Anda di halaman 1dari 18

SKENARIO

A-59-year-old woman came to her dentist for evaluation of


gingival ulceration and bleeding. The patient reported that she had
been unable to brush her teeth for one month owing the gingival
pain. Her medical hystory was significant for hypertension and was
taking medication.
Clinical examination revealed the attached gingival mucosa to be
hyperplastic and red purple, with diffuse petechial hemorrhages in
the maxillary and mandibular right quadrant and mandibular anterior
region. An oral surgeon performed a biopsy of the mandibular
gingivall with the features of papillary surface epithelium with a
diffuse mononuclear inflammatory cell infiltrate in lobular pattern in
focal areas and perivascular mononuclear cell infiltration. Fibrinoid
deposits associated with plasma cell and lymphocytes were present;
however, features of necrotizing vasculitis were absent. Occasional
multinucleated giant cell and numerous eosinophils were scattered
throughout.
However, then, the patient began to experience sinusitis,
myalgia, and extreme fatigue and a regimen of prednisone 30 mg per
day and ciprofloxacin 250 mg twicw daily were given. The
prednisone had resulted in resolution of the gingival lesions, but the
sinusitis remained. A nasal examination revealed bilateral septal
erythema, ulceration and crusting. A sinus CT scan was remarkable
for “minimal maxillary sinus disease”. Respiratory function test
BAB II. PEMBAHASAN

1. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF, OBYEKTIF, DAN PENUNJANG


a. Keluhan Utama (Chief Complaint)
Dari skenario dapat diperoleh bahwa keluhan utama pasien yang merupakan
seorang wanita berusia dibawah 59 tahun adalah susah untuk menyikat gigi dan sakit
pada gingival karena adanya ulserasi dan perdarahan pada gingiva.

b. Riwayat Penyakit yang Sedang Diderita (Present Illness)


Lesi ini telah dialami oleh pasien selama satu bulan. Pasien juga mengalami
sinusitis, myalgia, dan rasa lelah yang ekstrim. Pasien telah diberikan prednisone 350 mg
per hari dan ciprofloxacin 250 mg dua kali sehari. Setelah pemberian prednisone lesi
gingival mengalami penyembuhan, namun tidak ada kemajuan yang didapati pada
sinusitis.
Berbagai macam pemeriksaan penunjang telah dilakukan untuk mengetahui
etiologi dari lesi, yang berupa : pemeriksaan biopsy jaringan gingival, pemeriksaan CT
Scan untuk mengetahui keadaan sinus, pemeriksaaan fungsi respirasi dan juga
pemeriksaan urin.

Melihat dari keluhan utama dan riwayat penyakit yang sedang diderita maka
dicurigai bahwa ulserasi gingiva yang dialami pasien mempunyai hubungan dengan
sinusitis, myalgia dan rasa kelelahan. Oleh karena itu dirasa perlu untuk memberikan
prednisone dalam dosis besar dan dilakukan pemeriksaan penunjang. Dicurigai bahwa
lesi gingival merupakan manifestasi dari penyakit sistemik.

c. Riwayat Kesehatan (Medical History)


1) Riwayat Penyakit
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah sebuah kondisi medis saat seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal (di atas 140/90 mmHg) yang
ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada
pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa
cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya. Hipertensi
mengakibatkan risiko kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).
Penyakit ini dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak
mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.
Padahal bila terjadi hipertensi terus menerus bisa memicu stroke, serangan jantung, gagal
jantung dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik. Siapapun bisa menderita
hipertensi, dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi.
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. bayi dan anak-
anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa.
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat
melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari
juga berbeda; paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam
hari.

