Anda di halaman 1dari 3

BAB IV PEMBAHASAN Diagnosis pada pasien ini adalah intra uterine growth retadation (IUGR).

HPHT (30 April 2011) menunjukkan usia kehamilan 38 minggu sesuai dengan penilaian umur kehamilan pasca persalinan menurut Ballard Score 33 (36-38 minggu) dengan berat lahir neonatur rendah, kurang dari 2500.17 Eklampsia pada Ibu mungkin sekali didahului pre eklamsia berat yang belum terdeteksi sebelumnya. Ibu memerikakan kehamilan ke bidan 4 kali dan tidak teratur. Ketuban telah pecah sekitar 36 jam sebelum persalinan. Saat lahir, terdapat sisa ketuban hijau-kental namun bayi bugar. Oleh karena itu, timbul kewaspadaan terjadinya infeksi intra uterin. Terdapat cairan kehijauan yang keluar dari OGT dan mulut mengeluarkan busa, perut buncit tidak terlalu tegang. Hal ini mencurigakan suatu atresia saluran cerna distal duodenum. Babygram menunjukkan gelembung udara ditetapkan berjumlah 3 (tiga) buah sesuai dengan gambaran Atresia Jejunum.7,14 Sebagaimana dijelaskan pada tinjauan pustaka, etiologi atresia jejunum belum diketahui dan gangguan vaskular sebagai dasar patogenesis atresia jujunum merupakan kejadin yang tidak dapat diduga sebelumnya.7 Telah dilakukan Laparotomi Eksplorasi dan Eksisi Web. Diagnosis dini dan koreksi Atresia Jejunum sangat penting dilakukan untuk mempertahankan pasase makanan dan mencegah komplikasi pnemonia aspirasi, dehidrasi dan perforasi.14 Diagnosis post operasi adalah atresia jejunum. Penatalaksanaan awal yang dilakukan terhadap pasien ini antara lain jaga kehangatan (36,5-37,50C), jaga jalan nafas, O2 1/2L/menit, pasang OGT, cairan 8x5ml, IVFD D10 8 cc/ jam merupakan terapi awal rutin terhadap BBLR yang memang meiliki risiko lebih tinggi dibanding BBL cukup mengalami ketidakstabilan suhu, kesulitan bernafas, kelainan gastrointestinal dan kelainan metabolisme.17 Asupan peroral dihentikan pada tanggal setelah didapatkan cairan kehijauan mengalir dari OGT. Untuk memenuhi kebutuhan protein diberikan infus aminosteril

3cc/jam. Adanya kecurigaan infeks diwaspadai, diberikan antibiotik meropenem 2x125mg dan diajukan pemeriksaan DPL, CRP dan kultur darah. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia dan hipokalsemia. Anemia perlu diinvestigasi lebih lanjut dengan pemeriksaan apus darah tepi sehingga dapat diketahui ukuran(mikro/makrositik) dan kepadatan warnanya (hipokrom/ normokrom).18 Pada neonatus ini tidak ditemukan jejas persalinan yang mengarah pada perdarahan, anemia mungkin berhubungan dengan IUGR. Hipokalsemia berisiko menimbulkan kejang pada bayi baru lahir. Pada neonatus ini (0,3 mmol/L) tidak diketahui penyebab pastinya. Hipokalsemia dan hipomagnesia lebih sering ditemukan pada BBLR, dihubungkan dengan asfiksia serta ibu diabetes melitus.19 Setelah operasi ETT dipertahankan, dilakukan observasi. Pernafasan spontan lemah dan saturasi sempat turun hingga 79%. Pada tanggal 28-01-2012 kesadaran soporokomatous sehingga ETT dipertahankan. Keadaan umum neonatus yang sakit berat, tidak sadar, saturasi tidak stabil meskipun dengan ventilator, takikardi, akral pucat dan dingin mengesankan sepsis. Keadaan ini mulai terjadi pada tanggal sehingga digolongkan mencurigakan sepsis awitan lambat yang sering disebabkan infeksi nosokomial.20 Namun, pemeriksaan kultur, baku emas diagnosis sepsis bayi baru lahir, Hal ini mungkin disebabkan sensivitas pemeriksaan kultur yang kurang, jumlah sampel yang diambil 1ml dan pengambilan sampel sebelum pemberian antibiotik. Pengambilan sampel darah untuk kultur 3mL meningkatkan sensitivitas pemeriksaan hingga 70-80%.20 Komplikasi lanjut Sepsis antara lain disfungsi sistem saraf pusat, kardiovaskular, hematologis, gastrointestinal ataupun respirasi. Pada neonatus ini disfungsi gastroenterologi berupa perdarahan saluran cerna. Neonatus membutuhkan ventilasi mekanik untuk mencapai dan mempertahankan saturasi optimal menandakan disfungsi sistem pernafasan. Penurunan kesadaran keasadaran pada neonatus ini berhubungan dengan disfungsi sistem saraf pusat dan ikterus yang dikonfirmasi dengan nilai Bilirubin direct, indirect dan total yang tinggi. Kelainan ini merupakan akibat disfungsi hepar, selain itu juga terdapat hipoalbuminemia.

Penatalaksanaan pada neonatus bersifat kausatif dan suportif. Dasar dari patologi yang ada diduga adalah sepsis yang memang lebih sering terjadi pada BBLR. Terapi antibiotik merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan sepsis neonatal.20 Pemilihan antibiotik memperhatikan pola kuman dan resistensinya. Sebaiknya pemilihan seharusnya didasarkan pada kultur dan uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Pada neonatus ini, kultur darah steril sehingga pemberin antibiotik secara empiris. Selain itu terapi tambahan yang diberikan adalah tranfusi FFP untuk mengatasi gangguan koagulasi yang sering terjadi pada sepsis. Terapi suportif yang diberikan antara lain transfusi PRC karena anemia akibat perdarahan saluran cerna dan infus albumin untuk mengkoreksi hipoalbuminemia. Kegagalan multi organ yang dialami akhirnya berujung pada kematian.

Anda mungkin juga menyukai