Anda di halaman 1dari 6

Deteksi Dini dan Pencegahan HIV AIDS Pada Anak Posted on Februari 26, 2012 Infeksi HIV adalah

infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa). Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya. Penularan Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut. Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen kesehatan tercatat 3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002. Terdapat 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular ibunya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 melakukan pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta, menunjukkan hasil sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV. Wanita sering tertular infeksi HIV melalui hubungan heterosexual dengan pasangan yang terinfeksi atau melalui penggunaan obat-obatan, Meningkatnya infeksi HIV pada anak adalah karena akibat penularan selama perinatal (periode kehamilan, selama dan setelah persalinan). Lebih dari 90% AIDS pada anak yang dilaporkan tahun 1994 terjadi karena transmisi dari ibu hamil ke anak.. Penularan terhadap bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau postnatal melalui ASI. Angka kejadian penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 20% 30%. Penularan HIV dari ke janin bila tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 155 45%. Resiko penularan di negara berkembang sekitar 21% 43%, lebih tinggi dibandingkan resiko penularan di negara maju sekitar 14%-26%. Penularan dapat tejadi saat kehamilan, intrapartum, dan pasca persalinan. Resiko infeksi penularan terbanyak terjadi saat persalinan sebesar 18%, di dalam kandungan 6% dan pasca persalinan sebesar 4%.

Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama menjadi posItif dan bayi tidak menyusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir. Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Transmisi pascapersalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imn bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat. Beberapa peneliti membuktikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV meningkatkan tranmisi HIV 0,7% perbulan pada usia 0 sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3% perbulan pada usia 12-17 bulan. Penelitian Leroy menyebutkan resiko tranmissi HIV melalui ASI diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak pertahun. Keadaan penyakit ibu juga menjadi pertimbangan karena Ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi darinyang tidak menyusui. WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari Air Susu Ibu yang terkena HIV jika alternative susu lainnya tersedia dan aman.

Manifestasi klinis infeksi HIV Pada Anak. Fase penyakit Penyakit HIV akut Masa laten klinis Manifestasi klinis Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati generalisata, eritema Berkurangnya jumlah sel T CD4+ Infeksi oportunistik Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium) Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella) Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum) Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster) Tumor Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV) Sarkoma Kaposi Karsinoma servikal Ensefalopati Wasting syndrome

AIDS

Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun. Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara

lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang. Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum. Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal. Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC Amerika Serikat (1994) dan WHO (tahun 2006). Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis, tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang mengarahkan ke pengambilan keputusan dilakukannya pemeriksaan laboratorium dikenal dengan nama AIDS Defining Illness Klasifikasi klinis menurut CDC adalah N, A, B dan C (AIDS) dengan tambahan prefix E pada semua anak yang terpapar pada HIV dari orangtuanya. Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut.

Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV Klasifikasi Asimtomatik Stadium klinis WHO 1

Ringan

Sedang

Berat

Pemeriksaan standar seperti enzyme-linked immunoabsorbent assay dan analisa Western termasuk antibodi immunoglobulin. Imuniglobulin G (IgG) tidak dapat mendiagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah. Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapart dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirm asi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4 bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV.

Orangtua atau ibu dari bayi yang terpapar HIV harus menyadari masalah yang dihadapi anaknya sejak awal. Penentuan diagnosis HIV yang akan dihadapi penderita sangat berpengaruh pada orang tua dan keluarga. Ibu penderita harus diberikan informasi yang jelas tentang seringnya evaluasi pemeriksaan, kesulitan diagnosis awal infeksi HIV pada bayi, manfaat pemeriksaan untuk menentukan status infeksi bayi, pemberian Zidovudine dalam mengurangi resikopenularan, terapi profilasis PCP, modifikasi dalam rekomendasi imunisasi, rekomendasi untuk tidak memberi ASI dan kewaspadaan untuk mencegah penyebaran penyakit.. Dokter yang merawat harus mendiskusikan bersama orang tua tentang penilaian gejala, tampilan klinis penyakit, manifestasi hematologi, penyakit ginjal atau manifestasi neurologi yang diakibatkan oleh penyakit AIDS. Peningkatan kasus HIV memungkinkan terjadi peningkatan keterlibatan dokter khususnya dokter spesialis kandungan dan dokter anak dan tenaga medis lainnya dalam perawatan bayi yang terpapar HIV. Masyarakat khususnya yang beresiko terinfeksi HIV hendaknya juga turut aktif dalam pencegahan penularan HIV pada bayi yang akan dilahirkan. Skrening atau pemeriksan awal HIV pada Ibu hamil yang beresiko harus sudah menjadi tindakan rutin. Resiko dan potensi pada anak untuk terinfeksi HIV semakin meningkat pesat. Untuk mencegah dalam kondisi yang lebih mangkawatirkan, maka pencegahan harus terus dilakukan. Mengurangi kehidupan seks bebas, menghindari narkoba dan perilaku negatif lainnya adalah tindakan yang harus dikampanyekan terus menerus. Jangan sampai dosa dan perbuatan buruk orang tua menjadi beban kehidupan anak Indonesia di kemudian hari.
http://childrengrowup.wordpress.com/2012/02/26/deteksi-dini-dan-pencegahan-hiv-aids-padaanak/

Anda mungkin juga menyukai