Anda di halaman 1dari 1

Harga Keringat Debu naik menggumpal dari atas cerobong-cerobong.

Pagi-pagi sekali altar pabrik telah penuh manusia berbaju biru, laki perempuan. Sepagi itu, suasana telah ramai. Bekerja tepat waktu, jam 8 pagi. Aku berada pada bagian produksi, menghidupkan mesin-mesin pemintal, menjaganya dari kebocoran-kebocoran dan mengisi batu bara ke dalam mesin kerja. Kerja di tempat ini selama 9 jam. Selesai bekerja pukul 5 sore. itu waktu untuk menghibur diri. Merokok, makan atau bergegas pulang karena peluh telah membuat tubuhku yang gempal dan sepintas perkasa ini, melemas dan mengendor. Dialah perempuanku, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi kecil -Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Beberapa kali aku mencintai perempuan itu. Dan sejak aku bekerja di tempat inilah, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan lagi. Dari statusku yang baru, aku memperoleh beberapa kenyamanan baru. Beberapa tetangga dan teman mulai memperhitungkanku dan menilaiku sebagai manusia yang pantas diperhitungkan. Mereka takut dengan gaji bulananku, dengan sepeda motor yang berhasil ku kredit meski dengan kesulitan-kesulitan pembiayaan. Semuanya akan berubah sebentar lagi. Saat kontrak kerjaku habis beberapa bulan lagi, itu berarti aku harus mulai mempersiapkan diri untuk menerima keadaanku, menganggur. Hari ke hari di tempat ini membuatku nyaman. Rutinitas ini membuatku merasa bersyukur, setidaknya jika dibandingkan dengan beberapa temanku di desa, yang tidak bekerja, atau masih meminta uang dari orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai