Anda di halaman 1dari 15

BI Tegur Bank Syariah Tawarkan Derivatif

Jika bank bersalah, BI siap memberikan sanksi. Saat ini masih tahap mediasi.
VIVAnews - Bank Indonesia telah menegur bank syariah yang ketahuan menawarkan produk derivatif untuk nasabahnya. Namun, BI belum menetapkan sanksi terhadap bank. "Kita tahu itu, terus kita tegur," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Fadjrijah di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu 4 Februari 2009. Khusus bank syariah di Indonesia, tegas Fadrijah, derivatif tidak boleh masuk karena fatwa dari Dewan Syariah Nasional tidak membolehkan adanya produk-produk berbau spekulatif itu. Sebelumnya anggota Komisi Keuangan DPR Dradjad H Wibowo menduga ada bank syariah yang disusupi produk derivatif. Ia menyebutkan Bank Danamon. Fadjrijah menambahkan sepanjang sepengetahuannya, bank syariah dimaksud tidak pernah menawarkan produk derivatif karena tidak ada fatwa di Indonesia. "Jadi saya yakin bukan syariah yang menawarkan itu. Kalau penyelesaiannya apa nanti kita liat, kami sedang ingin memediasi," katanya. Namun jika bank ketahuan melanggar, katanya, ada sejumlah sanksi yang bisa dikenakan. "Melanggar aturan itu kan di UU Perbankan Syariah macam-macam, ada yang pidana, ada yang teguran kepada manajemennya, ada juga yang bisa kita lakukan tindakan sesuatu, ada banyak aturannya," kata dia. Saat ditanya apa kasus ini karena kesengajaan bank, Fadjrijah menolak menjawab. "Apanya saya nggak tau, saya nggak mau jawab, itu individual. Tetapi kita akan memediasi untuk penyelesaiannya. Itu yang penting. Pada dasarnya kalau dia memang salah ya kita kasih sanksi," kata kata dia.

VIVAnews - Anggota Komisi Keuangan Dradjad H Wibowo menduga transaksi derivatif sudah melebar ke perbankan syariah. Padahal transaksi jenis ini tidak sesuai dengan prinsip syariah. "Bank Indonesia cenderung membela bank. Yang aneh, di Bank Danamon yang mestinya rekening syariah, itu dimasuki transaksi derivatif," ungkap Dradjad saat rapat kerja dengan Bank Indonesia di Gedung DPR, Jakarta, Senin 2 Februari 2009. Bagaimana mungkin, kata Dradjad, rekening syariah dimasuki transaksi derivatif yang jauh dari prinsip-prinsip syariah. "Baru terakhir ini dipisah antara konvensional dan syariah. Tapi ini sudah menyalahi prinsip-prinsip syariah dan peraturan yang sudah kita sepakati bersama," kata Dradjad. Soal transaksi derivatif, Dradjad meminta Bank Indonesia tidak lepas tangan begitu saja dan

mengatasnamakan di luar kewenangan Bank Indonesia supaya BI tidak terkena imbasnya. "Ini terjadi mulai dari Bank Global sampai ada yang mati (bank). Uang nasabah tidak kembali, meski sudah menang di MA. BI sebenarnya bisa menolong, tapi BI memalingkan wajah," kata Dradjad. Nasabah Bank Century, saat bank belum diambil alih pemerintah, ungkap dia, mengeluh tidak mendapatkan perlindungan. Padahal dalam arsitektur perbankan Indonesia, perlindungan konsumen diatur dalam pilar keenam. Padahal dalam hal transaksi derivatif, banyak sekali kesalahan yang dilakukan bank. Sayangnya, BI tidak berani tegas dalam melarang penjualan produk-produk tersebut. Dan yang mengkhawatirkan saat ini transaksi ini efeknya bisa meluas tidak hanya ke bank-bank yang menjual produk itu. "Bank-bank lain bisa kena, karena apa? nasabah yang terkena misalnya di CIMB Niaga atau Bank Danamon ada ancaman kolektabilitasnya, sebagian sudah diturunkan menjadi kategori tiga. Takutnya bank lain seperti Mandiri dan BNI juga kena," ujar dia. Jika kondisi ini terjadi maka ancaman kredit macet sudah di depan mata. Apalagi nasabah yang terlibat transaksi ini bergerak di berbagai macam insudtri. "Ada batik, minyak dan macammacam. Mereka rata-rata menjadi debitor bank. Mereka terancam kehilangan perusahaan dan karyawan terancam kehilangan pekerjaan," katanya. Kalau saja BI tegas sesuai aturan yang diterbitkan bank sentral sendiri, ia yakin masalah semacam ini tidak akan muncul. "Jadi mohon BI ditegakkan. Bukan hanya jadi corong. Tolong pengawas yang ada jangan ikut terjebak konflik kepentingan sekecil apapun. Dan saya terkejut sekali transaksi di rekening syariah bisa disusupi," kata dia. VIVAnews
http://bisnis.vivanews.com/news/read/26479-dradjad_duga_derivatif_susupi_syariah

