Anda di halaman 1dari 13

DEMAM TIFOID

PENDAHULUAN Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominalis. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik. Angka kejadian termasuk tertinggi di dunia, yaitu 358-810 per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian 2,5-6%.

Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar, umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan.

Penularan demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman S.typhi masuk kedalam tubuh melalui makanan/minuman yang tercemar ke dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil kemudian masuk kedalam peredaran darah. Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 9 hari kuman kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid.

DEFENISI Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan pada kesadaran.

EPIDEMIOLOGI Demam tifoid merupakan demam endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 undang-undang tentang wabah. Di Indonesia demam tipoid jarang dijumpai secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat sporadic, terpencar-pencar diseluruh daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S. typhi : pasien dengan demam typhoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekresi 109 sampai 1011 kuman per gram tinja. Ada beberapa factor yang mempengaruhi epidemiologi penyakit demam typhoid diantaranya :

1. GEOGRAFI Demam tifoid terdapat diseluruh dunia dan penyebaran tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyedian air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

2. MUSIM Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada teori yang mengatakan hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid.

3. JENIS KELAMIN Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria maupun wanita.

4. UMUR Di daerah endemic demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan pada masa anak-anak. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah 70-80%, pasien berumur antara 12 sampai 30 tahun, 10-20%, antara 30 sampai 40 tahun berkisar 5-10%.

ETIOLOGI Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C, basil gram negative, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida) antigen H (flagella) dan antigen Vi.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami

hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal sering terjadi. Kuman S. typhi kemudian menembus ke lamina propria, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial. Setelah melewati kelenjer-kelenjer limfe ini S. typhi masuk aliran darah melalui duktus thoracicus. Kemudian kuman-kuman S. typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.

Salmonela typhi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typoid disebabkan oleh endotoksemia.

Penelitian-experimental menyimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin S. typhi yang berperan dalam patogenesis demam typoid, karena membantu terjadi proses inflamasi local pada jaringan tempat S. typhi berkembang biak. Demam pada typoid disebabkan karena S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

MANIFESTASI KLINIS Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan sampai yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi kematian.

Dalam minggu pertama penyakit, keluham dan gejala serupa dengan infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut. Dalam minggu kedua gejala-gejala lebih jelas berupa demam, bradikardi relative, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium.

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore/malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Minggu ketiga suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu : 1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari. 2. Gangguan saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering pecah-pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan. Abdomen ditemukan perut kembung (meteorismus) 3.Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. PEMERIKSAAN LEUKOSIT Pada kebanyakan kasus demam typoid, jumlah leukosit pada sedian darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis. Pemeriksaan leukosit pada demam tifoid tidak berguna untuk mendiagnosis demam typhoid. Pada demam tyfoid dapat terjadi kekurangan darah dari ringan sampai sedang karena efek kuman yang menekan sumsum tulang. Lekosit dapat menurun hingga < 3.000/mm3.

2. PEMERIKSAAN SGOT DAN SGPT SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi kembali normal setelah sembuhnya demam typhoid.

3. UJI WIDAL Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (aglutinin) aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam typhoid, juga pada orang-orang pernah ketularan salmonella dan pada orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tyfoid.

Maksud uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam typhoid. Akibat infeksi oleh S. typhi, pasien membuat antibody (aglutinin), yaitu : 1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman) 3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk keperluan diagnosis. Makin tingi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam typhoid.(1)

Pemeriksaan serologik Widal (titer Aglutinin OD) sangat membantu dalam diagnosis walaupun 1/3 penderita memperlihatkan titer yang tidak bermakna atau tidak meningkat. Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap minggu dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali.Beberapa laporan yang ada tiap daerah mempunyai nilai standar Widal tersendiri, tergantung endemisitas daerah tersebut. Misalnya : Surabaya titer OD > 1/160,

Yogyakarta titer OD > 1/160, Manado titer OD > 1/80, Jakarta titer OD > 1/80, Ujung Pandang titer OD 1/320.(7) 4. TES TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

5. METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

6. METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

7. PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya. laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal

(yang sering digunakan) yang meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada salah satu biakan.

KOMPLIKASI 1. Komplikasi intestinal Perdarahan usus Perforasi usus Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstra intestinal : 1. Komplikasi kardiovaskuler. Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),miokarditis, trombosisdan tromboplebitis. 2. Komplikasi darah. Anemia hemolitik, trombositopenia dan sindroma uremia hemolitik 3. Komplikasi paru. Pneumonia, empiema dan pleuritis 4. Komplikasi hepar dan kandung emped. Hepatitis dan kolesititis 5. Komplikasi ginjal. Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis 6. Komplikasi tulang. Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan arthritis.

PENGOBATAN Penderita yang didiagnosis sebagai observasi dengan demam typhoid harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai penderita tifus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai berikut : 1. Isolasi penderita 2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi 3. Istirahat selama demam sampai beberapa minggu hingga normal kembali, istiraha mutlak.

4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk penderita dengan derajat kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. 5. Pada pasien anak, kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari. Regimen lain yang dapat diberikan pada anak, yaitu: ampisilin (200 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian IV), amoksisilin (100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian PO), trimethoprim (10 mg/kg/hari) atau sulfametoksazol (50 mg/kg/hari) terbagi dalam 2 dosis, seftriakson 100 mg/kg/hari terbagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) untuk 5-7 hari, dan sefotaksim 150-200 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis. 6. Bila terapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai, misalnya pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat

bronkopneumonia harus ditambahkan penisilin dan lain-lain. 7. Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang dapat diberikan adalah deksamethasone dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada pasien anak dapat digunakan deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai dosis awal yang dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik. Di Amerika Serikat, pemberian regimen ciprofloxcacin atau ceftriaxone menjadi first line bagi infeksi Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, trimethoprim-sulfamethoxazole, streptomycin, sulfonamides, atau tetrasiklin.

PROGNOSIS Prognosis demam typhoid bergantung dari umur, derajat kekebalan tubuh (imunitas), jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Nagka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti : 1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.

2. Kesadaran yang menurun sekali yaitu spoor, koma, atau delirium 3. Terdapat komplikasi berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,

bronkopneumonia dan lain-lain. 4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

PENCEGAHAN Vaksin tifus per-oral (ditelan) memberikan perlindungan sebesar 70%. Vaksin ini hanya diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi dan orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para pelancong). Para pelancong sebaiknya menghindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya mereka memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.

Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Persatuan Ahli penyakit Dalam Indonesia : Buku Ajar Penyakit dalam, Jilid 1, Edisi Ketiga, Jakarta, 1996; 434-442. 2. Purnama Junaidi, Atiek S Soemasto : Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeskulapius, Edisi Kedua, Jakarta, 1977; 52-54. 3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985; 593-598 4. Demam Tyfoid, Available at : http://www.medicastore.com 5. http://medicine.uii.ac.id/index.php/Artikel/Demam-Tifoid.html 6. http://wordpress.com/metode-diagnostik-demam-tifoid-pada-anak/

Anda mungkin juga menyukai