Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia memiliki otak yang sangat luar biasa. Dengan 100 milyar sel saraf, otak kita dapat menggunakan sekitar 100 milyar byte informasi atau setara dengan 500 ensiklopedia. Pikiran manusia normal, bila diasah, sesungguhnya dapat bergerak dengan kecepatan lebih dari 300 mil per jam. Dalam 24 jam, manusia bisa mengembangkan 4.000 pikiran. Karena itu, banyak ungkapan yang diberikan untuk menggambarkan otak manusia, misalnya Raksasa yang sedang tidur, Seperangkat mesin kompleks di jagad raya, Wilayah terbesar di dunia yang belum tergali, dan Superkomputer biologis. Namun, rata-rata manusia hanya mengembangkan kemampuan otaknya tak lebih dari 10 persen. Namun, kadangkala ada anggapan di kalangan orang percaya, bahwa kita harus hidup dalam iman, tanpa perlu menggunakan logika, atau akal budi. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar karena hidup beriman bukan berarti tidak menggunakan akal budi yang Tuhan berikan. Yesus mengajarkan supaya kita mengasihi Tuhan dengan segenap tubuh, jiwa, dan akal budi. Segala potensi yang diberikan Tuhan, baik kapasitas rohani maupun kapasitas intelektual, hendaknya dimaksimalkan untuk memuliakan Tuhan. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah ketika akal budi ditempatkan di atas segalanya, atau dengan kepandaian serta logika yang kita miliki, kita mengesampingkan Tuhan dan firman-Nya. Pekerjaan, pelayanan, atau apa pun tanggung jawab yang kita lakukan hari ini akan selesai dan berhasil jika kita mengandalkan Tuhan dan menggunakan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Memang, ada banyak hal yang harus diselesaikan dengan iman, namun tidak sedikit juga hal-hal yang harus ditangani dengan akal budi serta hikmat yang telah Tuhan berikan kepada kita.

B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan iman. 2. Mengetahu apa itu akal budi. 3. Dapat membedakan iman dan akal budi baik pengertian maupun penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Iman Gereja mengajarkan bahwa iman itu adalah pemberian atau karunia yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita melalui Roh Kudus. Iman merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada kita secara percuma. Menurut KGK no: 37-38, Menyatakan bahawa untuk mengetahui Allah dengan akal sahaja manusia mengalami berbagai kesukaran. Sesungguhnya, dengan

dirinya sendiri sahaja ia tidak mampu untuk masuk ke dalam keakraban dengan misteri ilahi. Maka ia perlu diterangi dengan wahyu Allah, bukan sahaja mengenai perkara-perkara yang melampaui batas kefahamannya, tetapi juga perkara-perkara kebenaran religius dan moral. no: 50-53, 68-69: 1) Mengatakan bahawa dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan menyatakan diri-Nya. 2) Dengan perbuatan dan perkataan, Dia menyatakan diri-Nya dan rencana kebaikan penuh kasih-Nya yang ditetapkannya sejak semula di dalam Kristus. 3) Menurut rencana ini, semua orang oleh kuasa Roh Kudus berkongsi di dalam kehidupan ilahi sebagai anak-anak angkat di dalam Putera Allah yang tunggal. no: 54-58, 70-71 Menjelaskan, sejak permulaan, Allah telah menyatakan diriNya kepada manusia pertama, Adam dan Hawa, kemudian mengajak mereka membangun hubungan akrab dengan-Nya. Selepas kejatuhan mereka dalam dosa, Dia tidak menamatkan wahyu-Nya kepada mereka tetapi menjanjikan keselamatan kepada seluruh keturunan mereka. Selepas air bah, Dia mengadakan perjanjian dengan Nuh, satu perjanjian antara Dia dengan seluruh makhluk hidup. no: 65-66, 73: 1) Tahap penuh dan muktamad wahyu Allah disempurnakan di dalam Firman-Nya yang menjadi manusia, yakni Yesus Kristus, perantara yang menggenapi seluruh Wahyu. 2) Dia, sebagai Putera 2

