Anda di halaman 1dari 36

SASTRA LISAN Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan

dan diturun temurunkan secara lisan (dari muluy ke mulut).Pada dasarnya sastra lisan dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa inggris oral literature. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa belanda orale letterkuade. Kedua pendapat mengenai istilah sastra lisan di atas dapat dibenarkan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah istilah itu dalam dirinya sendiri mengandung kontradiksi. Oleh sebab itu, kita harus dapat mengerti dan memahami apa pengertian sastra lisan dan pembagian pembagiannya maupun asal usulnya. Maka dengan pembahasan mengenai sastra lisan ini, diharapkan penulis maupun pembaca dapat memahami sastra lisan. Baik penggolongan ciri dan perkembangannya dalam kehidupan masyarakat baik masyarakat trdisional maupun masyarakat modern. A. Sastra Lisan Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris oral literaturs. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda orale letterkunde. Kedua pendapat itu dapat dibenarkan, tetapi yang menjadi soal adalah bahwa istilah itu dalam diirinya sendiri sebenarnya mengandung kontrakdiksi (pinnegan, 1977: 167), sebab kata literature (sastra) itu merujuk pada kata literae, yang bermakna letters. Dalam karangannya yang berjudul What is Literature, hal itu juga dikemukakan oleh Rene Wellez sarjana besar ini mengatakan istilah literature. Menurut Rene Wellek, istilah literature itu sebenarnya tidak menguntungkan sebab di dalamnya tidak mencakup apa yang dinamakan sastra lisan. Begitulah masalah yang ada antara istilah sastra lisan dengan tulisan atau cetakan. Hal ini kiranya tidak dipersoalkan orang. Konsep istilah ini kini bermakna sebagai berikut: Yang dinamakan sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun menurunkan secar lisan (dari mulut kemulut). Di Negara-negara Asia dan Afrika sastra lisan atau kesusastraan ini sangat berperan penting dalam masyarakat, sebab masyarakat masih banyak yang buta huruf (umumnya para petani pendesaan). Dengan begitu, apa yang dinamakan dalam masyarakat sastra tulis trasdisional (yang ada di istana-istana , pusat-pusat agama, dan lain-lain). Serta sastra modern (bukubuku cetakan yang banyak dijumpai di kota) hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupnan satra. B. Folklore Sastra lisan sering dikaitkan orang dengan apa yang dinamakan folklore. Istilah folklore pada mulanya adalah ciptaan Jhon Thoms kira kira pertengahan abad ke-19). Istilah ini digunakan untuk mengganti istilah popular antiouities. Menurut Jhon Thoms istilah yang terakhir tidak tepat untuk merujuk pada fenomena-fenomena yang hidup dan yang masih mendapt tempat dalam kehidupan sekelompok penduduk di luar kota di negeri Inggris pada waktu itu. Di Indonesia apa yang dinamakan dengan folklore itu merupakan ilmu yang masih baru. Dalam

hubungan ini orang tak banyak tahu kat folklore itu berasal dari dua perkataan Inggris, yaitu Folk dan Lore. Menurut seorang ahli folklore Amerika, yaitu Alan Dundes, yang dimaksud dengan folk itu adalah kelompok orang orang yang mempunyai cirri-ciri pengenal kebudayaan yang ciricirinya tadi dapat membedakannya dari kelompok lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi dari folk. Ia diwariskan turun- temurun melalui cara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan perbuatan. Folklore itu mempunyai ciri-ciri khusus. Menurut Jan Harold Brunvand dalam bukunya The Study of American Folklore (1968), halaman 4, folklore mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) It is oral; It is traditional; It exists in different versions; It is usually anonymous; It tonds to become formularized.

