Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan pustaka Intra cerebral hemmorage , subarachnoid hematom II.1. Stroke II.1.1.

Definisi Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,1999). 2.2. Anatomi Pembuluh Darah Otak Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial (Gambar 2.1.).12 Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan Universitas Sumatera Utaraotak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi (Gambar 2.2).12,13 Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut- serabut saraf ke target organ (gambar 2.3.).4 jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke. II.1.2. Epidemiologi Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup. (Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85 tahun (Lloyd dkk, 2009). II.1.3. Klasifikasi Stroke Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi

(lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 1999). 1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya: a) Stroke iskemik i) Transient Ischemic Attack (TIA) ii) Trombosis serebri iii) Emboli serebri b) Stroke hemoragik i) Perdarahan intraserebral ii) Perdarahan subarakhnoid 2) Berdasarkan stadium: a) Transient Ischemic Attack (TIA) b) Stroke in evolution c) Completedstroke 3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah): a) Tipe karotis b) Tipe vertebrobasiler 2.3. Stroke Non Hemoragik 2.3.1. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik4,14 Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik (kausal): a. Berdasarkan manifestasi klinik: i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA) Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam. ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu. iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation) Gejala neurologik makin lama makin berat. iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke) Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi. b. Berdasarkan Kausal: i. Stroke Trombotik Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya Universitas Sumatera Utarakadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis. ii. Stroke Emboli/Non Trombotik Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak. 2.3.2. Gejala Stroke Non Hemoragik13,14,15 Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah: a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna. i. Buta mendadak (amaurosis fugaks). ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan. iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan. b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.

i.

Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol. ii. Gangguan mental. iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh. iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air. Universitas Sumatera Utara v. Bisa terjadi kejang-kejang. c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media. i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol. ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh. iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia). d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar. i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas. ii. Meningkatnya refleks tendon. iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh. iv. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo). v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia). vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit bicara (disatria). vii.Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi). viii.Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim). Universitas Sumatera Utara ix. Gangguan pendengaran. x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah. e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior i. Koma ii. Hemiparesis kontra lateral. iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia). iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga. f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak. ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia. Universitas Sumatera Utara iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak. iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak. v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat

kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya). vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang. vii.Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara. viii.Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak. ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan. Universitas Sumatera Utara 2.3.3. Diagnosis Stroke Non Hemoragik14 Diagnosis didasarkan atas hasil: a. Penemuan Klinis i. Anamnesis Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke. ii. Pemeriksaan Fisik Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya. b. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium i. Pemeriksaan Neuro-Radiologik Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila scan tak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral (PIS) maupun perdarahan subarakhnoid (PSA). ii. Pemeriksaan lain-lain Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler, Elektrokardiografi (EKG). 2.4. Stroke Hemoragik 2.4.1. Klasifikasi Stroke Hemoragik11,14 Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas: a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular. b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%) dan 25% kausanya tidak diketahui. c. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi

akibat robeknya vena jembatan ( bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya araknoidea. Universitas Sumatera Utara2.4.2. Gejala Stroke Hemoragik11,14 a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS) Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam). b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG. c. Gejala Perdarahan Subdural Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma kepala. Universitas Sumatera Utara 2.4.3. Diagnosis Stroke Hemoragik2,4,14 a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Diagnosis didasarkan atas gejala dan tandatanda klinis dari hasil pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi (EKG), Elektroensefalografi (EEG), Ultrasonografi (USG), dan Angiografi cerebral. b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CTAngiografi, MR Angiografi atau Digital Substraction Angiography (DSA). c. Perdarahan Subdural Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu dilakukan foto tengkorak antero- posterior dengan sisi daerah trauma. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan CT-Scan dan EEG. Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain: Universitas Sumatera Utara 1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik (Djoenaidi, 1988) Tanda/Gejala Skor 1. Tia sebelum serangan 2. Permulaan serangan Sangat mendadak (1-2 menit) Mendadak (beberapa menit-1 jam) Pelan-pelan (beberapa jam) 3. Waktu serangan Waktu kerja (aktivitas) Waktu istirahat/duduk/tidur

