Anda di halaman 1dari 3

JUDUL : PEMBUATAN BERAS TIRUAN (ARTIFICIAL RICE) DENGAN BAHAN BAKU UBIKAYU DAN SAGU PENGARANG : M.

Yusuf Samad Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri Lantai 17 Gedung II BPPT, Jl.MH.Thamrin 8 Jakarta 10340 Abstract The objectives of this research is to form artificial rice from cassava and sago flour which have shape and properties are similar to rice. Result of the research showed that the chemical composition of products are almost similar to rice with carbohydrate content of 81,3-83,9%, protein content of 1,3-2,4% and fat content of 0,21-0,45 while rice have composition are 77,9%, 6,9% and 0,7% respectively. By adding 5% soybean will increase 1,8% protein content of cassava while 0,9% of sago in food product. Shape, colour, texture and esthetical value are also different to both product and rice. Modification of starch structure, bleaching and granulation technology are needed to improve quality of product. Kata Kunci : Ubikayu, Sagu, Granulasi, Pengolahan, Beras Tiruan SUMBER : Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. II, hal. 36-40 /HUMAS-BPPT/ANY PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Ketahanan pangan dalam pengertian pemenuhan kebutuhan pangan, diusahakan agar pangan selalu tersedia setiap saat dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Pada beberapa tahun terakhir, ketahanan pangan merosot drastis akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan beberapa penyebab lain diantaranya semakin besarnya jumlah penduduk, bencana alam, keterbatasan lahan produktif dan pola konsumsi pangan/ budaya makan masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2002 mencapai 210 juta jiwa dengan laju pertambahan 1,60% per tahun. Pertumbuhan produksi beras hanya mencapai rata-rata 2,50% per tahun. Meski diperkirakan produksi beras tahun 2001 ini mencapai 50-60 juta ton, namun laju produksi terebut masih dibayangi oleh berbagai kerawanan seperti keamanan dan bencana alam seperti banjir, kemarau panjang, gempa bumi, serangan hama dan sebagainya. Dengan demikian laju produksi sebesar 2,51 % per tahun masih riskan untuk menjaga kestabilan cadangan beras sebagai makanan pokok. Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi beras telah terjadi pada tahun 1999, dimana untuk menutupi kekurangan beras dilakukan impor beras sejumlah 4,75 juta ton dan devisa yang dikeluarkan mencapai tidak kurang 10,62 triliun rupiah. Produksi padi saat ini dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan kualitas lahan, gejala leveling off, dan berbagai masalah lain. Oleh karena itu upaya penggalakan diversifikasi pangan dianggap sebagai jalan keluar yang paling rasional dan mendesak pelaksanaannya. Fakta menunjukkan bahwa selama ini masyarakat Indonesia memiliki pola pangan pokok yang beragam sesuai dengan potensi dan agroklimat masing-masing daerah.