Jadi, folklore itu disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi , yang kadang-kadang penuturannya itu disertai dengan perbuatan ( misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang). Konsep folklor itu sebenarnya mencakup beberapa hal, yaitu : 1. Sastra lisan 2. sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kota kecil. 3. Ekspresi budaya, mencakup : o Teknologi budaya. o Pengetahuan rakyat o Kesenian dan rekreasi ( arsitektur tradisional,kerajinan rakyat,seni pandai gamelan, pengobatan tradisional, ilmu firasat, numerologi atau ilmu petungan, seni ukir, tari-tarian, dan permainan). Khusus untuk bangsa-bangsa Afrika dan Asia kesenian, kesusastraan dan ekspresi intelektual estetik lain yang bersifat agama besar formal , agama, metropolitan, semua tidak dimasukkan ke dalam konsep folklor. Hal hal tersebut oleh Jan Harold Brunvand dibuat lebih terperinci lagi. Oleh beliau bahan bahan folklor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. Verbal folklor ( folklor lisan ) 2. Partly verbal folklor ( folklor setengah lisan ) 3. Non verbal folklor ( folklor bukan lisan ). Dalam hubungan dengan folklor lisan, maka bahan bahan itu mencakup :

1. Ungkapan tradisional ( peribahasa, pepatah ). 2. Nyanyian rakyat. c. Bahasa rakyat ( dialek, julukan,sindiran, wadanan, bahasa rahasia,dan lain d. Teka teki, dan e. Cerita rakyat ( dongeng, dongeng suci ( mite ) legenda dan lain lain ). Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan bahan folklor yang berupa : a. Drama rakyat ( ketoprak, ludruk, lenong, wayang dan lain lain ). b. Tari ( serimpi, kuda lumping, dan lain lain ). c. Kepercayaan dan takhyul. d. Upacara upacara ( ulang tahun, perkawinan, kematian, sunatan dan lain e. Permainan rakyat dan hiburan rakyat ( macanan, gobak sodor dan lain lain ). f. Adat kebiasaan ( gotong royong, batas umur pengkhitanan anak dan lain g. Pesta rakyat ( wetonan, sekaten dan lain lain ). Folklor bukan lisan di bagi menjadi dua yaitu yang berupa materil dan bukan materil. Yang termasuk materil adalah : mainan ( boneka ), makanan dan minuman, peralata n dan senjata, pakaian dan perhiasan dan lain lain. Sedangkan yang termasuk dalam bukan materil adalah : musik, ( gamelan sunda, jawa, bali ) dan bahasa isyarat mengangguk berarti setuju dan lain lain. C. Tradisi Lisan Istilah tradisi lisan ini merupakan terjemahan dari bahasa dari Inggris oral tradition. Adapun istilah ini hanpir sama pengertiaanya dengan konsep folklore, bedanya hanya terletak pada unsur-unsur yang di transmisi secara lisan, yang kadang-kadang diikuti dengan tindakan. Menurut keputusan atau rumusan UNESCO, yang dinamakan tradisi lisan itu adalah : those traditions wgich have been transmitted in time and space by the word and act, yang kira kira artinya : tradisi yang ditransmisi dalam waktu ydan ruang dengan ujaran dan tindakan. (Anvisory Committee, 1981). Dengan begitu tradisi lisan, itu mencakup beberapa hal. Yaitu: 1) Yang berupa kesusastraan lisan 2) Yang berupa teknologi tradisional 3) Yang berupa pengetahuan folk di luar pusat pusat istana dan kota metropolitan lain). lain ) lain.

4) Yang berupa unsur unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama agama besar 5) Yang berupa kesenian folk di luar pusat pusat istana dan kota metripolitan, 6) Yang berupa hukum adat.

Pengertian Semiotik
Posted on September 30, 2010 by tagratis Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian tanda. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia,2007). Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas. Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau arti yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya. TEORI SEMIOTIK C.S Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang

berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan. Ferdinand De Saussure Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006). Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. Baudrillard Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya mengada-ada. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat luar biasa agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah direkayasa agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

