Ol eh : Derry Aplianta*
Tulisan ini merupakan ringkasan hasil penelitian. Pokok persoalan dari penelitian tersebut
adalah berupaya menyingkap kegiatan diplomasi ekonomi yang dilakukan AS ?RRC selama periode
tahun 1991 ?2005 menyangkut kegiatan pembajakan piranti lunak yang berlangsung di RRC.
Penelitian ini juga berupaya mengungkapkan kebijakan-kebijakan RRC dalam penanggulangan
pembajakan piranti lunak sebagai implementasi diplomasi ekonominya dengan AS.
Pembajakan piranti lunak di RRC merupakan suatu fenomena yang lahir sebagai kombinasi dari
perkembangan sejarah, budaya lokal, kehidupan sosial dan gaya hidup, kemajuan teknologi, serta
transisi preferensi ekonomi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Data statistik mengenai
pembajakan piranti lunak yang dikeluarkan oleh BSA menunjukkan betapa tingginya perbedaan
tingkat pembajakan antara RRC dan AS.
Se ju ml ah T em ua n
Ke du a , selain dinilai monoton dalam hal pendekatan yang menekankan pada hubungan antara
pemerintah, dalam penekanan kebijakan luar negerinya terhadap RRC, AS dalam setiap
kesempatannya terlalu menekankan pendekatan hukum sebagai aspek yang harus ditingkatkan sebagai
upaya penanggulangan pembajakan piranti lunak. Penekanan aspek hukum oleh AS ini sangat dominan
kendati dalam varian maupun instrumen atas tuntutan maupun implementasi kebijakan dari aspek
ini cukup beragam, seperti misalnya revisi perudang-undangan, efisiensi dan debirokratisasi
lembaga peradilan, serta tentunya penegakan hukum dalam tataran praktis. Pemerintah AS
nampaknya tidak melakukan inovasi maupun perubahan mendasar atas pendekatan dan penekanannya
terhadap RRC melalui aspek-aspek yang berbeda, kendati setiap tahunnya nilai pembajakan piranti
lunak di RRC mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan sangat jarang mengalami penurunan.
Berdasarkan temuan dari penelitian ini, maka dapat diasumsikan bahwa konsistensi AS dalam
menekankan aspek hukum ini mungkin dapat dikaitkan dengan adanya penurunan tingkat pembajakan
piranti lunak yang lebih mengalami kemajuan dari tahun-ke-tahunnya meskipun nilai ekonominya
justru semakin membengkak.
di RRC secara jelas menunjukkan bahwa setidaknya masih terdapat ketidaksepahaman antara
masyarakat RRC dan Pemerintah AS secara vertikal, Namun seperti yang mungkin pernah disebutkan
sebelumnya, implementasi kebijakan yang selama ini dilakukan oleh RRC masih terlalu bersifat
reaktif terhadap AS, dan nampaknya kurang sensitif kepada publiknya sendiri yang selama ini
justru menjadi obyek hukum dari berbagai peraturan hukumnya. Implementasi kebijakan RRC selama
ini dinilai bersifat terlalu top-to-bottom dengan AS sebagai watchdog-nya, sementara RRC dalam
berbagai kesempatan nampak kurang peka dalam mencoba untuk memahami persoalan yang sebenarnya
mendasari terjadinya pembajakan piranti lunak di masyarakatnya. Yang kemudian penting untuk
dicermati dalam hal ini juga bahwa kontestasi budaya dan kepercayaan dalam hal ini memiliki
peran yang penting dalam terjadinya ketidaksepahaman ini. Hal ini kemudian menjadi tugas berat
baik bagi RRC maupun AS untuk 搈 erekonstruksi?visi publik RRC atas gambaran mengenai urgensi
penanggulangan pembajakan piranti lunak.