Klasifikasi tekanan darah pada dewasa

kategori tekanan darah sistolik tekanan darah diastolic


Normal dibawah 130 mmhg dibawah 85 mmhg
normal tinggi 130-139 mmhg 85-89 mmhg
stadium 1
140-159 mmhg 90-99 mmhg
(hipertensi ringan)
stadium 2
160-179 mmhg 100-109 mmhg
(hipertensi sedang)
stadium 3
180-209 mmhg 110-119 mmhg
(hipertensi berat)
stadium 4
210 mmhg atau lebih 120 mmhg atau lebih
(hipertensi maligna)

Klasifikasi
Hipertensi, menurut penyebabnya, dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Hipertensi esensial atau primer adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui
penyebabnya, sekitar 90% penderita hipertensi adalah hipertensi primer.
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara
lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),
penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme), dan lain lain.
Klasifikasi lain :
1. Hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmhg atau lebih,
tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmhg dan tekanan diastolik masih dalam
kisaran normal. hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut.
sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan
tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan
diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara
perlahan atau bahkan menurun drastis.
2. Hipertensi maligna adalah hipertensi yang sangat parah, yang bila tidak diobati,
akan menimbulkan kematian dalam waktu 3-6 bulan. Hipertensi ini jarang terjadi,
hanya 1 dari setiap 200 penderita hipertensi.

Faktor pemicu terjadinya Hipertensi


1. Faktor keturunan
Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi di dalam
keluarga. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot
(satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong
bahwa faktor genetik mempunyai peran memicu hipertensi.
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti stres, kegemukan (obesitas) dan kurang olahraga juga
berpengaruh memicu hipertensi esensial. Hubungan antara stres dengan
hipertensi, diduga terjadi melalui aktivasi saraf simpatis (saraf yang bekerja pada
saat kita beraktivitas). Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan
tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan,
dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi
3. Kegemukan
Kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi. Walaupun belum
dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi
penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume
darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingan dengan
penderita yang mempunyai berat badan normal
Treatment Planning
Salah satu terapi untuk menurunkan tekanan darah yang optimal adalah dengan
memastikan penderita penyakit ini teratur meminum obat penurun tekanan darah atau anti
hipertensi sesuai anjuran dokter.
Jenis obat antihipertensi banyak ragamnya. Mulai dari jenis penghambat beta
(beta blocker) hingga penghambat channel kalsium (calcium channel blocker).
Calcium channel blocker bekerja dengan cara menghambat kalsium masuk ke sel-sel otot
jantung dan pembuluh darah, sehingga menyebabkan pelebaran pembuluh dan
memperlambat denyut jantung.
Obat-obatan sifatnya hanya membantu mengontrol tekanan darah, tetapi tidak
dapat menyembuhkannya. Oleh karena itu obat-obatan ini harus digunakan dalam jangka
panjang, bahkan seumur hidup.
Beberapa pola mengontrol kenaikan darah yaitu dengan diet rendah garam dan
banyak mengonsumsi sayuran, buah, dan makanan rendah lemak.

Sasaran dan Tujuan Terapi


Penderita tekanan darah tinggi perlu berupaya menormalkan tekanan darahnya.
Sasaran pengobatan tekanan darah pada diabetes mellitus adalah mencapai dan
mempertahankan tekanan darah dibawah 130/80 mm Hg. Dan tujuan pengobatan dari
hipertensi ini, yaitu mencegah terjadinya morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas
(angka kematian) kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggi.

Strategi Terapi
Strategi penatalaksanaan hipertensi meliputi beberapa tahap yaitu, memastikan
bahwa tekanan darah benar-benar mengalami kenaikan pada pengukuran berulang kali,
menentukan target dalam penurunan tekanan darah, melakukan terapi non farmakologis
meliputi pengamatan secara umum terhadap pola hidup pasien, kemudian terapi
farmakologis meliputi pengoptimalan penggunaan obat tunggal anti-hipertensi dalam
terapi, bila perlu berikan kombinasi penggunaan obat anti-hipertensi, dan melakukan
monitoring secara rutin. Terapi hipertensi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non farmakologis (tanpa obat) dan terapi farmakologis (menggunakan obat).

Terapi non farmakologis


Terapi non farmakologis dilakukan dengan modifikasi pola hidup yang berguna
untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan diabetes mellitus.
Modifikasi utama pola hidup yang dapat menurunkan tekanan darah antara lain
penurunan berat badan pada kasus obesitas, kurangi asupan kalori, konsumsi buah dan
sayur-sayuran, diet rendah lemak, diet rendah garam, menghindari konsumsi alkohol dan
memperbanyak aktivitas atau olahraga.