Waktu bangun tidur 4. Sakit kepala waktu serangan Sangat hebat Hebat Ringan Tak ada 5. Muntah Langsung habis serangan Mendadak (beberapa menit-jam) Pelanpelan (1 hari atau lebih) Tak ada 6. Kesadaran Hilang waktu serangan (langsung) Hilang mendadak (beberapa menit-jam) 1 6,5 6,5 1 6,5 1 1 10 7,5 1 0 10 7,5 1 0 10 10 Universitas Sumatera Utara 2. Guy's Hospital Score (1985) Pembacaan: Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik) > + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik) + 14: Kemungkinan infark dan perdarahan 1 : 1 < + 4: Kemungkinan perdarahan 10% Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik (infark) 7682%. Ketetapan keseluruhan: 76-82%. Gejala/Tanda Klinis dan Skor 1. Derajat kesadaran 24 jam setelah MRS Mengantuk + 7.3 Tak dapat dibangunkan + 14.6 2. Babinski bilateral + 7.1 3. Permulaan serangan Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9 4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17) 5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3 6. Gagal jantung - 4.3 7. Kardiomiopati - 4.3 8. Fibrilasi atrial - 4.3 9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3 10. Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3 11. Angina, klaudikasio atau diabetes 3.7 12. TIA atau stroke sebelumnya - 6.7 13. Anemnesis adanya hipertensi - 4.1 Universitas Sumatera Utara 3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991) Pembacaan: Skor > 1 : Perdarahan otak < -1: Infark otak Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%. Untuk infark: 93.2%. Ketepatan diagnostik: 90.3%. II.1.4. Faktor Resiko 5 Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well documented) (Goldstein,2006). 1. Nonmodifiableriskfactors: a. Usia b. Jeniskelamin c. Berat badan lahir rendah d. Ras/etnis e. genetik 2. Modifiableriskfactors i. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak.3 Sebanyak 70% dari orang yang terserang stroke mempunyai tekanan darah tinggi.6 ii. Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.24 Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke dengan OR: 3,39. Artinya risiko terjadinya stroke pada penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.23 Universitas Sumatera Utaraiii. Penyakit Jantung Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium/atrial fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya penggumpalan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah di otak. Di samping itu juga penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, pasca operasi jantung juga memperbesar risiko stroke.3 Fibrilasi atrium yang tidak diobati meningkatkan risiko stroke 4-7 kali.12 iv. Transient Ischemic Attack (TIA) Sekitar 1 dari seratus orang dewasa akan mengalami paling sedikit 1 kali serangan iskemik sesaat (TIA) seumur hidup mereka. Jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini kemudian akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.12 Risiko TIA untuk terkena stroke 35-60% dalam waktu lima tahun.24 v. Obesitas Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus.3 Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar 15%. Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis yang semuanya akan meningkatkan kemungkinan terkena serangan stroke.12 vi. Hiperkolesterolemia Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor risiko, tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan Universitas Sumatera Utara juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang tinggi terutama Low Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di dalam pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di jantung maupun di otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali.3,11 vii. Merokok Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali.23 Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di otak dan jantung), sehingga merokok mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah mudah menggumpal.12 viii.Alkohol Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi berat badan dan tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lainlain. Semua ini mempermudah terjadinya stroke.3 Konsumsi alkohol berlebihan

meningkatkan risiko terkena stroke 2-3 kali.24 ix. Stres Hampir setiap orang pernah mengalami stres. Stres psiokososial dapat menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko lain (misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat Universitas Sumatera Utara memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 2 kali.12 x. Penyalahgunaan Obat Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis suntikan akan mempermudah terjadinya stroke, akibat dari infeksi dan kerusakan dinding pembuluh darah otak. Di samping itu, zat narkoba itu sendiri akan mempengaruhi metabolisme tubuh, sehingga mudah terserang stroke. Hasil pengumpulan data dari rumah sakit Jakarta tahun 2001 yang menangani narkoba, didapatkan bahwa lebih dari 50% pengguna narkoba dengan suntikan berisiko terkena stroke.3 II.1.5. Patofisiologi II.1.5.1. Patofisiologi Stroke Iskemik Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir,2003) Tahap 1 : a. b. c. d. Tahap2:a. b. Penurunan aliran darah Pengurangan O2 Kegagalan energi Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion Spreading depression Tahap3 :Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan melibatkan permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas. (Sherki dkk,2002) Gambar 1. Mekanisme seluler pada iskemik SSP akut. Dikutip dari : Sherki,Y.G., Rosenbaum.Z., Melamed,E., Offen,D. 2002. Antioxidant Therapy in Acute Central Nervous System Injury: Current State. Pharmacol Rev. 54:271- 284 II.1.5.2. Patofisiologi Stroke Hemoragik Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000). Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000). Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang

terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000). Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM). Pencegahan Stroke Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu: 2.6.1. Pencegahan Primordial2 Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard. Universitas Sumatera Utara2.6.2. Pencegahan Primer11,12 Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain: a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya. b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan. c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular aterosklerotik lainnya. d. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta dianjurkan berolah raga secara teratur. 2.6.3. Pencegahan Sekunder25 Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah: a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320 mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi koagulopati yang lain. Universitas Sumatera Utara b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra indikasi terhadap asetosal (aspirin). c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat

hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak. 2.6.4. Pencegahan Tertier12 Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan seharihari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga. a. Rehabilitasi Fisik Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari Universitas Sumatera Utara seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain. b. Rehabilitasi Mental Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis. c. Rehabilitasi Sosial Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan bantuan sosial.

Subarachnoid hematom

Perdarahan intrakranial Perdarahan intrakranial merupakan rupturnya pembuluh darah yang berada di dalam rongga intrakranial. Hal ini disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti penyebab fisik (trauma kepala) dan penyebab nonfisik (aneurisma, pengaruh antikoagulan atau gangguan pembekuan darah). Perdarahan intrakranial merupakan suatu kegawatdaruratan medik karena akumulasi darah dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga merusak jaringan otak dan mengurangi asupan darah. Pada kasus yang berat tekanan intrakranial menyebabkan herniasi otak.

Perdarahan intrakranial dapat dibagi menjadi perdarahan intra-axial dan extraaxial.

Pada perdarahan intra-axial, perdarahan terjadi di dalam jaringan otak itu sendiri. Umumnya disebabkan oleh trauma atau stroke hemorrhagik. Perdarahan ini dibagi lagi menjadi perdarahan intraparenkim dan intraventrikel.

Pada perdarahan intraparenkim, perdarahan terjadi pada jaringan (parenkim) otak dan dapat menyebabkan stroke, disfungsi neurologis hingga kematian. Penyebabnya dapat dibagi menjadi traumatik dan nontraumatik. Penyebab nontraumatik antara lain meliputi hipertensi (termasuk eklampsia), ruptur aneurisma, malformasi arteriovena, arteriopati (amiloid serebral), trombolisis, antikoagulasi hingga nekrosis (tumor, infeksi). Pada perdarahan intraparenkim akibat hipertensi paling sering mengenai daerah ganglia basal (putamen, talamus). Gejala yang timbul antara lain hipertensi, kaku kuduk, penurunan kesadaran, anisokoria, nystagmus, defisit neurologis. Gejala defisit neurologis bergantung pada lokasi perdarahan intraparenkim.

Perdarahan di putamen: hemiparesis kontralateral, kehilangan kemampuan sensori kontralateral, paresis pandangan kontralateral (mata berdeviasi menjauhi sisi yang mengalami hemiparesis), hemianopia homonim,

aphasia, apraxia Perdarahan di talamus: hemiparesis kontralateral, kehilangan kemampuan sensori kontralateral, paresis pandangan kontralateral, hemianopia homonim, miosis, aphasia, konfusi Perdarahan lobar: hemiparesis dan/atau kehilangan kemampuan sensori kontralateral, paresis pandangan kontralateral, hemianopia homonim, abulia, aphasia, apraxia Perdarahan batang otak: quadriparesis, lemah otot wajah, penurunan kesadaran, paresis pandangan, miosis Perdarahan serebelum: ataxia, kelemahan wajah ipsilateral, kehilangan sensori ipsilateral, paresis pandangan, miosis, strabismus, penurunan level kesadaran Perdarahan intraventrikel, merupakan perdarahan yang terjadi pada ventrikel di mana terdapat sirkulasi cairan serebrospinal. Perdarahan jenis ini lebih sering terjadi pada bayi prematur atau bayi berat lahir rendah. Diduga hal ini disebabkan oleh imaturitas dari sistem sirkulasi. Perdarahan intraventrikel dapat dibagi menjadi empat tingkatan:

Tingkat 1: perdarahan terjadi dalam matriks germinal

Tingkat 2: perdarahan terjadi di dalam ventrikel

Tingkat 2: pelebaran ventrikel akibat perdarahan

Tingkat 4: perdarahan ke jaringan otak di sekitar ventrikel

Pada tingkat 3 atau 4 perdarahan dapat menyebabkan cedera otak berkepanjangan dan hidrosefalus akibat bekuan darah yang menyumbat aliran cairan serebrospinal. Selain pada bayi, perdarahan ini juga dapat terjadi pada

orang dewasa akibat trauma otak. Perburukan terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi.