Re ko me nd as i Ba gi R RC d an I nd on es ia
Seperti halnya tren sistem perekonomian RRC, pendekatan AS terhadap RRC dalam hal
penanggulangan pembajakan piranti lunak membutuhkan masa transisi yang tidak sebentar dan
tentunya melalui tahapan-tahapan yang sistematis. Transisi yang dilakukan tentunya juga
dilaksanakan secara terencana mengingat sifat ancaman pembajakan atas piranti lunak yang tidak
stagnan dan kian meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informatika. Inti dari
argumen ini adalah bahwa perlu adanya inovasi pendekatan baru yang menekankan kepada
dekonstruksi nilai-nilai yang kiranya berkontribusi dalam perkembangan pembajakan piranti lunak
di RRC. AS harus menerapkan strategi baru dalam diplomasi ekonominya, misalnya dengan melakukan
kampanye anti pembajakan kepada publik RRC dalam bentuk-bentuk yang lebih konstruktif maupun
persuasif, dan tentunya berpotensi besar dalam mendistorsi maupun merekonstruksi pemahaman
publik RRC mengenai pembajakan.
Ke du a , masih terkait dengan perubahan kebijakan, selain aspek hukum AS, dalam hal ini juga
harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti ketertinggalan teknologi RRC dan berusaha untuk
mengimbangi faktor tersebut misalnya dengan melakukan transfer teknologi yang bisa berupa
pendidikan dan pelatihan maupun membuka peluang kerjasama bilateral diantara kedua negara dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan meningkatnya tingkat penguasaan IPTEK masyarakat
RRC atas teknologi komputer, hal ini tentunya akan berdampak pada meningkatnya industri piranti
lunak dalam negeri RRC. Peningkatan industri piranti lunak RRC ini tentu diharapkan akan
meningkatkan kesadaran masyarakat RRC terhadap bahaya pembajakan atas industri piranti lunak
dalam negerinya sendiri, yang kemudian akhirnya menghasilkan pemahaman bahwa pembajakan justru
akan merugikan industrinya sendiri, dan meruntuhkan stigma bahwa piranti lunak bajakan adalah
piranti lunak patriot.
Ke ti ga , dalam hal ini Pemerintah RRC mungkin telah melakukan hal yang tepat dengan jalan
melakukan program-program sosialisasi kepada publiknya di tahun 1997 dan 2002. RRC hendaknya
bisa lebih sering melakukan model pendekatan tersebut, misalnya dengan mengadakan seminar-
seminar mengenai pembajakan yang melibatkan berbagai kalangan, terutama terhadap masyarakat
yang selama ini rentan terhadap pembajakan. Pendekatan ini selain menjadi solusi yang tepat
untuk mengendalikan masalah pembajakan piranti lunak, juga bisa menumbuhkan kesadaran warganya
bahwa pembajakan tidak hanya mengancam perekonomian AS, namun juga mengancam kelangsungan
ekonomi yang selama ini dinikmati RRC.
Sementara, pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia sebagai salah satu negara yang marak
dengan pembajakan adalah pentingnya untuk mengubah visi dan etos kerja masyarakatnya menuju
etos kerja yang kompetitif dan sarat akan kreativitas. Dengan bantuan dan dukungan dari
pemerintah, baik secara moril maupun materil, untuk mendorong tumbuhnya kreativitas sebagai
bagian dari budaya Indonesia, maka penghargaan masyarakat atas penciptaan maupun karya-karya
yang dihasilkan di negara ini akan ikut meningkat. Kesadaran masyarakat inilah yang kemudian
menjadi obat yang mujarab bagi masalah pembajakan yang selama ini terus menjangkiti Indonesia,
karena peningkatan kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap karya cipta, dengan sendirinya
akan berdampak pada menurunnya permintaan atas barang bajakan dan mematikan industri bajakan.
Namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa kebijakan ini akan membutuhkan waktu yang panjang,
mengingat untuk mewujudkan hal tersebut perlu dimulai dengan pembenahan dari tingkat elit
politik, birokrasi, serta lembaga maupun aparat penegak hukum yang sangat sarat dan rentan
terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara kesadaran masyarakat akan sulit tercipta
tanpa adanya peran dan dukungan pemerintah sebagai role model.
*Penulis adalah alumnus S-1 Hubungan Internasional UI dan peneliti pada Center for East Asian
Cooperation Studies (CEACoS)