang berjalan mengikuti panah waktu. Ukuran alam semesta yang amat besar ini memang terasa terlalu besar untuk kehidupan kita di Bumi. Bisa jadi hidup manusia akan tetap nyaman seperti sekarang, walaupun dengan pemandangan langit jauh kurang indah, seandainya ukurannya hanya sebesar galaksi Bima Sakti (Milky Way), yang berdiameter sekitar 100 ribu tahun cahaya. Namun, waktu yang dibutuhkan alam semesta untuk mengembang hingga seukuran Milky Way hanyalah sekitar beberapa bulan. Dalam umur alam semesta yang hanya beberapa bulan ini sama sekali belum sempat terjadi pembentukan bintang, apalagi untuk memulai reaksi termonuklir di dalam bintang. Bintang memerlukan 10 milyard tahun untuk menjalankan proses ini, artinya alam semesta minimal berumur 10 milyard tahun, dan selama itu alam semesta terus mengembang dan suhunya menurun. Walhasil, tak heran alam semesta nampak besar, tua, dan dingin. Alam semesta memerlukan belasan milyard tahun semenjak saat lahirnya untuk mempersiapkan dirinya menerima kehidupan, kita semua ini, di dalamnya. Di titik ini kita berhenti sebentar untuk membayangkan sekaligus refleksi: betapa istimewanya kehidupan; begitu luar biasa persiapan alam semesta sebelum dapat membentuk kehidupan dan menyediakan akomodasi yang layak bagi kehidupan. Temuan ini membongkar lagi ide tentang alam semesta yang tak memiliki arti. Lebih dari itu, temuan ini justru menghidupkan lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sejak dulu ditanyakan manusia: asal-muasal alam semesta dan hubungannya dengan manusia. Alam semesta yang keadaan awalnya, sampai batas tertentu, dapat ditelusuri, dan segala macam proses di dalamnya menunjukkan keteraturan yang terpelihara, mengindikasikan adanya kaidah yang fundamental yang dipatuhi oleh alam semesta. Adanya kaidah ini mengundang ide akan kehadiran sesuatu yang kedudukannya normatif dan menggiring ide kepada sesuatu yang transendental. Pertanyaan tentang Tuhan, dalam hubungannya dengan penciptaaan alam semesta, pertanyaan tentang maksud adanya alam semesta, dan hubungannya dengan kehidupan manusia, bangkit kembali, dan diajukan dengan membuka koridor pemikiran yang baru. Temuan-temuan saintifik tidak meniadakan pertanyaan tentang Tuhan dan iman religius, tetapi justru menyediakan gagasan-gagasan penajaman dalam substansi mendasar secara investigatif dan universal.

Para astrofisikawan memperhatikan segala sesuatu yang indah yang nampak dalam alam semesta ini, dan mencari pertanda-pertanda di antaranya yang dapat menghantarkan ke pemahaman akan kaidah yang fundamental, hakiki, yang melatarbelakangi itu semua. Sementara pekerjaan harian di muka Bumi memanfaatkan kaidah fisika untuk keperluan dan kemudahan kehidupan manusia di Bumi, astronomi justru ingin menelusuri kaidah itu sampai ke akarnya. Proses pencarian dan pengenalan yang kompleks, yang acapkali membentur manusia pada eksistensinya sendiri, dan memaksa kita untuk menerima batasan realita yang dapat kita akses dan deskripsikan. Walaupun demikian, sungguh mengesankan dan mengagumkan bahwa alam semesta yang besar ini, hingga batas tertentu, dapat dideskripsikan, bahkan dapat diformulasikan dengan logis dan lugas. Tak kalah mengesankannya adalah bahwa manusia memiliki kesadaran serta kemampuan untuk merasa dan menalar. Kenyataan ini menjadi konsiderasi penting dalam pemikiran modern, yakni bahwasanya alam semesta ini, termasuk kita, ada dengan tujuan untuk dimengerti. Sains menawarkan jalan menuju ke pemahaman ini, mendorong terungkapnya dimensi-dimensi yang masih tersembunyi, untuk menalar realita sebatas domain kerjanya. Selebihnya, terserah pada kita, bagaimana kita manfaatkan sains sebagai basis dan kita aktifkan fungsi transendental kita untuk menggapai Yang Maha Mulia yang ilmuNya tak tertampung bahkan dalam alam semesta yang maha luas ini. Sumber: Kuliah Umum BSCR 2007 oleh Ibu Premana W. Premadi, Ph.D.
This entry was posted on 31 Juli 2009 at 13:36 and is filed under Tak Berkategori. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Anda mungkin juga menyukai