J. Derrida Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitaspada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai klasik yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, berpengalaman, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai fokus ke atas yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang mempertemukan jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (menghancurkan atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. Umberto Eco Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi

konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean. Eco menggunakan kode-s untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kodes bisa bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Ogden & Richard Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian). Semiotika Teks Pengertian teks secara sederhana adalah kombinasi tanda-tanda (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu : Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006). Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna

sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap BIDANG TERAPAN SEMIOTIK Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain : 1. Semiotika binatang (zoomsemiotic) 2. Tanda tanda bauan (olfactory signs) 3. Komunikasi rabaan (tactile communication) 4. Kode kode cecapan (code of taste) 5. Paralinguistik (paralinguistics) 6. Semiotika medis (medical semiotics) 7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics) 8. Kode kode musik (musical codes) 9. Bahasa bahasa yang diformalkan (formalized languages) 10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes) 11. Bahasa alam (natural languages) 12. Komunikasi visual (visual communication) 13. Sistem objek (system of objects) 14. Struktur alur (plot structure) 15. Teori teks (text theory)1 16. Kode kode budaya (culture codes) 17. Teks estetik (aesthetic texts)

18. Komunikasi Massa (mass comunication) 19. Retorika (rhetoric) Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain : 1. MEDIA Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks mediamassa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan. Untuk teknik teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah : 1. Teknik kuantitatif Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode metode yang digunakan. 2. Teknik kualitatif Pada analisis kualitatif, data data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan. Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4) 1. Pendekatan Politik-Ekonomi Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. 2. Pendekatan Organisasi Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan kekuatan eksternal di luar diri pengelola media. 3. Pendekatan Kulturalis Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari

kekuatan kekuatan politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis, mediamassa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan. Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman : 1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik praktik signifikasi. 2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik praktik kekuasaan. 3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik praktik produksi. Praktik praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994) antara lain: Kekuasaan Ekonomi dilembagakan dalam industri dan perdagangan. Kekuasaan Politik dilembagakan dalam aparatur negara Kekuasaan Koersif dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter. 2. Periklanan Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) : Penanda dan petanda Gambar, indeks, simbol Fenomena sosiologi Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk Desain dari iklan Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu : o Pesan Linguistik Semua kata dan kalimat dalam iklan

o Pesan yang terkodekan Konotasi yang muncul dalam foto iklan o Pesan ikonik yang tak terkodekan Denotasi dalam foto iklan 3. Tanda NonVerbal Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata kata dan bahasa. Tanda tanda digolongkan dalam berbagai cara : Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal. Namun tidak keseluruhan tanda tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia. Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain : Langkah Pertama - Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti. Langkah Kedua - Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep konsep pada tanda nonverbal. Langkah Ketiga - Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya. Langkah Keempat Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga. 4. Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Van Zoest film dibangun dengan tanda semata mata. Pada film digunakan tanda tanda ikonis, yakni tanda tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan

ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar. Sardar & Loon Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena. 5. Komik Kartun Karikatur Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta karikatur.Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, suratkabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks. Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian. Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum. Tommy Christomy Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut. Setiawan Komik-kartun penuh dengan perlambangan perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran 6. Sastra

Santosa Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Aminudin Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi : Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca. Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret Junus Pradopo - Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Preminger - Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. 7. Musik Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik. Aart van Zoest Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan : Untuk menganggap unsur unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala gejala neurofisiologis pendengar, Untuk menganggap gejala gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.

Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial. Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.

Sastra Lama Dan Sastra Modern Posted by Shelter Cloud at 10:32 PM | 28 January 2010 | 0 comments Labels: Artikel Sastra

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang penggolongan sastra berdasarkan media yang digunakan yaitu ada yang disebut dengan sastra lisan dan sastra tulis. Kali ini kita akan membahas pembagian atau jenis-jenis sastra. Sastra dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Berikut adalah pembagian sastra berdasarkan waktu atau masa dimana sastra tersebut tumbuh dan berkembang dalam masyarakat:

A. Sastra Lama Sastra lama adalah sastra yang lahir dan tumbuh pada masa lampau atau pada masyarakat Indonesia lama. Sastra lama juga biasa disebut sebagai sastra klasik. Sastra lama tumbuh dan berkembang seiring dengan kondisi mssyarakat pada zamannya. Oleh karana itu sastra lama mempunyai nuansa kebudayaan yang kental dan memiliki corak yang lekat dengan nilai dan adat istiadat yang berlaku di dalam suatu daerah atau masyarakat tertentu. Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik adatistiadat, budaya maupun bahasa. Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan cita rasa sastranya masing-masing. Prularisme ini tentu sangat menpengaruhi dan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.

Berikut adalah ciri dari sastra lama: 1. Terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan. 2. Bentuknya baku dan terikat oleh kaidah-kaidah yang baku pula. 3. Bersifat istana sentris 4. Biasanya tidak mencantumkan nama pengarang (anonim)

Beberapa bentuk karya sastra lama yaitu: syair, pantun, gurindam, hikayat, dongeng dan tambo.

B. Sastra Modern

Sastra baru atau sering disebut juga sastra modern adalah sastra yang muncul dan berkembang setelah masa sastra lama. Bisa dikatakan bahwa sastra modern dimulai ketika terjadi perubahanperubahan yang cukup mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang digunakan masyarakat. Bisa dikatakan pula bahwa lahirnya sastra modern adalah ketika mulai terjadi perubahan penggunaan media yang digunakan yaitu dari media lisan yang bersifat kuno menjadi menggunakan media tulisan yang lebih modern.

Berikut sifat dan ciri-ciri sastra modern:

1. Tidak tetikat oleh adat istiadat atau lebih fleksibel 2. Berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat 3. Mencerminkan kepribadian penerbitnya 4. Mencantumkan nama pengarangnya. 5. Tidak rerikat dengan kaidah baku dan menggunakan bahasa yang lebih bebas.

Beberapa macam karya sastra modern yang beredar di masyarakat yaitu: novel, cerpen, puisi, drama dan roman.

Pengertian Teks Luxemburg, et.al. (1992:86) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Berdasarkan pendapat tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yag harus ada dalam sebuah teks. Tiga hal tersebut, yaitu: isi, sintaksis, dan pragmatik. Isi, sangat berkaitan dengan konten dari sebuah teks. Teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi. Pengarang dalam menuangkan gagasan-gagasannya dapat secara eksplisit maupun implisit dalam menunjukkan isi sebagai pesan yang disampaikan dalam teks. Isi dalam teks sangat berkaitan dengan semantik. Semantik merupakan salah satu kajian dalam bahasa yang berkaitan dengan makna. Isi dalam teks tidak ubahnya adalah maknamakna yang disampaikan pengarang. Pengungkapan makna ini dapat dilakukan secara terang-terangan, lugas, jelas maupun dengan tersembunyi melalui simbol-simbol. Berkaitan dengan makna dalam teks, Luxemburg, et.al. (1992:88) menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks ialah tema global yang melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya. Meskipun demikian, menunjukkan tema saja belumlah memadai. Masih diperlukan penafsiran menyeluruh untuk menelaah sebuah teks sebagai satu kesatuan. Hal ini terkait dengan keberadaan sebuah cerita maupun puisi yang merupakan satu kesatuan ide/gagasan. Kedua adalah sintaksis. Sintaksis dalam tatabahasa diartikan sebagai tatakalimat. Secara sintaksis sebuah teks harus memperlihatkan pertautan. Pertautan itu akan tampak apabila unsur-unsur dalam tatabahasa yang berfungsi sebagai penunjuk (konjungsi) secara konsisten dipergunakan. Dalam hal ini dapat kita simak melalui penceritaan berikut. Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa. (Tohari, 2005:6061) Pada kutipan di atas, konjungsi yang berupa kata ganti kamu sangat dominan dalam cerita di atas. Keberadaan kata ganti kamu pada kalimat satu, dua, tiga, empat, enam, tujuh, dan delapan menunjukkan bahwa antarkalimat dalam penceritaan di atas sangat koheren. Hal ini sangat memudahkan pembaca untuk menelaah karya sastra tersebut. Bahkan untuk memudahkan pemahaman digunakan pula bentuk klitik mu (sebagai bentuk singkat dari kata kamu). Penggunaan itu terlihat pada kata suamimu dalam kalimat kelima dan keenam; kata pihakmu pada kalimat kedelapan. Penggunaan kata ganti tersebut sangat dieksplisitkan (jelas). Tentu tidak dapat dibayangkan susahnya memahami hubungan antarkalimat apabila konjungsi yang menunjukkan koherensi antarkalimat diimplisitkan (samar-samar atau tersembunyi).

