Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyediaan air bersih untuk masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan lingkungan atau masyarakat, yakni mempunyai peranan dalam menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan air, dan berperan dalam meningkatkan standar atau taraf/kualitas kehidupan masyarakat. Sampai saat ini penyediaan air bersih untuk masyarakat di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang cukup kompleks dan sampai saat ini belum dapat diatasi sepenuhnya. Salah satu masalah yang dihadapi sampai saat ini yakni masih rendahnya tingkat pelayanan air bersih untuk masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.14 tahun 1987, maka pengelolaan sarana dan prasarana air bersih diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi), sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Air Minum (PDAM) yang berada dibawah kendali pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya. Dalam rangka melaksanakan pengendalian pencemaran air, Pemerintah telah mengundangkan beberapa peraturan antara lain UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan PP. No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air serta lainnya. Berbagai upaya pengendalian pencemaran air yang telah dilakukan melalui berbagai kebijakan diantaranya melalui pendekatan kelembagaan, hukum, teknis dan program khusus. Pendekatan kelembagaan dilakukan dengan membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), dan Dinas-dinas Lingkungan Hidup Daerah yang saat ini menjadi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda).

Maraknya berbagai kegiatan Industri di Indonesia mengakibatkan cadangan tanah air di beberapa daerah mengalami kekeringan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan mengakibatkan beberapa kota besar seperti, Jakarta, Semarang, dan Surabaya, mengakibatkan terjadinya intrusi air laut penurunan permukaan tanah akibat kosongnya sungai-sungai air di bawah tanah.

1.2 Tujuan Makalah 1. 2. 3. Masalah penyediaan air bersih di Indonesia Masalah tingkat pelayanan air bersih di Indonesia Penerapan Pengolahan Limbah Air Industri di Indonesia Tidak Optimal

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Air bersih Air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk kebutuhan minum, masak, mandi dan energi. Air sebagai salah satu faktor essensial bagi kehidupan. Air dikatakan bersih bila memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Jernih/tidak berwarna 2. Tidak berbau 3. Tidak berasa Pengertian Air Bersih: 1. Secara Umum: Air yang aman manusia. 2. Secara Fisik : Tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. 3. Secara Kimia: a. PH netral (bukan asam/basa) b. Tidak mengandung racun dan logam berat berbahaya c. Parameter-parameter seperti BOD, COD, DO,TS, TSS, dan konductiviti memenuhi d. Aturan pemerintah setempat dan sehat yang bisa dikonsumsi

2.2 Masalah Penyediaan Air bersih di Indonesia Beberapa permasalahan pokok yang masih dihadapi dalam penyediaan air bersih di Indonesia antara lain adalah : masalah tingkat pelayanan air bersih yang masih rendah. Berdasarkan data statistik 1995 (SUPAS 1995), presentasi banyaknya rumah tangga dan sumber air minum yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari kondisi geografisnya. Secara Nasional yakni, sebagai berikut : No 1 Pengguna Air Yang menggunakan air ledeng (PAM) Persentase 16,08 %

2 3 4 5 6

Air tanah dengan memakai pompa Air sumur (perigi) Mata Air ( Air Sumber) Air sungai Lainnya Jumlah