Tunggal Allah yang menjadi manusia, adalah Firman Bapa yang sempurna dan muktamad. 3) Wahyu kini telah lengkap, walaupun iman Gereja harus secara beransur-ansur memahami maknanya yang sepenuh sepanjang peredaran abad. no: 74 Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Timotius 2:4), iaitu, Yesus Kristus. Atas sebab ini, Kristus harus diwartakan kepada semua menurut perintah-Nya, Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku (Matius 28:19). Dan ini dilaksanakan melalui Tradisi Apostolik. no: 84, 91, 94, 99: Para Rasul mempercayakan inti iman kepada seluruh Gereja. Syukur kerana pengertian iman umat Allah yang adikudrati (supernatural), dibantu oleh Roh Kudus dan dibimbing oleh Magisterium Gereja; Gereja tidak putus-putus untuk menerima, menyelami secara mendalam dan menghidupinya secara penuh dari anugerah wahyu ilahi. no: 131-133, 141-142: 1) Kitab Suci memberi sokongan dan tenaga kepada kehidupan Gereja. Bagi anak-anak Gereja, ia adalah sebuah pengesahan iman, makanan bagi jiwa dan mata air bagi kehidupan rohani. 2) Kitab Suci adalah jiwa bagi teologi dan pewartaan pastoral. Pemazmur berkata bahawa ia adalah Pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mazmur 119:105). 3) Oleh itu, Gereja mengesyorkan agar semua sentiasa membaca Kitab Suci kerana kejahilan terhadap Kitab Suci bermakna juga kejahilan terhadap Kristus (St. Jerome).

B. Pengertian Akal Budi Dalam struktur rohani manusia ada satu potensi yang dinyatakan dengan perkataan ratio (latin), akal (bahasa arab: aqal), budi (bahsa Sansekerta: buddi), akal budi (satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa Sansekerta), nous (bahasa yunani), reason (bahasa Perancis dan Inggris), verstand, vernuft (bahasa belanda) dan Vernunft (bahasa Jerman). 3

Akal Budi ialah satu potensi dalam rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realita kosmis yang mengelilinginya dalam mana ia sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merobah dan mempengaruhinya. Intelegensi manusia hanya dapat meneropong kenyataan kosmos itu untuk taraf tertentu saja. Kosmos yang dimengerti sedikit oleh akal-budi ialah Kosmos Noetos, artinya : kosmos yang dapat dikenal; atau dalam istilah lain yang lebih klasik: esse est in intellectu, artinya: keadaan (yang diciptakan) itu juga hadir dalam pemahaman intelektuil kita atas realitas itu. Struktur rasionil ini menyanggupkan manusia untuk: Membentuk pengertian-pengertian, merumuskan pendapat-pendapat, menarik kesimpulan-kesimpulan. Struktur rasionil ini bukan saja memberikan kemungkinan kepada manusia untuk menyelami sedikit dari apa yang secara mathematis dapat dibuktikan dan secara eksperimentil dapat dinyatakan itu. Ia bukan saja membuka jalan kepada manusia itu untuk memahami hal-hal yang dapat dihitung, ditimbang, diukur, serta yang dapat diselidiki sebagai objek yang nampak. Rasio juga menyanggupkan manusia itu menjelajahi dunia rohaniah, seperti yang logis, yang psychis, yang yuridis, yang etis, yang religius dan sebagainya.

C. Akal-Budi dan Batas-Batasnya Emmanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf besar Jerman yang masih besar pengaruhnya sampai sekarang dalam pelbagai lapangan, hidup dalam zaman rasionalisme abad ke-18. Semboyannya ialah : Sapera aude- Beranikan menggunakan akal-budimu. Namun dalam bukunya yang terkenal Kritik der theoritische Vernunft, beliau menandaskan, bahwa penyalidikan dengan akal-budi benar dapat meberikan suatu pengetahuan tentang dunia yang nampak itu, tetapi akal-budi itu sendiri tidak sanggup memberikan Kepastian-kepastian, dan bahwa berkenaan dengan pernyataan-pernyataan terdalam tentang Allah, manusia, dunia dan akhirat, akal budi manusia itu tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandain-pengandaian, postulat-postulat. Kant yang disebut sebagai raksasa ahli pikir itu, insaf, bahwa hakikat itu tidak dapat dicapai dengan akal yang kekuatannya terbatas itu. Baru akan bertemu bila akal dipisahkan dari diri, dan dia dijadikan orang ketiga untuk mempertemukan si aku dengan si dia! Padahal itu mustahil. Benar juga yang dikatakannya, bahwasanya perkara besar itu ada, tetapi letaknya adalah diatas akal (trancendental). Sebab itu