Senin, 2 Februari 2009, 16:40 WIB

PERBANKAN SYARIAH STUDI KASUS: BNI SYARIAH


November 20, 2010 | Author: | Filed under: A, Artikel, Berita, Lomba 2010, Lomba Artikel UG ICT Award 2009

Sudah sepuluh tahun lebih bank syariah di Indonesia beroperasi. Meskipun memiliki potensi yang besar dan terus mengalami peningkatan, dalam perjalanannya tak lepas dari beberapa kendala. Salah satunya adalah pemahaman masyarakat mengenai sosok dan layanan bank syariah itu sendiri dan ketersediaan sumber daya manusia yang mengerti soal perbankan syariah. Perbedaan yang mencolok antara bank konvensional dengan sistem bank syariah adalah sistem bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, akan tetapi sistem bagi hasil (mudharabah), dimana nasabah bank syariah akan memperoleh nisbah atau memperoleh presentase bagi hasil yang tertera dalam perjanjian sebelumnya. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Saat ini ada bank umum yang juga menjalankan sistem syariah yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Syariah Mega Indonesia, Bank Bukopin Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank Rakyat Indonesia (Persero) dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Sedangkan Bank Syariah Muamalat Indonesia merupakan satu-satunya bank yang berkomitmen dengan satu jalan atau hanya menganut sistem keuangan syariah saja. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Salah satu bank yang menjadi pembahasan kami adalah BNI syariah karena mereka memiliki visi dan misi yang menarik. Sejarah BNI Syariah Sistem Syariah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter 1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada UU no 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero ) merintis Divisi Usaha Syariah. Berawal dari 5 kantor Cabang di Yogyakarta, Malang, Pekalongan, Jepara dan Banjarmasin yang mulai beroperasi tanggal 29 April 2000, kini BNI Syariah memiliki lebih dari 20 Cabang di

seluruh Indonesia. Untuk memperluas layanan pada masyarakat, masing-masing kantor cabang utama tersebut membuka kantor-kantor cabang pembantu syariah (KCPS), sehingga keseluruhan kantor cabang syariah sampai tahun 2007 berjumlah 54 buah. Selanjutnya berlandaskan peraturan Bank Indonesia No 8/3/ PBI/2006 tentang pemberian ijin bagi kantor cabang Bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani pembukaan rekening produk dana syariah, BNI Syariah merespon ketentuan ini dengan cara bersinergi dengan cabang konvensional guna melakukan office channelling. Hingga saat ini outlet layanan syariah pada kantor cabang konvensional berjumlah 636 outlet. Visi Menjadi Bank Syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja dengan menjalankan bisnis sesuai kaidah sehingga insya Allah membawa berkah. Misi Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah kebanggaan anak negeri. Tujuan utama manajemen PT BNI Tujuan utama manajemen PT BNI dalam pengembangan Bank Syariah:

Dalam rangka menjadi Universal Banking perlu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang ingin menyalurkan keuangannya melalui perbankan syariah serta sebagai alternatif dalam menghadapi krisis yang mungkin timbul dikemudian hari, mengingat kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak terkena negatif spread seperti yang dialami oleh Bank-Bank konvensional.

