Anda di halaman 1dari 16

49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Kerupuk yang diperoleh merupakan hasil pencampuran dari tepung tapioka dan tepung belut yang ditambahkan dengan bahan tambahan makanan lain seperti garam, bawang putih, merica dan monosodium glutamat (MSG). Tepung belut diperoleh dari hasil penggilingan daging belut yang telah dikeringkan pada suhu 50-550C selama enam jam. Hasil tepung belut tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Tepung Belut

Pencampuran tepung tapioka dan tepung belut dilakukan dalam beberapa perbandingan komposisi massa yaitu 90:10 (produk kerupuk A), 80:20 (produk kerupuk B), dan 70:30 (produk kerupuk C). Proses pencampuran antara tepung tapioka dan tepung belut menghasilkan suatu adonan homogen yang dapat 49

50

mengalami suatu proses gelatinasi ketika pengukusan akibat panas. Gambar 4.2 berikut menunjukkan adonan hasil pencampuran tepung tapioka dan tepung belut.

Gambar 4.2 Adonan Hasil Pencampuran Tepung Tapioka dan Tepung belut Gelatinasi merupakan proses pengembangan granula pati yang disebabkan karena molekul-molekul air masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Winarno, 1992). Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Setelah proses pengukusan, adonan dimasukkan ke dalam lemari es. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air, sehingga memudahkan proses pencetakan adonan. Pengeringan adonan dilakukan pada suhu 50-55 0C. Suhu tersebut dipilih didasarkan pada upaya untuk menghindari terjadinya proses denaturasi protein yang terdapat dalam adonan tersebut. Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen (Winarno, 1992). Produk kerupuk yang dihasilkan bervariasi yaitu kerupuk A

51

dengan perbandingan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut sebesar 90:10, kerupuk B dengan perbandingan massa tepung tapioka dan tepung belut sebesar 80:20, dan kerupuk C dengan perbandingan massa tepung tapioka dan tepung belut sebesar 70:30. Produk kerupuk A, B, dan C dapat terlihat pada Gambar 4.3; 4.4; dan 4.5 di bawah ini.

Gambar 4.3 Kerupuk A (90:10)

Gambar 4.4 Kerupuk B (80:20)

Gambar 4.5 Kerupuk C (70:30)

52

Setelah ketiga kerupuk diproduksi, kemudian dilakukan pengamatan terhadap sifat fisik kerupuk seperti karakteristik aroma, warna, rasa dan kerenyahannya. Berikut adalah tabel 4.1 yang menunjukkan karakteristik aroma, warna, rasa, dan kerenyahan dari ketiga produk kerupuk. Tabel 4.1 Karakteristik aroma, warna, rasa, dan kerenyahan dari ketiga produk kerupuk Karakteristik Kerupuk A (90:10) Kerupuk B (80:20) Kerupuk C (70:30)

Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Warna (+) (++) (+++) Sedikit aroma belut (+++) Sedikit rasa belut (+++) Renyah

Aroma

Sedikit aroma belut Sedikit aroma belut (++) (+) Sedikit rasa belut Sedikit rasa belut (++) (+) Renyah Renyah

Rasa

Kerenyahan

Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa karakteristik warna untuk semua produk kerupuk, berwarna kuning kecoklatan. Semakin banyak penambahan tepung belut maka intensitas warna kuning kecoklatan dalam kerupuk juga semakin besar. Selain itu juga penambahan tepung belut mempengaruhi terhadap aroma maupun rasa dari produk kerupuk tersebut. Semakin banyak penambahan tepung belut maka aroma dan rasa belut dalam produk kerupuk menjadi semakin meningkat. Sedangkan dalam segi kerenyahan, produk kerupuk dari masingmasing perbandingan komposisi massa memiliki tingkat kerenyahan yang hampir sama.

53

4.2 Kandungan Gizi Produk Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Kandungan gizi produk kerupuk diketahui dengan cara menganalisis ketiga kerupuk sehingga diperoleh data berupa kandungan masing-masing zat gizi yaitu air, karbohidrat, protein, lemak, dan mineral fosfor.

