Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan Jurnal Ilmiah, Solusi Peningkatan Mutu Mahasiswa Indonesia (?

) Minggu-minggu ini civitas akademika di seluruh Indonesia digegerkan dengan keputusan yang dikeluarkan kemendikbud melalui Dikti yang mensyaratkan bahwa seluruh mahasiswa di semua jenjang strata harus membuat publikasi jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Keputusan yang terkesan sangat mendadak tersebut tentu menjadi huru hara di kalangan masyarakat kampus. Tidak hanya mahasiswa yang kebingungan, bahkan para rektor pun ikut-ikutan ramai mewacanakan mengenai kebijakan ini. Pro dan kontra tentu merupakan suatu keniscayaan dalam iklim demokrasi. Kemendikbud setidaknya mengklaim tiga tujuan utama dari kebijakan jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan ini, yakni : menanamkan budaya menulis, menumbuhkan dialektika intelektual serta mengurangi plagiasi. Mulia memang. Dan jika kebijakan ini dapat diimplementasikan secara holistic diseluruh Indonesia raya, saya rasa kualitas lulusan perguruan tinggi akan jauh lebih mumpuni dan canggih. Namun, rencana dan mimpi besar yang hendak diwujudkan oleh pemerintah melalui kebijakan tersebut sekiranya tidak akan mungkin secara instan terwujud. Diperlukan langkah besar pula untuk mampu mengimbangi mimpi tersebut, dan sayangnya effort pemerintah untuk merencanakan dan menjalankan mimpi tersebut belum keliatan niat. Persiapan menuju optimalnya implementasi kebijakan tersebut terkesan asal-asalan. Banyak hal krusial yang harusnya diperbaiki terlebih dahulu sebelum dengan enaknya- memaksa mahasiswa menghasilkan karya yang mampu dimuat dalam jurnal ilmiah. Hal yang perlu diperbaiki itu antara lain pertama menata sistem pendidikan di perguruan tinggi. Agenda kebijakan yang lebih krusial itu mestinya adalah memperbaiki sistem pendidikan di PT, standar kompetensi universitas, sinkronisasi kurikulum dan yang lainnya. Kualitas kompetensi di perguruan tinggi satu dengan yang lainnya tentu berbeda, jangankan membandingkan PT di Jawa dan di luar Jawa, bahkan perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) di Pulau Jawa pun masih banyak yang kualitasnya rendah. Jika kebijakan ini nantinya dipaksakan padahal sistem pendidikan yang ada masih morat-marit akan dapat dipastikan kualitas jurnal yang dihasilkan akan jauh dibawah standar dan asalasalan, hanya untuk membuat mahasiswa dapat lulus dengan selamat. Belum lagi kemungkinan menjamurnya biro atau calo jurnal ilmiah. Kedua membenahi sarana, prasarana serta infrastruktur penunjang yang mendukung kebijakan ini. Jurnal ilmiah bukanlah tulisan yang dapat dibuat asal-asalan. Perlu telaah yang dalam, proses penelitian serta hasil analisa yang valid. Tanpa adanya infrastruktur penunjang yang memadai serta dana penelitian yang susah diakses, akan sangat sulit membuat karya ilmiah yang baik dan sesuai standar. Masalah sarana dan infrastruktur penunjang ini, kita semua tentu setuju bahwasanya ada banyak sekali universitas yang masih sangat terbatas sarana dan infrastruktur penunjang. Terlebih di universitas antah berantah yang ada di timur Indonesia, jangankan mengakses internet, terkadang sinyal HP saja merem melek. Ketiga, membenahi mental mahasiswa, membekali dengan budaya literasi dan anti plagiasi. Budaya literasi sangat penting diinternalisasikan dalam diri setiap mahasiswa agar terbiasa berpikir secara sistematis, sensitif, ilmiah dan memiliki banyak referensi dalam menyikapi masalah. Budaya membaca di kalangan masyarakat dan pelajar Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk mensiasati mahasiswa untuk membudayakan membaca, akan sulit rasanya mengharapkan karya ilmiah yang bebas plagiat. Jangankan mahasiswa biasa, bahkan banyak dosen dan professor yang tesis dan desertasinya adalah hasil plagiat. Tentu hal ini sangat memalukan.

Terlepas dari semua itu, sesungguhnya niatan baik dari kemendikbud ini sangat layak untuk diapresiasi. Karena biar bagaimanapun juga, seorang mahasiswa yang didaulat sebagai intelektual muda dan akademisi memang seharusnya menghasilkan karya sebagai bentuk dedikasi untuk Indonesia. Itulah mengapa mereka disebut mahasiswa. Dan sebuah karya berupa tulisan merupakan salah satu bentuk nyata dari sumbangan mahasiswa untuk negeri meskipun bukan satu-satunya tentu. Kita sebaiknya husnudzan sajalah pada pemerintah, siapa tahu memang niatan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut adalah benar-benar untuk mencetak lulusan PT yang berkualitas, tidak hanya sekadar menjaga gengsi dan prestis karena ketinggalan dengan Malaysia yang katanya jurnal yang dihasilkan disana 7 kali lipat lebih banyak daripada yang dihasilkan di Indonesia. Momen huru hara kebijakan ini menjadi saat yang tepat kiranya bagi kaum akademisi untuk berramai-ramai membantu, mendorong dan mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membenahi dunia pendidikan di Indonesia, memeratakan pembangunan segala bidang di daerah pelosok, memperbaiki sistem, meningkatkan kompetensi universitas, pengajar, teknologi, sarana dan infrastruktur penunjang agar kebijakan yang telah dikeluarkan ini tidak mubadzir dan sia-sia. Butuh waktu tentu, dan tidak mudah memang, tetapi bukankah untuk mencapai perubahan yang lebih baik memang memerlukan waktu dan proses yang panjang? Hidup mahasiswa Indonesia!

Ainun Habibah. Mahasiswa S 1 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM.

Anda mungkin juga menyukai