Pengendalian Tekanan Darah


Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:
1. jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada
setiap detiknya
2. arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak
dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah yang terjadi
pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
arteriosklerosis.
dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi
vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu
mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
3. bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan
darah. hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu
membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. volume darah dalam tubuh
meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat, sebaliknya, jika:
1. aktivitas memompa jantung berkurang
2. arteri mengalami pelebaran
3. banyak cairan keluar dari sirkulasi
maka tekanan darah akan menurun.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di
dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur
berbagai fungsi tubuh secara otomatis).
1. perubahan fungsi ginjal
Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara:
Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air,
yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekana
darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi
pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah
kembali ke normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan
menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon
angiotensi, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron.
ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah; karena itu
berbagai penyakit dan kelainan pda ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan
darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal
(stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera
pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.
2. sistem saraf simpatis
Merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu
akan:
- meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh
terhadap ancaman dari luar).
- meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung; juga mempersempit
sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya
otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak)
- mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan
meningkatkan volume darah dalam tubuh
- melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin),
yang merangsang jantung dan pembuluh darah

Penanganan dan Pengobatan Hipertensi


Diet Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi)
Kandungan garam (Sodium/Natrium)Seseorang yang mengidap penyakit darah
tinggi sebaiknya mengontrol diri dalam mengkonsumsi asin-asinan garam, ada beberapa
tips yang bisa dilakukan untuk pengontrolan diet sodium/natrium ini ;
- Jangan meletakkan garam diatas meja makan
- Pilih jumlah kandungan sodium rendah saat membeli makan
- Batasi konsumsi daging dan keju
- Hindari cemilan yang asin-asin
- Kurangi pemakaian saos yang umumnya memiliki kandungan sodium
Kandungan Potasium/KaliumSuplements potasium 2-4 gram perhari dapat
membantu penurunan tekanan darah, Potasium umumnya bayak didapati pada beberapa
buah-buahan dan sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung potasium dan baik
untuk di konsumsi penderita tekanan darah tinggi antara lain semangka, alpukat, melon,
buah pare, labu siam, bligo, labu parang/labu, mentimun, lidah buaya, seledri, bawang
dan bawang putih. Selain itu, makanan yang mengandung unsur omega-3 sagat dikenal
efektif dalam membantu penurunan tekanan darah (hipertensi).

Dalam kasus tidak dituliskan secara jelas tingkat keparahan penyakit. Namun walaupun
begitu, hipertensi dalam kasus ini mengaharuskan kita memodifikasi pengobatan yang
akan dilakukan untuk menangani lesi gingiva. Dicurigai juga hipertensi yang ada semakin
memperparah penyakit yang ada.
2) Riwayat Pengobatan

Prednison
Prednison termasuk obat golongan steroid (kortikosteroid ) yang dapat digunakan
untuk terapi pada reumatoid artritis, alergi berat, multipel sklerosis (suatu keadaan
dimana sistem syaraf tidak bekerja sebagaimana mestinya ), lupus ( suatu keadaan
dimana sistem imun tubuh menyerang organ tubuh itu sendiri ), asma, meningitis,
beberapa jenis kanker, dan berbagai jenis penyakit mata dan kulit. Juga digunakan pada
kasus peradangan berat dan gejala kekurangan kortikosteroid dan adrenalin dalam tubuh.
Dosis : initial dose prednison bervariasi tergantung kondisi dan usia pasien. Dosis
awal mulai 5 sampai 60 mg per hari dan biasanya berdasarkan respon pada pasien.
Kortikosteroid tidak memberikan efek secara langsung tetapi harus dipakai selama
beberapa hari terlebih dahulu sebelum mencapai efek maksimal. Perawatan dengan
prednison membutuhkan banyak waktu untuk mendapatkan respon pasien. Pemakaian
prednison dalam waktu yang lama dapt mengakibatkan kelenjar adrenal atropi dan
berhenti memproduksi kortisol. Saat ingin menghentikan pemakaian prednison setelah
pemakaian yang lama, dosis prednison harus dikurangi secara bertahap dahulu, untuk
memberi waktu kelenjar adrenal memulihkan kondisinya.
Efek samping obat ini antara lain menyebabkan euphoria, hipertensi, insomnia,
depresi berat, sakit kepala, kulit pecah-pecah dan kering, gelisah, ruam, myalgia, demam,
bengkak di wajah, jerawatan, detak jantung tidak teratur, nafas pendek biasanya pada
malam hari. Dan pada penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
infeksi virus atau jamur pada mata, katarak, glukoma. Cushing’s Syndrome yang ditandai
dengan kenaikan berat badan, moon face, dan lemah otot, biasanya wanita lebih rawan
terkena Cushing’s Syndrome daripada laki-laki.

Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan antibiotik kelas quinolon yang bekerja dengan cara
menghambat keaktifan DNA-girase, sehingga sintesis DNA kuman terganggu.
Ciprofloxacin digunakan untuk menangani infeksi saluran kencing,; prostatitis
bacterial kronis yang disebabkan oleh E.coli, P. mirabilis; sinusitis akut dan infeksi
saluran pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, atau Moraxella catarrhali; infeksi kulit yang disebabkan oleh
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter cloacae, Proteus mirabilis,
Proteus vulgaris, Providencia stuartii, Morganella morganii, Citrobacter freundii,
Pseudomonas aeruginosa, methicillin-susceptible Staphylococcus aureus, methicillin-
susceptible Staphylococcus epidermidis, atau Streptococcus pyogenes; infeksi tulang dan
persendian, infeksi intra abdominal dengan komplikasinya; demam tipoid yang
disebabkan oleh Salmonella typhi; diare infeksius yang disebabkan oleh E.coli. Shygella
boydii, S. dysentriae, S. flexneri, S. soannei.
Efek samping ciprofloxacin adalah nausea, meteorismus, tremor, konvulsi, ikterus
dan hepatitis, gagal ginjal, vaskulitis, urtikaria, hipertensi, gangguan jantung, perdarahan
gastrointestinal, mimpi buruk dan halusinasi, depresi, embolism pulmonary.
Kontraindikasinya ialah pada pasien dengan riwayat hipersensitifitas, fungsi ginjal tidak
sempurna.

Pendosisan
Oral :
infeksi saluran nafas, 250-750 mg dua kali sehari
infeksi saluran kemih, 250-500 mg dua kali sehari
gonore, 250 mg dosis tunggal
profilaksis bedah, 750 mg 60-90 menit sebelum operasi
Durasi terapi tergantung pada keparahan infeksi. Secara umum ciprofloxacin
diberikan sampai dengan dua hari stelah tanda dan gejala infeksi hilang. Durasi pada
umumnya adalah 7-14 hari, pada infeksi yang parah dan berkomplikasi membutuhkan
durasi terapi yang panjang.

Pada skenario didapatkan bahwa sinusitis tidak sembuh setelah pemberi ciprofloxacin
yang mengindikasikan bahwa sinusitis bukan disebabkan oleh bakteri.
Obat anti hipertensi
Pengobatan hipertensi biasanya merupakan kombinasi dari beberapa obat-obatan
seperti di bawah ini :
-Diuretic {Tablet Hydrochlorothiazide (HCT), Lasix (Furosemide)}.
Merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran cairan tubuh via
urine. Tetapi karena potasium berkemungkinan terbuang dalam cairan urine, maka
pengontrolan konsumsi potasium harus dilakukan.
- Beta-blockers {Atenolol (Tenorim), Capoten (Captopril)}.
Merupakan obat yang dipakai dalam upaya pengontrolan tekanan darah melalui
proses memperlambat kerja jantung dan memperlebar (vasodilatasi) pembuluh darah.
- Calcium channel blockers {Norvasc (amlopidine), Angiotensinconverting
enzyme (ACE)}.
Merupakan salah satu obat yang biasa dipakai dalam pengontrolan darah tinggi
atau Hipertensi melalui proses rileksasi pembuluh darah yang juga memperlebar
pembuluh darah.
- Obat-obatan lainnya (second line drug) yang dapat dikombinasikan antara
lain penghambat saraf adrenergik, Agonis α-2 sentral dan vasodilator.

Dicurigai obat-obatan hipertensi dapat menjadi etiologi dari pembengkakkan


gingiva. Diltiazem (Calcium channel blocker) dilaporkan dapat menyebabkan hiperplasi
gingival. Mulut yang kering atau sakit biasanya disebabkan oleh diuretic, central acting
adrenergic inhibitor, dan ACE inhibitor. Lichenoid drug eruption terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan furosemide, labetalol, methyllopa, propanolol, dan thiasid.