4.2.1

Kandungan Air Air merupakan salah satu zat gizi dalam bahan makanan. Penentuan

kandungan air dalam produk kerupuk ini dengan metode pengeringan menggunakan oven sesuai SNI 01-2891-1992 (Cara Uji Makanan dan Minuman). Prinsip yang digunakan adalah menguapkan air yang ada dalam produk kerupuk dengan cara pemanasan di dalam oven dengan suhu 105 0C. Kandungan air dari produk kerupuk untuk masing-masing perbandingan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut ditunjukkan dalam Tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2 Kandungan air (g/100 g) Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 3 Rata-rata 8,37 8,32 8,32 8,34 Kerupuk B (80:20) 8,76 8,72 8,75 8,74 Kerupuk C (70:30) 8,88 8,86 8,87 8,87

Dari Tabel 4.2 di atas dapat dilihat kandungan air produk kerupuk yang telah dibuat adalah sekitar 8,34-8,87 %. Kerupuk dengan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut sebesar 90:10 (kerupuk A) memiliki kandungan air sebanyak 8,34 g (per 100 g), sedangkan untuk perbandingan massa 80:20

54

(kerupuk B) dan perbandingan massa 70:30 (kerupuk C) sebanyak 8,74 g dan 8,87 g (per 100 g). Kandungan air yang terkandung dalam suatu produk makanan akan mempengaruhi daya tahan produk tersebut. Hal ini disebabkan penurunan kadar air dapat mengurangi laju kerusakan bahan makanan akibat proses mikrobiologis, kimiawi dan enzimatis (Buckle, 2007). Proses mikrobiologis berhubungan dengan aktivitas air dalam suatu bahan makanan. Aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno, 1992). Jenis mikroorganisme yang dapat merusak bahan makanan adalah bakteri, khamir dan kapang. Peran air dalam proses kimiawi yaitu sebagai pelarut untuk bahan pereaksi dan produk, sebagai pereaksi dalam reaksi hidrolisis, dan berperan dalam reaksi kondensasi. Selain itu, air juga berperan dalam reaksi enzimatis dalam makanan seperti dalam reaksi pencoklatan non enzimatis. Pada reaksi ini, air berperan sebagai pelarut dan produk yang dihasilkan (Buckle, 2007). Bila dilihat dari kandungan air tiap produk kerupuk yang dihasilkan maka dapat diperkirakan bahwa kerupuk A memiliki ketahanan yang paling tinggi.

4.2.2

Kandungan Karbohidrat Karbohidrat merupakan molekul makro sumber energi utama bagi manusia

dan hewan yang relatif murah. Penentuan kadar karbohidrat dalam produk kerupuk ini dilakukan melalui metode Luff-schoorl dengan prinsip dasarnya adalah hidrolisis karbohidrat dalam sampel menjadi monosakarida yang dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ (SNI 01-2891-1992). Reaksi yang terjadi selama

55

penentuan karbohidrat ini mula-mula Cu2+ akan membebaskan iod dari garam kalium iodida (KI). Banyaknya iod yang dibebaskan setara dengan banyaknya Cu+ yang diketahui setelah titrasi menggunakan natrium tiosulfat (Sudarmadji, 2007). Reaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut. R-CHO + 2 CuO H2SO4 + CuO CuSO4 + 2 KI 2 CuI2 I2 + 2 Na2S2O3 Cu2O + R-COOH CuSO4 + H2O CuI2 + K2SO4 Cu2I2 + I2 Na2S4O6 + 2 NaI

I2 + amilum : biru (Sudarmadji, 2007) Gambar 4.6 Reaksi Pada Metode Luff Schoorl Menurut data teoritis, tepung tapioka mengandung karbohidrat dalam jumlah yang tinggi yaitu 88,2 g/100 g bahan sedangkan belut tidak mengandung karbohidrat yaitu 0 g/100 g bahan (Poedjiadi, 2005). Jika kedua bahan tersebut dicampurkan dengan perbandingan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut 90:10; 80:20; dan 70:30 maka akan menghasilkan kadar karbohidrat campuran (per 100 g bahan) berturut-turut 79,38 g; 70,56 g; dan 61,74 g. Semakin sedikit komposisi tepung tapioka yang digunakan dalam produk kerupuk maka kandungan karbohidratnya semakin menurun. Data hasil penelitian menunjukkan hal yang sama seperti terlihat pada Tabel 4.3 mengenai data kandungan karbohidrat untuk produk kerupuk dengan masing-masing perbandingan massa antara tepung tapioka dan tepung belut.