Penggunaan kata ganti sebagai konjungsi juga dapat ditemukan dalam puisi. Seperti halnya dalam cerita, keberadaan kata ganti ini juga lebih memudahkan untuk memahami puisi. Simaklah puisi Rendra (1993:13) berikut ini. Nyanyian Suto untuk Fatima Dua puluh tiga matahari bangkit dari pundakmu. Tubuhmu menguapkan bau tanah dan menyalalah sukmaku. Langit bagai kain tetoron yang biru terbentang berkilat dan berkilauan menantang jendela kalbu yang berdukacita. Rohku dan rohmu bagaikan proton dan electron bergolak bergolak di bawah duapuluhtiga matahari. Dua puluh tiga matahari membakar dukacita. Meskipun pada setiap larik puisi di atas tidak ditemukan kata Suto dan Fatima, tetapi sangatlah mudah bagi kita untuk memahami teks puisi di atas dengan memperhatikan klitik yang terdapat pada teks di atas. Klitik ku merupakan kata ganti dari Suto, sedangkan klitik mu merupakan kata ganti dari Fatima. Begitulah pentingnya sintaksis dalam sebuah teks. Yang terpenting adalah kekonsistenan dari konjungsi sehingga tidak merancukan kalimat-kalimat yang membangun cerita atau kosakata, parafrase, ataupun kalimat yang membangun puisi. Dua kutipan di atas, baik cerita maupun puisi menunjukkan kekonsistenan dari konjungsi kata ganti dan klitika yang digunakan. Ketiga adalah pragmatik. Pragmatik berkaitan dengan situasi atau keadaan bahasa yang digunakan dalam keadaan tertentu. Dalam hal ini, Luxemburg, et.al. (1992:87) mengungkapkan bahwa pragmatik bertalian dengan bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu; teks merupakan suatu kesatuan bilamana ungkapan bahasa oleh

para peserta komunikasi dialami sebagai suatu kesatuan yang bulat. Lebih lanjut dikatakannya bahwa pragmatik merupakan ilmu mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks tertentu. Hal yang diungkapkan Luxemburg tersebut bertalian erat dengan ketuntasan dalam memahami sebuah teks. Makna kesatuan bulat mengarah pada keutuhan dari sebuah teks. Membaca teks merupakan satu tindakan atau kegiatan yang dimulai dari bagian awal hingga bagian akhir dari sebuah teks, yaitu: selesai atau tamat. Sebuah contoh, apabila kita membaca novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang ditulis Dewi Lestari maka kegiatan yang kita lakukan adalah membaca keseluruhan dari teks novel ini. Mulai membaca bagian Cuap-cuap Penerbit, Cuap-cuap Penulis, Bagian Daftar Isi, isi keseluruhan novel yang terdiri atas 33 keping subjudul, hingga Komentar Nonpakar yang merupakan akhir dari teks novel ini. Begitu halnya kalau kita membaca puisi, cerpen, maupun drama maka keselurahan dari teks tersebut harus kit abaca dengan saksama. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang tepat tentang isi atau garis besar dari penceritaan tersebut. Begitu halnya apabila kita bertindak sebagai pengarang. Yang kita lakukan adalah mengarang dengan sistematika yang tepat. Sistematika yang menjelaskan bagian awal, bagian inti atau isi, kemudian bagian akhir sebagai pertanda bahwa teks yang kita buat telah selesai atau berakhir. Keteraturan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya harus ditunjukkan secara tepat. Begitu halnya dengan bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tersusun atas deretan kata, gabungan kata, dan atau kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca.