11,61 % 49,92 % 13,92 % 4,91 % 0,80 % 97,24%

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pelayanan air bersih kepada masyarakat dengan sistem perpipaan (leding) oleh PAM hanya 16,08 %, sedangkan sebagian besar menggunakan air tanah tanah, air sungai, air sumber, atau lainnya. Untuk DKI Jakarta, misalnya berdasarkan data statistik BPS DKI tahun 1998 diperkirakan banyaknya rumah tangga yang menggunakan air ledeng (PAM) sebesar 50%, air tanah dengan menggunakan pompa 42,67%, sumur gali 3, 16 % dan lainnya sebesar 0,63 %. Permasalahan yang timbul yakni, sering dijumpai bahwa kualitas air tanah maupun air sungai yang digunakan masyarakat kurang memenuhi syarat sebagai air minum yang sehat bahkan di beberapa tempat tidak layak untuk dikonsumsi. Air yang layak untuk dikonsumsi, harus mempunyai standar persyaratan tertentu yakni persyaratan fisik, kimiawi, bakteriologis, dan syarat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi jika ada satu saja parameter yang tidak memenuhi syarat maka air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk daerah kawasan pemukiman pedesaan di daerah pesisir atau pulaupulau kecil yang tidak mempunyai sumber air tawar masyarakat biasanya terpaksa memenuhi kebutuhan dengan cara menampung air hujan mengambil dari tempat lain yang relatif jauh dan mahal. Atau membeli air minum dalam kemasan dengan harga yang cukup mahal. Bagi masyarakat yang kurang mampu tidak ada jalan selain menggunakan air selain untuk keperluan seharihari dari sumber yang apa adanya sehingga berdampak terhadap kesehatan masyarakat.

2.3 Masalah Kualitas Air Baku Air Minum di Indonesia Sejalan dengan perkembangan penduduk dan laju pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan khususnya kualitas air permukaan atau air atau air tanah. Hal ini terutama terjadi di kawasan perkotaan yang jumlah penduduknya besar serta atau kawasan hilir. Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian kualitas air baku air minum di beberapa lokasi penyadapan (intake water) ada beberapa instalasi PAM di Jakarta, yakni Instalasi Cilandak, Pejompongan, Muara Karang, Pulo Gadung, dan Taman Kota pada bulan Januari-Pebruari diketahui bahwa kandungan Ammonia berkisar antara 0,06-1,09 mg/I; COD 12-45 mg/I; BOD 8,2-35 mg/I; Deterjen Ion Negatif (MBAS) 0,12-0,92mg/I; Phenol 0-0,55mg/I dan bakteri Coliform 460, 102 -1100.104 MPN/100 cc. Di lain pihak, teknologi pengolahan air minum yang digunakan oleh Perusahaan Air Minum (PAM) di Indonesia umumnya masih menggunakan sistem konvesional yakni, dengan sisitem Koagulasi-Flokulasi (Pengendapan Kimia). Saringan Pasir cepat (Rapid Sand Filter) dan proses disinfeksi menggunakan senyawa Khlorin (gas Khlor). Dengan tingginya kandungan amonia dan bakteri coli, maka kebutuhan senyawa Khlorin untuk proses disinfeksi bertambah besar, dan akibatnya kemungkinan terbentuknya senyawa THMs dan senyawa halogen organik lainnya juga bertambah besar. Demikian juga dengan adanya kandungan Phenol yang cukup besar. Dengan adanya pembubuhan Khlorin, phenol dengan mudah bereaksi dengan senyawa Khlor membentuk senyawa halogen organik Khlorophenol yang sangat berbahaya. Masalah THMs adalah senyawa yang secara potensial dapat menyebabkan kanker (Carcinogen). Dengan semakin buruknya kualitas air baku air minum ada yang mengakibatkan biaya produksi air minum menjadi bertambah besar sehingga bertambah besar sehingga harga jual air juga menjadi lebih mahal. Dilain, pihak daya beli masyarakat masih rendah, sehingga masalah tersebut masih tetap menjadi masalah yang dilematis.