Di satu sisi pemasyarakatan beras begitu gencarnya sehingga image masyarakat tentang makan memiliki konotasi harus makan nasi. Besarnya konsumsi masyarakat terhadap pangan siap saji/instan seperti mie diperkirakan akan mengurangi porsi nasi perkapita per tahun, namun kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi nasi tetap tinggi. Keadaan ini membuktikan bahwa budaya makan nasi masyarakat susah diubah sehingga kebutuhan beras semakin besar dari tahun ketahun sesuai pertambahan penduduk. Disisi lain, potensi sumber karbohidrat non beras cukup banyak seperti sagu, aren, ubi kayu, uwi, gembili, sorgum dan sebagainya tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Program diversifikasi pangan telah dicanangkan sejak 1974. Berbagai teknologi subsititusi, tepung komposit dan lain-lain telah dihasilkan untuk mendukung usaha tersebut. Namun sejauh ini belum diperoleh hasil yang menggembirakan. Hal ini antara lain disebabkan pemerintah terkesan tidak sungguh-sungguh mendukung usaha pengembangannya karena fakta menunjukkan bahwa hasil-hasil diversifikasi tersebut tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat luas karena terbentur terbatasnya fasilitas dan dukungan kebijaksanaan. Pengadaan beberapa jenis pangan non beras ternyata tidak menyebabkan berkurangnya konsumsi beras. Pemikiran terhadap kemungkinan penyediaan beras tiruan (beras buatan) dapat dianggap realistis asalkan secara teknis dan ekonomi dapat dilakukan walaupun dari dari segi rasa dan estetika masih perlu dikaji lebih lanjut. Sejauh ini belum ditemukan adanya beras yang dibuat dari non padi. Namun, produk berbentuk butiran telah dikenal masyarakat, seperti misalnya sagu mutiara dan sebagainya. Produk ini berbentuk seperti beras yaitu agak bulat, putih, namun dibuat dari pati sagu atau singkong. Meski demikian, sagu mutiara bersifat lengket ketika dimasak dan sering terdapat spot putih di bagian tengahnya sebagai tanda terjadinya proses gelatinisasi tidak sempurna. Modifikasi dan improvisasi teknologi ini berpeluang menghasilkan teknologi produksi beras tiruan. Teknologi ini diduga akan mudah diadopsi masyarakat, mengingat sifatnya yang bukan teknologi baru, melainkan teknologi pengembangan. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu pengkajian yang mendalam tentang teknologi pembuatan beras tiruan dengan menambahkan atau merubah sifat fungsionalnya sedemikian rupa sehingga bentuknya agak pipih, putih dan tidak begitu lengket. Jika beras tiruan dapat dipasarkan, maka masyarakat akan memiliki pilihan dalam mengkonsumsi beras dan atau tiruannya tergantung kepada kemampuannya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu diteliti pembuatan dan pemasyarakatan beras tiruan (artificial rice) yang merupakan salah satu pilihan untuk menyukseskan usaha diversifikasi pangan .

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan a. Analisis bahan baku menunjukkan bahwa beras memiliki kandungan protein, lemak, serat dan mineral yang lebih besar dibanding ubikayu dan sagu, tetapi beras memiliki kandungan karbohidrat yang lebih kecil dibanding ubikayu dan sagu. b. Analisis bahan sumber protein menunjukkan bahwa kacang kedelai memiliki kandungan, protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan kacang ijo dan kacang tolo, tetapi kacang kedelai memiliki kandungan karbohidrat yang lebih kecil dibanding kacang ijo dan kacang tolo. Kandungan air, serat dan mineral ketiga bahan ini relatif sama.

c. Uji kualitas produk menunjukkan bahwa kandungan air beras ubikayu dan sagu relatif sama sekitar 13,2-13,6%. Kandungan karbohidrat ubikayu 80,8-81,3% dan sagu 83,984,2% masih relatif sama dengan bahan asalnya dan lebih besar dari beras 77,8%. Terjadi peningkatan kandungan protein produk ubikayu sekitar 1,8% dan sagu sekitar 0,9% akibat penambahan 5% kacang kedelai. Kandungan lemak, serat dan mineral dari produk adalah masing-masing relatif sama dengan bahan asalnya. Uji kualitas produk ini juga mencakup uji organoleptik kualitatif dan hasilnya masih sangat berbeda antara produk ubikayu, sagu dengan beras. d. Uji kestabilan produk menunjukkan bahwa pada penyimpanan sampai 6 minggu produk mentah dari beras lebih tahan dibandingkan sagu dan ubikayu. Pada penyimpanan sampai 18 jam produk matang dari beras lebih cepat rusak dibandingkan sagu dan ubikayu. Produk mentah maupun matang dari sagu relatif lebih tahan dibandingkan ubikayu e. Penelitian yang dilakukan baru dalam taraf formulasi bahan dan belum mencakup aspek ekonominya sehingga nilai kompetitif terhadap beras atau komoditi lainnya belum dapat dikemukakan Saran a. Produk pangan ubikayu dan sagu yang telah dihasilkan belum mendekati sifat beras, sehingga masih diperlukan proses pengolahan yang lebih baik antara lain mencakup modifikasi struktur pati, pemutihan dan teknik granulasi b. Masih diperlukan uji organoleptik kuantitatif sehingga dimasa depan produk beras tiruan ini dapat dimasyarakatkan

Anda mungkin juga menyukai