http://www.scribd.com/doc/28549965/Tugas-Analisis-Novel

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami


Desember 20, 2008 awan sundiawan
Latar Belakang Masalah Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik. Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi). Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengapresiasikan

karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting. Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?. Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya. Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra. Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen). Identifikasi Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis? 2. Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan? 3. Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen tersebut? 4. Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan pemilihan bahan ajar itu efektif? Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini. Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok. Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan. Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya. Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur. Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja. Tinjauan atas Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut: Tema Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan. Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini. Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. Alahamdulillah kataku bila aku menerima karuniaNya. Astaghfirullah kataku bila aku terkejut. Masa Allah bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu : Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun. Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang. Amanat

Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya. Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki. Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya: (a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9. Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marahmarah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan . dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah. (b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana: Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 13 ). Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu: (c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya. (d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini: , kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin . (hlm. 15). (e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16. . Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun. Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas. Latar Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial. Latar Tempat

Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya : Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 ) Latar Waktu Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut : Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, ..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang . (hlm. 10) Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya: Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8) Sedari mudaku aku di sini, bukan ?. (hlm.10) Latar Sosial Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut : Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7) Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya. Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu : Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan Nya bagaimana ? suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. Kita protes. Kita resolusikan, kata Haji Soleh. cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh, sebuah suara menyela. Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13) Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini. Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya

Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini. Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana dia ? Kerja Kerja?tanyaku mengulangi hampa. ya.Dia pergi kerja. Alur (plot) Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut. Bagian Awal Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut : Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku . akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7). Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut : Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya . Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya . (hlm. 8) Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita. Bagian Tengah Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut: Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan. Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8) Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam. Kurang ajar dia. Kakek menjawab. Kenapa ? Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya. (hlm. 9) Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya. Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

Bagian Akhir Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. Ia sudah pergi, jawab istri Ajo Sidi. Tidak ia tahu Kakek meninggal ? Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis. Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana Dia ? Kerja. Kerja ? Tanyaku mengulang hampa Ya. Dia pergi kerja. (hlm. 16-17).

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya? Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua. Orang-orang memanggilnya kakek Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. Siapa yang meninggal? Tanyaku kaget. Kakek. Kakek? (hlm.16). Penokohan Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut. a. Tokoh Aku Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut. Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: Apa ceritanya, kek ? Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : Bagaimana katanya, kek ?.(hlm.9). Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara, kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengangcengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16). b. Ajo Sidi Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.

.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.(hlm.8-9) . Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja. c. Si Kakek Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya. Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar. Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut: Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri(hlm.10). d. Haji Saleh Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri. 6. Titik Pengisahan Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita. Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.(hlm.7). Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang.(hlm.8).

Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata Aku. Walaupun begitu kata Aku ini merupakan kata ganti orang pertama pasif. Engkau ? Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku. lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita. Gaya Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan. Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah. Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya. Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas. Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu: a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan. b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.

Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya. Kesimpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut. 1. Unsur-unsur Intrinsik a. Tema Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya. b. Amanat Amanat cerpen ini adalah : 1) jangan cepat marah kalau diejek orang, 2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik, 3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar, 4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan 5) jangan egois. c. Latar Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. d. Alur Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir. e. Penokohan Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh. 1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain. 2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual 3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain. 4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri. f. Titik Pengisahan Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku. g. Gaya Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut. Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut. 1. Saran untuk guru - Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya. - Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa. - Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai. 2. Saran untuk siswa - Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya. - Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada. - Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan - Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa. Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang. Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima. Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa. Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media. Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa. Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga. Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

TUGAS RESENSI NOVEL (BAHASA INDONESIA 2)