Hubungan antara BNI Syariah dengan BNI

Secara organisasi, BNI Syariah merupakan salah satu unit dari BNI secara keseluruhan, dengan kata lain direktur BNI Syariah dengan BNI masih sama. BNI Syariah juga memanfaatkan jaringan BNI konvensional seperti ATM dan sebagian cabang, sehingga meskipun jumlah Cabang Bank Syariah masih sedikit, tapi dengan memanfaatkan jaringan ini nasabah BNI Syariah tidak perlu khawatir jika berada di tempat yang jauh dari lokasi cabang BNI Syariah. Perlu digariskan di sini bahwa untuk pengelolaan dana masyarakat dilakukan terpisah antara BNI Syariah dan BNI konvensional. Dengan kata lain dana masyarakat yang disimpan di BNI Syariah diperuntukkan hanya untuk pembiayaan di BNI Syariah, dan sejak awal pembukaan rekening telah dibukukan secara terpisah. Hal ini untuk menjamin pengelolaan dana masyarakat di BNI Syariah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Keunggulan BNI Syariah


1. Dual System Bank : BNI Syariah saat ini didukung oleh sistem Informasi Teknologi yang modern dan jaringan transaksi yang sangat luas di seluruh Indonesia dengan memanfaatkan jaringan Kantor Cabang BNI. 1. Beragam fitur atau fasilitas

Sebagai suatu unit usaha dari PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, BNI Syariah didukung dengan teknologi dan jaringan yang unggul sebagai bagian dari Bank dengan coverage nasional bahkan internasional.

1. Syariah Chanelling Outlet (SCO) : cabang-cabang BNI konvensional yang bersinergi dengan BNI Syariah untuk memberikan layanan pembukaan rekening syariah.

Awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek.Nasabah BNI Syariah dapat memiliki rekening syariah dengan melakukan pembukaan rekening di 54 Kantor Cabang BNI Syariah dan lebih dari 600 Kantor Cabang BNI. Selain itu untuk kebutuhan tarik setor dan transfer dapat dilayani secara online di lebih dari 900 Kantor Cabang BNI di seluruh Indonesia. Tersedia dalam IDR dan USD Untuk giro perorangan IDR diberikan kartu ATM BNI syariah dan penariknya dapat dilakukan di ATM BNI, ATM LINK, ATM bersama, serta ATM Cirrus Fasilitas Phone Banking 24 jam Fasilitas Giro On Line untuk Giro IDR Potensi mendapatkan bonus Layanan e Banking di BNI ATM, Mobile Banking, SMS Banking dan Internet Banking.

Kendala-kendala yang dihadapi BNI Syariah

Kendala yang saat ini menghambat perkembangan BNI Syariah antara lain masih kuatnya budaya sistim perbankan lama yang memberikan hasil lebih pasti (berupa bunga), dibanding perbankan syariah yang returnnya tergantung pada hasil yang diterima oleh Bank. Disamping itu sebagian masyarakat bahkan ulama masih ada yang menganggap bunga bank itu halal atau minimal subkhat. Untuk mengatasi kendala tersebut antara lain dengan melakukan kegiatan promosi atau seminar-seminar bersama dengan bank syariah lainnya untuk memberikan penjelasan mengenai bank syariah dan produk-produknya.

Perbedaan kredit di Bank Konvensional dan pembiayaan di Bank BNI Syariah

Pada Bank Konvensional, Bank sebagai kreditur dan nasabah kredit sebagai debitur (peminjam), dimana ada jarak antara bank dengan nasabah. Sedangkan pada Bank Syariah, pihak Bank berfungsi sebagai pemilik dana/modal/shahibul maal dan nasabah pembiayaan sebagai pengelola usaha/ mudharib atau pembeli pada pembiayaan yang berlandaskan prinsip jual beli, nasabah merupakan partner usaha. Pada bank konvensional debitur akan dikenai bunga yang besarnya telah ditentukan dan umumnya bersifat reviewable. Artinya secara periodik bank dapat melakukan review terhadap tingkat bunga disesuaikan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar/industri perbankan. Sedangkan pada bank syariah yang disepakati dimuka adalah besarnya nisbah bagi hasil. Artinya terdapat konsekuensi besarnya bagi hasil yang dibayarkan oleh nasabah ataupun yang diterima oleh bank berfluktuasi sesuai dengan dinamika bisnis yang dijalankan.