56

Tabel 4.3 Kandungan Karbohidrat (g/100 g) Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 3 Rata-rata 42,68 42,56 42,68 42,64 Kerupuk B (80:20) 37,36 37,36 37,24 37,32 Kerupuk C (70:30) 33,98 34,09 34,09 34,05

Dari Tabel 4.3 di atas, produk kerupuk yang memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi adalah produk kerupuk dengan perbandingan komposisi 90:10 (kerupuk A) yaitu sebesar 42,64 g/100 g bahan, sedangkan kandungan karbohidrat terendah yaitu 34,05 g/100 g bahan terdapat dalam produk kerupuk dengan perbandingan komposisi 70:30 (kerupuk C). Bila dibandingkan dengan perhitungan teoritis, kandungan karbohidrat yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil. Hal ini disebabkan adanya pengaruh pada saat pengolahan menjadi produk kerupuk. Kandungan karbohidrat dapat berkurang akibat terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard). Reaksi ini terjadi antara suatu gugus aldosa dengan suatu gugus asam amino dari protein menghasilkan senyawa melanoidin. Senyawa ini dapat mengganggu dalam penentuan kadar karbohidrat sehingga karbohidrat dalam sampel tidak teranalisis semua. Proses reaksi Maillard dapat dilihat pada Gambar 4.7 berikut.

57

Gambar 4.7 Reaksi Maillard (Winarno, 1992)

4.2.3

Kandungan Lemak Penentuan kandungan lemak dalam produk kerupuk dilakukan dengan

metode ekstraksi dengan pelarut non polar (solvent extraction). Metode ini dilakukan dengan didahului proses hidrolisis untuk melepaskan lemak yang terikat dengan protein (lipoprotein) dan yang terikat dengan polisakarida atau glikolipid (SNI 01-2891-1992). Selanjutnya dengan proses ekstraksi

menggunakan pelarut non polar. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi lemak dalam produk kerupuk ini adalah n-heksana. Heksana merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam analisis lemak karena harganya relatif murah, kurang berbahaya terhadap resiko kebakaran dan lebih selektif untuk

58

lipida non polar. Berikut ini adalah Tabel 4.4 menunjukkan kandungan lemak dari ketiga produk kerupuk yang dihasilkan. Tabel 4.4 Kandungan Lemak (g/100 g) Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 3 Rata-rata 2,43 2,40 2,50 2,44 Kerupuk B (80:20) 4,04 4,05 4,15 4,08 Kerupuk C (70:30) 5,72 5,96 5,92 5,87

Dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa kandungan lemak terendah terdapat dalam produk kerupuk dengan perbandingan massa tepung tapioka dan tepung belut 90:10 (kerupuk A) yaitu 2,44 g/100 g bahan, sedangkan kandungan lemak tertinggi adalah produk kerupuk dengan komposisi 70:30 (kerupuk C). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan belut dapat meningkatkan kandungan zat gizi lemak dalam produk kerupuk. Menurut perhitungan secara teoritis, tepung tapioka yang memiliki kandungan lemak hanya 0,5 g per 100 g bahan (Poedjiadi, 2005) bila dicampurkan dengan belut dengan kandungan lemak 27 g per 100 g bahan (Sarwono, 2003) dengan perbandingan komposisi massa 90:10; 80:20; dan 70:30 berturut-turut akan menghasilkan kandungan lemak produk campuran sebesar 3,15 g; 5,80 g; dan 8,45 g (per 100 g bahan). Kandungan lemak yang diperoleh dari hasil penelitian ternyata lebih kecil dibandingkan dengan data teori tersebut. Hal ini disebabkan tidak sempurnanya proses pelepasan kompleks lemak dalam sampel sehingga masih ada lemak dalam bentuk terikat dengan komponen zat gizi yang