berkatalah beliau: Ich musste das Wissen aufheben, aum zum Glauben Platz zu bekommen. Saya terpakasa berhenti sejenak dari pengetahuan, supaya saya sediakan tempat buat iman. Kant berpendapat bahwa logika tak dapat membawa keyakinan tentang adanya Tuhan oleh karena itu ia pergi kepada perasaan. Perasaaan inilah yang dapat membuktikan dengan sejelas-jelasnya bahwa Tuhan itu mesti ada. Kalau akal memberi kebebasan bagi manusia untuk percaya atau tidak percaya pada adanya Tuhan, hati sanubari memberi perintah kepadanya untuk percaya bahwa Tuhan itu ada.

D. Kecenderungan Melewati Batas Pada Akal-Budi Rasio manusia itu, kata Dr.J. Verkuyl pula, cenderung sekali melewati batas-batas kesanggupannya dan menjadi tinggi hati serta mengabdi kepada semu dan dusta. Ia bertindak seakan-akan semacam dewa, mengangkat dirinya menjadi ukuran yang termulia dan terakhir, bertindak selaku hakim tertinggi atas kebenaran. Sutau ucapan yang menyolok bertalian dengan semu dan hal melebih-lebihkan nilai rasio ini kita jumpai pada Descartes (kurang lebih 1650). Ia adalah anak zaman Renaissance dan Humanisme, dan dalam sejarah filsafat ia disebut bapak dari rasionalisme. Dalilnya yang termasyhur berbunyi: Cogito ergo Sum- Aku berfikir, jadi aku ada. Dengan itu ia maksud, bahwa kal budi itu, pemikiran (cogitare) itu, adalah sumber, khalik, ukuran serta norma dari segala kebenaran tentang Allah, manusia, dan dunia. Ia yakin bahwa rasio manusia itu, apabila mengikuti hukum-hukum logikanya sendiri, sanggup dari dirinya memberi jawab atas pertanyaaan-pertanyaan yang terdalam dari hati manusia tentang Allah, manusia dan dunia. Rasio itu ia tempatkan pada tempat yang tertinggi, dan ia buat rasio itu menjadi yang berdaulat. Ia lupa, bahwa kita seharusnya mengatakan: Deus est, ergo sum- Tuhan itu ada, jadi aku ada. Jolivet dalam Le Thomisme et la critique de la connaisance : ce n est pas parce que je pense que je suis, mais cest parce que je suis que je pense.-Bukanlah karena aku berfikir maka aku ada, melainkan karena aku ada maka aku berfikir. (Ketika kita berbincang tentang masalah kepercayaan dalam renungan yang lalu, antara lain kita singgung ironi pada RENE DESCARTES ini. Se-otak-otakanya DESCARTES, namun beliau tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari satu kepercayaan; sekurang-kurangnya dalam hal ini dia percaya kepada rasio-nya).

Dengan menggunakan rasionya manusia itu membuat bagi dirinya dewa-dewa dan dewidewi, menyusun sendiri suatu gambaran daripada Allah, yang bercorak segala rupa, Pantheistis, Polytheistis, Monotheistis dsb. Bahkan dapat pula terjadi, bahwa manusia itu menggunakan rasionya untuk membuktikan, bahwa Allah itu ada atau bahwa ia tidak ada atau bahwa Allah itu tidak dapat dikenal. Padahal, Allah itu bukanlah suatu objek pengenalan seperti tiap-tiap benda yang ada. Satu-satunya yang dapat mengenal Allah ialah Allah. Dan satu-satunya kemungkinan untuk mengenali Allah ialah pernyataan-diri Allah. Pernyataan itulah satu-satunya sumber pengetahuan kita tentang Allah. Rasio itu tidak dapat menciptakan, menghasilkan, membangkitkan Pernyataan itu. Terhadap Allah satu-satunya sikap yang layak bagi manusia ialah : dengar-dengaran, percaya dan patuh. D.C. Mulder. Hal itu melebihi akal manusia. Tidak dapat dibuktikan bahwa Allah itu ada (dan bukti-bukti yang dikemukakan itu memang tidak meyakinkan orang yang belum yakin dahulu); tetapi juga tidak dapat dibuktikan bahwa Allah itu tidak ada. Inilah soal keyakinan, bukan soal akal, ilmu atau bukti. Allah diterima manusia dengan kepercayaan. Akan tetapi janganlah disimpulkan : jadi kepercayaan itu bertentangan dengan akal. Bukan demikian soalnya. Kepercayaan itu tidak bertentangan dengan akal, melainkan kepercayaan itu melebihi akal dan mendahului akal; apalagi kepercayaan atau keyakinan itu mempengaruhi akal. Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya, demikian tulis IBN Khaldun (1332-1406) seorang pujangga dan filsuf besar muslim dan bapak sosiologi dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah Jilid III muka 29, tetapi mempergunakan akal itu untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kenabian (nubuwwah), atau hakikat sifat-sifat ketuhanan, atau lain-lain soal yang terletak di luar kesanggupan akal, adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti bahwa timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah, bahwa akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membeatsinya; oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dapat memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan oleh Alllah.

