Anda di halaman 1dari 6

Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.2.

,2011

PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Eli Korlina
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km-4 Po Box 188 Malang. Telp 0341-494052

ABSTRAK Tuntutan masyarakat akan produk tanaman yang berkualitas, ekonomis, serta aman dikonsumsi semakin tinggi. Produk tersebut dapat diperoleh dengan menerapkan budidaya tanaman yang sehat, salah satunya yaitu dengan penggunaan agens hayati sebagai sumber pengendalian. Di Indonesia kekayaan hayati sangat potensial, namun daya gunanya bagi kepentingan pertanian belum sepenuhnya dimanfaatkan. Oleh sebab itu dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan agens hayati, terhadap hama dan penyakit tanaman, maka perlu diketahui bioekologi musuh alami serta cara kerja agens hayati tersebut, sehingga akan lebih efektif dan efisien. Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen utama dalam sistem PHT disamping cara bercocok tanam dan varietas. Kata Kunci : Agens hayati, hama dan penyakit tanaman

ABSTRACT Public demand of plant products of high quality, economical, and safe for consumption is increasing. These products can be obtained by applying the cultivation of healthy plants, one of them is to use biological agents as a source of control. In Indonesia very potential biological wealth, but power use for agricultural purposes has not been fully exploited. Therefore, in order to develop and use biological agents, particularly in horticultural crops, it is necessary to note bioekologi natural enemies as well as the workings of these biological agents, so it will be more effective and efficient. Biological control is one major component of IPM systems in addition to how to grow crops and varieties. Keywords: biological agents, pest and disease

PENDAHULUAN Dewasa ini tuntutan masyarakat akan produk tanaman yang berkualitas, ekonomis, serta aman dikonsumsi semakin tinggi. Produk tanaman seperti ini dapat diperoleh dengan menerapkan budidaya tanaman yang sehat, antara lain dengan penggunaan agens hayati sebagai sumber pengendalian hama dan penyakit. Indonesia merupakan negara yang dikenal mempunyai sumber kekayaan hayati yang sangat besar, bahkan merupakan negara kedua di dunia, setelah Brazil (Dibiyantoro, 2005). Namun di Negara Brazil, perlindungan terhadap kekayaan hayati jauh lebih baik karena Undang-undang yang ada selalu dapat diberlakukan bagi penduduk maupun pendatang/turis yang akan memanfaatkannya. Sedangkan di Indonesia kekayaan hayati yang sangat potensial ini belum sepenuhnya ditingkatkan daya gunanya bagi kepentingan pertanian. Oleh sebab itu dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan hayati pada tanaman hortikultura, harus diketahui bioekologi musuh alami serta cara kerja agens hayati tersebut. Pengendalian hayati adalah salah satu komponen utama dalam sistem PHT disamping cara bercocok

Eli Korlina : Pengembangan Dan Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati (Aph) Pada Tanaman Hortikultura