Perdarahan intra-axial umumnya lebih berbahaya dan lebih sulit ditangani daripada perdarahan extra-axial.

Perdarahan extra-axial, di mana perdarahan terjadi di dalam tengkorak (cranium) namun di luar jaringan otak. Dibagi ke dalam tiga subtipe yaitu epidural hematom, subdural hematom, dan perdarahan subarachnoid.

Epidural hematom merupakan akumulasi darah (hematoma) di antara duramater dan tulang tengkorak/cranium. Cedera yang terjadi biasanya berupa laserasi dari arteri meningeal media yang memiliki tekanan tinggi. Perdarahan dapat berkembang mencapai puncaknya dalam 6-8 jam pasca trauma mencapai 25-75 cc. Hematoma ini dapat memisahkan dura dari bagian dalam tulang, sehingga menimbulkan sakit kepala yang hebat. Tekanan intrakranial yang meninggi mengakibatkan otak mengalami pergeseran posisi, kehilangan suplai darah atau terdesak menuju tulang. Penekanan pada batang otak menyebabkan pasien mengalami kehilangan kesadaran, postur abnormal dan respons pupil yang abnormal. Pemeriksaan dengan CT Scan/MRI memperlihatkan ekspansi hematom berbentuk konveks. Sebanyak 20% pasien dengan gangguan kesadaran diketahui mengalami epidural hematom dengan bantuan CT Scan.

Tanda khas dari epidural hematom adalah adanya periode lucid interval, yaitu periode perbaikan sesaat setelah trauma yang diikuti oleh hilangnya kesadaran secara cepat. Periode ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam. Kehilangan kesadaran disebabkan oleh akumulasi darah yang meningkatkan tekanan intrakranial dan merusak jaringan otak.

Epidural hematom

Sedangkan subdural hematom terjadi karena robekan bridging vein yang menghubungkan antara korteks serebri (dilapisi arachnoid mater) dan dura mater. Biasanya dihubungkan dengan trauma korteks serebri dan prognosis tidak lebih baik dari epidural hematom. Subdural hematom dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Subdural hematom akut umumnya terjadi akibat cedera kecepatan tinggi dan dihubungkan dengan kontusio serebri. Perdarahan ini memiliki prognosis lebih buruk dibanding epidural hematom, yaitu angka kematian sekitar 60-80%. Sedangkan subdural hematom kroni terjadi akibat trauma minor kepala yang sering tidak terindetifikasi. Perdarahan terjadi dalam waktu lambat (hitungan hari) dan dapat tidak ditemukan hingga berbulan-bulan sampai terlihat gejala klinis. Perdarahan pada subdural hematom kronis umumnya lebih lambat dibanding akut, dan dapat berhenti dengan sendirinya. Sering terjadi pada orang tua.

Penekanan akibat akumulasi perdarahan menyebabkan kompresi jaringan otak. Pada beberapa kasus dapat terjadi robekan arachnoid mater dan kebocoran cairan serebrospinal sehingga lebih meningkatkan tekanan intrakranial. Iskemia menyebabkan terjadinya kematian sel otak.

Onset gejala subdural hematom lebih lambat dibanding perdarahan epidural, karena aliran vena memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding arteri. Gejala yang tumbul antara lain: penurunan kesadaran, iritabel, kejang, sakit kepala, disorientasi, amnesia, lethargi, mual/muntah, gangguan kepribadian, ataxia, pandangan kabur, dll.

Selain akibat cedera yang disebabkan oleh perubahan kecepatan (akselerasi/deselerasi), juga dapat terjadi akibat rotasi, pada shaken baby syndrome, dan peminum alkohol (pada alkoholik terjadi atrofi serebral sehingga meningkatkan panjang vena emisaria, yang meningkatkan risiko terjadinya subdural hematom), dan pengguna antikoagulan (aspirin, warfarin).

Subdural hematoma

Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara membrana arachnoid dan pia mater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (thunderclap headache), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari a.communicating posterior.

Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan darah dan aritmia.

Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral; kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu

trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio intraserebral.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui CT Scan atau punksi lumbal untuk melihat cairan serebrospinal.

Subarachnoid hemorrhage

Referensi:

1. Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: The McGraw-Hill Company;2005. p.2387-92 2. Snell R. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 5th ed. Jakarta: EGC; 2005. p.397 3. Ropper A, Brown R. Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. USA: The McGraw-Hill Company; 2005. p.404-8.

PERDARAHAN SUBARACHNOID

PENDAHULUAN

Anda mungkin juga menyukai