Produk yang dimiliki oleh BNI Syariah

Pada dasarnya produk-produk yang umum terdapat di perbankan konvensional sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Islam juga terdapat di BNI Syariah. Untuk produk dana, di BNI Syariah juga terdapat produk-produk umum seperti giro, deposito dan tabungan. BNI Syariah menjalankan operasional bank berdasarkan prinsip syariah, seperti jual beli dan bagi hasil serta memiliki beragam produk dan jasa perbankan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan nasabah. BNI syariah menyadari bahwa masyarakat yang menghendaki layanan syariah tidak terbatas pada masyarakat muslim namun juga dibutuhkan oleh seluruh golongan masyarakat yang menghendaki layanan dan fasilitas perbankan yang nyaman, adil, dan modern. Produk-produk yang ditawarkan oleh BNI Syariah :
1. Produk Dana

Giro Wadiah
o

BNI iB Giro BNI iB Giro USD

Tabungan Mudharabah
o

Tabungan iB Plus Tabungan iB Prima BNI iB Tabungan BNI iB Tapenas

Tabungan Haji Mudharabah


o

BNI iB Haji

Deposito Mudharabah

BNI iB Deposito BNI iB Deposito USD

1. Produk Pembiayaan

Produk pembiayaan di BNI syariah ada empat yaitu. Pembiayaan Murabahah Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan Ijarah Bai Ut Takjiri
o o o o o o o o o o o o

BNI iB Griya BNI iB Oto BNI iB Multijasa BNI iB Cerdas BNI iB Wirausaha BNI iB Tunas Usaha BNI iB Gadai Emas BNI iB Fleksi BNI iB Multiguna Hasanah Card BNI iB Pembiayaan Usaha Kecil BNI iB Pembiayaan Besar/non ritel

1. Produk Jasa

Kiriman uang, berdasarkan prinsip wakalah. Garansi Bank berdasarkan prinsip kafalah. Inkaso, berdasarkan prinsip wakalah. Money Changer. Trade Finance services Produk andalan BNI Syariah adalah Tabungan Syariahplus yang didukung oleh jaringan ATM yang luas Pada BNI Syariah dewan pengawas yang disebut dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Setiap produk yang saat ini dimiliki oleh BNI Syariah telah mendapatkan pengesahan dari DPS, dan

demikian juga dengan produk-produk yang nantinya akan diluncurkan oleh BNI Syariah, terlebih dahulu juga harus mendapatkan pengesahan dari DPS sebelum di-launching kepada masyarakat.

Sistem Bagi Hasil Seperti umumnya operasi perbankan secara umum yang mengandalkan pendapatan dari sektor kredit, Bank BNI Syariah juga menyalurkan dana-dana masyarakat tersebut melalui pembiayaan. Hasil pendapatan dari pembiayaan tersebut yang kemudian dilakukan bagi hasil dengan nasabah pemilik dana sesuai dengan nisbah masing-masing produk dana. Selain dari pembiayaan tersebut, jika terdapat dana berlebih dimungkinkan untuk dilakukan penempatan dana di lembaga keuangan syariah lain, SWBI (Syariah Wadiah Bank Indonesia) atau instrumen syariah lainnya. Bank Syariah tidak mengenal bunga, namun nasabah dana akan mendapatkan bagi hasil yang besarnya beradasarkan nisbah yang telah sepakati di awal pembukaan rekening.