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Biopsy
Dari hasil pemeriksaan biopsy jaringan gingival dapat diketahui bahwa
terlihat lapisan papillary pada epitel dengan didapati banyak sel inflamasi
mononuclear yang membentuk gambaran lobular di daerah focal dan infiltrasi sel
mononuclear di perivascular. Ditemukan juga deposit fibrinogen yang
berhubungan dengan adanya sel plasma dan limfosit. Tidak didapati penampakan
adanya nekrose vasculitis. Terlihat juga banyak giant cells dan eosinofil.

Eosinofil merupakan fagosit yang lemah dan menunjukkan adanya kemotaksis,


sehingga sel ini memiliki kemampuan fagositosis terhadap kompleks antigen-antibodi
setelah sistem imun melakukan fungsinya. Jumlah eosinofil meningkat selama terjadi
reaksi alergi, setelah penyuntikan protein asing, dan selama infeksi parasit (Guyton,
1990).
.

2. DIAGNOSIS
Wegener’s Granulomatosis (WG) adalah salah satu bentuk vasculitis yang
jarang dijumpai; yang ditandai dengan inflamasi dari dinding pembuluh darah, inflamasi
ini mengakibatkan pengurangan jumlah oksigen di darah dan kemudian merusak organ
vital di tubuh serta jaringan normal. WG terutama menyerang saluran pernapasan (sinus,
hidung, trakea) dan ginjal. WG yang tidak menyerang ginjal disebut Limited Wegener’s
Granulomatosis. Kelainan ini dapat terjadi pada usia berapa pun dan sanagt jarang
menyerang orang dengan ras Negroid. Penyebab dari WG masih belum diketahui hingga
saat ini. Samapai saat ini tidak ada satu pun marker, mikroorganisme, atau factor lain
yang diidentifikasi dapat menyebabkan WG. Wegener Granulomatosis tidaklah menular
dan tidak diturunkan.
Pertama kali pada 1931, Heinz Klinger di University of Berlin melaporkan
kematian dua orang yang disebabkan karena kondisi sepsis yang berkepanjangan dengan
inflamasi pembuluh darah yang terjadi di seluruh tubuh. Lima tahun kemudian, Friederic
Wegener di Bresllau menemukan syndrome yang sama pada tiga pasien. Pasien tersebut
mengalami nekrose granuloma yang melibatkan saluran pernapasan atas dan bawah. Pada
1954 ditemukan tujuh lagi pasien. Hingga pada akhirnya Dr Friederic Wegener
menetapkan kriteria definitive untuk diagnosis dari penyakit ini. Dr Friederic Wegener
meninggal pada July 1990 pada usia 83.
Sebelum tahun 1960 Wegener’s granulomatosis merupakan penyakit yang sangat
fatal (dengan masa hidup hanya 6 hingga 12 bulan setelah terkena) dengan gagal ginjal
sebagai penyebab utama kematian. Terapi kortikosteroid (prednison) memang
menguntungkan dan menunjukkan peningkatan kesembuhan pada beberapa kasus, namun
tingkat kematian yang tinggi masih belium teratasi. Dengan digunakannya obat
sitotoksik untuk penanganan WG, maka tingkat kematian dapat ditekan dan penyakit ini
semakin dapat ditangani. Pada pasien limited Wegener’s granulomatosis pemberian
antibioti trimethoprim-sulfamethxazole (Bactrim, Septrim) terbukti dapat mengatasi
penyakit ini.
Wegener granulomatosis adalah penyakit inflamasi multi system yang
berkarakteristik dengan dijumpainya nekrosis dan vaskulitis granulomasi. Pada gingival
memang jarang ditemukan neckrose vasculitis. Hal tersebut disebabkan karena pembuluh
darah di gingival merupakan pembuluh darah yang halus (mikrovaskuler). Nekrotase
vaskulitis dapat terlihat pada pembuluh darah yang besar.
Bentuk klasik dari penyakit Wegener granulomatosis ditandai dengan adanya
gangguan pada saluran pernafasan atas dan bawah serta ginjal. Biasanya mempunyai
onset yang tiba-tiba dengan gejala klinis kehilangan berat badan, kelelahan, dan demam.
Keterlibatan saluran pernafasan atas sering menyerupai midline lethal granuloma
yang ditandai dengan adanya sinusitis, rhinitis, obstruksi nasal, nekrose, lesi destruktif
ada kavitas nasal dan oral. Terkadang dapat ditemui dekstrusi palatal akibat kerusakan
oro dan nasal. Lesi oral yang paling sering dijumpai adalah gingivitis hyperplastik yang
berwarna merah keunguan dengan permukaan granular dan banyak petechiae. Alveolar
bone loss dan gigi goyah juga dapat terjadi. Keterlibatan paru-paru dapat mengakibatkan
batuk dan dyspnea dan kadang diikuti dengan hemoptysis.
Kulit juga dapat terkena yang ditandai dengan adanya lesi ulcerative atau popular.
Pemeriksaan labolatoris yang dapat membantu diagnosis dari penyakit Wegener
granulomatosis adalah adanya antibody antineuthropil sitoplasma yang ditemukan di
lebih dari 90 % pasien akut.
Manifestasi Wegener granulomatosis di kavitas oral ditandai dengan adanya
hiperlastik gingiva yang berwarna merah keunguan dengan permukaan granular dan
dijumpai banyak petechiae yang sekilas tampak seperti buah strawberry sehingga disebut
juga ‘strawberry gingiva’. Bone loss dan kegoyahan gigi terkadang juga terjadi.
Seorang pasien dapat dikatakan menderita Wagener’s granulomatosis jika paling
sedikit mengalami 2 dari 4 gejala. Keberadaan 2 gejala ini dapat menunjukkan
sensitivitas hingga 88,2 % dan spesivitas 92,0 %.
Menurut kriteria American College of Rheumatology ( 1990 ) maka ada empat kriteria
dasar dari Wegener’s disease, yaitu:
 Inflamasi nasal atau oral
 adanya perkembangan lesi oral yang sangat nyeri atau adanya secret nasal
purulen atau berdarah
 Abnormalitas rontgen dada
 menunjukkan adanya nodul, kavitas, atau infiltrate yang menetap
 Abnormalitas sedimen urine
 mikrohematuria ( > 5 sel darah merah per mili meter kubik ) atau adanya
sedimen sel darah merah dalam urin.
 Adanya inflamasi granulomatous dalam biopsy
 Perubahan histologist menunjukkan inflamasi granulomatous di dalam
dinding arteri atau di dalam area perivaskuler atau ekstravaskuler ( arteri atau
arteriola )