tanam dan penggunaan varietas unggul. Oleh karena itu teknik pengendalian hayati yang digunakan harus sesuai dengan teknik bercocok tanam dan varietas yang digunakan, atau mungkin teknik bercocok tanam perlu dimodifikasi supaya musuh alami yang digunakan dapat bertahan dan bekerja baik. Selain itu teknik pengendalian lain yang masih perlu digunakan, misalnya pengendalian kimiawi dengan pestisida harus diubah atau disesuaikan sehingga tidak mengganggu musuh alaminya. Penelitian pengendalian hayati dari berbagai aspek, akhir-akhir ini banyak dilakukan., tidak saja untuk serangga hama, tetapi juga untuk patogen tanaman dan gulma. Hal ini karena penggunaan pestisida sebagai satu-satunya pengendalian andalan petani dapat menyebabkan pengaruh samping yang buruk, baik terhadap hama penyakit sasaran sendiri, maupun terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Hal ini didukung juga oleh Undang-undang RI No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah R.I. No.6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman dan Undang-undang R.I. No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup (Sosromarsono, 1999). Berdasarkan pernyataan tersebut tercermin jelas bahwa dalam setiap tindakan pengendalian OPT harus memadukan berbagai teknik, termasuk didalamnya teknik pengendalian hayati. Pemanfaatan agens hayati dalam proses produksi suatu produk tanaman khususnya dalam menekan kehilangan dan kerugian hasil akibat organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu aspek penting yang sangat berpeluang untuk menjawab tuntutan masyarakat akan produk tanaman yang minim penggunaan pestisidanya. Tulisan ini akan mengulas secara singkat agens pengendali hayati (APH) tanaman hortikultura, untuk mengendalikan serangga hama seperti predator, parasitoid dan entomopatogen maupun APH untuk mengendalikan penyakit, serta teknik pengembangannya . A. PENGENDALIAN HAYATI SERANGGA HAMA Agens hayati serangga hama dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan,yaitu predator, parasitoid dan patogen. 1. Predator : Predator adalah organisme yang memangsa organisme lain. Contoh-contoh predator untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman hortikultura antara lain : Menochilus sexmaculatus. Kumbang ini umumnya dijumpai di dataran rendah, badannya berukuran kecil, bulat, warna bervariasi dari merah sampai kuning, panjang badan 3-3,5 mm. Hidup sebagai pemangsa berbagai jenis kutu daun. Telurnya berbentuk oval panjang sekitar sekitar 0,3 mm berwarna kuning pucat, dalam 4-5 hari larva menetas berwarna hitam. Rhinocoris spp.Ukuran imago 1,1-1,3 cm. Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 5-30 butir. Warna telur kecoklatan dan menempel pada daun atau batang cabai. Lama hidup telur berkisar antara 8-10 hari. Satu ekor predator mampu memangsa 9-10 ekor larva Spodotera litura. Imago menyerang mangsa dengan cara menjepit bagian tubuh mangsa dengan tungkai-tungkai depan kemudian menekankan bagian alat styletnya masuk kedalam tubuh mangsa untuk dihisap, hingga tubuh mangsa menjadi mengkerut dan mengering. 2. Parasitoid : parasitoid adalah serangga yang memarasit (hidup dan berkembang dengan menumpang) serangga lain (yang disebut inang). Parasitoid ada yang berkembang didalam tubuh inang (endoparasit), dan ada yang berkembang di luar tubuh inang (ektoparasitoid). Inang yang diparasit dapat berupa telur, larva, nimfa, pupa atau imago serangga hama. Contoh-contoh parasitoid untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman hortikultura antara lain : Diadegma semiclausum. Merupakan parasitoid larva yang paling penting bagi hama Plutella xylostella pada tanaman kubis. Serangga betina mempunyai organ peletak telur (ovipositor) pada ujung abdomen dan dapat meletakkan telur pada semua instar larva P. xylostella. Siklus hidup D. semiclausum dari telur sampai dewasa lamanya 18-20 hari di dataran tinggi dan 14 hari di dataran rendah. Sedangkan masa telur, larva dan pupa masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10 hari.

Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.2.,2011

Trichogramma chilonis. Merupakan parasitoid telur

dan tomat,. Serangga betina dapat berkembang biak secara partenogenesis. Seekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 20-50 butir. Lamanya daur hidup 10-11 hari. Selain itu jenis Trichogramma lain merupakan parasitoid telur berbagai jenis serangga terutama telur Lepidoptera, dapat dikembangbiakan dengan inang pengganti yaitu Corcyra sp sehingga banyak dikembangkan secara intensif pemanfaatannya. Imago ukurannya sangat kecil 1 mm atau kurang sehingga sulit diamati di lapangan Eriborus argenteopilosus. E. argenteopilosus termasuk kedalam ordo Hymenoptera. Parasitoid ini mampu memarasit keempat instar larva inang H. armigera, Croccidolomia binotalis dan Spodoptera litura. Namun instar muda (1 dan 2) lebih disukai dibandingkan dengan instar tua (3 dan 4).