BNI Syariah akan menginvestasikan atau menyalurkan dana yang terhimpun pada BNI Syariah pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, baik produktif dan konsumtif. Hasil atau pendapatan dari aktivitas tersebut kemudian dikembalikan kepada nasabah sesuai dengan nisbah yang sudah diperjanjikan di awal secara proporsional tergantung dari jumlah dan lamanya pengendapan dana.

KESIMPULAN Pada prinsipnya Bank Syariah hampir sama dengan Bank Konvensional. Yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah, bahwa bank syariah beroperasi dengan berlandaskan prinsip syariah Islam yang dalam konteks bank terdapat 4 hal pokok yang tidak diperkenankan yaitu maisir, gharar, riba dan bathil. Dan bank syariah tidak mengenal dengan istilah bunga karena memang tidak sesuai dengan syariah, namun dikenal dengan margin, uang sewa dan bagi hasil dengan nasabah. Dimana nasabah bank syariah akan memperoleh nisbah atau memperoleh presentase bagi hasil yang tertera dalam perjanjian sebelumnya. Saat ini perbankan syariah telah berkembang bahkan setiap bank konvensional pasti mendirikan bank syariah namun tetap saja, masalah utama adalah pemahaman masyarakat mengenai sosok dan layanan bank syariah itu sendiri dan ketersediaan sumber daya manusia yang mengerti soal perbankan syariah masih kurang. Dari sisi sumber daya manusia (SDM), sulit diperoleh orangorang yang mengerti dan paham mengenai prinsip-prinsip syariah dan perekonomian syariah secara global. Ditulis: Nariya Kusmaning Ayu

Bank Syariah Mandiri Terbelit Akad Mudharabah Muqayyadah


Jumat, 01 May 2009 Basyarnas memutus Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima membayar pokok pembiayaan akad Mudharabah Muqayyadah kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II (Dapenda) sebesar Rp 10 miliar. Putusan tak kunjung dipatuhi, Dapenda akhirnya memohon sita eksekusi ke Pengadilan Agama Jakpus. Eksekusi tertunda dua kali lantaran pertimbangan dampak eksekusi terhadap perbankan syariah.

1 2 3 4 5

(0 votes, average: 0.0 out of 5)

Untuk pertama kalinya Pengadilan Agama Jakarta Pusat kelimpahan perkara ekonomi syariah. Perkara itu adalah sengketa antara Dana Pensiunan Angkasa Pura II (Dapenda) dan PT Bank Syariah Mandiri. Perseteruan kedua pihak bermula dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada Agustus 2008 lalu. Namun hingga kini putusan majelis arbiter yang diketuai Fatimah A serta beranggotakan Bismar Siregar dan Hidayat Achyar, masih mandul. Pengadilan yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu akhirnya kebagian untuk mengeksekusi putusan tersebut.

Dalam putusan majelis arbiter, Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima dihukum untuk membayar jumlah pokok pembiayaan sebesar Rp 10 miliar kepada Dapenda secara tenggung renteng, paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Keduanya terbukti wanprestasi terhadap Dapenda dalam menunaikan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 tanggal 28 Januari 2004. Karena itu, akad tersebut juga dibatalkan. Meski dalam amar putusan dinyatakan bahwa putusan bersifat final dan mengikat, Bank Syariah Mandiri dan Sari Indo Prima tetap membandel.

Sekedar pengetahuan, pembiayaan mudharabah muqayyadah (bagi hasil) adalah akad kerja sama usaha antara nasabah pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana (mudharib), dimana pihak bank bertindak sebagai perantara pembiayaan. Pemilik dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat, waktu maupun tatacara pelaksanaannya.

Dapenda tak tinggal diam. Kuasa hukum Dapenda, Aad Rusyad, mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi atas putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Masrum, masih memberi kesempatan kepada para pihak untuk berunding dan mengeksekusi putusan secara sukarela hingga Selasa (05/5) pekan depan. Ini adalah kesempatan kedua buat Bank Syariah Mandiri. Sebelumnya, pada 22 April 2009 lalu, Masrum juga memberi waktu hingga 30 April 2008 buat Bank Syariah Mandiri agar mematuhi putusan.