Untuk wilayah perkotaan di daerah pesisi, di daerah yang terpengaruh oleh pasang surut atau wilayah perkotaan di pulau-pulau kecil, masalah kualitas air baku air minum sering menjadi masalah yang sangat besar. Umumnya teknologi pengolahan air minum yang digunakan oleh PAM atau PDAM dirancang untuk mengolah air baku yang tidak asin atau sesuai dengan baku mutu air golongan B yakini peruntukan air baku air minum dengan konsentarasi TDS maksimum 1000 mg/I. Jika konsentarasi TDS melebihi standar maksimum yang di perbolehkan dapat dipastikan proses pengolahan tidak dapat berjalan denga baik, karena teknologinya memang tidak dirancang untuk kondisi dengan konsentrasi TDS yang tinggi atau untuk air payau/asin. 2.4 Masalah Kualitas Air yang di Suplai oleh PAM/PDAM Buruknya kualiaas air bakunya maka hasil air olahan yang disuplai oleh PDAM ke masyarakat sering kali kurang memuaskan pelanggan. Kualitas air bakunya khususnya di wilayah perkotaan sudah tidak memenuhi syarat air golongan B yakni untuk peruntungan air baku air minum. Selain itu masih banyak PDAM yang menggunakan air baku menggunakan air tanah. Cara ini merupakan cara yang paling murah karena umumnya teknologi yang digunakan hanyalah proses disinfeksi saja dan langsung dialirkan ke konsumen. Tetapi jika kandungan zat besi atau zat mangan tersebut di dalam air cukup tinggi maka dengan adanya proses disinfeksi dengan menggunakan senyawa khlorin maka zat besi atau mangan tersebut dalam perjalanannya akan teroksidasi menjadi senyawa oksida besi atau oksida mangan yang tidak larut di dalam air dan setelah sampai ke konsumen air akan berwarna coklat kemerahan dan mengendap.

2.5 Pengolahan Air Limbah di Indonesia Pengolahan air limbah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan dengan metode Biologi. Ini merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Kimia dan Fisika. Proses pengolahan limbah dengan metode Biologi adalah metode Biologi yang memanfaatkan

mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat berkembang biaknya. Metode pengolahan lumpur aktif (activated sludge) adalah merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses mikroorganisme. Metode lumpur aktif merupakan metode pengolahan air limbah yang paling banyak dipergunakan di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, pulp, kertas, tekstil, bahan kimia, dan obatobatan. Namun, dalam pelaksanaannya metode lumpur aktif banyak mengalami kendala, di antaranya: 1. Diperlukan areal instalasi pengolahan limbah yang luas, mengingat proses lumpur aktif berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berhari-hari 2. Timbulnya limbah baru, dimana terjadi kelebihan endapan lumpur dari pertumbuhan mikroorganisme yang kemudian menjadi limbah baru yang memerlukan proses lanjutan Areal instalasi yang luas berarti dana investasi cukup besar, akibatnya pemanfaatan teknologi lumpur aktif menjadi efisien di Indonesia, ditambah lagi dengan proses operasional yang rumit mengingat proses lumpur aktif memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu da bulking control proses endapan. Limbah baru merupakan masalah utama dari penerapan metode lumpur aktif ini. Limbah yang berasal dari kelebihan endapan lumpur hasil proses lumpur aktif ini memerlukan penanganan khusus. Limbah ini selain mengandung berbagai jenis mikroorganisme juga mengandung berbagai jenis senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Pengolahan limbah endapan lumpur ini sendiri memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedikitnya 50% dari biaya pengolahan air limbah dapat tersedot untuk mengatasi limbah endapan lumpur yang terjadi. Akibatnya, kebanyakan

di Indonesia limbah endapan lumpur ini biasanya langsung dibuang ke sungai atau di timbun di TPA (tempat pembuangan akhir) bersama dengan sampah lainnya.

2.6 Daur Ulang Air Limbah Pada tahun 1994 dalam sebuah jurnal International Water Science Technology, Hidenari Yasui dari Kurita Co, Jepang, memperkenalkan sebuah proses inovasi pengolahan air limbah dengan mereduksi air jumlah endapan lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan air limbah dengan mereduksi jumlah endapan lumpur yang dihasilakan dari proses pengolahan lumpur aktif. Proses inovasi tersebut kemudian dikenal dengan proses pengolahan air limbah emisi zero (zero emission). Hidenari Yasui berhasil mereduksi hampir 100% dari limbah endapan lumpur dengan menerapkan teknologi ozon pada proses pengolahan air limbah lumpur aktif. Bagan pengolahan air limbah lumpur aktif dengan penerapan sistem ozon

