Anda di halaman 1dari 3

Suatu masalah ditinjau dari kaca mata yang berbeda tentu saja kelihatan berbeda, sebuah pandangan pasti

tidak benar secara mutlak. Masing-masing pihak harus mau fleksibel agar bisa didapat solusi yang terbaik. Seperti mengemuka dalam seminar di Kampus UNHI kemarin yang mengambil Tema Jalan Layang di Bali ditinjau dari aspek teknologi, Agama dan Budaya. Bagaikan dialog dua idealisme dari dunia yang berbeda Teknokrat dan budayawan yang sangat sulit untuk mencapai titik temu, masing-masing memberikan pandangan berdasarkan keahliannya. Sebagai pembicara dalam seminar tersebut pihak Teknokrat diwakili oleh Ir. Tjok Raka Sukawati IPM (Sosrobahu), sementara dari budayawan dan agamawan oleh Drs. IB Agastia, ditambah dari pihak birokrat sebagai penentu kebijakan yang diwakili oleh Ir.IB Sidartha MT (PU Bina Marga) dan Ir.Ketut Arsana Laga (Bapeda). Isu yang dibahas sebenarnya adalah isu yang sudah cukup lama yaitu masalah kontroversi rencana pembangunan jalan layang di Bali. Kalangan budayawan dan agamawan berpandangan bahwa dengan dibangunnya jalan layang, kesucian dan kesakralan budaya Bali (yang notabene bernafaskan Hindu) akan hilang. Segala sesuatunya akan tergusur oleh kehidupan serba modern dengan kemajuan teknologinya, filosofi kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi turun temurun akan lenyap, padahal menurut IB Agastia sebenarnya pemikiran leluhur masyarakat Bali zaman dulu sudah melampaui kehidupan modern saat ini maksudnya pemikiran leluhur masyarakat Bali sudah jauh memperhitungkan terjadinya modernisasi yang akan terjadi . Dicontohkan dengan penerapan pada bidang arsitektur Bali, Perencanaan Tata ruang dan lain-lain yang segala sesuatunya berdasarkan pada Tri Hita Karana yang mengarahkan untuk selalu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan hubungan sesama manusia. Mengenai pembangunan jalan layang dan penerapan teknologi-teknologi canggih di Bali, dianalogikan seperti seseorang yang ingin membesarkan otot yang kemudian memilih membeli peralatan fitness canggih kemudian berlatih di rumah untuk mendapatkan otot yang besar dan kuat, padahal masih ada alternatif lain yang jauh lebih murah dan bermanfaat misalnya dengan selalu memanfaatkan otot untuk bekerja sehari-hari seperti mencangkul, atau mengerjakan sawah ladang yang secara langsung dapat memperkuat dan memperbesar otot. Maksudnya, kita tidak perlu serta merta menerapkan dan mengadopsi berbagai macam teknologi apalagi untuk sekedar prestise agar kelihatan canggih dimata orang lain. Tentu saja pihak teknokrat mempunyai pandangan berbeda, sebenarnya pembangunan jalan layang di Bali tidak akan serta merta mempercepat kerusakan alam dan kehidupan masyarakat Bali, maupun mengurangi tingkat kesakralan dan kesucian kehidapan beragama. Yang lebih menentukan baik buruknya Bali adalah tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap inti budaya Bali dan Hindu itu sendiri, bagaimana caranya agar manusia Bali selalu sadar untuk menjaga sendi kehidupan luhur tetapi tidak menentang arus deras modernisasi (yang tidak dapat dihindari ). Kalau kesadaran dan pemahaman masyarakat sudah tinggi, seharusnya tidak alergi dengan perubahan dan kemajuan peradaban. Contohnya dengan adannya jalan layang yang notabene posisinya lebih tinggi daripada jalan tradisional dikawatirkan akan dapat mengganggu prosesi-prosesi keagamaan misalnya saat melasti (menyucikan sarana upacara ke laut), atau perjalan-perjalan suci lainnya, perasaan akan menjadi tidak suci lagi jika harus lewat dibawah jalan layang. Jika kesadaran beragama sudah tinggi dan kuat seharusnya hal itu tidak menjadi masalah, perasaan suci dan sakral tidak mesti berkurang. Dicontohkan bagaimana Umat Hindu di Jakarta (yang notabene