Penundaan eksekusi hingga dua kali dilakukan dengan pertimbangan pengembangan perbankan syariah. Jika dilakukan sita eksekusi terhadap Bank Syariah Mandiri, hampi dipastikan berdampak pada perbankan syariah. Saya harapkan kesadaran dari mereka (Bank Syariah Mandiri). Masa perbankan syariah juga membandel, ujar Masrum saat ditemui di kantornya, Kamis (30/4).

Menanggapi penundaan itu, Aad menyatakan menerima keputusan Masrum. Perbankan syariah harus dibantu, ujarnya. Aad mengatakan akan mengambil langkah hukum sita eksekusi jika pekan depan Bank Syariah Mandiri masih tetap membandel. Jangan salahkan kami, katanya.

Senada, kuasa hukum Bank Syariah Mandiri, Gading Sanjaya berterima kasih atas kelonggaran waktu tersebut. Kami akan sampaikan ke manajemen bank untuk menentukan tindakan bank selanjutnya, katanya. Ia mengaku tidak tahu mengapa Bank Syariah Mandiri membandel selama ini, sebab kantor hukumnya baru ditunjuk sebagai kuasa hukum pascaputusan arbitrase.

Perkara ini bermula ketika Bank Syariah Mandiri mengajukan proposal penawaran kerja sama pembiayaan Mudharabah Muqayyadah kepada Dapenda, Desember 2003. Dalam proposal penawaran disebutkan, pembiayaan akan digelontorkan untuk PT Sari Indo Prima sebagai biaya pengembangan usaha pembuatan karung.

Ketika itu, Dapenda berasumsi skema pembiayaan itu sama dengan penempatan deposito pada bank syariah. Karena itu Dapenda setuju untuk menempatkan dananya pada Bank Syariah Mandiri. Pada 23 Januari 2004, Bank Syariah Mandiri, Sari Indo Prima dan Dapenda membuat kesepakatan bersama Mudharabah Muqayyadah No. 006/MoU/DPAPII/I/2004, No.103/0110/MoU-SIP/I/2004, dan No. 05/1393/017. Saat yang sama, Dapenda mentransfer dana ke BSM dengan surat No. 045/DPAP II/KI/I/2004 tentang penerbitan deposito sebesar Rp 5 miliar.

Tak Membayar Angsuran Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam akta pembiayaan Mudharabah Muqayyadah sebesar Rp 10 miliar pada 28 Januari 2004 antara Dapenda, Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri. Perjanjian itu berlaku selama tiga tahun hingga 23 Januari 2008, dengan ketentuan bagi hasil Dapenda sebesar 13,5 persen per annum (tiap tahun). Sementara Bank Syariah Mandiri mendapat fee sebesar satu persen per tahun terhitung sejak pembiayaan Mudharabah Muqayyadah masih berjalan (outstanding). Sebulan kemudian, Dapenda kembali mentransfer dana ke Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 5 miliar melalui surat No.115/DPAP II/KI/II/2004 tanggal 27 Februari 2004.

Enam bulan berselang, Dapenda tidak mendapatkan nisbah bagi hasil karena Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri tidak membayarkan angsuran, baik kewajiban pokok maupun margin (selisih) bagi hasil. Sejak awal proses pembiayaan, Dapenda menilai Bank Syariah Mandiri tidak transparan. Hal itu antara lain tercermin dari pembiayaan yang dilakukan lebih dulu pada Sari Indo Prima sebesar Rp 6,5 miliar pada Oktober 2003, sebelum akad dibuat. Sementara, dalam akad pembiayaan No. 108 disebutkan bahwa Sari Indo Prima tidak dalam keadaan berutang pada pihak lain.

Dapenda menilai, Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan prudential banking principles (prinsip kehati-hatian perbankan) dalam proses pengajuan dan pelaksanaan Mudharabah Muqayyadah. Selain itu, Bank Syariah Mandiri juga dinilai tidak melaksanakan kewajibannya terhadap pengikatan barang jaminan dan monitoring penggunaan dana untuk kepentingan Dapenda. Hal itu menimbulkan side streaming yang dilakukan Sari Indo Prima. Yakni dengan menggunakan dana Dapenda untuk membayar cicilan uutang pada Bank Syariah Mandiri.