Pada sistem ini sebagian endapan lumpur diambil untuk melalui proses ozonisasi dalam chamber ozon proses. Selanjutnya endapan lumpur tadi dikembalikan pada chamber lumpur aktif. Melalui proses ozonisasi endapan

lumpur tadi menjadi material yang mudah untuk diuraikan dan direduksi oleh mikroorganisme. Dalam chamber lumpur aktif bersamaan dengan proses penguraian air limbah material oleh mikroorganisme, terjadi pula proses penguraian endapan lumpur hasil proses tersebut, sehingga tercipta sistem praktis pengolahan air limbah. Ozon yang merupakan spesis aktif dari oksigen memiliki oksidasi potential 2.07V, lebih tinggi dibandingkan chlorine yang hanya memiliki oksidasi potential 1.36V. Dengan oksidasi potential yang tinggi ozon dapat dimanfaatkan untuk membunuh bakteri (strilization), menghilangkan warna (decoloration), menghilangkan bau (deodoration), menguraikan senyawa organik (degradation). Dengan kemampuan multifungsi yang dimilikinya ozon dapat

menguraikan endapan lumpur yang sebagian besar kandungannya adalah bakteri dan senyawa-senyawa organik seperti phenol, benzene, atrazine, dioxin, dan berbagai zat pewarna organik yang tidak dapat teruraikan dalam proses lumpur aktif. Ozon membunuh bakteri dengan cara merusak dinding sel bakteri sekaligus menguraikan bakteri tersebut (Collignon, 1994). Hal ini berbeda dengan chlorine yang hanya mampu membunuh bakteri saja. Ozon juga mampu membunuh bakteri tipe filamen seperti bakteri S Natans, M Parvicella, Thiotrix I dan II penyebab bulking di mana zat padat dan zat cair sulit terpisahkan pada kolam pengendapan. Dengan menerapkan teknologi ozon pada pengolahan air limbah lumpur aktif didapatkan sistem praktis pengolahan air limbah. Beberapa keuntungan penerapan sistem ini adalah lumpur endapan dapat dihilangkan sehingga pengolahan lanjutan dan/atau pencemaran sungai dapat dihindarkan, bulking dapat dihilangkan sehingga sistem proses lumpur aktif berjalan stabil, dan air limbah dapat didaur ulang. Dengan menerapkan sistem ini didapatkan air bersih yang tidak lagi mengandung senyawa organik beracun dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk

kegiatan industri selanjutnya. Diharapkan pemanfaatan sistem daur ulang air limbah akan dapat mengatasi permasalahan persediaan cadangan air tanah demi kelangsungan kegiatan industri dan kebutuhan masyarakat akan air.

2.7 Penerapan Pengolahan Limbah Air Industri di Indonesia Tidak Optimal Potensi industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia melalui barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Buangan air limbah industri mengakibatkan timbulnya pencemaran air sungai yang dapat merugikan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti berkurangnya hasil produksi pertanian, menurunnya hasil tambak, maupun berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk. Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya perusahaan industry yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya berorientasi Profit motive dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industry dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industry hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak.

10

Latar belakang yang menyebabkan terjadinya permasalahan pencemaran tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Upaya pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk mencegah dan atau memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa di berbagai sektor industri belum berjalan secara terencana. 2. Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal dan dana pembangunan, pemeliharaan fasilitas bangunan air limbah yang terbatas, menyebabkan perusahaan enggan menginvestasikan dananya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, dan anggapan bahwa biaya untuk membuat unit IPAL merupakan beban biaya yang besar yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan. 3. Tingkat pencemaran baik kualitas maupun kuantitas semakin meningkat, akibat perkembangan penduduk dan ekonomi, termasuk industri di sepanjang sungai yang tidak melakukan pengelolaan air limbah industrinya secara optimal. 4. Perilaku sosial masyarakat dalam hubungan dengan industri memandang bahwa sumber pencemaran di sungai adalah berasal dari buangan industri, akibatnya isu lingkungan sering dijadikan sumber konflik untuk melakukan tuntutan kepada industri berupa perbaikan lingkungan, pengendalian pencemaran, pengadaan sarana dan prasarana yang rusak akibat kegiatan industri. 5. Adanya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air nomor: 82 Tahun 2001, meliputi standar lingkungan, ambang batas pencemaran yang diperbolehkan, izin pembuangan limbah cair, penetapan sanksi administrasi maupun pidana belum dapat menggugah industri untuk melakukan pengelolaan air limbah. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk para pelaku usaha agar dalam usaha industrinya dapat melakukan minimisasi air limbahnya pada proses produksi, faktor-faktor yang menyebabkan pengelolaan limbah cair pada industri tidak