Helicoperva armigera pada tanaman jagung

3. Patogen : patogen adalah organisme mikro yang menginfeksi organisme lain. Agens hayati patogen yang telah diketahui dan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga antara lain dari kelompok virus, bakteri, cendawan dan nematoda. Virus. Virus yang dapat menyerang serangga hama pada tanaman hortikultura adalah NPV (nuclear polyhedrolis virus) dan GV (Granulosis virus). Contoh virus entomopatogen yang sudah dimanfaatkan yaitu SeNPV dan PoGV. Cara kerja NPV dan GV adalah virus (dalam hal ini polihedra) termakan oleh serangga (misalnya ulat yang memakan daun terkontaminasi virus). Polihedra yang merupakan protein akan terhidrolisis oleh enzim dalam saluran makanan. Partikel virus yang ada dalam polihedra akan terbebaskan, virion ini akan menginfeksi sel-sel saluran makanan di bagian inti sel dan akan memperbanyak diri (replikasi). Selanjutnya virus baru akan menyerang sel-sel lain, selama beberapa hari semua sel tubuh serangga terserang. Oleh karena itu gejala serangga yang terserang NPV adalah tubuhnya hancur, menghasilkan virus-virus baru yang akan menjadi sumber penyakit baru bagi serangga hama yang memakannya. Bakteri. Bakteri entomopatogen yang sampai sekarang banyak dimanfaatkan adalah Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agens hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik misalnya untuk mengendalikan serangga hama dari golongan Ordo Lepidoptera, namun diketahui juga mampu menginfeksi ordo yang lain seperti Ordo Diptera dan Coleoptera. Cara kerja bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks protein didalam saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga yang rentan akan mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang lebih kecil yang menyebabkan toksik tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan dinding saluran makanan mengakibatkan serangga sakit yang dapat menyebabkan kematian serangga. Cendawan. Cendawan entomopatogen yang sudah banyak penggunaannya adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini tergolong dalam klas Deuteromycetes, ordo Monilialis, famili Moniliaceae. Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai oval berukuran 2-3 mikron. Hifa B. Bassiana hialin, dalam koloni berwarna putih seperti kapas. B. bassiana masuk ke tubuh serangga melalui kulit di antara ruasruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah. Selain itu B. bassiana mengeluarkan toksin seperti beaurerisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernafasan yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Cheung dan Grula, 1982). Gejala serangan pada serangga yang terinfeksi B. bassiana terlihat larva menjadi kurang aktif kemudian kaku dan diikuti oleh perubahan warna tubuh karena dinding tubuhnya sudah ditutupi oleh hifa yang berwarna putih seperti kapas (apabila lingkungan menguntungkan). Aplikasi di lapang berupa suspensi dari biakan jagung atau media cair dicampur air, langsung disemprotkan di habitat hama pada pagi hari atau sore hari. Hasil pengkajian diperoleh bahwa aplikasi B. bassiana bergantian dengan insektisida seminggu sekali dapat

10

Eli Korlina : Pengembangan Dan Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati (Aph) Pada Tanaman Hortikultura