59

lain diantaranya lemak dapat membentuk kompleks dengan protein (kompleks lipid-protein) yang terdapat dalam produk kerupuk. Kompleks lipid-protein tersebut dapat mengganggu proses ekstraksi lemak sehingga lemak tidak terekstrak sempurna.

4.2.4 Kandungan Protein Metode yang digunakan pada analisis kandungan protein dalam produk kerupuk adalah metode Kjeldahl. Dalam metode ini, kandungan protein yang dianalisis merupakan kandungan protein kasar, karena berdasarkan jumlah N total yang terkandung dalam bahan makanan ini (SNI 01-2981-1992). Metode Kjeldahl terdiri atas beberapa tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Prinsip metode ini didasarkan pada senyawa nitrogen yang diubah menjadi ammonium sulfat oleh H2SO4. Ammonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan NaOH menghasilkan amoniak. Amoniak yang dibebaskan diikat oleh asam borat, kemudian dititrasi dengan larutan baku HCl (Sudarmadji, 2007). Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut. Tahap destruksi : Senyawa organik + H2SO4 Tahap destilasi : (NH4)2SO4 + 2 NaOH 2 NH4OH 4 NH3 + 2 H3BO3 Tahap titrasi : 2 (NH4)2BO3 + HCl NH4Cl + H3BO3 Na2SO4 + 2 NH4OH 2 (NH4)2BO3 + H2 CO2 + H2O + (NH4)2SO4 + SO2

2 NH3 + 2 H2O

Gambar 4.8 Reaksi Pada Metode Kjeldahl

60

Berikut adalah Tabel 4.5 mengenai data kandungan protein yang terdapat dalam ketiga produk kerupuk yang dihasilkan. Tabel 4.5 Kandungan Protein (g/100 g) Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 Rata-rata 8,26 8,48 8,37 Kerupuk B (80:20) 14,70 14,93 14,82 Kerupuk C (70:30) 19,88 19,61 19,74

Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa produk kerupuk yang memiliki kandungan protein paling tinggi adalah produk kerupuk yang memiliki perbandingan massa 70:30 (kerupuk C) yaitu 19,74 g/100 g bahan. Selain itu, kandungan protein terendah terdapat pada produk kerupuk yang memiliki perbandingan komposisi massa 90:10 (kerupuk A) yaitu 8,37 g/100 g bahan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung belut dapat meningkatkan kandungan protein dalam produk kerupuk tersebut. Secara teoritis, tepung tapioka yang memiliki kandungan protein sebesar 1,1 g per 100 g bahan (Poedjiadi, 2005) bila dicampurkan dengan belut dengan kandungan protein 18,4 g per 100 g bahan (Sarwono, 2003) dengan perbandingan komposisi massa 90:10; 80:20; dan 70:30 berturut-turut akan menghasilkan kandungan protein produk campuran sebesar 2,83 g; 4,56 g; dan 6,29 g (per 100 g bahan). Bila dibandingkan dengan nilai yang didapat dari hasil analisis, kandungan protein dalam ketiga produk kerupuk menunjukkan kenaikan kandungan protein di dalamnya. Hal ini disebabkan jenis atau spesies belut dan

61

tempat pengambilan belut pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu sehingga menyebabkan kandungan protein di dalamnya berbeda.