11

dilakukan dengan optimal, pengaruh dari investasi terhadap pencemaran lingkungan, tingkat buangan limbah, teknologi Ipal, perilaku sosial

masyarakat dan peraturan pemerintah terhadap penerapan pengelolaan air limbah industri termasuk menghitung biaya manfaat penerapan Ipal industri. Berdasarkan dugaan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia bahwa Penerapan Installasi Pengolahan air limbah industri dipengaruhi oleh biaya investasi, beban buangan limbah, teknologi proses ipal, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan, serta menyangkut manfaat penerapan ipal lebih besar daripada biaya investasi ipal. Dari 350 industri terdapat kelompok jenis industri pengolahan makanan dengan 110 perusahaan, industri kimia/farmasi 70 perusahaan, permesinan 60 perusahaan, tekstil 40 perusahaan, furniture 30 perusahaan dan kelompok jenis industri kemasan dan lain-lain masing-masing 20 perusahaan, yang umumnya telah mengupayakan minimisasi air limbah pada proses produksinya melalui optimalisasi proses (reduce 74,29%), pemakaian

kembali sisa air proses (reuse 8,57%), pemanfaatan kembali air limbah (recycle 8,57%), melakukan pengambilan kembali air limbah (recovery 5,71%), sedangkan industri yang melakukan penerapan ipal ( 42,85%) atau sebanyak 150 industri. Hubungan fungsional antara variabel Y dan X didapat model persamaan regresi berganda Y= 9,132+ 0,935 X1+ 0,694 X2 + 0.081X3+ 0.161X4 0,234 X5, diartikan bahwa fungsi penerapan ipal dipengaruhi secara positif oleh biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah. Tanda koefisien negatif menunjukkan adanya hubungan negatif antara penerapan ipal dengan peraturan pemerintah: semakin tinggi industri menerapkan Ipal maka semakin rendah control pemerintah terhadap industri yang menerapkan ipal. Perhitungan biaya manfaat diambil dengan asumsi discount faktor 15 % dan umur ekonomis ipal 10 tahun, didapatkan biaya pembuatan ipal per m3 air limbah, yaitu Rp 975 Rp 1836 untuk kelompok jenis industri makanan, Rp 1450 Rp 2027,- untuk industri tekstil, Rp 1301,- Rp 1613,- untuk