mengurangi populasi kutu daun afid dan pengorok daun pada tanaman krisan. Sedangkan aplikasi B. bassiana secara tunggal hanya efektif untuk mengendalikan pengorok daun (Korlina dkk, 2008 b). Nematoda.Dibandingkan dengan bakteri, cendawan dan virus, penggunaan nematoda entomopatogen di Indonesia belum populer, masih dalam skala penelitian. Diharapkan dengan semakin banyaknya penelitian dan pelatihan, pemanfaatan nematoda ini semakin meningkat. Contoh nematoda entomopatogen yang sering digunakan adalah Steinernema spp. Merupakan golongan nematoda dengan siklus hidup sederhana, yaitu telur, larva (juvenil) dan dewasa. Larva mempunyai 4 stadia yang ditandai dengan pergantian kulit. Steinernema spp bersimbiosis dengan bakteri Xenorhabdus spp. Stadia yang infektif adalah juvenil III, masuk kedalam tubuh serangga melalui integumen, spirakel, anus dan mulut. Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp akan melepaskan bakteri Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan membuat kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di dalam tubuh serangga yang mati. Gejala serangan ditandai dengan warna inang berubah menjadi coklat kekuningan dan tubuhnya menjadi lembek. Hal ini disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri simbion B. PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT TANAMAN Pengendalian hayati penyakit tanaman adalah suatu cara untuk mengurangi jumlah inokulum patogen atau menekan aktifitas patogen baik aktif atau dorman dalam menimbulkan penyakit dengan satu atau beberapa organisme secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis (Baker dan Cook 1974; Cook dan Baker 1983). Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Manipulasi lingkungan : dapat dilakukan dengan menggunakan patogen-suppresive soils, rotasi tanaman, bahan organik dan perlakuan tanah. Perlakuan tersebut dapat menghambat penyakit karena menstimulasi aktivitas organisme setempat. 2. Tanaman perangkap Yaitu tanaman yang sangat rentan terhadap serangan patogen, yang kemudian harus segera dimusnahkan sebelum bereproduksi dan menyebar, contoh : tanaman Crotalaria untuk menangkap nematoda bintil akar Rhodopholus similis. Penggunaan tanaman perangkap ini dilakukan sebelum tanam atau di sekililing areal pertanaman. Setelah nematoda terperangkap kemudian tanaman perangkap dicabut dan dibakar atau diekspose ke matahari. 3. Tanaman penghambat Yaitu tanaman yang akar atau bagian tanaman lain menghasilkan senyawa yang toksik bagi patogen sehingga patogen tidak dapat bereproduksi, misalnya Tagetes erecta dan T. patula dapat dipenetrasi oleh nematoda bintil akar. Nematoda tidak menghasilkan telur atau telur yang dihasilkan tidak menetas (contoh Pratylenchus spp, Meloidogyne javanica). 4. Organisme antagonis (agens antagonis) Merupakan organisme (sebagai musuh alami) yang mengganggu aktifitas penyakit dalam menimbulkan gejala penyakit pada fase patogenesis dan dalam fase saprogenesis. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme antagonisme yang mungkin terjadi dalam menekan populasi atau aktifitas patogen yang dapat berupa : (1) persaingan ruang dan hara, (2) antibiosis dan lisis, (3) toksin atau (4) hiperparasitisme. Beberapa contoh mikroorganisme yang berfungsi sebagai antagonis bagi patogen yaitu : Bacillus subtilis antagonis terhadap Rhizoctonia solani, Phythium sp, Scleretium rolfsii dan Fusarium. B. subtilis dapat digunakan sebagai perlakuan benih Trichoderma spp dan Gliocladium spp. bersifat antagonis terhadap Rhizoctonia spp, Sclerotium rolfsii, Pythium, Fusarium, Phytopthora dan lain-lain. Hasil penelitian Korlina, dkk (2008 a)

11

Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.2.,2011

bahwa penggunaan Trichoderma pada tanaman bawang merah di lapangan dapat menekan serangan layu fusarium sampai 79%. Paecilomyces lilacinus sp untuk mengendalikan nematoda Pratylenchus sp. Hasil penelitian pada tanaman kopi menunjukkan bahwa persentase luas serangan akibat nematoda Pratylenchus coffeae , dengan aplikasi cendawan P. lilacinus dengan cara penyiraman lebih rendah (16%) dibanding aplikasi dengan cara ditabur (36%), sedangkan yang tidak diaplikasi (kontrol) mencapai 58% (Korlina dkk, 2009). C. TEKNIK PENGENDALIAN HAYATI DALAM SISTEM PHT

Ada tiga unsur pokok yang perlu mendapat perhatian dalam praktek pengendalian hayati, yaitu introduksi, augmentasi dan konservasi. 1. Introduksi Introduksi adalah pengimporan satu atau lebih musuh alami dari tempat asalnya. Yang perlu diperhatikan untuk musuh alami introduksi adalah mempunyai sifat-sifat : secara ekologi kompatibel, secara temporal sinkron, tanggap terhadap kerapatan populasi inangnya, potensi reproduksi cukup tinggi, kemampuan mencari baik, kemampuan memencar tinggi, inang alternatif dan kebiasaan , kemudahannya untuk dibiakkkan. 2. Augmentasi Kadang-kadang musuh alami aseli atau eksotik yang sudah mapan populasinya sangat rendah, ketidakhadiran atau terlambat kehadirannya, sehingga perlu ditambah dengan material yang berasal dari biakan di laboratorium dengan cara pelepasan sewaktu-waktu atau teratur. Proses atau metode ini secara umum disebut augmentasi. van Driesche & Bellows (1996) mengemukakan bahwa ada dua pola augmentasi, yaitu : augmentasi inokulatif yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah kecil dan hanya sebagai inokulan pada pertanaman dan pengendalian baru terjadi oleh generasi-generasi selanjutnya augementasi inundatif yaitu musuh alami yang dilepas relatif besar jumlahnya dan diharapkan pengendalian terjadi langsung oleh musuh alami yang dilepas itu. 3. Konservasi Konservasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan dan melestarikan musuh alami yang sudah ada di suatu tempat atau ekosistem dan membuatnya lebih efektif dalam fungsinya. Konservasi musuh alami dapat dicapai, melalui penggunaan pestisida secara bijaksana, sedapat mungkin dengan pestisida selektif, modifikasi cara bercocok tanam dan pola tanam untuk meningkatkan daya bertahan musuh alami. Kebaikan dan kekurangan Pengendalian Hayati : Kebaikan : selektif musuh alami sudah tersedia musuh alami dapat mencari/menemukan hama musuh alami dapat meningkat jumlahnya dan memencar hama tidak menjadi resisten pengendalian berlangsung kekal Kekurangan :