Secara histologis, penampakan pada biopsy biasanya berupa pembuluh


darah yang mengalami nekrosis dengan ditemukan juga inflamasi
granulomasi. Terdapat pseudoepitheliomatous yang hyperplasi, penampakan
microabscess dan ditemukan multinucleate giant sel. Juga ditemukan positif
antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA).

Spesifikasi dan sensitifitas dari berbagai macam tes serology ANCA untuk
mendiagnosis Wegener's granulomatosis
- Indirect immunofluorescence:
cANCA 95 %
pANCA 81 %
- ELISAs:
PR3-ANCA 87 %
MPO-ANCA 91 %
- Kombinasi indirect immunofluorescence and ELISA:
cANCA/PR3-ANCA positive 99 %
pANCA/MPO-ANCA positive 99 %

Terapi Wegener’s Disease


Terapi Awal (untuk 3 bulan – 6 bulan setelah didiagnosis)
1. Cyclophosphamide, 2.0mg/kg/day (maksimum 200mg/day).
Umur > 60 tahun, dosis dikurangi hingga 25%, > 75 tahun hingga 50%
2.Prednisolone, 1mg/kg/hari (maksimum 80mg/day)
Prednisolon dikurangi per minggu hingga 25mg/hari pada minggu ke-8 kemudian
dikurangi denagan lebih perlahan hingga 10mg/hari sampai 6 bulan.

Pada beberapa kasus dengan diikuti penyakit fatal (contoh: pulmonary


haemorrhage, glomerulonephritis dengan creatinine >500μmol/l), disarankan untuk
mendapatkan terapi plasma exchange, 7-10 kali perawatan selama lebih dari 14 hari, atau
dengan pemberian methylprednisolone, 15mg/kg/hari selama tiga hari.