E. Hubungan Iman dengan Akal Budi Fides et Ratio (Iman dan Akal budi) adalah sebuah ensiklik kepausan yang diumumkan secara resmi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 September 1998. Ensiklik ini pada intinya membahas hubungan antara iman dan akal budi. Sri Paus percaya bahwa iman dan akal budi tidak hanya sepadan, namun penting bagi satu dengan yang lain. Iman tanpa akal budi, ia berargumen, akan menjurus pada ketakhyulan (superstisi). Akal budi tanpa iman akan menjurus pada paham Nihilisme dan Relativisme. Ia menulis: Melalui karya-karya filosofi, kemampuan untuk mempertimbangkan apa yang lebih pantas bagi intelektualitas manusia menghasilkan sebuah gaya berpikir yang sangat terperinci; dan kemudian sebaliknya, melalui perpaduan logika dari penegasan-penegasan akan suatu hal yang telah dibuat dan kesatuan yang teratur dari isi halhal tersebut, kemampuan ini menghasilkan suatu bagan pengetahuan yang sistematis ... Hal ini juga membawa godaan untuk menyamakan suatu aliran tertentu dengan filosofi seluruhnya. Dalam kasus-kasus tersebut, kita secara jelas berurusan dengan suatu "kesombongan filosofis" yang berusaha untuk mengajukan pandangannya yang berat sebelah dan tidak sempurna sebagai suatu tafsiran lengkap akan semua kenyataan". Walau logika menciptakan suatu "bagan pengetahuan yang sistematis", Sri Paus menegaskan bahwa kelengkapannya adalah suatu yang dibuat-buat: Namun demikian hasilhasil positif yang tercapai haruslah tidak mengecilkan fakta bahwa logika, dimana perhatiannya yang hanya pada satu sisi saja dalam menyelidiki subyektivitas manusia, terlihat lupa bahwa pria dan wanita selalu diingatkan untuk mengarahkan langkah-langkah mereka kepada suatu kebenaran yang melebihi diri mereka. Terpisah dari kebenaran itu, para pribadi hanya bergantung pada sesuatu yang tidak pasti, dan keberadaan mereka sebagai manusia dinilai oleh kriteria pragmatis yang pada intinya berdasarkan pada data coba-coba, dalam kepercayaan yang salah bahwa teknologi harus menguasai semuanya. Sudah terjadi sebelumnya bahwa logika, daripada menyuarakan pedoman manusia ke arah kebenaran, telah bertekuk lutut di bawah beban sebegitu banyaknya ilmu pengetahuan, dan sedikit demi sedikit telah kehilangan kemampuannya untuk mengangkat kepalanya memandang puncak-puncak kebenaran - tidak berani untuk menghadapi kebenaran akan makhluk hidup. Dengan meninggalkan penyelidikan akan makhluk hidup, penelitian filosofi modern hanya berkonsentrasi pada pengetahuan manusia. Daripada menggunakan kemampuan manusia untuk mengerti akan kebenaran, filosofi modern lebih