12

Eli Korlina : Pengembangan Dan Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati (Aph) Pada Tanaman Hortikultura

Pengendalian berjalan lambat bukan pemusnah tidak dapat diramalkan hasilnya sulit dan mahal dikembangkan memerlukan supervisi oleh pakar DAFTAR PUSTAKA

Baker KF, RJ Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco: WH. Freeman. Cook RJ, Baker KF. 1983. The Minnesota: APS Press.

Nature and Practice

of Biological Control of Plant Pathogens.

Dibiyantoro, A, L. H. 2005. Pemanfaatan biopestisida untuk mengendalikan OPT bawang merah . Makalah Pelatihan TOT Pengembangan Teknologi inovatif Bawang Merah. Bandung, 24-29 Agustus 2005. Balitsa Lembang. Korlina E, Rachmawati D, Rosmahani L, Arifin, Z dan Saadah, S.Z. 2008 a. Pengkajian Sistem Usahatani Bawang Merah Berbasis Biopestisida. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. KP. Mojosari-16 Juli 2008. Kerjasama BPTP Jatim, Faperta Unbra, Diperta Prov, Bappeda. ________, Mahfud, MC, Rachmawati, D., Sarwono dan Fatimah, S. 2008 b. Pengkajian Efektifitas Cendawan Beauveria bassiana Terhadap Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman krisan. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. KP. Mojosari-16 Juli 2008. Kerjasama BPTP Jatim, Faperta Unbra, Diperta Prov, Bappeda. ________, Rosmahani, L dan Rachmawati, D. 2009. Efektifitas Cendawan Paecilomyces lilacinus Untuk Mengendalikan Nematoda Pada Tanaman Kopi Robusta. Jurnal Vegeta Vol.3 No. 2 Juli 2009. Santoso. T. 2003. Menggali dan memanfaatkan potensi mikrob entomopatogen untuk pengendalian hama. Makalah Pelatihan Peningkatan dan Pengembangan Keterampilan Pelaksana PHT Perkebunan Rakyat. 15 Oktober 2003. IPB Bogor. Setiawati, W., Uhan, T,S., dan Udiarto, B.K. 2004. Pemanfaatan Musuh Alami Dalam Pengendalian Hayati Hama Pada Tanaman Sayuran. Monografi No. 24. Balitsa :68 hal Sinaga, MS. 2003. Teknik isolasi, pembiakan dan aplikasi agens antagonis patogen tumbuhan. Makalah Pelatihan Peningkatan dan Pengembangan Keterampilan Pelaksana PHT Perkebunan Rakyat. 15 Oktober 2003. Sosromarsono, S. 1999. Pengendalian Hayati : Perkembangan dan Tekniknya dalam Sistem Pengendalian Hama Terpadu. Makalah Lokakarya dan Seminar Nasional Pengendalian Hayati. Pusat Studi Pengendalian Hayati UGM, Yogyakarta 12-13 Juli 1999. Van Driesche, RG and Bellow, TSJ. 1996. Thomson Publishing Co. New York. Biological Control. Chapman & Hall. An Interational

13

Anda mungkin juga menyukai