Untuk menuntaskan sengketa itu, Dapenda telah berusaha untuk musyawarah hingga mengajukan somasi ke Bank Syariah Mandiri, namun hasilnya nihil. Padahal dana yang ditempatkan Dapenda berasal dari iuran peserta dana pensiun karyawan Angkasa Pura II. Karena itu, Daspenda menuntut Bank Syariah Mandiri memenuhi kewajibannya.

Dapenda kemudian membawa perkara itu ke Basyarnas. Hal itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang mengatur apabila terjadi perselisihan maka para pihak akan menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa. Setelah enam bulan bersidang di Basyarnas, para pihak tetap tidak menemukan titik temu. Karena itu, pada 21 Agustus 2008 majelis arbiter menjatuhkan putusan. http://hukumonline.com/berita/baca/hol21873/bank-syariah-mandiri-terbelit-akad-mudharabahmuqayyadah

Bank Syariah Yang Dinilai Menodai Prinsip Syariah


Penyelesaian kasus sengketa perbankan syariah yang dilakukan secara sepihak oleh Bank Syariah Mega Indonesia (BMSI) dinilai telah menodai prinsip-prinsip perbankan syariah. Salah satunya adalah pelaksanaan eksekusi terhadap asset nasabah yang diagunkan dalam akad musyarakah (kerjasama) dengan BMSI. Dalam penyelesaian sengketa terhadap salah seorang nasabahnya, HM Logika, pemilik CV Miskasari, warga Jl Kyai Damar No. 2 Semarang, Bank Mega Syariah melakukan lelang tiga asset miliknya yang diagunkan. Sesuai prinsip-prinsip syariah eksekusi tidak bisa dibenarkan, karena dalam prinsip musyarakah yaitu akad kerja bagi untung dan bagi rugi, jelas HM Logika kepada wartawan, kemarin. Ditambahkan HM Logika, sesuai pasal 19 ayat 1 juncto penjelasan pasal 19 UU nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, bahwa sesuai akad kerjasama diantara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan. Sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masingmasing. Sesuai akad kerjasama yang disepakati, ditentukan bahwa bagi hasil sebesar 90% untuk BMSI dan 10% untuk CV Miskasari. Dalam praktiknya, Bank Mega Syariah telah melakukan pelanggaran dengan melakuan debet bunga di rekening CV Mirkasari sebesar Rp 60 juta per bulan. Bahkan Rp 34 juta untuk pembayaran selama 17 hari, dari 11 April 2008 hingga 28 April 2008, imbuh Logika. Menurutnya, apa yang dilakukan BMSI tersebut menjadikan prinsip bagi hasil tidak berjalan, tetapi BMSI menetapkan bunga secara sepihak. Apalagi, karena kondisi perusahaan yang sedang sulit, Logika hanya mampu membayar bagi hasil Rp 15 juta. Namun hal itu ditolak. Pihak Bank Mega Syariah malah memaksa untuk melelang aset VC Miskasari. Puncaknya terjadi pada 3 Maret 2009, saat aset agunan miliknya yang dijaminkan dalam akad ini dilelang oleh Bank Mega Syariah dan aset ini dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Agustus tahun yang sama. Sengketa HM Logika dan BMSI ini berawal saat kedua pihak melakukan akad musyarakah dengan pihak Bank Mega Syariah cabang Semarang, pada 11 April 2008. Selaku pemilik CV Miskasari, HM Logika mengajukan kerjasama pembiayaan usaha dengan akad musyarakah dengan Bank Mega Syariah, yang oleh pihak bank yang dimaksud bakal memperoleh fasilitas pembiayaan hingga Rp 7 miliar. "Hanya saja, saat akad musyarakah yang ditandatanganinya hanya Rp 5 miliar. Itupun dengan redaksional fasilitas ini sementara untuk megambil alih kredit di BNI Syariah. Pasalnya saat akan melaksanakan akad saya masih tercatat sebagai debitur BNI Syariah," terangnya.