12

Industri Farmasi dan Rp 2339 Rp 2961,- untuk kelompok jenis industri permesinan. Perhitungan nilai manfaat dilihat dari kemampuan Ipal menurunkan kadar BOD, COD dan Suspended solid per m3 air limbah yaitu Rp 1499 Rp 2764 untuk kelompok industri pengolahan makanan , Rp 2269 Rp 6217,- untuk industri tekstil, Rp 1613 Rp 2359,- untuk industri farmasi, dan Rp3427 Rp 6026,- untuk industri permesinan. Perhitungan rasio manfaat biaya juga menghasilkan nilai perbandingan biaya manfaat ( BCR) penerapan Ipal yaitu 1,01 1,57 untuk kelompok industri pengolahan makanan, 1,11 4,28 untuk industri tekstil, 1,24 1,46 untuk industri farmasi, dan 1,15 2,57 untuk industri permesinan. Kesimpulan dari Penelitian ini adalah : 1. Terdapat 74,29 % industri dari 350 perusahaan yang terbanyak memilih melakukan upaya minimisasi air limbah industrinya melalui optimalisasi pada proses produksi (reduce). 2. Faktor-faktor yang mendorong industri menerapkan instalasi pengolahan air limbah antara lain adalah biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat industri, peraturan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan. Hal ini dijelaskan oleh hasil uji F hitung sebesar 788,857 > dari F tabel 2,54 pada taraf signifikansi 5 % yang menunjukkan semua faktor tersebut secara bersama-sama dan signifikan mempengaruhi penerapan Ipal. 3. Manfaat penerapan ipal lebih besar dari biaya instalasi, baik dari nilai bersih sekarang ( Net Present Value), maupun dari rasio manfaat biayanya. Oleh karena itu secara ekonomi dan ekologis ipal layak diterapkan sebagai salah satu upaya mengurangi pencemaran air limbah industri.

13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Sejalan dengan perkembangan penduduk dan laju pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan khususnya kualitas air permukaan atau air atau air tanah. Hal ini terutama terjadi di kawasan perkotaan yang jumlah penduduknya besar serta atau kawasan hilir. Buruknya kualitas air bakunya maka hasil air olahan yang disuplai oleh PDAM ke masyarakat sering kali kurang memuaskan pelanggan. Kualitas air bakunya khususnya di wilayah perkotaan sudah tidak memenuhi syarat air golongan B yakni untuk peruntungan air baku air minum. Data yang ada selama ini telah menunjukkan bahwa sebagian kota-kota di dunia, khususnya di Indonesia sedang bergerak memasuki tahapan krisis sumber daya air. Langkah-langkah persiapan dan pencegahan permasalahan ini haruslah mulai dipikirkan dan disiapkan. Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengantisipasi krisis air bersih dan dapat dikatakan, berbicara adanya cadangan lebih baik daripada kekurangan air. Apalagi air bersih merupakan pemenuhan kebutuhan dasar di kota. Sebab, kebutuhan air bersih

di kota mutlak diperlukan. Faktor-faktor yang mendorong industri menerapkan instalasi pengolahan air limbah antara lain adalah biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat industri, peraturan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan. Hal ini dijelaskan oleh hasil uji F hitung sebesar 788,857 > dari F tabel 2,54 pada taraf signifikansi 5 % yang menunjukkan semua faktor tersebut secara bersama-sama dan signifikan mempengaruhi penerapan Ipal. 3.2 Saran Dengan berpesatnya pertumbuhan penduduk agar disarankan dapat mengolah air baku sendiri. Tanpa harus mengandalkan air PAM, karena

14

kualitas nya yang kurang memuaskan. Dengan cara yang hemat dan bisa dibuat sendiri dengan proses penyaringan. Sebaiknya industri dapat melakukan program minimisasi ke arah cleaner production yang terpadu dijalankan oleh semua bagian terkait baik itu produksi, enginering, maintenance, lingkungan, keuangan dan lainnya. Bagi industri yang limbahnya belum memenuhi baku mutu meskipun telah menerapkan minimisasi limbah perlu menerapkan ipal mengingat ipal merupakan aset perusahaan yang bermanfaat untuk mengurangi beban pencemaran dan untuk kelangsungan industri di masa depan.

15

DAFTAR PUSTAKA Waspola,.2003 Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, Jakarta: Bappenas. SUPAS STATISTIK, BPS, 1995 Diah, Parahita. 2003. Penyediaan Air Bersih Oleh Komunitas. Buletin Perkotaan dan Perdesaan. PU Anonim,. http://artesis.wordpress.com/2007/09/19/daur-ulang-air-limbah/.html. Samarinda, 2010 Anonim,. http://www.paljaya.com/?p=491&langswitch_lang=en. Samarinda, 2010

16

Anda mungkin juga menyukai