4.2.5 Kandungan Abu Abu adalah residu yang tertinggal setelah suatu bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Penentuan kandungan abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi yaitu sekitar 500-600 0C dan kemudian dilakukan penimbangan zat yang tertinggal (zat anorganik) setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 2007). Abu yang diperoleh merupakan kandungan abu total. Kandungan abu produk kerupuk untuk masing-masing perbandingan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut dapat terlihat pada Tabel 4.6 berikut. Tabel 4.6 Kandungan Abu (g/100 g) Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 3 Rata-rata 5,47 5,57 5,49 5,51 Kerupuk B (80:20) 6,74 6,82 6,80 6,79 Kerupuk C (70:30) 8,02 7,87 7,95 7,95

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa produk kerupuk dengan perbandingan komposisi massa 70:30 (kerupuk C) memiliki kandungan abu total lebih tinggi yaitu 7,95 g (per 100 g) dibandingkan dengan produk kerupuk yang perbandingan komposisi massanya 80:20 (kerupuk B) dan 90:10 (kerupuk A). Kandungan abu total menunjukkan banyaknya kandungan mineral dari suatu

62

bahan makanan. Semakin besar kandungan abu totalnya maka semakin besar pula mineral yang terkandung dalam bahan makanan tersebut. Maka, produk kerupuk C memiliki kandungan mineral yang lebih banyak dibandingkan kedua produk kerupuk yang lain.

4.2.6

Kandungan Mineral Fosfor Kandungan mineral diperoleh dari kandungan abu total. Kandungan abu

total menunjukkan banyaknya kandungan mineral dari suatu bahan makanan. Semakin besar kandungan abu total dalam suatu makanan maka semakin banyak kandungan mineral di dalamnya. Mineral yang dianalisis adalah fosfor. Analisis kandungan mineral fosfor dilakukan menggunakan spektrofotometri UV-VIS. Prinsip dasar analisis ini adalah fosfor dalam bentuk ortofosfat dengan molibdat dalam suasana asam sulfat akan membentuk asam molybdofosfat, kemudian direduksi oleh hidrazin sulfat menghasilkan kompleks fosfor yang berwarna biru yaitu fosfomolibdat yang dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 840,5 nm (Busro, 2005). Kadar mineral fosfor dapat diketahui setelah dikonversikan dari kadar PO43-. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.9 berikut.

H3PO4 + 12 H2MoO4

H3P(Mo3O10)4 + 12 H2O

Hidrazin sulfat H3P(Mo3O10)4 Fosfomolibdat

Gambar 4.9 Reaksi Pada Analisis Fosfor

63

Kandungan mineral fosfor dari masing-masing produk kerupuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Kandungan Fosfor (g/100 g) Dari Ketiga Produk Kerupuk No Kerupuk A (90:10) 1 2 Rata-rata 0,20 0,20 0,20 Kerupuk B (80:20) 0.39 0,38 0,38 Kerupuk C (70:30) 0,56 0,56 0,56

Berdasarkan Tabel 4.7, kandungan mineral fosfor tertinggi terdapat pada produk kerupuk dengan perbandingan komposisi massa 70:30 (kerupuk C) yaitu 0,56 g/100 g bahan, sedangkan kandungan fosfor terendah terdapat pada produk kerupuk dengan perbandingan komposisi massa 90:10 (kerupuk A) yaitu 0,20 g/100 g bahan. Seperti yang telah disebutkan bahwa kandungan abu total menunjukkan jumlah mineral yang terdapat dalam makanan. Dengan semakin besarnya kandungan abu maka mineral yang terkandung di dalamnya semakin banyak. Hal ini terlihat dari data kandungan abu total dan mineral fosfor ketiga produk kerupuk, produk kerupuk C memiliki kandungan abu total dan kandungan mineral fosfor paling tinggi dibandingkan produk kerupuk yang lain. Secara teoritis kandungan mineral fosfor untuk produk kerupuk dengan perbandingan komposisi massa tepung tapioka dan tepung belut sebesar 90:10; 80:20; dan 70:30 (per 100 g) berturut-turut adalah 132,5 mg; 140 mg; dan 147,5 mg. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan kenaikan jumlah mineral fosfor

64

yang terkandung. Hal ini disebabkan jenis belut dan tempat pengambilan (sampling) belut pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu sehingga menyebabkan kandungan mineral fosfor di dalamnya berbeda.

Anda mungkin juga menyukai