RESENSI NOVEL SYAHADAT CINTA


1. Identitas buku Judul buku : Syahadat Cinta Nama Pengarang : Taufiqurrahman Al-Azizy Tahun Terbit : 2006 Nama Penerbit : Diva Press Tempat Terbit : Jl. Wonosari Baturetno - Banguntapan, Jogjakarta Halaman : 520 2. Pokok-pokok isi buku ( Sinopsis ) "Maukah engkau menciumku?" "Masyaallah, kenapa?" "Sebab ciuman adalah bukti keberadaan cinta. Kau terpikat kepadaku karena wajah ini, maka dia meminta bibirmu untuk mencium. Jika hati yang membawa cintamu kepadaku, maka engkau pun harus mencium hatiku. Pilih mana?" Itulah petikan percakapan antara iqbal-tokoh utama dalam novel ini-dan Zaenab-gadis yang merupakan perwujudan dari sifat jamaliah dan ilahi.Sebagai pemuda metropolis, Iqbal berjuang mengakhiri masa lalunya yang kelam, dan secercah cahaya ilahi masuk melalui relung-relung hatinya dan membawanya masuk ke alam pesantren. Tetapi ternyata, perjalanan ini memunculkan amuk pergolakan di dalam hatinya. Baru saja ia mulai belajar berwudlu, membaca al-Qur'an dan bersembahyang, tetapi ia terpelanting ke lembah perdebatan, yang pada lahirnya memang sahabat-sahabat santri , tetapi pada hakikatnya adalah antara Iqbal dengan dirinya sendiri. Baginya, hatilah yang perlu mendapatkan cahaya Islam, menerangi jiwa. Iqbal berusaha memasuki Islam melalui jalur hati ini, dan ternyata jalur ini membawa serta benih-benih cinta kepada Zaenab, santriwati. Tetapi, ada dua gadis lain yang sedang menunggu cintanya : Priscillia, seorang gadis dari keluarga Kristen yang taat dan mendapatkan berbagai kekerasan dari keluarga dan sahabat-sahabatnya karena memilih memasuki hidayah Islam; sedang gadis yang satu lagi

adalah siswi sebuah SMA yang dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan tidak dikenalnya. Iqbal justru banyak belajar keagungan Islam dari sebuah keluarga pengemis yang menampungnya ketika ia lari dari pesantren karena perseteruan paham - paham religius yang sangat tajam. Novel spiritual ini menjadi kesaksian (syahadat) pengembaraan religius seorang anak metro dalam tempias wajah Ilayiah yang sarat gesekan paham spiritual dan petarungan ragam tradisi. Trilogi "mafrikat cinta" ini terdiri dari Syahadat cinta, Musafir cinta dan Makrifat cinta. Tiga novel religius pembangun iman ini dapat Anda baca secara terpisah tanpa kehilangan kekuatan cerita dan maknanya, sekaligus bisa sebagai kesatuan utuh yang sangat detil dan mendalam. Trilogi ini mengusung semangat pencarian kebenaran Islam yang kaffah, dengan basis laku syari'at, Tarekat dan Mafrikat: impian terbesar para abdullah untuk berjumpa dengan wajah sang Kekasih. 3. Kelebihan buku - Isi cerita novel tersebut mudah di pahami - Bab satu dengan bab yang lainnya saling berkaitan, sehingga alur cerita berkesinambungan. - Tokoh utamanya memiliki jiwa dan usaha yang keras. - Novel ini sangat patut dikonsumsi masyarakat kalangan umum maupun lanjut usia. Karena dalam ceritanya pengarang memberikan isi cerita yang dapat mendorong pembaca untuk melakukan perubahan dalam kehidupan yang lebih baik - Gaya bahasa yang digunakan dalam penyajian novel ini pun sangat baik. Tidak terlalu formal, tetapi sesuai dengan EYD. 4. Kekurangan buku - Isi cerita novel sangat berbelit, pengarang memberikan contoh terlalu banyak, sehingga pembaca cepat merasa bosan dalam membacanya. - alur cerita yang maju mundur, membuat pembaca sulit menyesuaikan cerita dengan alur. - syair-syair yang terlalu banyak, dapat membuat pembaca yang awam akan syair maupun puisi bosan membacanya. 5. Saran-saran

Alur yang dibuat sangat berbelit, membuat pembaca bingung dalam mensinkronisasikan ceritanya, maka dari itu agar dibuat lebih menarik dan simpel dalam penyajian ceritanya. Agar tidak membuat pembaca merasa bosan

Anda mungkin juga menyukai