banyak jalan layang dan bangunan bertingkat) dalam melaksanakan prosesi tersebut tidak merasa berkurang kesuciannya. Tetapi, masalah perasaan memang tidak bisa dipaksakan karena antara umat Hindu di Bali dan Jakarta tentu saja memiliki rasa kesucian yang berbeda.Kalau sudah begini, bagaimana menyikapinya?..Dari pandangan teknokrat, hal itu masih bisa ditanggulangi dengan teknologi misalnya dengan menyediakan jalur khusus untuk penyeberangan melewati bagian atas jalan, memanfaatkan teknologi untuk memutus dan menyambung konstruksi jalan atau dengan penurunan level jalan layang pada tempattempat tertentu. Dilihat dari dari sudut kelestarian lingkungan dan alam Bali, apakah pembangunan jalan layang tidak akan merusak estetika alam tradisional Bali? Seperti halnya kontroversi mengenai batas ketinggian bangunan, solusi mana yang harus dipilih agar wajah dan alam Bali dengan kehidupan tradisinya yang unik tidak menjadi rusak seiring perkembangan zaman, masih menjadi perdebatan panjang. Kalangan budayawan berpandangan bahwa dengan banyaknya struktur Jalan layang, wajah Bali akan menjadi sama dengan wajah kota-kota modern lain di dunia dengan kehidupan metropolitan yang tidak unik lagi. Pihak yang setuju jalan layang berpendapat sebaliknya, justru dengan pembuatan jalan dan struktur bangunan yang tidak sebidang akan dapat menghambat alih fungsi lahan dari lahan hijau atau lahan pertanian menjadi lahan komersial. Dicontohkan pada pembukaan jalan-jalan baru seperti ruas Jalan Bypass Tohpati -Kusamba, semakin hari semakin banyak lahan pertanian di pinggir jalan yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman atau lahan untuk bisnis bahkan banyak yang beralih kepemilikan karena dianggap menarik untuk investasi. Pasti akan berbeda seandainya yang dipilih adalah alternatif jalan layang, tentunya tidak banyak lahan yang termakan karena lahan dibawah konstruksi jalan layang masih bisa dimanfaatkan untuk lahan hijau pertanian, disamping itu peralihan kepemilikan lahan bisa dihindari karena investor tidak akan berinvestasi dengan membeli lahan dibawah struktur jalan layang. Dari pandangan Birokrat dan pelaksana pembangunan, alternatif jalan layang memang sudah waktunya dipilih mengingat kebutuhan sarana transportasi semakin mendesak, pertumbuhan jumlah kendaraan dari tahun ke tahun semakin tinggi. Volume transportasi menjadi semakin padat sedangkan sarana penunjang seperti jaringan jalan tidak mungkin tumbuh terusmenerus karena keterbatasan lahan dan daya dukung Bali. Di lain pihak, untuk membendung pertumbuhan kendaraan nampaknya merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Pemilihan alternatif pembangunan jalan layang di Bali merupakan sebuah solusi terakhir yang dipertimbangkan untuk diambil dalam menanggulangi permasalahan transportasi khususnya di wilayah perkotaan, dianggap pilihan terakhir karena sebelum alternatif itu dipilih, terlebih dahulu penanggulangan dilakukan dengan cara perbaikan management traffic yang meliputi penataan jalur lintasan, persimpangan dan perbaikan sistem perparkiran. Kalau ternyata hal itu masih belum mampu menanggulangi permasalahan secara optimal, maka alternatif jalan layang layak dipertimbangkan, tentu saja harus dilakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu. Walaupun seminar tersebut tidak bisa menghasilkan keputusan mutlak mengenai setuju atau tidak dengan adanya alternatif pembangunan jalan layang di Bali, setidaknya dialog yang sudah digelar dapat memberikan sedikit masukan bagi komponen masyarakat dan pemerintah

yang menjadi penentu kebijakan. Diharapkan pada masa yang akan datang bisa dilakukan dialog-dialog yang lebih intensif lagi untuk sama-sama mencari solusi yang terbaik untuk kelangsungan hidup kehidupan masyarakat Bali yang unik tanpa harus menghindar dari modernisasi dalam mengatasi segala permasalahan yang timbul.

Anda mungkin juga menyukai