Terapi Lanjut (18-24 bulan, dapat lebih lama jika diindikasikan secara klinis)
1.Azathioprine, 2.0mg/kg/hari (maximum 200mg/hari)
2.Prednisolone, 5-10mg/day
Umur > 60 tahun, dosis dikurangi hingga 25%, > 75 tahun hingga 50%

Pemberian cyclophosphamide atau azathioprine harus dihentikan jika hasil hitung


sel darah putih 4x109/l; terapi diulangi dari awal dengan dosis yang dikurangi setidaknya
25 mg. Perlindungan untuk lambung dan tulang juga harus dipertimbangkan, dan juga
terhadap fungal maupun profilaksis terhadap Pneumocystis carinii.

Cyclophosphamide
Cyclophosphamide merupakan obat antineoplastik. Aktifitas cyclophosphamid
adalh cell-cycle phase yang non spesifik. Secara umum siklofosfamid mengurangi respon
imun humoral dan meningkatkan respon imun selular. Dalam tubuh siklofosfamid harus
diaktifkan dulu oleh enzim mikrosom di hati. Karena itu penggunaan bersama obat lain
yang mempengaruhi sistem enzim ini antara lain fenobarbital dan glukokoertikoid
memerlukan penyesuaian dosis untuk masing- masing obat berinteraksi tersebut guna
memperoleh efek yang optimal.
Potensi emetic cyclophosphamide adalah moderat sampai tinggi (dosis lebih dari
1 gr). Mual, muntah dan rambut rontok merupakan reaksi yang sering terjadi dan
tergantung pada dosis. Toksisitas yang diakibatkan oleh dosis adalah myelosuppression
dengan nadir sel darah putih (WBC) sekitar 10 hari. Platelet juga mengalami penekanan
hanya dalam derajat yang lebih rendah. Pandangan yang kabur secara reversible dan
sementara kerap kali terjadi. Metabolit aktif yang dieliminasi lewat ginjal kadang-kadang
menyebabkan sterile hemorrhagic cystitis yang dapat pulih secara lambat dan sering kali
mngakibatkan suatu fibrotik. Tanda awal cystitis adalah hematuria mikroskopik yang
dapat berkembang menjadi perdarahan. Pencegahan dengan hidrasi direkomendasikan.
Pencegahan urotoksisitas karena regimen dosis tinggi adalah penggunaan mesna.
Mesna adalah dua mercaptoethanesulfonate yang bersifat khemoprotektif. Mesna ini
merupakan senyawa sulfhydril yang meminimalkan urotoksisitas obat pengalkil
cyclophosphamid dan ifosfamid dengan cara pengikatan terhadap metabolit iritan
acrolein dalam kandung kemih guna mencegah hemorrhagic cystitis. Irigasi kandung
kemih dengan acetyl cysteine dapat mempunyai aktifitas antidotal.
Fungsi ovarian dan testicular dapat hilang secara permanen setelah pemakaian
dengan dosis tinggi dalam jangka lama.
Kontraindikasi untuk penggunaan cyclophosphamid adalah hipersentifitas berat
yang terjadi sebelumnya, leucopenia dan trombositopenia yang jelas, hemorrhagic
cystitis, toksisitas pulmonary berat yang diakibatkan oleh terapi obat pengalkil
sebelumnya.
Sebelum terapi induksi pasien diases terhadap kecukupan jumlah sel darah
putihnya (WBCs ≥ 3500/µl) atau platelet (lebih dari 120.000/µl). dengan penggunaan
lama asesmen terhadap jumlah WBC dan platelet dilakukan paling sedikit sekali setiap
bulan.