Ternyata sisa Rp 2 miliar tak kunjung diberikan. Demikian pula ketika usahanya mengalami kesulitan pihak bank ini tak berupaya memberikan solusi. Yang membuat HM Logika kaget besaran tanggungan CV Miskasari justru kian bertambah, dari Rp 5 miliar menjadi Rp 5,2 miliar pada Februari 2009 dan Rp 5,5 miliar pada Mei 2009. Padahal, jelas Logika dana Rp 2 miliar tersebut sedianya akan digunakan untuk membayar barangbarang dagangan kepada pihak supplier. Karena tak kunjung cair, otomatis supplier mengalihkan kepada pihak lain, imbuh Logika. Terlebih dengan pengumuman lelang yang dilakukan BMSI di media massa, yang semakin menjatuhkan posisinya. Terhadap eksekusi tiga asset miliknya, masing-masing di Banyumanik, Tlogosari, dan Pasar Johar, Logika menilai cacat hukum. "Kami menilai eksekusi ini cacat hukum. Karena bukan menjadi kewenangan PN Semarang. Kami juga sudah menyepakati penyelesaian melalui Basyarnas (Badan Syariah Nasional) Jateng," ujarnya. Anehnya lagi perjanjian kerjasama ini senilai Rp 5 miliar, sementara aset CV Miskasari mencapai 7 miliar. Namun oleh Bank Mega Syariah aset ini hanya dilelang dengan nilai Rp 3,675 miliar dan ia masih harus menanggung sisa kekurangannya. Upaya ini kemudian ditindaklanjuti dengan eksekusi oleh PN Semarang pada 20 Agustus 2009. Karena itu kami menilai eksekusi ini cacat hukum. Pasalnya yang berhak mengeksekusi dalam permasalahan ini hanya Pengadilan Agama. Sehingga ada perlakuan hukum yang beda dalam upaya penyelesaian sengketa perbankan syariah ini. Terpisah Ketua LPKSM, Anton menyampaikan apa yang dilakukan oleh Bank Mega Syariah merupakan perseden buruk bagi perbankan syariah. Pasalnya, prinsip bank syariah adalah menghindari riba. Kami berharap Basyarnas lebih berani melakukan kewenangannya, ujarnya. (ichwwan) Berita ini sudah dimuat di koran, HARIAN SEMARANG, EDISI 7-4-2010 http://danish56.blogspot.com/2011/07/bank-syariah-yang-dinilai-menodai.html

Transaksi Derivatif dalam Perspektif Syariah 2 (2 dari 5)


Posted 55 days ago / 0 Komentar Transaksi derivatif dalam perspektif syariah (bagian II dari 5 tulisan) Oleh : Agustianto Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba. Terminologi kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai yang berkelindan, yaitu riba, maysir dan gharar. Riba ialah pengambilan keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Semua ulama dari seluruh mazhab merumuskan definsi riba seperti itu. Sedangkan maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan atau spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah suatu praktik bisnis yang tidak ada maukud alaihnya dan merupakan bentuk bisnis beresio tinggi. Maka para ekonom muslim menyebutnya sebagai transaksi maya atau drivatif juga. Dengan demikian gharar adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik transaski derivatif itu sendiri. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga. Jadi, ketiga serangkai riba, maysir dan gharar terkait secara berkelindan. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Mengapa demikian ?, Karena dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita, Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena jahatnya transaksi derivatif, maka George Soros menyebutnya sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia. Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987 Bisnis derivative ini jugalah menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi. Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan

bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi komoditas dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.

Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.

Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun. Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini. Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan pengamat ekonomi Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar setahun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini. Jika praktek ini dibiarkan, maka krisis demi krisis pasti terjadi lagi dan mengorbankan milyaran umat manusia di muka bumi. Karena itu, solusi penyembuhan efektif dan ampuh adalah kembali kepada system ekonomi ilahiyah, ekonomi syariah.

Anda mungkin juga menyukai