cenderung untuk lebih mengutamakan cara-cara kemampuan ini dibatasi dan ditentukan kerangkanya. Tanpa suatu dasar kebenaran spiritual, ia melanjutkan, akal budi telah melahirkan bentuk-bentuk yang berbeda dari agnotisisme dan relativisme yang menyebabkan penelitian filosofi untuk kehilangan arah dalam berbagai pergeseran dari kesangsian yang meluas. Waktuwaktu belakangan ini telah menyaksikan kelahiran berbagai doktrin yang condong untuk merendahkan nilai kebenaran-kebenaran yang telah dinilai sebagai sesuatu yang pasti. Keanekaragaman posisi yang sah telah menyebabkan suatu pluralisme yang tidak dibeda-bedakan, yang berdasarkan pada anggapan bahwa semua posisi adalah sama benarnya, yang merupakan suatu gejala yang menyebar luas saat ini dari kurangnya kepercayaan pada kebenaran. Bahkan pengertian-pengertian tertentu akan kehidupan dari Timur menyingkap kekurangan kepercayaan ini, menolak sifat eksklusif kebenaran dan menganggap bahwa kebenaran menyatakan dirinya secara sama di dalam doktrin-doktrin yang berbeda, meski bila doktrin-doktrin ini berlawanan satu dengan yang lainnya. Mengenai pengertian ini, segala sesuatu dikurangi menjadi opini; dan terdapat suatu perasaan hanyut terkatung-katung. Walau, di satu sisi, pemikiran filosofi telah berhasil semakin mendekati realitas kehidupan manusia dan berbagai bentuk ungkapannya, pemikiran tersebut juga cenderung untuk mengejar masalah-masalah keberadaan (eksistensial), interpretasi naskah ataupun linguistik, yang tidak memperdulikan pertanyaan mendasar mengenai kebenaran tentang keberadaan pribadi, mengenai makhluk hidup dan mengenai Tuhan. Oleh karena itu kita menyaksikan di antara pria dan wanita di zaman kita, dan tidak hanya pada sebagian filsuf, sikap ketidak-percayaan yang semakin meluas akan kemampuan untuk berpengetahuan yang luar biasa dari manusia. Dengan kesederhanaan yang salah, orang-orang cukup puas pada kebenaran-kebenaran yang berat sebelah dan bersifat sementara, tidak lagi mencoba untuk mempertanyakan hal-hal yang mendasar mengenai arti dan dasar utama dari keberadaan umat manusia, pribadi dan sosial. Singkatnya, jumlah harapan bahwa ilmu filosofi mungkin bisa memberikan jawaban-jawaban yang pasti akan pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menyusut. Secara keseluruhan, Sri Paus "menyerukan dengan kuat dan keras" bahwa "iman dan filosofi memulihkan kembali kesatuan mereka yang mendalam yang mampu menyebabkan mereka untuk berdiri secara selaras dengan sifat-sifat mereka tanpa mengorbankan kemandirian mereka sendiri. Kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dari iman harus disertai dengan keberanian logika. 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa iman itu adalah pemberian atau karunia yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita melalui Roh Kudus. Iman merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada kita secara percuma. Fides et Ratio (Iman dan Akal budi) adalah sebuah ensiklik kepausan yang diumumkan secara resmi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 September 1998. Ensiklik ini pada intinya membahas hubungan antara iman dan akal budi. Sri Paus percaya bahwa iman dan akal budi tidak hanya sepadan, namun penting bagi satu dengan yang lain. Iman tanpa akal budi, ia berargumen, akan menjurus pada ketakhyulan (superstisi). Akal budi tanpa iman akan menjurus pada paham Nihilisme dan Relativisme.

B. Saran Bersama Tuhan, kita mampu melakukan banyak perkara. Ketika Tuhan memberkati otak kita, kapasitas intelektual kita akan bertambah, berlipat ganda, melebihi kapasitas manusia pada umumnya. Akal budi adalah salah satu anugerah yang Tuhan berikan kepada setiap manusia. Mari kita belajar menempatkan akal budi di posisi yang seharusnya, dan mari kita kembangkan semaksimal mungkin untuk kemuliaan nama Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Fides_et_Ratio http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/iman-akal-budi-dan-hati.html http://www.ebahana.com/warta-442-Gunakan-Akal-Budi.html http://www.sabdaspace.com/mendidik_akal_budi_melatih_hati_nurani http://catecheticalkkarchdiocese.blogspot.com/2010/08/iman-menurut-ajaran-gereja-katolik.html

10

Anda mungkin juga menyukai