3. TREATMENT PLANNING
Dalam kasus ini yang menjadi fokus dalam treatment planning adalah rasa sakit
pada gingiva, ketidakmampuan untuk menyikat gigi, hipertensi, dan wegener’s disease.
Sebagai dokter gigi yang didatangi oleh pasien dengan keluhan utama rasa sakit
pada gingival dan kesulitan dalam menyikat gigi maka langkah pertama yang harus
diambil adalah menghilangkan rasa sakit dan usaha menjaga kebersihan mulut. Dalam
kasus ini dokter gigi hanya dapat melakukan terapi symptomatic, sebab untuk mengobati
penyebab dari penyakit ini maka harus dilakukan rujukan kepada pihak yang lebih
berwenang seperti dokter spesialis penyakit dalam. Untuk menghilangkan rasa sakit
pada gingival maka dokter gigi dapat menggunakan NSAIDs ataupun kortikosteroid.
Dalam kasus ini didapati bahwa pasien mempunyai riwayat hipertensi dan sedang
mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi. Obat antihipertensi dapat berinteraksi dengan
NSAIDs. NSAIDs dapat meningkatkan tekanan darah dan dapat menurunkan efekasi
dari beberapa obat antihipertensi sehingga penggunaan NSAIDs per oral (sistemik)
dalam kasus ini kurang tepat. Penggunaan NSAIDs dalam bentuk ointment yang
dioleskan langsung di lesi gingival (efek lokal) dapat digunakan sebagai penggantinya.
Pilihan lain adalah menggunakan Kenalog secara topical. Kenalog mengandung
triamnisolon yang merupakan topical steroid sehingga sangat tepat untuk mengobati lesi
inflamasi sebagai akibat dari reaksi alergi, eczema, juga psoriasis.
Usaha untuk menjaga kebersihan mulut pasien yang tidak dapat menggosok gigi
dapat diganti dengan penggunaan obat kumur nonalkohol (untuk menghindari iritasi
mukosa) yang mengandung antibakteri sekaligus anastesi sehingga dapat mencegah
bakteri sekaligus menghilangkan rasa sakit.
Dokter gigi dapat merujuk pasien ke dokter gigi spesialis dengan kecurigaan
wegener’s disease sehingga dokter yang berwenang dapat untuk melakukan pemeriksaan
lebih lanjut seperti tes laboratoris untuk menemukan anti-neutrophil cytoplasmic
antibodies (ANCA) dan P-ANCA.
Penanganan pasien dengan hipertensi memerlukan perhatian yang khusus. Selama
ini telah kita ketahui bersama bahwa pasien dengan hipertensi mempunyai kontraindikasi
dengan efinefrin atau yang dikenal juga dengan adrenalin yang merupakan
vasokonstriktor yang terkandung dalam local anastesi yang sering digunakan oleh dokter
gigi. Konfrensi the American Heart Association dan the America Dental Association
menyatakan bahwa konsentrasi vasokonstriktor yang selama ini terkandung di dalam
anastesi local bukanlah kontraindikasi untuk pasien berpenyakit jantung, selama prosedur
anastesi dilakukan dengan aspirasi awal, dan agen anestesi diinjeksikan secara perlahan
dengan menggunakan dosis efektif yang paling kecil. Jumlah efinefrin yang tepat dan
aman memang sangat tergantung dengan tingkat keparahan penyakit. Namun, secara
umum dosis efinefrin dibatasi sampai 0,04 mg dalam periode 15 menit untuk pasien yang
beresiko berpenyakit jantung. Dosis tersebut sebanding dengan dua ampul dari 1:100.000
epinephrine di dalam local anastesi.

Evaluation of and Treatment Considerations for the Dental Patient with


CARDIACDisease, Frederick M. Lifshey, D.D.S. NYSDJ • NOVEMBER 2004

Interaction of antihypertensive drugs with anti-inflammatory drugs

POLONIA J. (1) ;
Cardiology ISSN 0008-6312 CODEN CAGYAO . 1997, vol. 88, SUP3 (77 p.)
(37 ref.), pp. 47-51

BMJ. 2000 May 13; 320(7245): 1325–1328.

ABC of arterial and vascular disease Vasculitis

C O S Savage, L Harper, P Cockwell, D Adu, and A J Howie BMJ. 2000 May 13;
320(7245): 1325–1328.

Neville, et al, 2003, Colour Atlas of Oral Pathology, BC Decker Inc : London

Regezi JA and Sciubba JJ,2003, Oral Pathology : Clinical-Pathologic Correlations, W.B.


Saunders Company : Philadelphia
Wood,N.K. dan Goaz, P.W., 1997, Differential Diagnosis of Oral and Maxillofacial
Lesions, edisi 5, Mosby, St. Louis.

Anda mungkin juga menyukai